Bulan Februari 2013 lalu, desainer kondang Indonesia Ivan Gunawan mengangkat tema “Malolo” dalam acara Indonesia Fashion Week. Pada kesempatan itu untuk pertama kalinya Ia membuat gebrakan dengan memodifikasi kain tenun Mandar yang terkenal berkualitas wahid ke dalam beragam bentuk pakaian masa kini. Selain kain tenun, Mandar juga populer dengan perahu sandeq-nya. Penasaran apakah itu sandeq? Mari kita baca tulisan rekan Fitria berikut ini!
Pelayaran dengan menggunakan perahu tradisional telah berlangsung selama berabad-abad oleh nenek moyang kita di Nusantara. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya 10 relief perahu kuno di dinding Candi Borobudur. Yang pernah main ke Candi Borobudur mungkin pernah lihat. Nah, relief perahu kuno tersebut kemungkinan besar adalah jenis kapal yang digunakan oleh dinasti Sailendara dan kekaisaran bahari Sriwijaya yang menguasai perairan Nusantara pada abad ke-7 hingga ke-13. Sebagai negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut, Indonesia memang dianugerahi banyak warisan yang berkaitan dengan maritim, salah satunya perahu tradisional.
Bagi yang bersuku Mandar ataupun yang pernah tinggal lama di pulau Sulawesi, perahu tradisional bernama sandeq mungkin sudah tidak asing di telinga. Perahu sandeq merupakan perahu bercadik khas suku Mandar yang terkenal sebagai perahu tradisional tercepat di Austronesia. Suku Mandar sebagai salah satu suku di Sulawesi Barat (dulu termasuk bagian Sulawesi Selatan) memang mempunyai budaya yang berorientasi bahari. Laut menjadi sumber kehidupan mereka. Pelras, seorang etnolog asal Prancis, dalam bukunya “The Bugis” bahkan menuliskan bahwa suku Mandar dikenal sebagai pelaut yang ulung.
Kata sandeq sendiri berarti ‘runcing’, mengacu pada haluan yang tajam dari perahu. Sandeq digunakan untuk berbagai kegiatan maritim, mulai dari memancing hingga transportasi antarpulau. Pada masa kejayaan perdagangan kopra, sandeq mengarungi 700 mil laut dari Mandar ke Bali dan Jawa Timur. Selain di dalam negeri, perahu ini telah terkenal di mancanegara. Perancis, Jepang, Malaysia, Vietnam, dan Filipina adalah beberapa negara yang pernah dijelajahinya.
Selama puluhan tahun, perahu sandeq telah menemani dan memungkinkan bangsa Austronesia dalam menjelajahi lautan. Desain sandeq yang berumur sekitar 3000 tahun pun menjadi warisan pembangunan perahu dan navigasi yang mampu mempengaruhi arsitektur naval Barat, seperti model kapal trimaran dan catamaran modern yang didesain seperti kapal Austronesia.
Berdasarkan buku “Orang Mandar Orang Laut” karya Muhammad Ridwan Alimuddin, nelayan Mandar mulai menggunakan perahu sandeq pada tahun1930-an. Konon, di daerah tersebut, perahu ini pertama kali dikembangkan oleh tukang perahu di Kampung Pambusuang, sebuah kampung yang terletak di pantai Teluk Mandar, sekitar 300 km di sebelah utara Makassar. Pembuatan perahu tersebut terinspirasi oleh model salah satu perahu besar di pelabuhan Makassar kala itu. Sebelum sandeq, perahu yang biasa digunakan adalah jenis pakur yang bentuknya sekilas seperti sandeq. Perahu pakur ini menggunakan layar tanja’, layar berbentuk segiempat yang tidak bisa ditarik ataupun digulung. Karena tidak praktis, layar tersebut kemudian diganti dengan layar segitiga. Perubahan layar tersebut kemudian diikuti dengan perubahan bentuk lambung, tiang layar, dan cadik. Nah, inilah awal mula dari perahu sandeq. Dari perubahan-perubahan tersebut kemudian terciptalah perahu sandeq yang kita kenal sekarang ini.
Menurut ukurannya, perahu sandeq terbagi dua, yaitu sandeq kecil dan besar. Perahu sandeq kecil memiliki panjang 5 m, bermuatan 1-2 orang, dan dapat mengarungi laut sejauh 1-5 km dari garis pantai, sedangkan perahu sandeq besar memiliki panjang 7-11 m, bermuatan 3-5 orang, dan dapat mengarungi laut dengan jarak yang lebih jauh.
Seiring berkembangnya teknologi, jumlah perahu sandeq semakin berkurang. Kehadiran sandeq memang perlahan-lahan telah tergeser oleh kehadiran perahu mesin yang lebih modern yang disebut kappal dan bodi-bodi. Kappal merupakan perahu penangkap ikan terbesar bermotor terbesar yang juga biasa disebut perahu gae karena menggunakan alat penangkap ikan yang disebut gae (pukat cincin), sedangkan bodi-bodi berukuran lebih kecil dari kappal, lebih ramping dan panjang, serta tidak bercadik.
Dalam artikel Ketika Layar Sandeq Tak (Lagi) Berkembang, (Kompas, 28 Februari 2012), diketahui bahwa di Desa Tangnga-Tangnga, hanya 60 dari 510 nelayan yang masih menggunakan sandeq. Itu pun sandeq bermesin. Sedangkan, di Pambusuang, hanya ada 30 unit sandeq dari 769 kapal bermotor yang dipakai oleh sekitar 900 nelayan. Walaupun demikian, sandeq tanpa motor tetap digunakan, terutama dalam balapan sandeq.
Seiring berjalannya waktu, lomba balap sandeq mulai diadakan, salah satunya Sandeq Race. Lomba ini dirancang oleh Horst H. Liebner, seorang peneliti ilmu maritim asal Jerman, pada tahun 1995. Sampai sekarang, lomba ini masih diadakan dan menarik perhatian turis lokal maupun mancanegara. Pada umumnya, setiap desa memiliki kapal yang didesain khusus untuk balap dan menjadi pemenang perlombaan adalah kebanggaan pemilik perahu dan desanya. Selain untuk keperluan melaut, masyarakat di Kampung Pambusuang memang membuat sandeq untuk keperluan lomba. Pada Juli 2012 lalu, tiga perahu sandeq asal Polewali Mandar, bersama 12 awaknya mewakili Asia di festival maritim internasional di Perancis. Bangga nggak, tuh? 😀
Mandar ialah suatu kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya, sebelum terjadi pemekaran wilayah, Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja mewarnai keberagaman di Sulawesi Selatan. Meskipun secara politis Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diberi sekat, secara historis dan kultural Mandar tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi Selatan. Istilah Mandar merupakan ikatan persatuan antara tujuh kerajaan di pesisir (Pitu Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan di gunung (Pitu Ulunna Salu). Secara etnis Pitu Ulunna Salu atau yang biasa dikenal sebagai Kondosapata tergolong ke dalam grup Toraja (Mamasa dan sebagian Mamuju), sedangkan di Pitu Ba’ba’na Binanga sendiri terdapat ragam dialek serta bahasa yang berlainan. Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.
Lontara Pattodioloang Mandar
Berbeda dengan sepupu-sepupunya seperti Bugis-Makassar dan Toraja, informasi seputar kebudayaan Mandar di internet maupun lewat buku-buku amatlah terbatas. Saya sendiri yang berdarah setengah Mandar dan seumur-umur hidup di perantauan mengetahui Mandar hanya dari cerita-cerita singkat ayah saya saja. Menyedihkannya, kosakata Bahasa Inggris dan Spanyol saya jauh lebih kaya daripada pemahaman akan Bahasa Mandar. Yang melekat di kepala saya tentang Mandar ialah jejeran pohon kelapa di kebun keluarga di Polewali, bau peappi, perahu Sandeq, dan ilmu hitam.
Suatu hari di bulan April yang kadang basah kadang cerah, saya menikmati liburan semester dengan pulang ke Makassar dan mengunjungi Museum La Galigo di Fort Rotterdam pasca renovasi. Setelah puas berkeliling, saya dan adik Rafika Ramli memutuskan untuk iseng ke perpustakaan di pojok belakang benteng ini. Perpustakaannya bagus, sayang kurang terawat dan koleksi bukunya pun tidak begitu banyak. Ada meja tua Belanda yang masih kuat serta buku-buku sejarah dan budaya yang tergolong langka di sana. Rak-rak bukunya di tata mengelilingi ruangan. Mata saya yang sedari tadi menelusuri judul-judul buku di rak tua nan berdebu itu seketika membelalak ketika membaca “LONTARA PATTODILOANG DI MANDAR”.
Terus terang, buat saya sebagai seorang pecinta budaya dan pendalam La Galigo, hal-hal yang berbau lontar itu fascinating. Apalagi ini lontar yang berasal dari Mandar, daerah dimana ekspresi budayanya kurang terekspos di panggung nasional. Setelah memutuskan untuk memfoto-kopi naskahnya, saya pun pulang. Salinan naskah tersebut ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Drs. M. T. Azis Syah pada masa almarhum Prof. DR. H. A. Amiruddin masih menjabat sebagai gubernur. Naskah asli lontaraq ini ditemukan pertama kali pada tahun 1982 dalam keadaan menyedihkan karena kumal dan robek-robek sehingga banyak bagiannya yang hilang. Bentuknya bergulung, dan apabila dibentangkan panjangnya bisa sampai 30 meter! Almarhum Drs. Muhammad Salim (penerjemah dua naskah pertama La Galigo di Leiden) merupakan tokoh penting yang memiliki andil dalam menyelamatkan naskah ini. Beliau membantu memperbaiki dan mengopi naskahnya sedemikian rupa sehingga bentuknya yang tadi memanjang dapat menjadi lembaran dan diberi nomer halaman.
Lontaraq ini kemudian dilengkapi bagian-bagiannya yang hilang oleh Bapak Muhammad Salim dengan menggunakan lontaraq-lontaraq sejenis yang diolah dari kepingan lontar yang juga mulai hancur. Wah, tragis sekali ya kondisi harta karun budaya di negara kita. Dengan sabar dan telaten Bapak Muhammad Salim menyusun kembali lontaraq ini sehingga dapat dibaca (meskipun pada beberapa bagian terdapat sobekan-sobekan yang hilang dan sudah tidak dapat ditolong lagi). Usia naskah ini telah berumur lebih dari 200 tahun. Ditulis pada abad ke-18 Masehi, sebagaimana tertera dalam halaman 71 naskah: ri 26 Nopember 1800, ri 15 September 1801 dan seterusnya. Bahan tulisannya berasal dari naskah lontaraq dan tradisi lisan yang berumur jauh lebih tua lagi. Naskah ini berbahasa Mandar Pantai dan Pegunungan kuno dengan campuran Bahasa Bugis dan Makassar. Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum dengan naskah ini ialah ditemukannya berlembar-lembar halaman berisi ilustrasi yang –bagi saya– untuk ukuran zaman itu tergolong rapi, cantik, dan luarbiasa unik! Ilustrasi-ilustrasi ini tidak hanya terletak di pinggiran atau sela-sela naskah, namun menghiasi kertas dengan penuh. Ilustrasi-ilustrasinya berhubungan dengan cerita yang dituliskan di halaman sebelum atau sesudahnya.
Mitos Todipanurung di Mandar
Ketika membaca foto-kopi naskah ini, khususnya pada bagian asal-muasal penghuni Mandar Pesisir dan Kondosapata, saya menemukan banyak hal menarik yang mengingatkan saya akan epos besar La Galigo. Di Passaleng Ma’duaE (Pasal Dua), dikisahkan tentang Tomanurung (lontar ini menggunakan terminologi “Todipanurung”, namun dalam terjemahan istilah yang dipakai Bapak Azis ialah Tomanurung) atau orang yang turun dari langit di daerah hulu Sungai Saddang yang menjadi nenek moyang mereka. Tomanurung ini ada dua orang; To Kombong di Bura yang berjenis kelamin laki-laki dan To Bisse di Tallang yang berjenis kelamin perempuan. Mereka menikah dan kemudian melahirkan seorang putra bernama To Banua Pong (“Orang Kampung Tua”). To Banua Pong bermukim di Rattebulawang atau Rantebulahan lalu menikah dengan sepupu sekalinya (?) dan menurunkan lima orang anak.
Kelima anak To Banua Pong ini antara lain; I Landoq Beluaq sebagai anak perempuan sulung, I Laso Keppang, I Landoq Guttuq, Usuqsabambang, dan I Paqdorang. I Landoq Beluaq secara harfiah berarti “Si Rambut Panjang”. Ia dikisahkan menikah dengan seorang bangsawan dari daerah Bone yang menelusuri sehelai rambutnya yang lepas di sungai ketika mandi. Mirip dengan dongeng Rapunzel si Putri Berambut Panjang dari Jerman, ya. Hanya saja di versi ini I Landoq Beluaq tidak dikurung oleh seorang ibu tiri yang jahat, Ia justru dibebaskan untuk menikah dengan sang pangeran lalu pergi menuju ke selatan, menjadi leluhur bangsa Makassar. Anak kedua, I Laso Keppang, berangkat ke Belawa di Luwu. I Landoq Guttuq anak perempuan lainnya pergi ke Ulu Saddang. Usuqsabambang bermukim di Karonnangan, dan yang terakhir Paqdroang tinggal di Bittuang.
Paqdorang memperisterikan seorang wanita bernama Rattebiang. Dari pasangan ini lahir empat bersaudara: I Tasudidi, Sibannangang yang menjadi leluhur orang Mamasa, anak ketiga tidak diketahui namanya namun menjadi leluhur orang Masuppu, dan anak keempat bernama I Pongkapadang yang tinggal di Gunung Mambuliling. Pongkapadang menikah dengan seorang wanita dari Sanrabone (Gowa) di Buttu Bulu. Dahulu laut hanya sampai di situ, sehingga di situlah perahu Pongkapadang berlabuh. Dalam versi Kondosapata, Pongkapadang mengembara hingga tiba di pesisir pantai Ulu Manda’, Mamuju yg kemudian menjadi wilayah kekuasaannya. Di tepi laut Ia menemukan seorang wanita asal Bugis Makassar. Wanita itu Ia angkat sebagai isteri dan Ia beri nama Torije’ne’ (Bahasa Makassar: to=manusia, ri=dari, je’ne’=air). Torije’ne’ ini kemungkinan besar adalah wanita yang dalam versi Lontara Pattodioloang disebut sebagai I Sanrabone. Dari hasil perkawinannya dengan Torije’ne’, Pongkapadang mendapat tujuh orang anak dan sebelas orang cucu, sehingga timbul ungkapan dalam Bahasa Kondosapata; Dadi Tau Pitu, Tau Sapulo Mesa. Sosok Pongkapadang inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur bangsa-bangsa di Sulawesi Barat, Tengah dan Selatan.
Todipanurung di Mandar dan Tomanurung di Bugis
Kisah di dalam Lontar Pattodioloang Mandar maupun epos besar La Galigo sama-sama berawal dari tradisi lisan yang telah ratusan tahun berkembang sebelum dituliskan. Entah, kisah mana yang terlebih dahulu muncul di tengah masyarakat. Meskipun keduanya tampak berbeda, terdapat kesamaan-kesamaan unsur yang berkembang sesuai dengan karakter kebudayaan masing-masing. Kedua kisah mengenai asal mula manusia di bumi diawali oleh kemunculan manusia-manusia supranatural dari atas langit atau dari bawah bumi (lautan).
Karakter Todipanurung yang merintis kehidupan umat manusia dalam kebudayaan Mandar ialah To Kombong Di Wura dan To Bisse di Tallang. To Kombong di Wura secara harfiah berarti “manusia yang muncul meniti buih” sedangkan To Bisse di Tallang “manusia yang keluar dari bambu”. Dari namanya, kedua karakter ini identik dengan tokoh Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, Tomanurung dan Totompoq dalam La Galigo. Batara Guru diturunkan dari langit melalui sebilah bambu betung, sehingga kelak cucunya dinamai Sawe ri Gading (lahir dari bambu). We Nyiliq Timoq yang dimunculkan dari dalam samudera memiliki julukan To TompoE ri Busa Empong alias orang yang dimunculkan dari buih-buih lautan. Perbedaan antara kedua mitos ini terletak pada jenis kelamin karakternya. Apabila di dalam La Galigo tokoh laki-laki ialah Ia yang menetas dari bambu betung, maka di dalam versi Lontara Pattodioloang Ia justru seorang perempuan. Demikian pula ketika di dalam La Galigo tokoh yang keluar dari samudera dengan meniti buih ialah seorang perempuan, di versi Lontara Pattodioloang Ia justru berjenis kelamin laki-laki. Perlu dicatat, pada sumber naskah sejarah Mandar lainnya seperti Lontaraq Pattappingan karakter To Kombong di Wura ialah seorang laki-laki dan To Bisse di Tallang ialah seorang perempuan. Demikian pula dalam versi silsilah Mandar oleh Andi Syaiful Sinrang.
Sebagian sumber sejarah Mandar, sebagaimana yang disarikan oleh Drs. Anwar Sewang, konon menyebut sosok Pongkapadang yang dianggap sebagai leluhur orang Mandar dan Kondosapata itu bersaudara dengan Sawerigading dan We Tenri Abeng. Sureq Galigo tidak menyebutkan nama Pongkapadang sebagai saudara keduanya sepanjang cerita, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa saudara yang dimaksud di sini bisa berarti putra Batara Lattuq dari perempuan lain selain permaisurinya, We Datu Sengngeng. Bisa jadi Pongkapadang disebut dengan nama lain sesuai karakter penamaan Bugis. Melalui trah “manusia yang menetas dari bambu betung” dan “manusia yang muncul dari busa-busa di lautan” inilah generasi maddara-takku menyemarakkan bumi dengan peradaban dan sistem-sistem nilai.
Hal yang menarik dari mitos Todipanurung ialah; pasca masa-masa chaotic yang dikenal dengan periode sianre bale tauwwe, bermunculan banyak Tomanurung di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada Mata Si LompoE di Bone, Putri Tammalate dan Karaeng Bajo di Gowa, Guru ri Selleng di Enrekang, dan lain sebagainya. Akan tetapi, di daerah Mandar sepanjang sejarahnya hanya ada Tomanurung yang mengikat seluruh etnis di Pitu Ba’ba’na Binanga dan Pitu Ulunna Salu; To Kombong di Wura dan To Bisse di Tallang. Tomanurung ini mampir ke muka bumi hanya untuk memulai kehidupan dan membuka jalan menuju peradaban. Sisanya, keturunan mereka yang dibekali leadership dan kemampuan luar biasa lah yang menjadi pemimpin (tomakaka, maraqdia) di tengah masyarakat. Contohnya seperti Pongkapadang, To Lombeng Susu, Maraqdia Todilaling, Tomepayung, dan lain sebagainya.
Sebenarnya ada sosok Tomanurung lain dalam kebudayaan Mandar, seperti Putri Tonisesse di Tingalor. Akan tetapi, Ia tidak dapat digolongkan ke dalam kategori Tomanurung yang sengaja turun untuk membina umat manusia. Tonisesse di Tingalor merupakan putri seorang dewa yang jatuh terpeleset dari tangga langit ketika tengah berlatih menari untuk upacara kahyangan. Ia terjatuh ke bumi dan turun menuju lautan, namun diselamatkan oleh seekor ikan hiu besar (Bahasa Mandar: Tingalor) dengan cara ditelan. Seorang nelayan di daerah Pamboang berhasil menangkap ikan hiu tersebut dan mendengar ada suara perempuan yang sedang bernyanyi dari dalam perut ikan.
Ketika dibelah, Ia menemukan sang putri yang sedang duduk dalam pakaian kahyangan lengkap. Hingga saat ini bangsawan di Pamboang masih menyimpan bakkar (anting-anting) dan kuku-kuku hias yang berasal dari sang putri sebagai pusaka. Sang putri di bawa kepada raja Pamboang lalu dinikahkan dengan putra mahkota. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra. Sebagai seorang penghuni kahyangan, Tonisesse di Tingalor memiliki pantangan untuk bernyanyi dihadapan manusia biasa. Suatu hari Ia tengah bernyanyi untuk bayinya, sang suami datang dan meminta sang putri bernyanyi pula untuk dirinya. Meskipun telah ditolak, sang suami tetap memaksa. Dengan berat hati, Tonisesse di Tingalor lalu bernyanyi dari dalam sarung yang ujung-ujungnya terikat karena takut akan dijemput pulang ke Boting Langiq. Ternyata benar, setelah Ia mulai bernyanyi untuk suaminya, celah kecil di atap rumah mereka membuka dan tiba-tiba Tonisesse di Tingalor melayang ke angkasa. Dengan penuh tangis Ia terbang kembali ke kahyangan. Gerakan Tonisesse di Tingalor ketika terbang kembali ke kahyangan itulah yang menjadi asal mula Tari Pattuduq Mandar.
Kesamaan budaya antara Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja memang amat menarik untuk dikaji. Tidak hanya dari segi mitos, namun juga dari bahasa, pakaian, motif-motif lokal, serta adat-istiadat. Perbedaan yang ada antara keempat etnis serumpun ini janganlah dijadikan sebagai penghalang untuk saling mengerti, menghargai, dan belajar. Keunikan budaya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dapat menjadi aset besar demi kemajuan Indonesia di masa mendatang. Saya bangga sebagai seorang putra daerah dengan campuran darah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, bahkan Jawa dan Melayu. Karena dengan mengakui, menjaga serta mengkaji semuanya tanpa membeda-bedakan, saya dapat menjadi orang Indonesia sesungguhnya.
Malilu sipakaingaq, raqbaq sipatokkong, tuppang sipakalewa, manus siparappe (lupa sama mengingatkan, runtuh sama membangunkan, tenggelam sama mengapungkan, hanyut sama mendaratkan)!
Pelaut-pelaut Sulawesi Selatan ternyata tidak hanya jago merambah nusantara! Kemampuan lintas-budaya mereka bukan hanya mitos, melainkan sudah teruji sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Baca pengalaman penulis yang menyaksikan langsung jejak para pasompeq ini di tiga negara…
Negara yang dulunya merupakan provinsi ke-27 Republik Indonesia ini tidak familiar sebagai destinasi turisme internasional. Padahal, ada banyak hal menarik lho dari Timor Leste. Teman-teman tidak perlu jauh-jauh pergi ke Brazil untuk mandi sinar matahari di Rio de Janeiro atau menziarahi patung raksasa Yesus. Pantai pasir putih yang indah dan patung Christo Rei di Timor Leste tidak kalah cantiknya, bahkan cuma dua jam saja via pesawat dari wilayah NKRI. Eksotisme budaya dan Bahasa Tetun yang banyak dipengaruhi oleh unsur Portugis pun selintas mengingatkan kita akan Pidgin atau Bahasa Inggris campuran yang banyak digunakan penduduk keturunan Afrika (mullato) di Kepulauan Karibia dan Jamaica. Bagi penulis yang lahir dan menghabiskan enam tahun pertama dalam kehidupannya di Timor Leste, yang paling menarik ialah keberadaan daerah bernama Pante Macassar di pesisir sebelah barat negara ini.
Pante Macassar terletak di distrik Ambeno. Lokasinya tidak begitu jauh dari Dili, ibukota Timor Leste. Daerahnya tergolong subur untuk pertanian dibanding wilayah lain di Timor-Timur yang kering. Namanya pasti mengundang tanda tanya; kok bisa sih sebuah pulau nan jauh di timur nusantara mencatut nama daerah di Sulawesi Selatan? Rupanya pendatang dari Makassar sudah akrab dengan pesisir Timor sebagai jalur transit mereka menuju Marege. Marege adalah julukan orang Makassar untuk Australia Utara yang merupakan pusat perburuan teripang. Laut Timor menjadi gerbang mereka menuju perairan Marege. Para pemburu teripang dari Makassar ini kemudian membangun pemukiman-pemukiman sementara di pesisir pulau, menunggu angin dan musim yang cocok untuk menangkap hewan laut itu.
Kehadiran mereka sudah tercatat sejak zaman Portugis berkuasa atas Timor –Makassar memiliki hubungan yang jauh lebih akrab dengan pedagang Portugis ketimbang terhadap orang-orang Belanda– dan terus berlanjut hingga proses integrasi Timor-Timur ke dalam Republik Indonesia (1976-1999). Di periode kedua, kebanyakan para pendatang dari Sulawesi Selatan (suku Makassar, Bugis, dan Mandar) bekerja sebagai pegawai negri maupun pedagang.
Para pendatang ini sejak abad ke-17 telah berasimilasi dengan penduduk lokal. Beberapa kata dalam Bahasa Tetun dapat dijadikan bukti linguistik akan simbiosis para pasompeq (perantau) Sulawesi Selatan dengan masyarakat lokal di Bumi Lorosae. Ambil contoh, lipaq dalam Bahasa Tetun yang berarti sarung konon diambil dari Bahasa Bugis. Pisang Raja yang manis rasanya disebut dengan nama Pisang Mandar, bisa jadi karena dulu komoditas ini banyak diperdagangkan oleh para pelaut Mandar. Tidak hanya itu, secara kultural orang Timor dan orang Makassar pun terikat. Sebuah cerita rakyat lokal menyebutkan bahwa Pulau Timor muncul dari seekor buaya dan manusia pertama yang meninggalinya ialah seorang pemuda dari Makassar.
Alkisah, zaman dahulu Makassar mengalami kekeringan yang luarbiasa selama bertahun-tahun. Bencana alam ini diikuti pula oleh bencana sosial, dimana norma-norma adat mulai dilanggar oleh masyarakatnya sendiri. Suatu ketika, seorang pemuda di tengah perjalanannya mengambil air ke sungai yang nyaris kering melihat seekor buaya kecil tergelepar. Dengan penuh rasa kasihan, pemuda Makassar itu pelan-pelan mengangkat buaya malang tersebut menuju sungai.
Sebagai balas jasa atas kebaikan hati pemuda itu, sang buaya berjanji untuk mengantarnya ke sebuah tempat baru yang lebih baik untuk keturunannya. Sang pemuda Makassar setuju, Ia lalu naik ke atas buaya dan diantar menuju laut.
Di tengah-tengah lautan, sang buaya mendadak merubah dirinya sendiri menjadi sebuah pulau besar. Seorang gadis muncul dari dalam pulau tersebut, dan atas petunjuk gaib sang pemuda Makassar lalu menikahinya. Tempat si pemuda tadi pertama kali mendarat disebut dengan nama Pante Macassar. Pemuda tersebut dipercaya sebagai leluhur orang Timor. Hingga hari ini, masyarakat Timor juga masih menghormati buaya dan memanggil binatang tersebut dengan sebutan “abo feto” alias nenek. Pengultusan terhadap buaya ini mungkin memiliki hubungan dengan kebudayaan serupa di Sulawesi Selatan. Epos La Galigo sebagai tradisi lisan dan tulis tertua masyarakat Bugis mengisahkan, apabila para penghuni dunia bawah (Buriq Liu) hendak menampakkan diri ke dunia tengah (Alelino) mereka akan mengenakan larukkodo-nya (topeng gaib untuk penyamaran) dan mengambil bentuk sebagai buaya. Buaya disebut sebagai Punnae Wae alias pemilik air yang berkuasa atas sungai, ombak dan gelombang di lautan. Buaya dihormati sebagai penjaga alam dan penyeimbang kehidupan antara lingkungan dan manusia.
Sekarang, Pante Macassar tidak ramai dihuni orang. Perantau dari Sulawesi Selatan pun mungkin sudah tak ada lagi. Penggunaan listrik di wilayah tersebut dibatasi hanya 5 jam setiap malamnya, plus tidak ada siaran televisi maupun bank. Meski demikian, jejak para pasompeq Sulawesi Selatan tetap abadi bersama namanya. Mungkin suatu hari nanti Sulawesi Selatan dan Timor Leste dapat menciptakan kerjasama “twin beach” antara Losari dan Pante Macassar seperti proyek twin city yang sedang marak. Sejarah dan budaya terbukti dapat melintasi batas-batas geografi politik yang diciptakan oleh manusia. Jika dulu nenek moyang kita menorehkan harmonisasi lewat budaya, kenapa kita tidak?