Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Mencari Cina untuk We Cudai – Part I

 Sobat Lontara yang pernah membaca cuplikan epos besar La Galigo pasti kenal dengan tokoh yang satu ini. I We Cudai alias Daeng Risompa, putri bungsu dari raja Ale Cina adalah seorang wanita yang amat cantik namun tinggi hati. Ulahnya menolak lamaran Pangeran Sawerigading dari Ale Luwu menimbulkan banyak sekali masalah, bahkan Ia tega membiarkan kerajaan Cina terbakar oleh api. Dimanakah sebenarnya letak negri Cina tempat Putri We Cudail? Apakah Cina yang dimaksud merupakan nama sebuah daerah di Sulawesi Selatan atau  justru –sesuai kepercayaan awam– merujuk kepada negri Tiongkok di Asia Daratan?

Gambaran Robert Wilson terhadap Putri We Cudai pada pementasan teater I La Galigo. Sumber: http://sriqadariatin.wordpress.com/

Para penulis dan peneliti sejarah lokal mayoritas sepakat untuk ‘meletakkan’ Ale Cina pada sebuah wilayah di sekitar semenanjung Sulawesi Selatan. Menurut tradisi setempat, kerajaan Ale Cina yang terbagi dua itu berada di sebelah timur Teluk Bone dan di sebelah barat lembah Cenrana. Istana La Tanete tempat Putri We Cudai bersemayam terletak di situs bukit Allangkanangnge ri La Tanete (Pammana, Wajo Selatan). Dataran rendah yang subur ini diyakini sebagai tanah air Suku Bugis (Tana Ugiq), yang namanya diambil dari Opunna Cina (ayah We Cudai), La Sattumpugiq. Penemuan-penemuan benda-benda bersejarah mengindikasikan bahwa wilayah tersebut mulai dihuni dan berperadaban sekitar tahun 1200-1400 Masehi. Setelah itu, tingkat kepentingan wilayah ini mulai menurun dan akhirnya ditinggalkan sama sekali pada abad ke-17.

Peristiwa-peristiwa dalam kisah La Galigo, oleh Christian Pelras, dianggap terjadi pada periode peralihan antara “zaman perunggu-besi” (bronze-iron age), waktu penduduk mungkin masih berpuak-puak, hingga zaman sejarah yang kita kenal berdasarkan naskah lontaraq attorioloang. Rentang waktu yang entah kapan dimulainya tersebut berakhir ketika Sulawesi Selatan memasuki zaman kerajaan. Pelras mengosongkan sama sekali periode antara prasejarah hingga abad ke-15 dan meyakini bahwa sumber-sumber cerita lisan maupun tulisan La Galigo terjadi pada kurun waktu tersebut. Umur temuan arkeologis di Allangkanangnge ri La Tanete dianggap sesuai dengan kronologis sejarah, karena tepat setelah tahun 1400-an kerajaan-kerajaan yang disebut di dalam La Galigo (ex: Luwu, Cina) kehilangan pengaruh seiring bermunculannya kerajaan-kerajaan Bugis yang lebih muda (Bone, Soppeng, Wajo). Bukti berupa nama, penyebutannya di dalam lontaraq, serta artefak-artefak kuno dianggap cukup membuat Pammana sebagai lokasi kerajaan Ale Cina.

Menariknya, ada sebagian penggemar konspirasi yang ‘meletakkan’ negri Ale Cina di Asia Daratan. Tak puas dengan teori “Cina = Pammana”, mereka menghubung-hubungkannya dengan peninggalan-peninggalan kebudayaan logam (nekara, kapak corong) dan jalur perdagangan laut. Fakta bahwa Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang menjadi pusat penemuan keramik Cina kuno terbesar di Indonesia tentunya menarik; hubungan seperti apakah yang terjalin antara daerah ini dengan negri Sang Putra Langit nun jauh di sana? Hmmm… membuat penasaran ya? Katanya, kebudayaan logam bangsa Indonesia dibawa oleh orang-orang Austronesia dari Cina Bawah (Yunnan) kemudian menyebar ke kepulauan nusantara. Adakah kaitannya dengan We Cudai dan asal-usul penghuni Sulawesi Selatan?

Team kami menghimpun beberapa alasan mengapa “Cina”-nya Putri We Cudai seharusnya terletak di Asia Daratan, bukan di semenanjung Sulawesi Selatan. Tidak berarti kemudian kami melawan teori Cina = Pammana lho, kami hanya sekedar bertujuan untuk memberikan balancing opinion. Yuk, simak satu per satu!

  • Riwayat Kelantan tentang Suwira Gading dan Negri Annam

Riwayat Kelantan memegang kunci penting sebagai patokan kita dalam menentukan lokasi geografis Ale Cina serta prakiraan zaman berlangsungnya “Abad La Galigo”. Data yang kami dapat ini bersumber dari tulisan Abdullah Nakula, seorang sejarawan Melayu yang membedah riwayat Kelantan. Riwayat Kelantan mengisahkan seorang panglima bernama Suwira Gading yang bersama dengan Raja Dewa Muda Anak Tok Raja Jawa (Raja Sanjaya) berlayar menuju Giao Chi (ibukota Annam, sekarang menjadi kota Hanoi) untuk memerangi orang-orang Cina. Bangsa Yuwana mendiami Annam, negara yang kini bernama Vietnam. Selama berabad-abad Annam menjadi bagian dari provinsi sebelah selatan kekaisaran Tang dan mengalami Cinaisasi dari segi kebudayaan. Bangsa Yuwana sengaja memanggil bantuan Suwira Gading dan Sanjaya untuk membebaskan mereka dari bayang-bayang Kekaisaran Tang.

Koleksi Keramik Cina Kuno yang tersimpan di Museum Balla Lompoa, Gowa

Sekitar tahun 760 dan 762 Masehi, dua kali Ngo Sri Voung Ngan duta dari Annam datang menghadap ke Medang Bhumi (Kelantan). Dihadapan Sri Vijayandraraja Ia memohon bantuan tentara untuk membebaskan negri mereka. Menurut Abdullah Nakula negri Annam inilah yang kemudian dilambangkan dengan Putri We Cudai. Selama lima tahun diatur siasat untuk membebaskan Putri We Cudai dari penjajahan Cina, hingga kemudian pada tahun 767 berangkatlah pasukan yang dipimpin oleh Sanjaya dari Jawa, Sang Satiaki Satirta dan Suwira Gading. Beberapa bulan sebelum keberangkatan, sejumlah pasukan dari Laos dan berbagai wilayah di Kepulauan Melayu lainnya turut pula menggabungkan diri dalam barisan.

Kemudian dikisahkan pula bagaimana 3.000 orang tentara menyamar sebagai pedagang dan berlayar menggunakan perahu perdagangan ke kota Giao Chi. Pada malam hari mereka keluar dari tempat persembunyian dan bersama dengan bangsa Yuwana menyerang tentara Cina. Prajurit lainnya menyusul dengan berlayar di atas 5.700 kapal, mereka diibaratkan berlayar dalam formasi yang bentuknya bagaikan deretan pulau yang bergerak menuju ke Timur. Rombongan kapal tersebut menyeberangi Teluk Serendah Sekebun Bunga (Teluk Siam) terus menuju ke kota Giao Chi. Disebutkan pula kehadiran prajurit bergajah dan berkuda yang muncul dari arah pegunungan menuju ke ibukota. Pertempuran berlangsung dengan dahsyat, hingga pada akhirnya ibukota Gioa Chi jatuh setelah berperang selama enam bulan.

Riwayat Kelantan merupakan salah satu tradisi yang menyebutkan nama tokoh Sawerigading dan lokasi Ale Cina dengan pasti. Berita penyerangan ini pun dimuat di dalam beberapa kronik penjelajah, seperti yang dicatat oleh Abu Zaid Hasan pada tahun 774 dan 787 Masehi. Jika pendapat di atas benar, maka Ale Cina pastilah berada di negri Annam, dan pelayaran Sawerigading terjadi sekitar abad ke-8 ketika Annam masih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Tang.

Periode sejarah tersebut bersamaan dengan kebangkitan kerajaan Sriwijaya (Senrijawa dalam La Galigo) di Sumatera Selatan. Prasasti Ligor di Semenanjung Melayu menjadi bukti bahwa Sriwijaya berkuasa atas wilayah itu hingga tahun 775 Masehi. Ligor dijadikan pangkalan untuk menyerang Kamboja dan Campa. Kekuasaan Sriwijaya di Semenanjung Melayu kelak dipatahkan oleh tentara Mataram Kuno dari Bhumi Jawa, yang diisyaratkan dengan kehadiran Raja Sanjaya oleh riwayat Kelantan. Penaklukkan Melayu dan Campa oleh Raja Sanjaya dengan bantuan Suwira Gading diabadikan pula dalam Carita Parahyangan, naskah Sunda Kuno dari abad ke-16.

  • Rute Pelayaran Sawerigading ke Negri Cina

Mari sama-sama kita perhatikan rute pelayaran Sawerigading ke Ale Cina! Sumber rekonstruksi rute ini diambil dari buku Cinta, Laut, dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo karya Prof. Nurhayati Rahman.

Rekonstruksi Perjalanan Sawerigading ke Negri Cina. Gambar oleh Maria Yohana Kristyadewi

Sawerigading yang bergelar Opunna Wareq sudah terbiasa berlayar, menjelajahi berbagai macam negri dan pulau di nusantara, bahkan hingga ke Majeng (negri kematian). Sawerigading berangkat dari Ale Luwuq dengan perahu raksasa Welenrenge beserta banyak perahu pengiring lainnya. Kurang lebih lima belas malam setelah meninggalkan Ale Luwuq, rombongan Sawerigading bertemu dengan perompak Banynyaq Paguling dari Maccapaiq (Majapahit?). Tujuh hari kemudian rombongan mereka bertemu dengan La Tupu Soloq To Apunge, sembilan malam kemudian dengan La Tuppu Gellang (berperang selama 3 malam), tiga hari kemudian bertemu La Togeq Tana, sembilan malam kemudian bertemu La Tenripula, sembilan malam kemudian bertemu La Tenrinyiwiq To Malaka, dan puluhan malam kemudian bertemu dengan Settia Bonga Lompeng Ri Jawa Wolio (Buton).

Setelah berhasil mengalahkan seluruh musuhnya, tujuh malam kemudian Sawerigading dan rombongannya mendarat di negri Wewang Nriwuq, yang lokasinya berada di Teluk Mandar/Selat Makassar. Wewang Nriwuq merupakan salah satu dari trio kerajaan Manurung di muka bumi, dengan Tejjoq Risompa sebagai pemegang kedatuannya. Secara geografis kerajaan ini berada di sebuah teluk besar sebelah barat Ale Luwu, sebagaimana Tompoq Tikkaq berkuasa atas sebelah timurnya. Tejjoq Risompa yang tiada lain ialah paman Sawerigading menyambut kemenakannya tersebut dengan senang hati. Sawerigading kemudian melanjutkan pelayaran hingga Ia bertemu dengan I La Pewajoq yang baik hati, sang penguasa Pao (Davao, Filipina Selatan).

Letak Aleluwu dan Alecina Menurut Teori Pammana

Berdasarkan deskripsi I La Pewajoq, Ale Cina ternyata masih nun jauh di sana letaknya! Kerajaan tersebut diapit oleh negri Sabbang Mparu dan Baebunta. Sawerigading masih harus berlayar berpuluh malam lagi hingga bertemu samudera, berhadapan dengan “perempatan” yang terbentuk oleh belahan arus sungai di laut, hingga Ia menemukan sungai yang banyak ditumbuhi oleh pohon asana. Itulah Ale Cina.

Perjalanan ke Ale Cina memakan waktu yang lama karena luarbiasa jauh jaraknya. Dapat dibayangkan, jika kita berpegang teguh dengan teori yang mengatakan bahwa Cina terletak di Pammana, Kab. Wajo sekarang ini, maka pelayaran Sawerigading di atas hanya perjalanan fiktif belaka mengingat jarak pelayaran dari Luwu ke Pammana tidaklah sejauh gambaran tersebut. Meskipun cerita La Galigo memiliki beragam versi, namun perjalanan panjang  dari Ale Luwu menuju ke Ale Cina sudah mengendap dalam imajinasi masyarakat Bugis klasik. Episode ini merupakan peristiwa sentral karena menggambarkan kesengsaraan Sawerigading menggapai cintanya yang jauh di ujung samudera.

Tahta Kerajaan Annam. Sumber: http://www.royalark.net/Vietnam/annam.htm

Ada beberapa hal menarik yang terungkap melalui pelayaran Sawerigading. Pertama; dari Luwu Ia berlayar ke selatan, lalu merubah haluannya (setelah melalui Selat Selayar) ke utara hingga akhirnya mendarat di Wewang Nriwuq (Teluk Mandar). Sebelum sampai di Barat (baca: Wewang Nriwuq) Ia sudah mengalahkan tujuh penguasa laut dari berbagai daerah yang berlayar di Teluk Bone (di antaranya bajak laut Jawa, Malaka, dan Buton). Dari sana Ia mengarungi Selat Makassar menuju utara, sampai bertemu dengan kapal penguasa Davao di Laut Sulawesi. Perjumpaan dengan penguasa Davao yang letaknya di pulau Mindanao ini mengindikasikan bahwa Sawerigading melanjutkan pelayaranannya ke arah utara.

Kedua; setelah mendapatkan arahan mengenai lokasi Ale Cina, Sawerigading terus berlayar sampai menemukan daerah berbukit-bukit namun subur serta di dalamnya mengalir sungai-sungai dengan banyak pohon asana. Asana (Pterocarpus indicus) alias kayu narra merupakan sejenis pohon kayu yang endemik di kawasan hutan hujan tropis. Tumbuhan ini dapat ditemukan mulai dari Burma selatan, Kamboja, kepulauan Asia Tenggara, Pasifik barat, bahkan hingga Cina selatan. Daerah Annam (Indocina) sampai hari ini pun masih kaya dengan kayu yang kuat dan awet sebagai bahan furnitur ini. Kayu narra banyak digunakan sebagai bahan untuk membuat alat musik dan konstruksi bangunan. Kerajaan Cina yang terkenal dengan ukiran-ukiran serta kemampuan mereka di bidang arsitektur menjadikan provinsi Annam sebagai gudang alam yang berlimpah kayu narra.

Ketiga, perihal kondisi alam Annam. Berdasarkan data terbaru (2011) dari Index Mundi terkait geografi Vietnam, 40% wilayah negara ini terdiri atas perbukitan, 42% terdiri atas hutan tropis, dan sisanya adalah dataran rendah. Bagian utara negri ini (yang berbatasan dengan Cina) terdiri dari dataran tinggi dan delta Sungai Merah (Song Hong). Sungai Mekong yang terkenal itupun juga mengaliri bumi Vietnam, dari utara ke selatan. Ale Cina yang dialiri oleh tujuh sungai dan daratannya terdiri atas negri berbukit-bukit indah sempurna sekali untuk diletakkan di Annam. Lebar Sungai Merah di Vietnam amat sangat memungkinkan digunakan sebagai tempat pelabuhan internasional yang ramai dikunjungi oleh berbagai macam pedagang dari mancanegara.

Logika arah pelayaran Sawerigading menuju barat-utara serta informasi mengenai spesies tumbuhan dan bentang alam Annam ternyata 90% cocok dengan deskripsi tentang Ale Cina di dalam naskah La Galigo! 

Selanjutnya… Mencari Cina untuk We Cudai – Part II

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Passompeq Sulawesi Selatan di Timor Leste, Amerika Serikat, dan Singapura (Part 2)

Seberapa besar kesempatan seorang pemuda dari Makassar yang ikut Pertukaran Pelajar ke luar negri untuk bertemu dengan seorang asing pakar navigasi pelayaran ala suku Bugis?

Ketika terpilih dari sekian ribu pelajar SMA se-Indonesia untuk mendapat beasiswa ke Amerika Serikat selama setahun, bayangan saya akan negara adidaya itu adalah Patung Liberty, Presiden Bush, dollar, dan Hollywood. Saya tidak pernah membayangkan akan ditempatkan di sebuah kota kecil “terangker di Amerika” bernama Athens yang lokasinya berada di pelosok tenggara negara bagian Ohio. Saya tidak pernah membayangkan akan bertemu banyak sekali orang dan keluarga Indonesia yang berdomisili di sekitar Ohio University. Saya juga bahkan tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan sesosok pria bule setengah baya berkebangsaan Amerika yang fasih berbicara dalam Bahasa Bugis.

Bersama dengan sesama exchange students di Malam Kebudayaan

Adalah Bapak Gene Amarell, dosen di bagian Southeast Asian Studies di Ohio University, pria yang saya maksud fasih berbahasa Bugis tadi. Selintas tidak ada yang aneh dari bapak Gene. Beliau tergolong sehat untuk orang seusianya. Saya sering melihat beliau bersepeda dari rumah ke kampus karena kami tinggal di bukit yang sama. Pertama kali bertemu dengan beliau ialah ketika saya menemani host family saya berbelanja di toko bahan makanan organik. Orang tua host yang ternyata sudah pernah memperkenalkan diri saya sebagai seorang bocah pertukaran pelajar dari Makassar (sebelum tiba di Athens) dengan semangat mengajak saya mendekati Pak Gene. Seutas senyum terekah dari wajah cerah Pak Gene yang dengan ramah menyapa, “Aga kareba?”.

Pak Gene

Terus terang saya shock; disapa dengan aga kareba oleh seorang pria tua (bule pula) di negri Paman Sam? Wow, what a surprise! Pikir saya saat itu. Sekaligus tersanjung sebenarnya, betapa tidak, bahasa nenek moyang saya bisa menyeruak melintasi batas wilayah negara dan diucapkan oleh orang Amerika ini. Pak Gene, demikian sapaan saya kepada beliau, ternyata pernah tinggal lama di Sulawesi Selatan, tepatnya di Pulau Balobaloang. Beliau mengadakan riset mengenai traditional knowledge masyarakat lokal terkait pelayaran sederhana mereka mengarungi samudera. Bugis Navigation merupakan karya besar beliau di bidang antropologi dan bahari yang memaparkan data-data penelitian secara seksama.

Selain Pak Gene, ada satu lagi tokoh yang membuat saya terkagum-kagum dengan ke-Sulawesi Selatan-annya. Nama beliau ialah Syamsi Ali (jika ditulis dalam versi Bahasa Inggris akan menjadi Shamsi Ali), Imam besar Masjid Al-Hikmah, New York. Terlahir dengan nama Utteng Ali, Ia merupakan putra asli Bulukumba yang sudah sejak tahun 1996 menetap dan menjadi pembina kaum muslimin Indonesia di Amerika Serikat. Pribadi Imam Syamsi Ali yang terbuka, ramah dan progresif ini membuatnya dipercaya untuk memangku jabatan Imam besar di masjid terbesar New York dan diamanahi sebagai Director of The Jamaica Muslim Center. Ia juga dipuji karena langkahnya membina interfaith dialogue dengan komunitas Kristen dan Rabbi lokal.

Beliau yang fasih berbicara dalam Bahasa Bugis, Indonesia, Arab, Urdu dan Inggris ini membuat gebrakan pasca peristiwa 9/11 dengan membuka kelas-kelas pengajaran Islam untuk warga Amerika Serikat yang skeptis terhadap agama Islam. Suatu kehormatan yang besar dianugerahkan kepada beliau ketika Presiden George W. Bush mengundang ustad ini mewakili kaum muslim di Amerika melakukan safari doa di New York dan bahkan bersama-sama meninjau reruntuhan WTC. Saat ini Imam Syamsi Ali membawahi sekitar 800.000 jamaah kaum muslimin, dimana 2.000 di antaranya berasal dari Indonesia. Pada tahun 2006 Imam Syamsi Ali mendapatkan penghargaan dari New York Magazine sebagai salah satu dari tujuh tokoh rohaniawan paling berpengaruh di New York.

Imam Syamsi Ali

All People Initiatives, sebuah organisasi Nasrani yang bergerak di bidang pengumpulan informasi mengenai imigran-imigran di wilayah New York pernah mengeluarkan selebaran berisi data-data mengenai pasompeq (perantau) Sulawesi Selatan di Amerika. Sejak awal tahun 1990-an, banyak perantau dari Sulawesi Selatan yang hijrah ke sana. Tekanan politik serta kekangan kebebasan di negara asal yang membuat mereka ingin mencari penghidupan di benua Amerika. Kebanyakan dari pendatang Bugis ini bermukim di area Elmhurst, Corona, dan Woodside di sekitar Queens. Tahun 2007 lalu, diperkirakan ada sekitar 70 keluarga Bugis di New York.

Ada teori unik yang menyebutkan kehadiran budaya dan orang Bugis di Amerika ternyata sudah berlangsung jauh sebelum ekspedisi Cheng Ho atau klaim Colombus. Di dalam buku “Ayam Jantan Tanah Daeng” disebutkan bahwa Museum Bahari Jakarta merekam bukti perahu pinisi adalah penjelajah dunia yang cikal-bakalnya sudah ada pada abad ke-7. Sebuah bangkai pinisi ditemukan di pesisir Acapulco, Mexico, dimana kayunya menyerupai kayu yang tumbuh di Teluk Bone. Masih di dalam buku yang sama, dikisahkan bahwa Andi Mappanyukki (Raja Bone) memaparkan bahwa nama Amerika berasal dari para pelaut Bugis yang tengah berteriak memohon angin bertiup saat mereka terombang-ambing di tengah lautan. Setelah berulang kali meneriakkan “ammirikko anging!” barulah angin besar datang dan mendamparkan mereka di daratan Amerika. Inilah yang kemudian dicatat oleh pelaut Barat yang kebetulan lewat sebagai nama benua baru tersebut.

Pikiran kita yang sejak kecil dijejali oleh teori bahwa Amerika berasal dari nama seorang wartawan Italia (Amerigo Vespucci) pasti akan langsung menolak teori yang tak punya dasar ilmiah itu. Namun bayangkan, jika ratusan tahun lalu para pasompeq Bugis sudah pernah berlayar hingga Madagaskar, Australia, dan kepulauan Pasifik, kenapa tidak mungkin bagi mereka untuk berlayar sampai benua Amerika? Ekspedisi Phinisi Nusantara dari Tanah Beru (Bulukumba) ke Vancouver, Kanada pada tahun 1986 membuktikan bahwa teknologi kapal kayu ala tradisi lokal pun berjaya melawan keganasan samudera raya.

Penulis di acara Indonesian Night 2008, Ohio University

Ketangguhan, keinginan yang keras, serta harapan untuk mengejar kemuliaan diwariskan oleh Sawerigading kepada putra-putri Sulawesi Selatan. Jika dulu Batara Lattuq berkeliling nusantara dan Sawerigading berlayar menuju Cina, maka di abad ke-21 ini migrasi Bugis ke Amerika lah yang semakin lama semakin meningkat. Entah dengan alasan untuk menuntut ilmu, menyiarkan agama, mencari peruntungan ekonomi, menghindari rasa malu atau lainnya. Para pasompeq dari Sulawesi Selatan ini bermukim di “New World” untuk memulai kehidupan baru sambil terus mengarahkan mata ke kampung halaman dengan penuh kerinduan.

 

Referensi:
http://www.masjidalhikmahnewyork.org/index.php?option=com_content&view=article&id=79&Itemid=90&lang=in
http://www.shamsiali.com/
http://www.bcnychurchplanting.org/uploaded_files/Bugis%20Profile.pdf

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Passompeq Sulawesi Selatan di Timor Leste, Amerika Serikat, dan Singapura (Part 1)

Pelaut-pelaut Sulawesi Selatan ternyata tidak hanya jago merambah nusantara! Kemampuan lintas-budaya mereka bukan hanya mitos, melainkan sudah teruji sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Baca pengalaman penulis yang menyaksikan langsung jejak para pasompeq ini di tiga negara…

Patung Bunda Maria (Nossa Senhora de Fatima) di Pante Macassar. Sumber: Wikipedia

Negara yang dulunya merupakan provinsi ke-27 Republik Indonesia ini tidak familiar sebagai destinasi turisme internasional. Padahal, ada banyak hal menarik lho dari Timor Leste. Teman-teman tidak perlu jauh-jauh pergi ke Brazil untuk mandi sinar matahari di Rio de Janeiro atau menziarahi patung raksasa Yesus. Pantai pasir putih yang indah dan patung Christo Rei di Timor Leste tidak kalah cantiknya, bahkan cuma dua jam saja via pesawat dari wilayah NKRI. Eksotisme budaya dan Bahasa Tetun yang banyak dipengaruhi oleh unsur Portugis pun selintas mengingatkan kita akan Pidgin atau Bahasa Inggris campuran yang banyak digunakan penduduk keturunan Afrika (mullato) di Kepulauan Karibia dan Jamaica. Bagi penulis yang lahir dan menghabiskan enam tahun pertama dalam kehidupannya di Timor Leste, yang paling menarik ialah keberadaan daerah bernama Pante Macassar di pesisir sebelah barat negara ini.

Saudara-saudara penulis di depan kantor gubernur Dili, Timor-Timur (1995)

Pante Macassar terletak di distrik Ambeno. Lokasinya tidak begitu jauh dari Dili, ibukota Timor Leste. Daerahnya tergolong subur untuk pertanian dibanding wilayah lain di Timor-Timur yang kering. Namanya pasti mengundang tanda tanya; kok bisa sih sebuah pulau nan jauh di timur nusantara mencatut nama daerah di Sulawesi Selatan? Rupanya pendatang dari Makassar sudah akrab dengan pesisir Timor sebagai jalur transit mereka menuju Marege. Marege adalah julukan orang Makassar untuk Australia Utara yang merupakan pusat perburuan teripang. Laut Timor menjadi gerbang mereka menuju perairan Marege. Para pemburu teripang dari Makassar ini kemudian membangun pemukiman-pemukiman sementara di pesisir pulau, menunggu angin dan musim yang cocok untuk menangkap hewan laut itu.

Kehadiran mereka sudah tercatat sejak zaman Portugis berkuasa atas Timor –Makassar memiliki hubungan yang jauh lebih akrab dengan pedagang Portugis ketimbang terhadap orang-orang Belanda– dan terus berlanjut hingga proses integrasi Timor-Timur ke dalam Republik Indonesia (1976-1999). Di periode kedua, kebanyakan para pendatang dari Sulawesi Selatan (suku Makassar, Bugis, dan Mandar) bekerja sebagai pegawai negri maupun pedagang.

Para pendatang ini sejak abad ke-17 telah berasimilasi dengan penduduk lokal. Beberapa kata dalam Bahasa Tetun dapat dijadikan bukti linguistik akan simbiosis para pasompeq (perantau) Sulawesi Selatan dengan masyarakat lokal di Bumi Lorosae. Ambil contoh, lipaq dalam Bahasa Tetun yang berarti sarung konon diambil dari Bahasa Bugis. Pisang Raja yang manis rasanya disebut dengan nama Pisang Mandar, bisa jadi karena dulu komoditas ini banyak diperdagangkan oleh para pelaut Mandar. Tidak hanya itu, secara kultural orang Timor dan orang Makassar pun terikat. Sebuah cerita rakyat lokal menyebutkan bahwa Pulau Timor muncul dari seekor buaya dan manusia pertama yang meninggalinya ialah seorang pemuda dari Makassar.

Alkisah, zaman dahulu Makassar mengalami kekeringan yang luarbiasa selama bertahun-tahun. Bencana alam ini diikuti pula oleh bencana sosial, dimana norma-norma adat mulai dilanggar oleh masyarakatnya sendiri. Suatu ketika, seorang pemuda di tengah perjalanannya mengambil air ke sungai yang nyaris kering melihat seekor buaya kecil tergelepar. Dengan penuh rasa kasihan, pemuda Makassar itu pelan-pelan mengangkat buaya malang tersebut menuju sungai.

Sebagai balas jasa atas kebaikan hati pemuda itu, sang buaya berjanji untuk mengantarnya ke sebuah tempat baru yang lebih baik untuk keturunannya. Sang pemuda Makassar setuju, Ia lalu naik ke atas buaya dan diantar menuju laut.

Di tengah-tengah lautan, sang buaya mendadak merubah dirinya sendiri menjadi sebuah pulau besar. Seorang gadis muncul dari dalam pulau tersebut, dan atas petunjuk gaib sang pemuda Makassar lalu menikahinya. Tempat si pemuda tadi pertama kali mendarat disebut dengan nama Pante Macassar. Pemuda tersebut dipercaya sebagai leluhur orang Timor. Hingga hari ini, masyarakat Timor juga masih menghormati buaya dan memanggil binatang tersebut dengan sebutan “abo feto” alias nenek. Pengultusan terhadap buaya ini mungkin memiliki hubungan dengan kebudayaan serupa di Sulawesi Selatan. Epos La Galigo sebagai tradisi lisan dan tulis tertua masyarakat Bugis mengisahkan, apabila para penghuni dunia bawah (Buriq Liu) hendak menampakkan diri ke dunia tengah (Alelino) mereka akan mengenakan larukkodo-nya (topeng gaib untuk penyamaran) dan mengambil bentuk sebagai buaya. Buaya disebut sebagai Punnae Wae alias pemilik air yang berkuasa atas sungai, ombak dan gelombang di lautan. Buaya dihormati sebagai penjaga alam dan penyeimbang kehidupan antara lingkungan dan manusia.

Peta Pante Macassar. Sumber: Wikipedia

Sekarang, Pante Macassar tidak ramai dihuni orang. Perantau dari Sulawesi Selatan pun mungkin sudah tak ada lagi. Penggunaan listrik di wilayah tersebut dibatasi hanya 5 jam setiap malamnya, plus tidak ada siaran televisi maupun bank. Meski demikian, jejak para pasompeq Sulawesi Selatan tetap abadi bersama namanya. Mungkin suatu hari nanti Sulawesi Selatan dan Timor Leste dapat menciptakan kerjasama “twin beach” antara Losari dan Pante Macassar seperti proyek twin city yang sedang marak. Sejarah dan budaya terbukti dapat melintasi batas-batas geografi politik yang diciptakan oleh manusia. Jika dulu nenek moyang kita menorehkan harmonisasi lewat budaya, kenapa kita tidak?