Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Perbandingan Mitos Todipanurung di Mandar dan Kisah Tomanurung Batara Guru dalam La Galigo

Mandar ialah suatu kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya, sebelum terjadi pemekaran wilayah, Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja mewarnai keberagaman di Sulawesi Selatan. Meskipun secara politis Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diberi sekat, secara historis dan kultural Mandar tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi Selatan. Istilah Mandar merupakan ikatan persatuan antara tujuh kerajaan di pesisir (Pitu Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan di gunung (Pitu Ulunna Salu). Secara etnis Pitu Ulunna Salu atau yang biasa dikenal sebagai Kondosapata tergolong ke dalam grup Toraja (Mamasa dan sebagian Mamuju), sedangkan di Pitu Ba’ba’na Binanga sendiri terdapat ragam dialek serta bahasa yang berlainan. Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.  

Lontara Pattodioloang Mandar

Berbeda dengan sepupu-sepupunya seperti Bugis-Makassar dan Toraja, informasi seputar kebudayaan Mandar di internet maupun lewat buku-buku amatlah terbatas. Saya sendiri yang berdarah setengah Mandar dan seumur-umur hidup di perantauan mengetahui Mandar hanya dari cerita-cerita singkat ayah saya saja. Menyedihkannya, kosakata Bahasa Inggris dan Spanyol saya  jauh lebih kaya daripada pemahaman akan Bahasa Mandar. Yang melekat di kepala saya tentang Mandar ialah jejeran pohon kelapa di kebun keluarga di Polewali, bau peappi, perahu Sandeq, dan ilmu hitam.

Suatu hari di bulan April yang kadang basah kadang cerah, saya menikmati liburan semester dengan pulang ke Makassar dan mengunjungi Museum La Galigo di Fort Rotterdam pasca renovasi. Setelah puas berkeliling, saya dan adik Rafika Ramli memutuskan untuk iseng ke perpustakaan di pojok belakang benteng ini. Perpustakaannya bagus, sayang kurang terawat dan koleksi bukunya pun tidak begitu banyak. Ada meja tua Belanda yang masih kuat serta buku-buku sejarah dan budaya yang tergolong langka di sana.  Rak-rak bukunya di tata mengelilingi ruangan. Mata saya yang sedari tadi menelusuri judul-judul buku di rak tua nan berdebu itu seketika membelalak ketika membaca “LONTARA PATTODILOANG DI MANDAR”.

Terus terang, buat saya sebagai seorang pecinta budaya dan pendalam La Galigo, hal-hal yang berbau lontar itu fascinating. Apalagi ini lontar yang berasal dari Mandar, daerah dimana ekspresi budayanya kurang terekspos di panggung nasional. Setelah memutuskan untuk memfoto-kopi naskahnya, saya pun pulang. Salinan naskah tersebut ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Drs. M. T. Azis Syah pada masa almarhum Prof. DR. H. A. Amiruddin masih menjabat sebagai gubernur. Naskah asli lontaraq ini ditemukan pertama kali pada tahun 1982 dalam keadaan menyedihkan karena kumal dan robek-robek sehingga banyak bagiannya yang hilang. Bentuknya bergulung, dan apabila dibentangkan panjangnya bisa sampai 30 meter! Almarhum Drs. Muhammad Salim (penerjemah dua naskah pertama La Galigo di Leiden) merupakan tokoh penting yang memiliki andil dalam menyelamatkan naskah ini. Beliau membantu memperbaiki dan mengopi naskahnya sedemikian rupa sehingga bentuknya yang tadi memanjang dapat menjadi lembaran dan diberi nomer halaman.

Lontaraq ini kemudian dilengkapi bagian-bagiannya yang hilang oleh Bapak Muhammad Salim dengan menggunakan lontaraq-lontaraq sejenis yang diolah dari kepingan lontar yang juga mulai hancur. Wah, tragis sekali ya kondisi harta karun budaya di negara kita. Dengan sabar dan telaten Bapak Muhammad Salim menyusun kembali lontaraq ini sehingga dapat dibaca (meskipun pada beberapa bagian terdapat sobekan-sobekan yang hilang dan sudah tidak dapat ditolong lagi). Usia naskah ini telah berumur lebih dari 200 tahun. Ditulis pada abad ke-18 Masehi, sebagaimana tertera dalam halaman 71 naskah: ri 26 Nopember 1800, ri 15 September 1801 dan seterusnya. Bahan tulisannya berasal dari naskah lontaraq dan tradisi lisan yang berumur jauh lebih tua lagi. Naskah ini berbahasa Mandar Pantai dan Pegunungan kuno dengan campuran Bahasa Bugis dan Makassar. Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum dengan naskah ini ialah ditemukannya berlembar-lembar halaman berisi ilustrasi yang –bagi saya– untuk ukuran zaman itu tergolong rapi, cantik, dan luarbiasa unik! Ilustrasi-ilustrasi ini tidak hanya terletak di pinggiran atau sela-sela naskah, namun menghiasi kertas dengan penuh. Ilustrasi-ilustrasinya berhubungan dengan cerita yang dituliskan di halaman sebelum atau sesudahnya.

Ruang Perpustakaan Benteng Fort Rotterdam, Makassar

Mitos Todipanurung di Mandar

Ketika membaca foto-kopi naskah ini, khususnya pada bagian asal-muasal penghuni Mandar Pesisir dan Kondosapata, saya menemukan banyak hal menarik yang mengingatkan saya akan epos besar La Galigo. Di Passaleng Ma’duaE (Pasal Dua), dikisahkan tentang Tomanurung (lontar ini menggunakan terminologi “Todipanurung”, namun dalam terjemahan istilah yang dipakai Bapak Azis ialah Tomanurung) atau orang yang turun dari langit di daerah hulu Sungai Saddang yang menjadi nenek moyang mereka. Tomanurung ini ada dua orang; To Kombong di Bura yang berjenis kelamin laki-laki dan To Bisse di Tallang yang berjenis kelamin perempuan. Mereka menikah dan kemudian melahirkan seorang putra bernama To Banua Pong (“Orang Kampung Tua”). To Banua Pong bermukim di Rattebulawang atau Rantebulahan lalu menikah dengan sepupu sekalinya (?) dan menurunkan lima orang anak.

Kelima anak To Banua Pong ini antara lain; I Landoq Beluaq sebagai anak perempuan sulung, I Laso Keppang, I Landoq Guttuq, Usuqsabambang, dan I Paqdorang. I Landoq Beluaq secara harfiah berarti “Si Rambut Panjang”. Ia dikisahkan menikah dengan seorang bangsawan dari daerah Bone yang menelusuri sehelai rambutnya yang lepas di sungai ketika mandi. Mirip dengan dongeng Rapunzel si Putri Berambut Panjang dari Jerman, ya. Hanya saja di versi ini I Landoq Beluaq tidak dikurung oleh seorang ibu tiri yang jahat, Ia justru dibebaskan untuk menikah dengan sang pangeran lalu pergi menuju ke selatan, menjadi leluhur bangsa Makassar. Anak kedua, I Laso Keppang, berangkat ke Belawa di Luwu. I Landoq Guttuq anak perempuan lainnya pergi ke Ulu Saddang. Usuqsabambang bermukim di Karonnangan, dan yang terakhir Paqdroang tinggal di Bittuang.

Paqdorang memperisterikan seorang wanita bernama Rattebiang. Dari pasangan ini lahir empat bersaudara: I Tasudidi, Sibannangang yang menjadi leluhur orang Mamasa, anak ketiga tidak diketahui namanya namun menjadi leluhur orang Masuppu, dan anak keempat bernama I Pongkapadang yang tinggal di Gunung Mambuliling. Pongkapadang menikah dengan seorang wanita dari Sanrabone (Gowa) di Buttu Bulu. Dahulu laut hanya sampai di situ, sehingga di situlah perahu Pongkapadang berlabuh. Dalam versi Kondosapata, Pongkapadang mengembara hingga tiba di pesisir pantai Ulu Manda’, Mamuju yg kemudian menjadi wilayah kekuasaannya. Di tepi laut Ia menemukan seorang wanita asal Bugis Makassar. Wanita itu Ia angkat sebagai isteri dan Ia beri nama Torije’ne’ (Bahasa Makassar: to=manusia, ri=dari, je’ne’=air). Torije’ne’ ini kemungkinan besar adalah wanita yang dalam versi Lontara Pattodioloang disebut sebagai I Sanrabone. Dari hasil perkawinannya dengan Torije’ne’, Pongkapadang mendapat tujuh orang anak dan sebelas orang cucu, sehingga timbul ungkapan dalam Bahasa Kondosapata; Dadi Tau Pitu, Tau Sapulo Mesa. Sosok Pongkapadang inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur bangsa-bangsa di Sulawesi Barat, Tengah dan Selatan.

Putri-Putri Bangsawan Mandar dalam pakaian Tari Pattuduq. Sumber: Wikipedia

Todipanurung di Mandar dan Tomanurung di Bugis

Kisah di dalam Lontar Pattodioloang Mandar maupun epos besar La Galigo sama-sama berawal dari tradisi lisan yang telah ratusan tahun berkembang sebelum dituliskan. Entah, kisah mana yang terlebih dahulu muncul di tengah masyarakat. Meskipun keduanya tampak berbeda, terdapat kesamaan-kesamaan unsur yang berkembang sesuai dengan karakter kebudayaan masing-masing. Kedua kisah mengenai asal mula manusia di bumi diawali oleh kemunculan manusia-manusia supranatural dari atas langit atau dari bawah bumi (lautan).

Karakter Todipanurung yang merintis kehidupan umat manusia dalam kebudayaan Mandar ialah To Kombong Di Wura dan To Bisse di Tallang. To Kombong di Wura secara harfiah berarti “manusia yang muncul meniti buih” sedangkan To Bisse di Tallang “manusia yang keluar dari bambu”. Dari namanya, kedua karakter ini identik dengan tokoh Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, Tomanurung dan Totompoq dalam La Galigo. Batara Guru diturunkan dari langit melalui sebilah bambu betung, sehingga kelak cucunya dinamai Sawe ri Gading (lahir dari bambu). We Nyiliq Timoq yang dimunculkan dari dalam samudera memiliki julukan To TompoE ri Busa Empong alias orang yang dimunculkan dari buih-buih lautan. Perbedaan antara kedua mitos ini terletak pada jenis kelamin karakternya. Apabila di dalam La Galigo tokoh laki-laki ialah Ia yang menetas dari bambu betung, maka di dalam versi Lontara Pattodioloang Ia justru seorang perempuan. Demikian pula ketika di dalam La Galigo tokoh yang keluar dari samudera dengan meniti buih ialah seorang perempuan, di versi Lontara Pattodioloang Ia justru berjenis kelamin laki-laki. Perlu dicatat, pada sumber naskah sejarah Mandar lainnya seperti Lontaraq Pattappingan karakter To Kombong di Wura ialah seorang laki-laki dan To Bisse di Tallang ialah seorang perempuan. Demikian pula dalam versi silsilah Mandar oleh Andi Syaiful Sinrang.

Sebagian sumber sejarah Mandar, sebagaimana yang disarikan oleh Drs. Anwar Sewang, konon menyebut sosok Pongkapadang yang dianggap sebagai leluhur orang Mandar dan Kondosapata itu bersaudara dengan Sawerigading dan We Tenri Abeng. Sureq Galigo tidak menyebutkan nama Pongkapadang sebagai saudara keduanya sepanjang cerita, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa saudara yang dimaksud di sini bisa berarti putra Batara Lattuq dari perempuan lain selain permaisurinya, We Datu Sengngeng. Bisa jadi Pongkapadang disebut dengan nama lain sesuai karakter penamaan Bugis. Melalui trah “manusia yang menetas dari bambu betung” dan “manusia yang muncul dari busa-busa di lautan” inilah generasi maddara-takku menyemarakkan bumi dengan peradaban dan sistem-sistem nilai.

Hal yang menarik dari mitos Todipanurung ialah; pasca masa-masa chaotic yang dikenal dengan periode sianre bale tauwwe, bermunculan banyak Tomanurung di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada Mata Si LompoE di Bone, Putri Tammalate dan Karaeng Bajo di Gowa, Guru ri Selleng di Enrekang, dan lain sebagainya. Akan tetapi, di daerah Mandar sepanjang sejarahnya hanya ada Tomanurung yang mengikat seluruh etnis di Pitu Ba’ba’na Binanga dan Pitu Ulunna Salu; To Kombong di Wura dan To Bisse di Tallang. Tomanurung ini mampir ke muka bumi hanya untuk memulai kehidupan dan membuka jalan menuju peradaban. Sisanya, keturunan mereka yang dibekali leadership dan kemampuan luar biasa lah yang menjadi pemimpin (tomakaka, maraqdia) di tengah masyarakat. Contohnya seperti Pongkapadang, To Lombeng Susu, Maraqdia Todilaling, Tomepayung, dan lain sebagainya.

Siti KDI dalam balutan Baju Pokkoq, busana khas Mandar

Sebenarnya ada sosok Tomanurung lain dalam kebudayaan Mandar, seperti Putri Tonisesse di Tingalor. Akan tetapi, Ia tidak dapat digolongkan ke dalam kategori Tomanurung yang sengaja turun untuk membina umat manusia. Tonisesse di Tingalor merupakan putri seorang dewa yang jatuh terpeleset dari tangga langit ketika tengah berlatih menari untuk upacara kahyangan. Ia terjatuh ke bumi dan turun menuju lautan, namun diselamatkan oleh seekor ikan hiu besar (Bahasa Mandar: Tingalor) dengan cara ditelan. Seorang nelayan di daerah Pamboang berhasil menangkap ikan hiu tersebut dan mendengar ada suara perempuan yang sedang bernyanyi dari dalam perut ikan.

Ketika dibelah, Ia menemukan sang putri yang sedang duduk dalam pakaian kahyangan lengkap. Hingga saat ini bangsawan di Pamboang masih menyimpan bakkar (anting-anting) dan kuku-kuku hias yang berasal dari sang putri sebagai pusaka. Sang putri di bawa kepada raja Pamboang lalu dinikahkan dengan putra mahkota. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra. Sebagai seorang penghuni kahyangan, Tonisesse di Tingalor memiliki pantangan untuk bernyanyi dihadapan manusia biasa. Suatu hari Ia tengah bernyanyi untuk bayinya, sang suami datang dan meminta sang putri bernyanyi pula untuk dirinya. Meskipun telah ditolak, sang suami tetap memaksa. Dengan berat hati, Tonisesse di Tingalor lalu bernyanyi dari dalam sarung yang ujung-ujungnya terikat karena takut akan dijemput pulang ke Boting Langiq. Ternyata benar, setelah Ia mulai bernyanyi untuk suaminya, celah kecil di atap rumah mereka membuka dan tiba-tiba Tonisesse di Tingalor melayang ke angkasa. Dengan penuh tangis Ia terbang kembali ke kahyangan. Gerakan Tonisesse di Tingalor ketika terbang kembali ke kahyangan itulah yang menjadi asal mula Tari Pattuduq Mandar.

Kesamaan budaya antara Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja memang amat menarik untuk dikaji. Tidak hanya dari segi mitos, namun juga dari bahasa, pakaian, motif-motif lokal, serta adat-istiadat. Perbedaan yang ada antara keempat etnis serumpun ini janganlah dijadikan sebagai penghalang untuk saling mengerti, menghargai, dan belajar. Keunikan budaya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dapat menjadi aset besar demi kemajuan Indonesia di masa mendatang. Saya bangga sebagai seorang putra daerah dengan campuran darah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, bahkan Jawa dan Melayu. Karena dengan mengakui, menjaga serta mengkaji semuanya tanpa membeda-bedakan, saya dapat menjadi orang Indonesia sesungguhnya.

Malilu sipakaingaq, raqbaq sipatokkong, tuppang sipakalewa, manus siparappe (lupa sama mengingatkan, runtuh sama membangunkan, tenggelam sama mengapungkan, hanyut sama mendaratkan)!

 

Referensi:
Andi Syaiful Sinrang, 1980, Mengenal Mandar Sekilas Lintas, Penerbit Tipalayo Polemaju.
Drs. M. T. Azis Syah, 1993, Lontarak Pattodioloang di Mandar Jilid I, Taruna Remaja, Ujung Pandang.
Muhammad Ridwan Alimuddin, http://www.radar-sulbar.com/feature/lombeng-susu-dan-banua-batang/, diakses pada tanggal 3 Juli 2012.
http://mamasa-online.blogspot.com/
http://mustarimula.blogspot.com/2010/10/entografi-budaya-masyarakat-mandar.html
http://putra-mandar.web.id/artikel/sejarah-lahirnya-kondosapata-3.html

Categories
Featured Galigoku

Mengimbangi Sang Professor

Awalnya saya jengkel. Persiapan acara tidak seperti rencana sebelumnya.

Sabtu, 23 Juni 2012, pukul 19.30 WIB. Sudah lewat setengah jam dari jadwal seharusnya, andai semua tepat waktu seharusnya acara “Tudang Sipulung/Diskusi Budaya” ini sudah berlansung dari tadi. Terlebih semenit lalu, sang pembicara sudah berada di lokasi acara. Dialah Prof. Nurhayati Rahman, seorang filolog juga budayawan asal Sulawesi Selatan, yang saat ini mengabdikan ilmunya di Akademi Pengajian Melayu di University Malaya Kuala  Lumpur, Malaysia. Sebagai orang yang turut mengundangnya sebagai pembicara, saya merasa dipermalukan saat ruangan seluas 135 meter persegi itu hanya terisi 5 orang peserta diskusi, itupun adalah para tuan rumah, pelaksana acara dan putri semata wayangnya Mutia Nurul Fariza.

30 menit kemudian tanda-tanda acara akan dimulai tampak, lega rasanya. Sebelum mengambil posisi tempat duduk yang pas, saya bertanya kepada panitia siapa moderator diskusi ini. Bukan jawaban yang saya dapatkan tapi tatapan gamang dari mereka yang disebut namanya saat itu, ada yang tidak siap, adapula yang belum datang. Inilah muasal rasa jengkel saya yang lainnya. Daripada mengulur waktu akhirnya saya pilih untuk mengambil alih tugas tersebut, memandu acara diskusi. Sebuah diskusi budaya yang secara rutin diselenggarakan oleh Forum Kajian Budaya Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat yang kali ini bekerja sama dengan Keluarga Pelajar Mahasiswa Wajo Yogyakarta dan Lontara Project. Meski para peserta telat datang, tapi jumlah peserta malam itu memecahkan rekor peserta pada edisi-edisi diskusi sebelumya, jika sebelumnya hanya 20-40 peserta maka pada edisi ke-6 ini peserta mencapai 72 orang peserta.

Karena tanpa persiapan, maka di awal memandu diskusi saya terbata-bata, semua perbendaharaan kata saya tiba-tiba hilang, penggalan-penggalan kalimat puitis dan maknawi saya tiba-tiba raib. Tak mau terlihat dan berbuat lebih konyol lagi, kesempatan segera saya sodorkan ke Prof. Nurhayati Rahman untuk memberi pengantar diskusi yang bertema “Konsep Manusia dalam Naskah La Galigo” itu. Sayapun akhirnya beringsut, duduk mendekati Bunda, sapaan akrab kami untuk pembicara. Seorang dengan segudang prestasi akademik dan praktis yang selalu tampil bersahaja. Lebih memilih menginap di kamar Asrama Mahasiswa dibandingkan di kamar hotel. Seseorang yang bersahaja rela makan nasi dan lotek bungkus bersama kami, para anak-anaknya.

Duduk mendampingi seorang Bunda seperti malam itu adalah tantangan sendiri bagi saya, terlebih Bunda sangat bersemangat dalam membagi rerimbunan data, fakta, wacana dan gagasannya malam itu. Saya yang lebih muda tentu tak ingin kalah. Jika sebelumnya saya jengkel menjadi moderator dadakan maka perlahan saya menikmatinya, tentu setelah saya menyimak semua detail fakta yang disampaikan oleh salah satu Putri dari pembesar Pondok Pesantren DDI Mangkoso ini.

Pada setiap jeda istirahat, setiap membuka sesi tanya jawab. Saya selipi dengan berbagai spontanitas yang mendukung paparan Bunda sebelumnya. Seperti pada sesi tanya jawab pertama, saya mencoba membacakan beberapa bait La Galigo (Massureq), karena sebelumnya Bunda sempat menyitir teks tersebut saat menceritakan tentang betapa humanisnya sosok To Palanroe (Dewata Bugis) dalam naskah tersebut. Pada sesi kedua, setelah Bunda mengurut nama-nama besar para sastrawan asal Sul-Sel maka saya berimprovisasi membacakan karya Ram Prapanca “Sukmaku di Tanah Makassar”, lalu disesi berikutnya saya tampilkan kehadapan peserta sebuah naskah tua karya B.F Matthes berupa Injil bertuliskan aksara dan berbahasa Bugis. Terakhir pada sesi penutup diskusi saya bacakan sebuah puisi dari Bunda sendiri, seperti berikut ini :

 

Oh malam, berikanlah aku

kesunyianmu yang sejuk

bukan kepekatanmu yang mengerikan 

 

Oh siang, berikanlah aku

cahayamu yang menyilaukan

bukan panasmu yang menyobek kulitku 

 

Dengan kesunyianmu

aku bisa menyorot seluruh nafas asamu

dengan cahayamu

aku dapat menemukan seluruh denyut sajakmu 

 

Semoga upaya saya mengimbangi sang Professor dengan apa yang saya lakukan malam itu, tidaklah bernilai lancang. Makkarodda atau tennia tudangengna dalam bahasa Bugis. Tabe!

Buat panitia, terima kasih atas “paksaannya”, memaksaku jadi moderator. Terima kasih juga atas bette lame (ubi goreng) dan sarabbaq-nya.

 

Suryadin Laoddang, aktifis budaya asal Sulawesi Selatan yang telah lama bermukim di Yogyakarta ini  meyakini budaya harus dibumikan tidak hanya lewat pementasan, ceritera, atau rekaman video, juga harus dibumikan dengan tulisan. Ia memilih untuk terus menulis hal-hal kecil tentang budaya Bugis. Saat ini Ia telah melakukan reinterpretasi terhadap lebih dari 100 elong-kelong (galigo) Bugis dan aktif sebagai narasumber kajian-kajian naskah La Galigo itu sendiri.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to Malaysia #3

Ahlul in action dihadapan civitas akademika Akademi Pengkajian Melayu University of Malaya

Hari Senin tanggal 28 Mei 2012 adalah hari terpenting dalam agenda LONTARA PROJECT di Malaysia. Hal ini dikarenakan, saat ini adalah momen dimana kami akan menjalankan diplomasi kebudayaan. Dimana kami akan mengadakan presentasi dan diskusi dengan mahasiswa serta para pensyarah atau dosen di University of Malaya. Berangkat penuh semangat dari apartement Bunda Nurhayati selaku pembimbing LONTARA PROJECT, kami menuju Akademi Pengkajian Melayu (APM) di University of Malaya.

Setibanya di sana, kami langsung diarahkan menuju ruang kantor Bunda Nurhayati untuk melakukan persiapan sebelum masuk ke ruangan presentasi. Saat itu, ada beberapa orang yang mendampingi kami selain Bunda Nurhayati; ada Bapak Muhammadiyah Yunus dan Bapak Adi Sadi yang sedang melanjutkan sekolah di Malaysia. Sekitar jam 09.00 waktu lokal, kami diarahkan menuju ruang pertemuan. Di sana kami disambut oleh wakil dekan bidang kemahasiswaan dan para pensyarah Akademi Pengkajian Melayu (APM) University of Malaya. Sebelum memulai presentasi, mereka sempat bertanya-tanya tentang LONTARA PROJECT, tujuannya, dan kegiatannya. Ternyata para pengajar dan wakil dekan APM terkagum-kagum dengan kegiatan-kegiatan yang telah kami laksanakan.

Ulil, Rahmat dan Fitria pun juga beraksi memaparkan program-program LONTARA PROJECT

Kami berdiskusi sebentar sambil menunggu dekan APM dan beberapa mahasiswa datang. Tidak berselang lama setelah kami duduk, kami disajikan makanan. Waktunya pas sekali, karena kebetulan perut kami sedari tadi telah menyanyikan lagu-lagu keroncong. Akhirnya sekitar jam 09.30, diskusi antara LONTARA PROJECT dengan pihak University of Malaya pun dimulai.

Kesempatan untuk presentasi pertama diberikan kepada LONTARA PROJECT, dalam kesempatan ini, yang mempresentasikannya adalah Ahlul, Fitria, Ulil dan Rahmat. Kami berempat membawakan materi yang berbeda. Ahlul menjelaskan tentang konservasi kreatif La Galigo dan budaya-budaya nusantara yang terancam punah sebagai garis besar misi yang dibawa oleh LONTARA PROJECT, sementara Fitria menjelaskan tentang seluk beluk program kami. Ulil dan Rahmat mempunyai peran untuk menjelaskan La Galigo Music Project sebagai bagian dari kegiatan nyata LONTARA PROJECT dalam melestarikan budaya. Rahmat khusus membahas tentang makna lagu-lagu dan personilnya, sementara Ulil membahas La Galigo Music Project secara garis besar.

            Pada kesempatan tersebut, kami mengkampanyekan tentang fakta bahwa Indonesia dan Malaysia adalah satu nusantara, satu bangsa, yaitu bangsa melayu. Segala hal tentang perselisihan budaya yang pernah terjadi biarkan saja terjadi kemarin, tetapi tidak untuk hari ini dan yang akan datang. Generasi muda nusantara harus bisa memperbaiki kondisi budaya nusantara yng semakin lama semakin tergerus oleh budaya-budaya asing. Kami pun mengajak mahasiswa Malaysia untuk ikut membantu melestarikan budaya nusantara dan mengumandangkan ke seluruh dunia tentang budaya Alam Melayu yang bersinonim dengan istilah “nusantara”.

Kami percaya apabila usaha ini dilakukan dengan bersama-sama, maka tujuan LONTARA PROJECT akan segera tercapai. Mahasiswa dan pensyarah di APM menyambut niat dan kampanye kami dengan sangat baik dan antusias. Mereka sangat mendukung kegiatan kami dan ingin berpartisipasi lebih di setiap kegiatan LONTARA PROJECT. Bahkan, ada wacana untuk mengadakan Cultural Exchange (Pertukaran Budaya) di masa mendatang. Mari kita bersama-sama mendoakan agar niat ini dapat diwujudkan secepatnya! [END]

Membina persahabatan serumpun…

            Selepas kami mempresentasikan materi yang kami bawa, dua orang mahasiswa University of Malaya juga melakukan hal yang sama. Adam dan Yunus menceritakan tentang kondisi university of Malaya, baik kegiatan akademisnya dan non-akademisnya. Kedua mahasiswa jurusan linguistik APM ini juga mengungkapkan beberapa permasalahan budaya yang ada di lingkungan sekitar.

Acara kemudian dilanjutkan dengan berjalan-jalan disekitar kampus atau pengembaraan, begitu kata Adam. Kami diajak melihat-lihat museum kecil yang terdapat di dalam Akademi Pengkajian Melayu. Sebagai orang awam, akan ada banyak hal yang mengejutkan kita disana. Hampir 80% isi dari museum itu merupakan artefak-artefak yang juga ada di Indonesia juga. Hal ini dikarenakan, Malaysia dan Indonesia adalah satu nusantara, serumpun, yaitu rumpun Melayu yang punya budaya luhur nan beraneka. Jadi, ketika ada persamaan dalam benda-benda peninggalan dan kebuayaan, harusnya disikapi dengan wajar. Inilah uniknya hubungan Indonesia dengan Malaysia, dimana kultur budayanya hampir sama tetapi dibedakan oleh garis geografis politik.

Dengan perjalanan LONTARA PROJECT di sana, kami belajar banyak mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia yang jarang diberitakan di TV. Kami optimis, dengan dirintisnya cultural diplomacy informal oleh LONTARA PROJECT dan APM, hubungan antarnegara ini pasti dapat disatukan dengan penuh kerukunan, karena kita semua berasal dari satu rumpun, satu nusantara dan satu bangsa, yaitu Melayu.

 Rahmat Dwi Putranto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Alumni Boarding  School Dwi Warna ini kini menjabat sebagai ketua Divisi Musik di Sanggar APAKAH. Aktif di berbagai kegiatan seperti basketball dan International Moot Court Competition tidak membuat penggebuk jimbe dan cajon di La Galigo Music Project ini kehilangan semangatnya untuk membuat berbagai macam event seni. Follow twitternya @rahmatdepe untuk kenal lebih jauh.