Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Di Balik Bintang Budaya Parama Dharma…

Hari itu, Selasa 13 Agustus 2013. H. Andi Muhammad Rum, seorang ahli waris keluarga Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa berdiri di aula utama istana negara. Dirinya diterbangkan jauh-jauh dari bumi Sulawesi Selatan untuk menerima sebuah anugerah. Anugerah yang ditujukan kepada almarhum sang nenenda, penyalin naskah terpanjang di dunia, epos La Galigo yang saat ini beristirahat tenang di Leiden, Belanda. Melalui Keppres Nomor 57/TK/2013 ada 28 tokoh yang dianugerahi tanda kebesaran oleh negara pada hari itu. Dua di antaranya, penerima Bintang Budaya Parama Dharma ialah Colliq Pujie dan Hamzah Fansuri, penyair Islam nan mashyur dari Tanah Rencong.

Ada sebuah kegelisahan di balik penganugerahan ini. Di tengah segala kebahagiaan dan kesyukuran karena jasa Sang Ratu Tanete yang dulunya pernah diboikot oleh Belanda dan hidup di pengasingan layaknya “kandang” ini, tersirat cerita ketimpangan. Timpang? Beliau yang turut berjuang memompa semangat perjuangan rakyat Tanete untuk melawan Belanda pada tahun 1855 serta aktif dalam melestarikan budaya tulis nenek moyangnya ini belumlah mendapatkan penghargaan dengan selayaknya. Beliau yang tidak hanya melakukan perjuangan intelektual namun juga secara fisik dalam menghadapi pemerintah kolonial sudah sepantasnya diluhurkan dengan gelaran Pahlawan Nasional, sebagaimana yang saat ini tersemat pada diri Cut Nyak Dien sang Syuhada Perang Aceh serta R.A. Kartini.

Seorang Colliq Pujie wafat dalam keterasingan. Ia meninggal setelah 10 tahun diasingkan ke Makassar, yang jaraknya saat itu cukup jauh dari tempat asalnya di Kabupaten Barru sekarang. Beliau menciptakan aksara Bilang-Bilang yang merupakan sebuah alat komunikasi rahasia untuk menyampaikan pesan-pesan yang membakar semangat rakyat Tanete dalam gerilya mereka melawan Belanda. Tidak hanya itu, beliau juga mengarang lontar-lontar sejarah kerajaan Tanete yang penting sebagai dokumentasi masa lampau.

Sebenarnya sudah sejak tahun 2004 sudah dilakukan banyak usaha oleh budayawan Sulawesi Selatan untuk mengangkat nama beliau sebagai seorang Pahlawan Nasional. Pada tahun 2009 pernah diadakan seminar sehari yang disponsori oleh Kabupaten Barru dan Divisi Humaniora Universitas Hasanuddin yang bertajuk “Pengusulan Pahlawan Nasional Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa”. Pernyataan ini juga disetujui oleh sejarawan Univeristas Hasanuddin, Edward Poelinggomang yang dalam diskusi “Colliq Pujie Pejuang Arsip dan Bedah Buku” oleh Badan Arsip Sulawesi Selatan pada tahun 2010 menyebutkan bahwa karya-karya beliau telah menjadi bahan seminar internasional di Leiden. Sayangnya, usaha-usaha tersebut ditolak oleh pemerintah pusat. Beberapa alasannya pun cukup konyol: karena beliau pernah bekerja sama dengan pihak asing yaitu misionaris B.F. Matthes dalam menyalin ulang naskah La Galigo (!). Lalu, bagaimana halnya dengan R.A. Kartini yang bersurat-suratan dengan Nyonya Abendanon seorang Belanda yang juga sahabat karibnya?

Hingga hari ini, belum ada kepastian apakah Colliq Pujie dapat diakui jasa-jasanya sebagai seorang Pahlawan Nasional. Tidak ada seorang sosok pahlawan pun di persada bumi pertiwi ini yang atas jasanya mampu membuat sebuah mahakarya asli bangsa Indonesia seperti La Galigo diakui sebagai warisan dunia (Memory of The World UNESCO). Demikian pula, tidak ada sosok wanita pra-kemerdekaan yang mampu berjuang baik secara fisik maupun intelektual sekeras perjuangan wanita yang di akhir hayatnya ini meninggal dengan kondisi ekonomi yang memiriskan hati.

Mungkin pemerintah Indonesia tidak akan pernah dapat mengapresiasi jasa seorang Colliq Pujie dengan layak, secara formal. Ini menjadi tanggung jawab generasi Indonesia untuk menghormati beliau dengan mengenang jasa-jasa besarnya yang telah mengharumkan tanah air.  Pada generasi penerus inilah kelak perbuatan beliau akan terus dihayati serta menjadi amal jariah yang tak kunjung putus, pengingat bahwa jasa-jasa di kehidupan ini pasti akan dibalas sekecil apapun itu di hari akhirat. Sesuai ujaran Hamzah Fansuri dalam lirik-lirik syair mistiknya:

Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu

Terima kasih, Colliq Pujie. Bagi kami dirimu adalah pahlawan bangsa.

Referensi:

Nurhayati Rahman, Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa 1812-1876: Intelektual Penggerak Zaman, La Galigo Press: 2008.
http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2013/08/13/9299.html
http://metronews.fajar.co.id/read/102471/61/iklan/index.php
http://sudewi2000.wordpress.com/2009/07/26/colliq-pujie-perempuan-cerdas-unik-dan-perkasa-dari-bugis/
http://www.daengrusle.net/lebih-tangguh-dari-kartini/

Categories
Comics Galigo Gallery

La Galigology Comic Series #3: “Kapan La Galigo Mulai Ditulis?”

Setelah sekian lama nggak ketemu dengan Meong Mpaloe dan Miko-Miko, di episode kali ini mereka ingin berbagi informasi tentang kapan La Galigo mulai dituliskan. Yuk simak penjelasan dari dua kucing legendaris ini!

to be continued…

Anggraeni Wulandari, seorang penggemar WWF, The Sims, dan Donkin Donuts. Gadis yang punya nama     beken Ren Midyardigan a.k.a. Xpica ini hobi menggambar dan main video game. Penuh bakat, Ia tak  banyak bicara dan mengekspresikan dirinya lewat gambar. Ingin tahu lebih banyak tentangnya silakan  kunjungi http://xpica.deviantart.com/

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Pelayaran Persahabatan Sawerigading ke Negeri-Negeri Timur Part-I

Satu lagi keunikan yang dimiliki oleh La Galigo selain dikenal sebagai naskah sastra terpanjang di dunia adalah karakter ke-Austronesian yang amat kental di dalamnya. Pokoknya beda banget deh dengan cerita pewayangan yang sebenarnya diadopsi dari wiracarita bangsa India; Mahabharata dan Ramayana. Dari La Galigo kita bisa belajar  bagaimana kehidupan nenek moyang kita dahulu serta memandang bangsa lain dari perspektif mereka sendiri. Salah satu episode La Galigo bercerita tentang pelayaran putra mahkota Kerajaan Luwuq yang bernama Sawerigading ke negeri-negeri paman dan kerabatnya di Indonesia Timur. Indonesia Timur yang bahkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sendiri tidak pernah dikunjungi dan terlanjur dilabeli sebagai area konflik yang terbelakang kali ini akan menunjukkan kebesarannya lewat epos La Galigo.

Kerajaan Sama dan Maloku berdasarkan La Galigo

Letak kerajaan Manurung Ale Luwuq di Pulau Sulawesi yang berada tepat di tengah Nusantara memberikan orang-orangnya akses serta peluang yang besar ke berbagai daerah baik di sebelah Barat maupun Timur untaian kepulauan ini. Bagi orang-orang yang hidup di kerajaan Ale Luwuq pada masa itu, lautan bukanlah pemisah. Lautan justru dilihat sebagai tempat mencari penghidupan, mulai dari mereka yang berprofesi seperti pedagang, nelayan dan bahkan raja. Lautan juga merupakan jembatan penghubung yang menyatukan kepingan pulau-pulau di Nusantara agar dapat saling berinteraksi serta memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang berbeda-beda. Nah, selain hubungan komersil, antarkerajaan-kerajaan tersebut kemudian membentuk hubungan politik melalui persekutuan-persekutuan. Demi menegaskan kesatuan di antara mereka, tidak jarang banyak dilakukan pernikahan antardaerah. Putri dari kerajaan X misalnya, dinikahkan dengan raja dari kerajaan Y. Apabila mereka dikaruniai lebih dari satu orang anak, salah satunya akan dikirim sebagai pangeran muda di kerajaan X sedangkan yang lainnya tetap tinggal sebagai putra mahkota di kerajaan Y.

La Galigo menyiratkan adanya hubungan persaudaraan yang terjalin di antara kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelah timur. Alkisah, Sawerigading merasa jenuh tinggal di kerajaannya saja. Ia ingin membentangkan layar mengarungi samudera melihat berbagai daerah serta mengunjungi negeri paman-pamannya. Saat itu di istana Ale Luwuq terdapat ungkapan “Orang yang paling cerdiknya Luwuq tidak sama dengan orang paling dungunya di Sama. Orang yang belum menyaksikan orang Sama berpakaian dan belum mendengarkan orang Maloku berbicara, maka keberadaanya di dunia ini tidak diakui”.

Di mana kah letak negeri Sama dan Maloku yang menjadi standar kecerdikan, fashion dan kemahiran dalam bertutur-kata ini?

Kalau menurut Prof. Fachruddin Ambo Enre di dalam buku “Ritumpanna Welenrenge” sih kata Sama/Samang merujuk kepada nama lain untuk Maluku, tempat asal sejenis pakaian tari. Adapun Maloku ialah ucapan Bugis untuk Maluku. Nah, masih menurut naskah La Galigo nih, letak negeri Sama lamanya sekitar lima malam pelayaran dari negeri Matasolok (Sulu, Filipina Selatan). Negeri Sama berada di sebelah timur, sedangkan Maloku berada di bahagian baratnya.

Kepulauan Maluku

Ternyata negeri Maluku tidak hanya terkenal dengan rempah-rempahnya saja, akan tetapi pada suatu zaman di masa lalu daerah ini terkenal pula dengan kebudayaannya yang sudah maju. La Galigo merekam keindahan peradaban Maluku ini dengan pujian yang sangat baik, sampai-sampai Sawerigading sang putra mahkota kerajaan Ale Luwuq yang punya reputasi oke di Sulawesi penasaran dengan daerah ini. Tarian Se’re Maloku yang sering dibawakan oleh I La Galigo pada beberapa perayaan juga menandakan bahwa budaya mereka amat digemari pada masa itu, kira-kira miriplah dengan gaung budaya K-Pop sekarang ini.

Tari Lenso dari Maluku. Sumber: www.melayuonline.com

Selain karena kemajuan peradabannya, salah satu alasan mengapa Sawerigading ingin berkunjung ke Sama dan Maloku ialah karena hubungan kekeluargaan. Disebutkan bahwa penguasa negeri Maloku yang bernama La Maddaremeng alias Toappamadeng ialah kakak sepupu dari Sawerigading. La Maddaremeng ini juga merupakan suami dari We Tabacina Ida Mutia, ratu negeri Sama. Dengan kata lain, pada saat itu dua kerajaan besar di Maluku telah bersatu melalui ikatan perkawinan serta memiliki kekerabatan darah dengan kerajaan Ale Luwuq di Sulawesi.

Nah, ternyata Sobat Lontara, hubungan persahabatan dengan Maluku  ini diteruskan oleh generasi raja-raja di Sulawesi Selatan berikutnya. Menurut almarhum Prof. Mattulada dalam buku “Menelusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah”, Sultan Malikussaid raja Gowa yang ke-15 prihatin ketika Belanda menduduki tanah Maluku. Ia merasa mempunyai kewajiban untuk membantu perlawanan rakyat Maluku melepaskan diri dari cengkraman Belanda. Ketika pada tahun 1652 tiba seorang kimelaha (raja bawahan Sultan Ternate) bernama Majira dari Seram untuk mencari suaka di Makassar, ia disambut baik oleh sang sultan. Sultan Malikussaid bahkan memberikan kimelaha Majira 30 buah kapal perang lengkap dengan persenjataannya untuk kembali ke Seram dan merebut daerah kekuasaannya yang jatuh ke tangan Belanda. Ulah Sultan Malikussaid ini menimbulkan kegeraman Gubernur Jenderal Maetsuycker. Ia mengirim surat yang isinya mengancam kerajaan Makassar untuk tidak membantu kerajaan Ternate. Akan tetapi Sultan Malikussaid malah menjawab bahwa ia tetap ingin memelihara dan melanjutkan perdamaian serta persahabatan dengan orang-orang di Seram dan Ambon. Sejak saat itulah meletus peperangan berturut-turut antara Belanda dan Makassar hingga puncaknya saat terjadi Perang Makassar. Wuih, pokoknya demi persahabatan dengan Maluku, bro, Sultan Malikussaid rela menentang Belanda!

Penasaran dengan hubungan antara Sawerigading dengan raja-raja lainnya di belahan Nusantara Timur? Stay tuned terus aja di website kami 😉