Categories
101 La Galigo Featured Heritage Camp I UPS! La Galigo Liputan

Generasi Baru Konservasi Kreatif Lahir di Heritage Camp 2013! Part I

Menyeleksi 35 orang dari 274 pendaftar jelas bukanlah hal yang mudah! Setelah selama sebulan lebih mencari-cari, akhirnya panitia Heritage Camp 2013 yang terdiri atas volunteer Lontara Project serta mahasiswa-mahasiswi UGM berhasil menemukan mereka. Agen-agen konservasi kreatif budaya yang mewakili empat klaster besar Nusantara: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Nusa Tenggara ini satu tekad dan percaya bahwa untuk melestarikan budaya di era globalisasi, kekreatifan dan jiwa muda amat dibutuhkan!

Day #1

Pagi-pagi benar panitia sudah harus standby di Ambarbinangun. Bus datang pukul 06.00, dengan segera saya sebagai fasilitator dan Fajar Priyambodo yang in charge di bidang perlengkapan dan transportasi berangkat menuju Stasiun Tugu. Meeting point yang telah disepakati oleh panitia adalah di tempat itu, maka mau tak mau seluruh peserta yang menghendaki untuk dijemput harus menunggu sejak pukul 07.00 hingga 09.00 di Stasiun Tugu. Meskipun belum sarapan, kami dipenuhi oleh semangat untuk bertemu dengan para peserta Heritage Camp 2013. Sebelumnya saya hanya memandangi foto-foto dan membaca aplikasi mereka seraya menduga-duga seperti apakah karakter mereka sebenarnya. Meskipun ada sedikit kesalahpahaman dengan salah seorang peserta terkait lokasi penjemputan (saya dan Fajar terpaksa harus jalan ke Jalan Malioboro dari tempat parkir bus di Jalan Pasar Kembang untuk menjemputnya) namun acara penjemputan berjalan lancar tanpa ada seorang pun yang tertinggal. Terima kasih pula atas tenaga bantuan yang diimpor jauh-jauh dari Bandung, saudara Setia Negara.

Pembukaan Heritage Camp 2013 di Ambarbinangun

Sesi pertama dimulai setelah sholat Jumat dan istirahat makan siang. Panitia ternyata memang tidak salah pilih, dengan cepat peserta-peserta tersebut sudah akrab satu sama lain, bahkan saling bercanda dengan panitia. Setelah Anggita Paramesti selaku project manager memberikan penjelasan mengenai acara-acara yang akan mereka lewati bersama selama 4 hari, ‘peri-peri Oprah’ alias julukan untuk panitia di bidang dana-usaha-publikasi yaitu Novia PermatasariDiah Sri Utari dan Zafira Sabrina muncul dan membagikan seminar kit kepada para peserta. Mereka dibantu pula oleh Gebyar Lintang dan Arin Purisamya selaku sekretaris dan bendahara Heritage Camp 2013.

Setelah dibriefing secara singkat, sekitar pukul 15.30 para peserta mendapatkan sesi lecturing pertama dari Bapak Daud Tanudirjo. Beliau merupakan dosen Arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Beliau merupakan salah seorang aktifis yang mendukung terciptanya Piagam Pusaka Indonesia. Pak Daud mengampu sesi “Klasifikasi Pusaka Indonesia” dan penjelasan beliau di hari pertama ini amat penting dalam memberikan pengertian kepada peserta Heritage Camp akan materi-materi yang akan mereka terima di hari-hari selanjutnya.

Teh Sinta dan rekannya sedang menjelaskan tentang aksara Sunda Kuno yang ternyata memiliki banyak kesamaan dengan aksara-aksara di Sumatera dan Sulawesi Selatan.

Hari itu ditutup dengan sesi berjudul “Dokumentasi Manuskrip di Indonesia” oleh Sinta Ridwan. Sinta Ridwan yang datang jauh-jauh dari Jawa Barat ini merupakan penerima  anugerah Kick Andy Heroes 2012 oleh MetroTV atas usahanya untuk membangkitkan kembali pengajaran aksara Sunda Kuno kepada masyarakat umum di Bandung. Setelah menyampaikan materinya, teh Sinta lanjut memberikan workshop penulisan aksara Sunda Kuno. Amat menarik, setelah beberapa menit diterangkan metodenya, dalam waktu singkat para peserta camp langsung dapat memahami dan menuliskan nama mereka masing-masing dalam aksara tersebut. Setelah workshop selesai, teh Sinta kembali mengajak peserta camp untuk aktif mendiskusikan naskah kuno Budug Basu. Naskah kuno yang berasal dari Cirebon abad ke-19 ini sekarang berada di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Teh Sinta memberikan gambar contoh naskah dan meminta peserta camp untuk memberikan analisisnya masing-masing terhadap naskah tersebut. Sekali lagi, panitia memang tidak salah pilih dengan para peserta ini. Satu per satu hipotesa dicetuskan oleh masing-masing kelompok, ada yang mengomentari makna ilustrasi, jenis huruf yang dipakai, isi cerita, lingkungan yang dideskripsikan naskah, hingga ke hubungan romantisme antara Dewi Sri dan Budug Basu yang sehidup-semati. Malam itu para peserta dipenuhi oleh perasaan bangga akan warisan leluhur nusantara kepada mereka melalui pusaka dalam bentuk naskah kuno dan aksara.

 

Day #2

Pagi-pagi benar panitia dan peserta Heritage Camp dikejutkan oleh kehadiran Garin Nugroho. Siapa sih yang tak kenal maestro film Indonesia ini? Tangan dinginnya telah menghasilkan banyak karya-karya fenomenal yang sering menang diajang festival film internasional. Sebut saja “Opera Jawa”, “Daun di atas Bantal”, “The Mirror Never Lies”, dan yang baru-baru ini santer diperbincangkan; “Soegija”. Mas Garin yang ternyata lulusan sekolah hukum ini berbagi tentang ide-ide serta proses kreatif yang muncul dalam menuangkan kisah mengenai masyarakat dan budaya Indonesia lewat film. Mas Garin sempat mencetuskan bahwa budaya pop yang santer di Indonesia belakangan ini sifatnya hanya memikirkan “saat ini saja” sehingga tidak heran jika hidupnya tidak lama. Akan tetapi, film-film yang mengadopsi serta mengangkat nilai-nilai lama kebudayaan, umurnya justru akan panjang. Ia sengaja menciptakan film-film dengan isu-isu ‘heritage’ karena menurutnya manusia merupakan sistem nilai dari ‘heritage’ itu sendiri.

Sesi bersama Garin Nugorho

Sesi selanjutnya dibawakan oleh Djaduk Ferianto. Sejak tahun 1972 Mas Djaduk sering menggarap ilustrasi musik sinetron, jingle iklan, penata musik pementasan teater, hingga tampil bersama kelompoknya dalam pentas musik di berbagai negara. Sobat Lontara tentunya masih ingat dengan film Petualangan Sherina, bukan? Nah, Mas Djaduk inilah yang memerankan tokoh antagonis Kertarajasa. Mas Djaduk sedikit curcol kepada peserta Heritage Camp akan pengalamannya di masa lalu. Ia pernah dihujat habis-habisan oleh seniman senior karena KUA Etnika, grup musik yang ia dirikan, mencoba untuk berimprovisasi terhadap musik tradisional. Namun ternyata cobaan itu tidak menghentikan langkahnya. Menurutnya tidak ada yang salah dengan membawa musik tradisional ke dalam konteks kekinian. Sesi siang dibuka oleh Is Yuniarto dari Surabaya, komikus pemenang Lomba Komik Animonster 2006. Karyanya yang sekarang ini sedang booming ialah komik Garudayana yang mengambil tema pewayangan Jawa. Setelah menyampaikan materinya mengenai konservasi kreatif melalui komik, Mas Is mengajak peserta camp untuk membuat komiknya sendiri. Berbekal dengan spidol, kertas dan arahan dari Mas Is, dalam sekejap peserta Heritage Camp sudah dapat membuat komik empat panel dengan cerita-cerita yang lucu!

Mas Is sedang sharing mengenai proses kreatif penciptaan karakter dalam komik Garudayana

Hari itu ditutup oleh sesi terakhir dari Bapak Suwarno Wisetrotomo. Pak Warno yang juga merupakan dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta kali ini mendapat kepercayaan untuk membawakan materi tentang “Seni sebagai Alat Perekam Peradaban”. Sesi ini berlangsung dengan amat interaktif, peserta camp berulang kali mengajukan pertanyaan dan memberikan tanggapan atas pernyataan-pernyataan dari Pak Warno. Pak Warno yang juga merupakan pemimpin redaksi Jurnal SENI – Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni sejak 1992 menunjukkan beberapa slideshow terkait kekayaan seni rupa Indonesia. Pemaparan beliau bahwa lukisan yang tak berhuruf pun dapat menceritakan sejarah suatu bangsa membuat peserta camp dan bahkan panitia terpukau. Khazanah kekayaan budaya Indonesia yang tiada bandingnya di dunia ini seakan-akan meraung-raung untuk dikaji dan dipahami oleh generasi mudanya.

Eits… Meskipun di atas kertas acara hari itu telah selesai pagi para peserta camp, lantas tidak dengan serta-merta mereka kembali ke wisma untuk tidur. Panitia telah sepakat bahwa untuk “Malam Budaya” yang akan diadakan di hari terakhir, mereka diberi kepercayaan untuk mengurus jalannya acara tersebut dan penampilan seni dari mereka sendiri. Tantangan ini justru diterima dengan senang hati oleh peserta camp. Buktinya, durasi latihan yang awalnya hanya dijadwalkan hingga jam 22.00 malah mereka extend hingga pukul 23.30! Antusiasme peserta camp yang dipenuhi oleh ide kreatif inilah yang justru membuat panitia kewalahan. 

Hari pertama dan kedua selesai sesuai rencana. Bagaimanakah aksi para peserta camp di hari ketiga dan keempat? Bagaimana pula aksi fasilitator mereka yang terdiri atas Muhammad Ahlul Amri Buana, Maharani Budi, Primi Sudharmadi Putri, Waskito Jati dan Ulil Ahsan di hari ketiga dan keempat? Yang jelas, setiap hari di Heritage Camp 2013 selalu ada cerita unik dan kejutan!

Tunggu kisah mereka berikutnya ya 🙂

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Fashion of Keraton Nusantara – Part I

Zaman sekarang, dunia fashion tanah air kebanyakan berkiblat ke Barat.  Sebelum booming K-Pop, Jepang dengan style Harajuku-nya juga sempat mewabahi generasi muda. Di tengah pertempuran ide dan kreatifitas untuk membuat diri terlihat indah hari ini, sayangnya fashion nusantara belum mendapatkan perhatian yang besar dari pemuda-pemudi bangsa (malah acapkali dilabeli “kampungan”). Padahal, fashion nenek moyang kita dulu bisa jadi inspirasi yang oke punya lho. Keluarga kerajaan di nusantara ini ternyata punya selera yang tinggi dalam mix and match budaya Timur dengan unsur-unsur estetika Barat, tentunya tanpa kehilangan filosofi di balik pakaian yang mereka kenakan. Penasaran seperti apa? Yuk kita lihat satu-satu!

I. Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin dari Kesultanan Aceh Darussalam

Ialah salah seorang wanita yang pernah memegang tampuk pemerintahan tertinggi di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai anak perempuan Sultan Iskandar Muda, tidak heran jika bakat kepemimpinan mengalir di darah wanita yang menjadi patron ulama besar Abdurrauf Singkil. Untuk ukuran wanita pada zamannya pun, track record-nya lumayan mengagumkan: ia punya hobi menulis sajak dan cerita serta mendukung proyek pembangunan perpustakaan di istana. Sosoknya sebagai seorang perempuan yang tegas dan cinta ilmu pengetahuan jauh dari stigma masyarakat Eropa terhadap kaum Hawa pada masa itu. Satu hal lagi yang perlu disaluti dari sang ratu, Ia menjadi penguasa Aceh pertama yang mengizinkan biarawan Fransiskan dari Eropa untuk membangun gereja di wilayah kekuasaannya.

Berdasarkan ilustrasi karya Sayyid Dahlan Al-Habsyi di atas, busana yang ia kenakan jelas mencerminkan pengaruh Timur Tengah dengan adanya kain penutup kepala  serta gamis bermodel Turki. Warna emas dan hijau yang mencirikan keagungan serta agama Islam mendominasi pakaiannya. Aksesoris dari permata seperti kalung, anting-anting, dan hiasan kepala bercorak-ukir menandakan kemajuan peradaban Aceh masa itu. Ada fakta menarik terkait aksesoris emas yang beliau gunakan. Penggunaan emas sebagai perhiasan utama di istana Aceh Darussalam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dimana menurut laporan Augustin de Beaulieu dari Prancis setiap penari istana mengenakan 20 kg emas di badannya! Trend emas ini dibuktikan dengan koleksi benda-benda peninggalan Kesultanan Aceh di Museum Nasional Kopenhagen yang terdiri atas selendang dan celana berbenang emas, kain kepala, topi dan kalung, anting-anting dan ikat pinggang dari perak. Wow, beliau adalah seorang ratu nan pintar, baik hati, terbuka dan kaya raya!

II. Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X dari Kasunanan Surakarta

Susuhunan Pakubuwono X – Kasunanan Surakarta (1893-1939)

Inilah raja terkaya dalam sejarah kerajaan Mataram (keraton Yoyakarta-Surakarta). Raja yang bergelar Sinuhun Wicaksana ini amat istimewa. Ia melakukan revolusi di bidang sosial dengan cara memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Setiap malam Jumat ia akan naik ke atas mobil Mercedes Benz 1905-nya (jangan lupa kalau ia juga raja pertama yang memiliki mobil pribadi di seluruh penjuru Jawa) dan membagi-bagikan uang kepada rakyat yang kurang mampu. Paku Buwono X mendapatkan bintang kehormatan dari Sri Maharaja Puteri Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam bahasa Belanda Zijne Vorstelijke Hoogheid. Permaisurinya, Gusti Bandara Raden Ajeng Mur Sudarsinah merupakan putri Sultan Yogyakarta. Penikahan mereka menjadi sejarah karena setelah kerajaan Mataram pecah di tahun 1755 baru kali ini keraton Surakarta dan Yogyakarta kembali menjalin hubungan akrab.

Dalam lukisan ini Ia mengenakan jas hitam atau yang biasa disebut beskap berhiaskan banyak sekali lencana kehormatan. Warna beskap yang hitam menandakan bahwa busana ini tergolong sanes padinetenan atau pakaian yang hanya dikenakan pada upacara adat saja. Sunan Pakubuwono mengenakan kemeja sepinggang serta jarik yang dikencangkan oleh ikat pinggang. Beliau juga mengenakan sepatu atau sloop, yang dari namanya saja sudah jelas berasal dari pengaruh Belanda. Beliau mengenakan kuluk (topi/kopiah kebesaran) yang biasanya juga dikenakan oleh pengantin laki-laki Jawa. Sang istri tampil lebih tradisional dengan baju lengan panjang berbahan velvet atau beludru dengan hiasan benang emas yang hanya boleh dikenakan oleh kaum bangsawan. Jarik dan rambut disanggul. Aksesoris yang ia kenakan ialah tiga susun bros (penanda bahwa beliau merupakan seorang permaisuri), kalung emas, anting-anting, lencana kehormatan, cincin (di kelingking, jari manis dan telunjuk), dan gelang (di kedua pergelangan tangan). Baik raja maupun ratu sama-sama memegang sehelai sapu tangan dengan kunci yang tergantung di bawahnya. Kunci tersebut merupakan kunci ruang pusaka kerajaan.

III. I Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng

I Gusti Ketut Jelantik – Patih Raja Buleleng, Bali (1849)

Patih muda yan terkenal gigih menentang penjajahan Belanda ini sejatinya berasal dari Karangasem. Ia terkenal karena kekerasan hatinya dalam mempertahankan martabat kerajaan dan menolak tunduk pada Belanda. Beliau menyerukan puputan alias perang hingga titik darah penghabisan kepada seluruh warga Buleleng. Meskipun terpaksa mundur hingga ke Gunung Batur, Kintamani dan gugur di sana, nama Gusti Ketut Jelantik tetap hidup sebagai penyemangat warga Bali dalam menentang kekuasaan Belanda di Pulau Dewata. 

I Gusti Jelantik nampak begitu gagah pada foto yang diambil di Batavia tersebut. Pakaian yang dikenakan oleh beliau terdiri atas kemeja berkerah dan jas (?) lengan panjang bermotif, kain yang diikat setinggi ulu hati serta celana panjang corak Bali. Beliau juga mengenakan kain sebagai penutup kepala. Perhiasan yang dipakai hanyalah cincin pada jari kelingking dan telunjuk. Pengaruh Barat hampir tidak terlihat, pakaian Gusti Jelantik dapat digolongkan nyaris 100%  busana Bali asli. Berbeda dengan kraton Jawa, di Bali tidak ada motif-motif pakaian yang dikhususkan untuk bangsawan semata. Akan tetapi rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan untuk mengenakan kain tenun yang berhiaskan benang emas dan perak atau prada (ragam hias goresan cat emas). Selain hiasan prada, tenunan songket juga menjadi penanda pakaian bangsawan kelas atas. Ciri khas kain Bali yang biasanya berwarna-warni sayangnya tidak dapat kita nikmati dengan jelas pada foto hitam-putih I Gusti Jelantik.

IV. Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa MatinroE ri TucaE dari Kerajaan Tanete

Retna Kencana Colliq Pujie – Arung Pancana Toa (1812-1876)

Sosok perempuan inspiratif yang telah menyusun naskah La Galigo terpanjang di dunia ini adalah seorang sejarawan, budayawan dan novelis pada zamannya. Tidak hanya sampai di situ, kejeniusan beliau juga nampak dengan terciptanya aksara Bilang-Bilang yang idenya diambil dari bentuk aksara Lontaraq dan Arab. Wanita keturunan Johor-Bugis ini terkenal gigih dalam menghadapi Belanda yang bercokol di negeri Tanete (Kab. Barru, Sulawesi Selatan). Meskipun diasingkan selama bertahun-tahun dan tidak mendapatkan perlakuan selayaknya seorang ratu, Colliq Pujie tetap bertahan dengan prinsipnya untuk tidak tunduk pada penjajahan Belanda.

Pada foto di atas, beliau mengenakan baju model Melayu lengan panjang dengan motif geometris. Baju ini tergolong unik, coba saja perhatikan sambungan diagonal yang melintang dari pundak sebelah kiri beliau hingga perut sebelah kanan. Aksesoris yang ia gunakan antara lain dua cincin emas pada jari telunjuk dan jari manis, kalung, serta semacam sisir kecil yang disisipkan di rambut bagian atas serta sapu tangan. Nah, rambutnya mengkilap di foto ini hampir bisa dipastikan diolesi oleh minyak kelapa, tradisi yang hingga saat ini pun masih hidup di kalangan orang tua Bugis. Sarung yang beliau kenakan merupakan sarung dengan motif flora (pengaruh Melayu-Cina?), sayangnya keindahan sarung tersebut tidak kelihatan karena warnanya hitam-putih. Yang paling membuat penulis terkesima ialah sepatu bergaya India (Jutti) yang beliau gunakan! Sepatu dengan ujung melengkung ke atas seperti itu menandakan bahwa beliau tergolong up to date dengan dunia fashion pada zamannya.  Dikutip dari situs The Bata Shoes Museum:

In Northern India, the curled toe and open back is a common feature of footwear, as is the beautiful, intricate metallic embroidery, which today is still executed completely by hand.

Konon sepatu tipe Jutti atau Mojari ini pertama diciptakan pada masa Dinasti Mughal di India Utara, tepatnya di sekitar wilayah Punjab dan Rajasthan sekarang. Hanya kalangan orang kaya dan bangsawan yang dapat memakai sepatu berbentuk unik dengan motif-motifnya yang cantik ini karena biaya pembuatanya yang lumayan mahal. Sepatu tipe seperti ini digandrungi Barat ketika Eropa terserang oleh demam “Gila India” sekitar abad ke-17. Wah, ternyata Colliq Pujie tidak hanya seorang jenius secara intelektual, referensi fashion beliau pada masa itu pun telah berkelas internasional!

 

Berlanjut ke Fashion Keraton Nusantara – Part II

Referensi Gambar: 

http://sejarah.kompasiana.com/2010/06/22/sultanah-safiatuddin-memimpin-berapa-lama-174008.html
http://www.bridgemanartondemand.com/image/646807/-pakubuwono-x
http://devry.wordpress.com/2010/10/27/a7789ef88d599b8df86bbee632b2994d/
http://www.balifornian.com/blog/2012/7/30/our-family-and-balis-royal-family-of-karangasem.html
http://indonesiaproud.wordpress.com/2011/12/22/colliq-pujie-perempuan-bugis-intelektual-yang-diakui-dunia/
http://sergapntt.wordpress.com/category/manggarai/

Categories
Featured Kareba-Kareba

HERITAGE CAMP 2013

Apakah kamu peduli akan pelestarian budaya lokal?

Punya wawasan luas dan ide kreatif tentang konservasi budaya?

Bergabunglah bersama puluhan pemuda Indonesia lainnya dalam Heritage Camp 2013!

 

Melalui kegiatan ini, kamu akan berdiskusi dan menjalani sesi workshop dengan pembicara-pembicara ahli dalam hal konservasi kebudayaan. Selain itu, kamu juga akan mengunjungi situs-situs bersejarah yang ada di Yogyakarta dan melakukan praktek lapangan tentang konservasi budaya. Dalam kegiatan ini, kamu juga akan tinggal di Pondok Pemuda Ambarbinangun – cagar budaya yang semula adalah kompleks peristirahatan milik Keraton Yogyakarta.

SEGERA UNDUH FORMULIR PENDAFTARANNYA

heritagecamp2013.blogspot.com

Acara ini diselenggarakan oleh LONTARA (La Galigo for Nusantara) Project dan didukung sepenuhnya oleh American Council dan Yayasan Bina Antarbudaya.