Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Navigasi Bugis di Mata Antropolog Amerika

Suku Bugis sedari dulu memang terkenal sebagai pelaut ulung. Dengan bermodalkan bintang-bintang di langit dan kepandaian membaca alam, mereka mengarungi samudera dan melintasi berbagai benua. Tidak heran, kemampuan ini mengundang decak kagum dari berbagai pihak. Beberapa waktu yang lalu, tim Lontara Project sempat mewawancarai Prof. Eugene E. Ammarell, seorang antropolog ramah dan rendah hati asal Amerika Serikat yang sangat tertarik akan sistem navigasi Bugis ini. Yuk, simak kisahnya!

Prof. Eugene E. Ammarell

Prof. Eugene E. Ammarell atau yang akrab disapa Pak Gene sudah bertahun-tahun meneliti tentang sistem navigasi di Indonesia. Beliau bahkan telah menelurkan sebuah buku berjudul Bugis Navigation (1999), salah satu buku dengan penjelasan terlengkap tentang sistem navigasi Bugis. Mantan direktur Southeast Asian Studies di Universitas Ohio ini pernah tinggal lama di Pulau Balo-Baloang, sebuah pulau di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang letaknya jauh di selatan hampir mendekati Madura, demi kepentingan riset kebudayaan maritim suku Bugis-Makassar. Terbiasa berkomunikasi dengan penduduk setempat membuat beliau mengerti cukup banyak bahasa Bugis. Sepanjang wawancara pun, sesekali Pak Gene melontarkan beberapa kata dalam bahasa Bugis, yang terdengar khas karena masih bercampur dengan aksen Amerika-nya. Kedatangan beliau kali ini, selain untuk mengunjungi Pulau Balo-Baloang, juga untuk memberikan kuliah umum tentang “Shared Space, Conflicting Perceptions, and the Destruction of an Indonesian Fishery” di salah satu universitas swasta di Jakarta.

Perkenalannya dengan kebudayaan maritim memiliki sejarah yang cukup panjang. Pak Gene percaya bahwa pertemuannya dengan kebudayaan ini merupakan sebuah ‘serendipity’. Pada awalnya, beliau belajar tentang astronomi Amerika dan Eropa. Suatu hari, beliau menghadiri sebuah diskusi. Di diskusi itu beliau menyadari bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari tentang astronomi di Indonesia yang bahkan belum pernah dibicarakan atau ditulis oleh orang-orang sebelumnya. Beliau kemudian mulai mencari tahu banyak hal mengenai navigasi, salah satunya adalah navigasi Polinesia. Kebetulan, beliau bertemu dua orang berbeda yang kemudian menjadi awal perkenalannnya dengan navigasi Bugis.

Pertama, kolega beliau  di Peace Corps, seorang wanita dari Malaysia, namun berdomisili di Amerika Serikat. Selama dua tahun, Pak Gene pernah tinggal di Malaysia dan mengajar sains dan matematika sebagai bagian dari program Peace Corps yang beliau ikuti. Koleganya ini pernah berlayar selama setahun dengan menggunakan perahu Bugis dalam rangka penelitian post-doctoral nya tentang studi ekonomi. Pak Gene kemudian menanyakan berbagai hal mengenai sistem navigasi. Satu kalimat yang Ia ingat dengan pasti dari mulut koleganya itu ialah“Buginese people are good navigators”. Kedua, koleganya yang sedang belajar di Kalimantan. Beliau mengambil kelas darinya dan menanyakan tentang suku Dayak yang mempelajari bintang. Dari koleganya tersebut, beliau mengetahui bahwa suku Dayak mempelajari bintang untuk pertanian. Ketiganya kemudian mengajukan hibah untuk melakukan studi kecil-kecilan tentang astronomi di Dayak dan astronomi di Bugis.

Setelah setengah bulan di Kalimantan, mereka akhirnya ke Makassar. Pelabuhan Paotere adalah tempat yang mereka tuju. Di sana mereka melihat sebuah lambo, sebuah perahu niaga jarak jauh, yang menarik perhatian. Walaupun kecil, lambo tersebut masih baru dan terlihat bagus. Mereka pun menghampiri lambo tersebut dan berbicara dengan kaptennya, seorang pria bernama Pak Razak, untuk menggali informasi. Pak Razak yang pemalu tidak banyak bercerita, namun beliau mengenalkan Pak Gene dan koleganya kepada temannya, Pak Syarifuddin, yang juga merupakan seorang kapten perahu.

Berbeda dengan Pak Razak, Pak Syarifuddin senang berbicara dan memberi tahu mereka banyak hal. Beliau juga memiliki perahu kecil, namun bermesin. Kebetulan ketika itu, Pak Syarifuddin akan berlayar ke Bima, tapi harus transit dulu di Pulau Balo-baloang. Nah, di sinilah awal perkenalan Pak Gene dengan Pulau Balo-Baloang. Pak Gene dan koleganya ingin berlayar menggunakan perahu Bugis tanpa mesin,

“We want to sail on a real Bugis ship”, katanya.

Akhirnya mereka menyasar perahu pak Razak yang memang masih menggunakan layar. Pak Razak sudah mengingatkan bahwa pelayaran akan memakan waktu yang lama dan perjalanannya belum tentu disukai oleh mereka. Namun, pak Gene dan koleganya tetap nekat untuk berlayar. Benar saja, mereka membutuhkan waktu selama tiga hari untuk sampai di Pulau Balo-Baloang. Namun, Pak Gene tidak menyesal karena pemandangan yang beliau liat selama berlayar sangat indah, It was beautiful on the boat,” ujarnya.

Pelayaran tersebut hanyalah permulaan dari banyak pelayaran yang dilakukannya. Beberapa waktu kemudian, atas permintaan beliau, Pak Syarifuddin membawanya berlayar selama lima minggu lagi. Dari perjalanan itu, Pak Gene terkesan sekaligus menyadari bahwa betapa sulit menjalani pekerjaan sebagai pelaut. Mereka bisa saja berada di lautan selama beberapa minggu dan mereka harus menemukan jalan pulangnya kembali. Menurut beliau, hal tersebut tidak mudah dilakukan, butuh keterampilan khusus.

Pak Gene bersama tim Lontara Project
Pak Gene sedang berbincang dengan koleganya

Ditanya mengenai perbedaan mendasar antara navigasi Barat dan navigasi Bugis. Pak Gene mengutarakan bahwa navigasi barat pada umumnya mekanis, sangat bergantung pada Global Positioning System (GPS), kompas magnetik, dan sebagainya. Navigasi barat sangat matematis. Jadi, begitu alat-alat tersebut tidak bekerja, para pelaut tidak bisa berbuat apapun. Sebaliknya, navigasi Bugis mengandalkan bintang, arah angin, pergerakan cuaca, dan kemampuan membaca laut.

“I’ve never studied Western navigation very much. I think I understand Bugis navigation better.” aku Pak Gene.

Keramahan dan keterbukaan masyarakat Indonesia, terutama pelaut Bugis-lah yang membuat Pak Gene selalu merasa terpanggil untuk kembali ke Indonesia. Mereka telah begitu baik kepada beliau dan telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Selain belajar banyak tentang navigasi, Pak Gene juga belajar tentang arti berbagi dari masyarakat Indonesia. Menurutnya, itulah yang menjaga keseimbangan harmoni dalam masyarakat kita.

Sebenarnya, tim Lontara Project masih ingin berbincang lebih lama dengan Pak Gene. Namun, ternyata waktu tidak memungkinkan. Pak Gene harus segera bersiap untuk kunjungan berikutnya ke Pulau Balo-Baloang. Nah, Sobat Lontara, kalau Pak Gene saja yang bukan orang Indonesia asli bisa begitu tertarik dengan keunikan tradisi kita, kenapa kita tidak? Kita bangsa yang kaya loh. Jangan malu mengkaji sistem budaya kita sendiri.

 

PS: Dua minggu setelah wawancara bersama dengan Pak Gene dilakukan, tim Lontara Project yang sedang berada di Makassar yaitu Ahlul, Maharani dan Nirwan sempat bertemu dengan Pak Gene, sebelum beliau berangkat menuju Pulau Balo-Baloang. Pada kesempatan itu kami berbincang lagi dengannya dan dijanjikan untuk diberi buku “Navigasi Bugis”, masterpiece beliau. Sekarang, buku berjumlah 326 halaman itu menjadi inspirasi bagi kami untuk terus mengkaji dan mencintai budaya Indonesia sebagaimana janji kami kepadanya. Terima kasih, Pak Gene!

Pak Gene bersama Tim Lontara Project di Makassar
Tim Lontara Project sedang berbincang dengan Pak Gene

 

Categories
Featured Galigoku

Inspirasi dari “Docplomat” Asal Bugis

Mereka (GAM) melihat ayahnya dibunuh, kakaknya ditangkap, adiknya hilang, tetntu saja mereka sakit hati. Itulah yang membuat orang bergabung dengan GAM, dan inilah yang harus dibenahi

Awal tahun 2007, seperti biasa, kala penat menyerang menjelang ujian akhir nasional, perpustakaan di sekolahku, MAN Insan Cendekia menjadi tempat favorit yang selalu kutuju. Ketika hendak menuju sofa empuk kosong yang biasanya menjadi rebutan, mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah buku tebal tergeletak di salah satu ujung rak di sudut ruangan. Tidak strategis posisinya, tapi wujudnya yang mantab, hard cover warna hitam,seperti ada magnet di dalam buku itu yang menarikku. Kutinggalkan koran yang sedianya kubaca, berjalan melintasi ruangan berlapis karpet biru, kuraih buku itu.

To See The Unseen, Di Balik Damai Di Aceh”. Judul yang sangat mengundang, batinku. Buku ini seolah meningkatkan daya magnetiknya ketika kutemukan bahwa tokoh utama yang bercerita dalam biografi kisah nyata diplomasi ini adalah seorang dokter, bahkan seorang spesialis bedah-digestive, yakni dr. Farid Husain, seorang dokter senior putra Bugis asli. Pada bagian awal untaian kisah pengalaman nyata ini, aku mendapati bahwa buku ini menjanjikan jawaban atas kegelisahanku yang memuncak dalam memilih jurusan kuliah kelak. Beberapa saat lagi ujian seleksi masuk UGM dilaksanakan. Kampus Insan Cendekia sendiri akan menjadi salah satu tuan rumah ujian untuk wilayah Banten, Lampung dan Sumatera Selatan. Perang batinku masih antara Pendidikan Kedokteran, menjadi dokter sebagaimana wasiat almarhum Bapak, atau  Hubungan Internasional passion utamaku kala itu agar bisa menjadi diplomat kelak. Sejak detik kubuka buku itu aku sudah lupa kembali duduk di sofa tadi, kubaca lembar demi lembar buku itu, sambil tetap berdiri.

Juni 2003, sebulan sejak penetapan Darurat Militer di Aceh oleh pemerintah pusat, berkat kedekatannya dengan seniornya yakni Jusuf Kalla yang menjabat Menkokesra saat itu dan juga berasal dari Sulawesi Selatan, Farid Husain diminta oleh Jusuf Kalla untuk memelihara hubungan baik dan komunikasi dengan para pimpinan GAM di Aceh, juga di luar Indonesia, dalam rangka menginisiasi perdamaian antara GAM dan Pemerintah RI. Jusuf Kalla yakin, konflik di Aceh dapat diselesaikan dengan satu hasil bulat, damai, sebagaimana inisiatifnya yang berhasil di Ambon dan Poso yang juga diamanahkan pada tangan dingin Farid Husain.

Babak selanjutnya, Farid Husain mengatur dan menjalankan berbagai strategi dengan tujuan akhir perdamaian antara GAM dan pemerintah Republik Indonesia. Berbagai jalur diplomasi di balik layar ia lakukan. Farid Husain bahkan berhasil mendapatkan dukungan dari Crisis ManagementInitiative dan Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari yang telah berpuluh tahun berpengalaman dalam perdamaian konflik melalui kontaknya di Finlandia, Juha Christensen yang dikenalnya dua puluh tahun lalu saat Juha meneliti bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan. Dalam periode yang bersamaan, tidak hanya di Jakarta dan Aceh, Farid Husain juga melakukan berbagai pertemuan hingga ke Singapura, Belanda, dan Swedia demi menemui berbagai elemen hingga pimpinan GAM. Dengan beragam tempat pertemuan mulai dari lobby hotel,restoran, hingga belantara hutan.

Pengalaman Farid Husain sebagai dokter selama hampir seperempat abad menunjang upaya diplomasi dan treatmentyang diberikannya kepada pihak GAM. Umumnya dokter yang hendak mendiagnosa, pertemuan dan pemeriksaan pasien adalah hal yang dapat dikatakan mutlak selain didukung hasil pemeriksaan lain. Untuk mendekati dan meresapi aspirasi masyarakat Aceh dan mendekati pasukan GAM yang merupakan ‘pasien’nya di lapangan, tidak jarang Farid Husain harus berhadapan langsung dengan pucuk senjata. Namun kepiawaiannya dalam berkomunikasi dan pendekatan personal justru membuatnya dapat diterima oleh para aktivis GAM di lapangan bahkan dianggap seperti saudara. Kelak pendekatan personal, prinsip yang juga diterapkannya dalam menghadapai pasien, inilah yang menurut Farid Husain merupakan kunci keberhasilan upaya perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM ini.

Seperti halnya pasien yang datang karena menderita suatu penyakit, perlawanan GAM tumbuh dari rasa sakit hati.

“Mereka (GAM) melihat ayahnya dibunuh, kakaknya ditangkap, adiknya hilang, tetntu saja mereka sakit hati. Itulah yang membuat orang bergabung dengan GAM, dan inilah yang harus dibenahi,” urai Farid Husain. Seperti yang diterapkannya kala berhadapan dengan pasien, Farid Husain aktif mendengarkan keluhan bahkan makian dari pihak GAM terhadap pemerintah RI. Mengutip pernyataannya,

“Itulah (prinsip) yang saya lakukan dalam menjalin kontak dengan orang-orang GAM. Saya coba menampung keluhan mereka sampai kemudian mereka merasa lega. Saat itulah saya masuk ke alam mereka dan menyelami perasaan mereka,”

Tidak hanya mendengarkan, Farid Husain juga menunjukkan empatinya sebagaimana ia menghadapi pasiennya. “Dok, saya pusing dan mual kenapa ya, Dok.”  Farid akan menujukkan empati dengan berkata,“Oh, saya juga sering pusing-pusing begitu,” Semua upaya itu dilakukannya agar para para petinggi GAM mau maju ke meja perundingan damai.

Upayanya yang luar biasa dalam melakukan pendekatan untuk meyakinkan para petinggi GAM dibahasakan oleh Jusuf Kalla dalam buku biografi itu, dalam perspektif manajemen dan bisnis.

“Jadi tugasnya (Farid), kalau dari sudut saya sebagai bekas pengusaha adalah menawarkan, menjual, dan melaksanakan kegiatan purnajual.Kalau dari sisi Dr Farid sebagaimana dokter ahli bedah, mulai dengan memeriksa, mengambil tindakan, dan recovery.Tugas itu selalu dilaksanakan dengan tulus, bertanggung jawab dan dengan gembira. Karena itu selalu saja dia dapat menemukan jalan yang kita tidak lihat, “

Akhirnya pada 15 Agustus 2005, ditandatanganilah MoU antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia setelah melalui lima ronde perundingan sejak 28 Januari 2005. Satu hal menarik dalam perundingan adalah dari lima delegasi Indonesia yang kesemuanya berasal dari luar Jawa, demi menjaga netralitas, tiga delegasi berasal dari Sulawesi Selatan. Selain Farid Husain, ada Menkumham saat itu Hamid Awaluddin, yang juga berasal dari Sulawesi Selatan. Dominannya juru runding asal Aceh dan Makassar dalam babak-babak perundingan sempat memunculkan gurauan bahwa perundingan ini antara GAM dengan GAM, Gerakan Aceh Merdeka dan Gerombolan Anak Makassar.

Usai membaca biografi Farid Husain yang melibatkan emosi sekaligus intelektual, seolah Tuhan mempertegas apa yang beberapa hari lalu ibuku nasehatkan “sekolah dokter dulu, kalau sudah jadi dokter mau belajar apa aja boleh (bisa)”. Inilah yang menuntunku akhirnya memilih pendidikan kedokteran. Keputusan yang sesuai dengan wasiat almarhum Bapak, dengan harapan kelak dapat menemukan jalan seperti Farid Husain mengawinkan ilmu, prinsip, dan pengalaman di dunia kedokteran dalam dunia diplomasi dan hubungan internasional.

Bagiku, bukan suatu kebetulan Tuhan mengarahkan mataku pada siang itu ke buku yang jumlahnya hanya satu eksemplar di perpustakaan Insan Cendekia itu. Enam tahun sejak aku menyelesaikan buku itu, Tuhan telah menunjukkan bahwa keputusanku kuliah di kedokteran justru mengantarkan ku menyalurkan passion-ku di dunia diplomasi dan hubungan internasional dengan menganugerahkan berbagai karunia yang kusebut “perkawinan” antara pendidikan kedokteran dengan dunia diplomasi dan hubungan internasional. Bahwa dunia kedokteran dapat ‘dikawinkan’ dengan dunia diplomasi dan hubungan internasional yang kuistilahkan sebagai ‘docplomacy’

Tahun 2010, dengan niat mengamalkan ilmu kesehatan yang kudapat, bersama kawan-kawan di FK UGM kami berhasil menjalin kerjasama dengan produsen ponsel dari Finlandia, negara asal Martti Ahtisaari, untuk menyebarkan informasi gaya hidup sehat melalui pembuatan konten kesehatan untuk pengguna di seluruh Indonesia. Tahun 2010, setelah bermodal “Diplomasi Bir” untuk mendapat stipend biaya perjalanan, aku mendapat penghargaan presentasi poster public health terbaik di CharitéUniversitätsmedizin Berlin, Jerman. Di tahun yang sama, dalam rangka partisipasi KBRI Praha pada Festival Budaya kota Plzen, aku diberi kesempatan menampilkan Tari Truno di hadapan masyarakat setempat kala mengikuti program internship mahasiswa kedokteran di Palacky University Hospital di Ceko.

Tahun 2011, harapanku memiliki pengalaman di dunia kesehatan internasional dijawab dengan kesempatan yang sangat langka, kerja magang di kantor pusat WHO Jenewa. Tahun 2011 dan 2012, berkat beasiswa kesehatan masyarakat dari Erasmus Mundus yang memberangkatkanku ke Belgia, bersama istriku dan kawan-kawan Indonesia di Belgia kami mendapat kesempatan menampilkan tari Saman di berbagai acara sosial, resepsi diplomatik, hingga promosi pariwisata tahunan di Belgia. Di Belgia pula aku mendapat kesempatan langka menjalani internship di salah satu WHO Collaboration Center dalam bidang epidemiologi bencana di Université catholique de Louvain tempatku belajar. Di tahun ini juga kami berhasil mengulang kerjasama dengan produsen ponsel asal negara tuan rumah perundingan perdamaian GAM dan RI tadi tadi. Bisa jadi ini pertanda Tuhan bagiku akan semangat keyakinan yang kudapat usai membaca biografi Farid Husain. Kedokteran dapat dikawinkan dengan diplomasi dan hubungan internasional.

Kini Farid Husain yang menduduki jabatan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan dipercaya menjadi utusan khusus (special invoice) Presiden untuk menggagas dialog damai Jakarta-Papua dengan tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan telah berjumpa dengan Panglima TPN Papua Barat, Brigadir Jenderal Richard H. Joweni. Melalui Farid Husain, BrigJen Richard Jowenitelah mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menyatakan bahwa TPN mau berunding untuk segera mengakhiri konflik. Meski berpendidikan dokter spesialis dan menajabat posisi di kementerian kesehatan kontribusi putra Bugis ini dalam diplomasi berbagai perdamaian konflik di Indonesia tak pernah surut.

Aku? Aku bersyukur di semester terakhir perkuliahanku di FK UGM Dokter Farid Husain sempat hadir sebagai pemberi kuliah pakar, aku sampaikan kekagumanku akan karyanya dan terimakasihku akan peran biografinya yang menginspirasiku untuk mendaftar ke FK UGM saat itu. Lewat berbagai media aku masih terus mengikuti sepak terjangnya, menjadikannya inspirator sekaligus “mentor” jarak jauh, sambil terus belajar agar suatu saat aku dapat berbuat karya yang setidaknya sama nyatanya dengan karyanya. Sebagai seorang ‘docplomat’.

 

Sumber:

Buku “To See The Unseen”
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=3624
http://arsip.gatra.com/2005-07-20/artikel.php?id=86475
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=3624
http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/peace/laureates/2008/ahtisaari-photo.html
http://www.acehfeature.org/index.php/site/detailartikel/616/Meretas-Jalan-ke-Helsinki
http://westpapua-arki.blogspot.be/2012/02/surat-tpnopm-kepada-presiden-ri.html
http://www.depkes.go.id

 

Mochammad Fadjar Wibowo, alumni pertukaran pelajar AFS ke Belanda yang pernah magang di World Health Organization, PBB pada tahun 2011. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Umum UGM, sosok murah senyum yang gemar berbisnis kecil-kecilan ini menikah dan langsung melanjutkan pendidikannya di Universite Catholique de Louvain, Belgia. Amat mengidolakan B.J. Habibie, pria yang doyan kebab dan jago menari ini sekarang tengah bekerja sebagai intern di Center for Research Epidemotology of Disasters, Belgia.

Categories
Featured Galigoku

Sarjana = Civilized = Orang yang Berbudaya

Volunteer Lontara Project, Anggita Paramesti, ingin sedikit berbagi perspektifnya terhadap Jakarta selama mengikuti program US Indonesia Partnership Program for Study Abroad Capacity (USIPP). Jakarta yang dikenal sebagai metropolis, kota “kejam” tempat mengadu nasib ini ternyata menyimpan ruang-ruang budaya yang menanti untuk dikunjungi, dihayati, dan dijaga oleh generasi muda Indonesia.

I never liked Jakarta. I see it as a mean place, where the wealth disparity between people is so wide, and the rich doesn’t care to the poor. The national parliament is located here, so I always see Jakarta as the place where corruption is centered. I hate the hectic life, wake up at 4 am and get home at 11 pm JUST because you are trapped in a crazy traffic. It is a scary place because crimes are all around. That was why it was very hard for me to believe the presentation today at the Jakarta Local Government office.

Pak Sukesti Martono, the Deputy Governor told us how Jakarta is a harmonious place where people from different background can melt together in peace, how the economic development of Jakarta is even bigger than the economic development of the country as a whole, how Governor Fauzi Bowo is close to the people. I didn’t believe that. I kept comparing this presentation with Jokowi’s presentation about Solo (I interpreted for him when he talked in front of Citibankers, talked about his leadership experience in Solo). Jokowi is just real. He didn’t fill his slide with the normative principles, how things should happen. Instead, he gave the examples, how things already are. When the audiences asked him about his plan or idea, he didn’t come up with abstract things like, “Yeah, we should have dialogue in order to respect each other.” But he went like, “What I did was… because… and the result was…” And he didn’t need to put his picture on banners all around the city to make people acknowledge him. He is already in people’s heart and mind because he really does the people favors. I don’t want to sound like campaigning for DKI Jakarta Governor Candidates here. I mean, I do not even live here (Thank God). But yeah, I started to think that I’m being unfair here.

Gita di Museum Gajah, Jakarta

Jakarta is a lot bigger than Jogja and Solo, and it has more complex situation compare to both cities. Like any other big cities, the gap between rich and poor tends to be more obvious, crimes are more often, and so on. So I asked Pak Junaidi, the Head of UI international office, who is very cool, to get the perspective from a person who live in Jakarta. And yes he admitted that many problems remain unsolved, like traffic jam, but compare to the situation couple years ago, Jakarta nowadays is actually not so bad. I nodded, and promised to myself that I will try my best to see the different side of this city.

So we stopped by to the National Museum or Museum Gajah (which is pretty much my favorite museum beside Ullen Sentalu. I love the golden room the most because it reminds me on how rich Indonesia is), and when we walked around the block where the museum is located, I feel like Jakarta is kind of pretty. The buildings are well taken care of, as well as the plants and flowers, at least it looks good and prestigious as a capital city. After a quick, like real quick, tour in the museum, we went right away to the Constitution Court. I am so excited because the head of the court is one of my favorite figures which is Mahfud M.D. We met with Pak Harjono (read: Pak Haryono), one of the 9 judges in Constitution court. Constitution Court (MK) was established in 1999, as a result of constitution amendment. At that time, post reformation era, Indonesian politics was unstable and there was a demand from the society to uphold the constitution. MK judges consist of 8 male and 1 female (I saw the picture of this lady, I like her, she looks fierce). Since its establishment, MK never had a scandal like any other parts of government (you-know-what).

Mahkamah Konstitusi

Pak Harjono explained that this situation was because 2 factors. The 1st one: in 1999, the political parties and government were not strong enough to give pressure or influence toward MK. So MK can grew independently, in a shaped attitude. And the 2nd, because all the judges were scholars from university! This second point reminded me to our conversation with Pak Junaidi during the lunch. We talked about the system: how to change the system. The most effective way, if not the only way, to change the rotten system is to get into the system and replace it with the new one.

Our concern is whether or not when the idealist people get into the system, they will still uphold their idealism instead of being blown away. To avoid this, Pak Jun said, we need to get into the system together with other people who have the same vision, so the replacement have to be done massively. But how is this possible? And Pak Jun said, that is the job of the university. To create sarjana, sarjana isn’t only mean a scholar. But according to Sanskrit, the word also means a civilized person, orang yang berbudaya. By being civilized doesn’t only mean that you have to be smart, or knowledgeable about cultures, but you also have to have a good manner, and do good deeds.

When these sarjana created by universities get into the system, they will be able to make the change. Pak Harjono and MK prove this hypothesis. I now feel like I have so much optimism for being a university student. From MK, we head to the Old Batavia. We had Pak Jun’s student, Mas Kartum Setiawan, as our tour guide. He works at Museum Mandiri (the biggest bank in Indonesia) and a member of Komunitas Jelajah Budaya or the Cultural Journey Community. He took us through Glodok Market which sells rabbits, candies and electronic things. Through pecinan or China Town in which we found market (that sells lamp, candles, frogs to Chinese herbs medicines), Confucian klenteng, and a church in a shape of klenteng. The church guard is a man from Panggang, Gunung Kidul. His English is fluent because he teaches English in an elementary school. He showed us around the church, told us the story that the church used to be a house of a rich family. Until they finally sold the house to priests.

We then continued the walk to Museum Mandiri, and the old city hall. I’ve seen more in Jakarta today than I thought I can found; the complexity, commitment, and the beautiful places. Guess I’ll start to like it a little.

 

Depok, June 7 2012

 

Anggita Paramesti, mahasiswi FISIPOL UGM yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar AFS-YES ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Pada tahun 2011 Ia berangkat ke Mindanao, Filipina Selatan untuk mengikuti Silsilah Summer Course on Moslem-Christian Dialogue  bersama komunitas lokal Zamboanga. Ketertarikannya pada isu-isu global seperti dialog antaragama, hak-hak minoritas, feminisme dan budaya membuat anak kedua dari dua bersaudara ini kritis terhadap kondisi di sekitarnya. Saat ini Gita bekerja sebagai Interpreter dan guru Bahasa Indonesia untuk pelajar asing di Realia Language and Cultural Center, Yogyakarta.