Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Hikayat Aceh, Ratu Keturunan Bugis dan UNESCO Memory of the World

Sobat Lontara, pada tanggal 18 Mei 2023, UNESCO menganugerahi karya sastra Hikayat Aceh yang tersimpan di koleksi Leiden University Library dan Perpustakaan Nasional Indonesia sebagai “Memory of the World”. Hikayat Aceh berisikan kisah mengenai kehidupan dan gambaran adat-istiadat di istana Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Ternyata ada hubungan istimewa antara karya sastra adiluhung ini dengan para perantau Bugis asal Sulawesi Selatan. Kira-kira seperti apa kaitannya, mari kita simak ceritanya berikut ini!

Sultan Iskandar Muda yang dikenal pula dengan nama Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636) adalah seorang penguasa yang mengantarkan Kesultanan Aceh menuju masa kejayaannya di abad ke-17. Terlahir sebagai putra dari pasangan Mansyur Syah dan Putri Raja Indra Bangsa, Iskandar Muda merupakan keturunan dari Dinasti Meukuta Alam, wangsa pendiri Kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Muda mashyur karena prestasi militernya. Seorang admiral asal Perancis bernama Beaulieu pernah mencatat kedahsyatan pasukan Sultan Iskandar Muda yang tidak hanya terdiri dari prajurit infantri dan gajah-gajah perang, namun juga armada kapal yang berpusat di tiga titik: Aceh, Daya dan Pidie. Sang sultan melakukan serangkaian ekspedisi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitar Selat Malaka seperti Deli, Johor, Pahang, Kedah dan bahkan hingga ke Pulau Nias. Tercatat, kekuatan armada laut Sultan Iskandar Muda juga pernah mengalahkan armada kapal Portugis dalam sebuah pertempuran di dekat Baning.

Selain membangun kekuatan militer Aceh, Sultan Iskandar Muda juga melakukan banyak pembaharuan di bidang hukum dan tatanegara. Tercatat, pada masa pemerintahannya disusun sebuah teks berjudul Adat Meukuta Alam atau dikenal pula dengan nama Adat Qanun. Beberapa ketentuan yang diatur oleh Adat Meukuta Alam antara lain seperti peraturan mengenai struktur kerajaan, Balai Furdah atau pusat perdagangan dalam dan luar negeri, penggunaan cap stempel kerajaan, dan lain sebagainya. Di bawah panduan ulama besar Syamsuddin as-Sumatrani dari Pasai, kebudayaan Aceh yang bercorak adat-istiadat lokal dan Islam berkembang pesat. Sultan Iskandar Muda juga membina hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, bahkan hingga ke benua Eropa lho. Naskah Lontaraq Bilang atau catatan raja-raja Gowa menyebutkan bahwa Sang Meukuta Alam memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan I Mangerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumamenang ri Gaukanna. Pada tahun 1615, Sultan Iskandar Muda pernah mengirim sepucuk surat panjang nan indah untuk King James I of England. Surat tersebut saat ini masih tersimpan di Bodleian Library di Oxford.

Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, takhta kerajaan diwariskan ke menantunya yang bernama Iskandar Thani dari Pahang. Iskandar Thani tidak lama memerintah, ia kemudian digantikan oleh istrinya yang merupakan putri sulung Sultan Iskandar Muda, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam (1641-1675). Selama memerintah, Ratu Safiatuddin melakukan beberapa perubahan penting. Salah satunya seperti mendaur ulang koin-koin emas Aceh yang dikenal dengan nama deureuham dari era-era sebelumnya dengan cara dilebur menjadi deureuham baru. Selain itu ia juga memerintahkan mufti kerajaan yaitu Abdurrauf as-Singkily (Tengku Syiah Kuala) untuk menyusun sebuah kitab pedoman bagi para qadhi (hakim) di wilayah kerajaan berjudul Mir’atul Thullab.

Pada masa pemerintahannya, kesusastraan Aceh berkembang dengan pesat. Tidak hanya dikenal sebagai seorang ratu yang gemar akan sajak dan menulis cerita, ia juga menjadi penyokong bagi para sastrawan dan kalangan terpelajar untuk menciptakan kitab-kitab yang jejaknya masih dapat kita saksikan hari ini. Salah satu karya sastra yang ia patroni penulisannya adalah Hikayat Aceh.

Naskah Or. 1954 Hikayat Aceh yang tersimpan di Perpustakaan Leiden University, Belanda. Sumber: Leiden University Library

Hikayat Aceh adalah suatu naskah berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab (Jawi) dan bercerita mengenai kehidupan serta memuat puji-pujian terhadap Sultan Iskandar Muda, ayah Ratu Safiatuddin. Teks ini juga memuat hubungan Aceh dengan bangsa-bangsa lain seperti Portugis, Turki dan Cina. Tidak hanya itu, Hikayat Aceh menampilkan pengaruh Persia yang cukup menonjol, membuat karya sastra ini sangat kosmopolitan. Hikayat Aceh menjadi sumber penting bagi siapa pun yang tertarik dengan Islam, hubungan internasional dan sejarah Aceh. Meskipun penulisnya sendiri tidak diketahui jati dirinya, namun dipercaya bahwa Ratu Safiatuddin adalah sosok yang memainkan peran besar dalam penulisan hikayat tersebut. Saat ini terdapat tiga salinan Hikayat Aceh. Dua di antaranya tersimpan di koleksi Leiden University Library di Belanda, sedangkan satu salinan lagi tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta. Dengan hanya tiga naskah yang masih ada, Hikayat Aceh tergolong sebagai karya sastra yang sangat langka.

Nah, tahukah kamu bahwa Ratu Safiatuddin merupakan keturunan seorang diaspora Bugis? Ya, beliau adalah buah hati Sultan Iskandar Muda dengan Putroe Tsani atau Puteri Suni, anak perempuan Teungku di Bugéh Reubee Daeng Mansur, seorang ulama asal Sulawesi Selatan yang bermukim di Pidie. Menurut Hamka, Daeng Mansur adalah seorang bangsawan Bugis yang merantau ke Aceh untuk menuntut ilmu agama. Di sana, ia menjadi seorang ulama kerajaan yang digelari Syekh Abdullah al-Malikul Amin. Sultan Iskandar Muda yang saat itu masih remaja pernah berguru kepada Daeng Mansur. Setelah dewasa, ia kemudian menikahi putri sang guru. Makam ibunda Ratu Safiatuddin sampai saat ini pun masih dapat dikunjungi di daerah Gampong Reuntoh, Pidie. Sayangnya, kondisi makam tersebut sudah tidak lagi terawat dengan baik.

Orang-orang Bugis, utamanya yang berasal dari daerah Wajo, diduga telah berlayar ke tanah Kluet (Kabupaten Aceh Selatan) sejak abad ke-17 dan 18. Mereka melalui muara Sungai Asahan masuk ke Gampong Pasie Kuala Asahan. Jejak keberadaan pendatang Bugis ini dapat dilihat dari penamaan ‘Gampong Suak Bugeh’ di Aceh Selatan. Sejarah mencatat bahwa seorang Bugis bernama dokter Farid Husain pernah pula berkontribusi dalam menjembatani dialog perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia di tahun 2005 (Baca kisahnya di artikel kami: Inspirasi dari “Docplomat” Asal Bugis).

Hubungan kekerabatan antara Aceh dan Bugis dalam diri Ratu Safiatuddin merupakan cerminan persatuan dan persaudaraan lintas etnis yang menarik untuk dikaji. Melalui jaringan-jaringan perdagangan, diplomasi dan intelektual, perbedaan bahasa maupun sukubangsa tidak menjadi persoalan utama. Hiruk-pikuk isu-isu SARA yang belakangan ini marak di tanah air seakan-akan melupakan narasi-narasi kebhinnekaan yang telah terjalin jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Justru lewat seorang Sultanah yang berdarah campuran Aceh-Bugis lahir sebuah karya sastra yang hari ini diakui mancanegara sebagai ‘Ingatan Dunia’.

Referensi:

R. Michael Feener, Patrick Daly, Anthony Reid, Mapping the Acehnese Past (2011).

Ahmad Ubaidillah, Ekonomi Islam Nusantara (2023).

Su Fang Ng, Alexander the Great from Britain to Southeast Asia: Peripheral Empires in the Global Renaissance (2019).

Universiteit Leiden, UNESCO Recognizes Manuscripts First Voyage Around the Globe and Hikayat Aceh as World Heritage (2023).

Sher Banu Khan, Sovereign Women in a Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641−1699 (2017).

Syahrizal Abbas, Hakim Perempuan dalam Mir’atuth Thullab Karya Shaykh Abdurrauf As-Singkily (2018).

Sudirman, Deureuham Aceh: Mata Uang Tertua di Nusantara (2018).

Hamka, Sejarah Umat Islam: Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara (2020).

Firdaus, Putroe Tsani di sudut Gampong Reuntoh, https://sinarpidie.co/news/putroe-tsani-di-sudut-gampong-reuntoh/index.html

Marzuki, Jejak Suku Bugis di Tanah Kluet, https://aceh.tribunnews.com/2012/10/28/jejak-suku-bugis-di-tanah-kluet.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Kosmologi Bugis dalam “The Three World of Galigo”

Sobat Lontara, di masa awal pandemi tahun 2020 silam kedua kawan kita, Maharani Budi & Louie Buana, berkolaborasi menciptakan sebuah karya berjudul “The Three World of Galigo.” Karya tersebut merupakan penafsiran visual atas kosmologi masyarakat Bugis di Bumi Sulawesi sebagaimana yang tergambarkan dalam epos La Galigo.

The Three World of Galigo pernah dipamerkan secara virtual sebanyak dua kali. Pertama, dalam rangka Festival Kertas Sejagat yang diselenggarakan pada tanggal 10-20 Mei 2020. Pada kesempatan itu karya Maharani dan Louie dipajang bersama karya 47 perupa lainnya dari seantero Indonesia dan bahkan luar negeri. Sesuai judulnya, pameran tersebut menekankan penggunaan medium kertas dalam proses kreatifnya. Yang kedua, The Three World of Galigo terpilih untuk ditampilkan dalam “Proyek Indonesia” oleh Ilustrasee. Lewat pameran ini, Ilustrasee bertujuan untuk meninggalkan gambaran klise dan mengeksplor visual mengenai Nusantara dengan lebih dalam dan bermakna.

Kali ini, untuk ketiga kalinya The Three World of La Galigo mendapatkan kehormatan dari penerbit Makassar Biennale 2023 dan komunitas Kampung Buku. Karya tersebut dipercaya sebagai ilustrasi sampul buku berjudul “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Pare-Pare dan Pangkep“. Buku yang ditulis oleh 25 peneliti muda itu berisi lima narasi tentang perkembangan wilayah-wilayah yang disebutkan di atas. Cerita-ceritanya disusun berdasarkan pengalaman dan kesaksian-kesaksian tangan pertama.

Nah, untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh terkait ilustrasi “The Three World of Galigo” ini, berikut penjelasannya:

Masyarakat Bugis kuno di Sulawesi Selatan meyakini bahwa jagad raya ini sesungguhnya terdiri dari “tiga lapis dunia, tujuh susun langit dan bumi, serta semesta berbentuk segiempat belah ketupat”.

Pandangan tersebut tertuang di dalam epos La Galigo, naskah yang disakralkan oleh manusia Bugis sebelum kedatangan agama Islam. La Galigo memaparkan bagaimana dunia tercipta dan awal mula manusia hadir di muka bumi (Ale Lino). Penguasa Boting Langiq (kahyangan) dan Perettiwi (negeri di bawah samudera) bersepakat untuk menurunkan Batara Guru, putra sulung Datu Patotoé (raja Boting Langiq) serta menaikkan We Nyiliq Timoq, putri Opu Samudda (dewa yang bertakhta di dasar lautan) sebagai pasangan manusia pertama di Ale Lino. Tujuan dari pengisian Dunia Tengah yang masih kosong dengan manusia itu adalah: agar hakikat Kedewataan para penguasa adikodrati di Boting Langiq dan Perettiwi dapat dikenali mahluk lain, diakui, diagungkan serta disembah. Secara simbolik, eksistensi manusia dalam mengisi & mengelola Dunia Tengah amat bergantung kepada dua dunia lainnya, begitu pula sebaliknya.

Ketiga lapis dunia Galigo ini digambarkan berbentuk sulappa eppaq walasuji (segiempat belah ketupat). Sulappa eppaq walasuji adalah representasi dari empat elemen dasar yang menopang semesta secara makrokosmos (air, api, udara, tanah) serta empat unsur abstrak manusia sempurna sebagai mikrokosmos: kecendekiaan (ammacangeng), kekayaan (asugireng), kekuasaan (akkarungeng), dan ketampanan/kecantikan (akkesingeng).

Tiga dunia yaitu Boting Langiq – Ale Lino – Perettiwi menjadi satu dihubungkan oleh jembatan pelangi (tarawué) dan pohon kosmik Welenrengnge. Pelangi lahir karena titik-titik air dari samudera yang moksha ke angkasa ditempias mentari, sedangkan pohon tumbuh mencakar langit dari rahim bumi. Perpaduan khas Austronesia yang mendamaikan dua hal saling bertentangan (langit-bumi, laut-gunung, siang-malam, panas-dingin). Dikisahkan dalam epos La Galigo bagaimana tokoh Sawerigading dari Ale Luwu menebang pohon Welenrengnge untuk kemudian ia gunakan sebagai kapal berlayar ke negeri Ale Cina. Perubahan bentuk pohon kosmik Welenrengnge menjadi kapal melambangkan filosofi manusia Bugis yang alam semestanya dinamis dan senantiasa berubah, mencitrakan tradisi rantau lewat pepatah “malekkeq dapureng” (berpindah dapur) dimana pusat jagad raya tidak hanya berada pada satu titik namun dapat dipindahkan/digantikan sesuai konteks serta kondisinya.

Di keempat sisi semesta, di sudut-sudut khayali Sulappaq Eppaq, konstelasi kuna dalam rupa Manuk / Ayam (Canopus-Sirius-Procyon), Jonga / Rusa (Ursa Major), Mangiwang / Hiu (Scorpio selatan) & Worong Porong / Tujuh Tumpukan (Pleiades) menjaga dan menerangi dunia. Rasi bintang Bugis tersebut dikenal dengan baik di kalangan nahkoda dan digunakan sebagai petunjuk arah dalam pelayaran. Bintang-bintang tersebut juga dijadikan acuan dalam pergantian musim oleh kalangan petani Bugis. Contohnya, apabila Worong Porong terbenam sebelum waktu shalat subuh (sekitar pukul 04.00) diyakini hujan dari angin musim barat akan segera tiba (pada akhir bulan Desember).

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba Kolaborasi Lontara Project

Ketika La Galigo, La Salaga dan Raden Saleh bertemu di Dresden

Sobat Lontara, pada tanggal 15 Oktober 2022 silam, Lontara Project bekerjasama dengan Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia (IASI) Jerman mendapatkan kehormatan untuk ikut memeriahkan acara Indonesischer Abend 2022 di Stadtmuseum kota Dresden, Jerman. Sejak awal tahun 2022, IASI Jerman telah berkomunikasi dengan pihak penyelenggara Indonesischer Abend yaitu Forum Masyarakat Indonesia di Dresden (FORMID) untuk melibatkan Lontara Project dalam eksebisi di acara tersebut. Kerjasama antara Lontara Project dan IASI Jerman ini bertujuan agar karya-karya yang berhubungan dengan konservasi kreatif dari tradisi-tradisi Sulawesi dapat pula diangkat di kancah diplomasi budaya Indonesia.

Stadtmuseum Dresden tempat dilaksanakannya Indonesischer Abend 2022 oleh FORMID

Acara Indonesischer Abend merupakan bagian dari peringatan 70 tahun hubungan bilateral antara Indonesia dan Jerman oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin. Pada kesempatan tersebut, Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman yaitu Arif Havas Oegroseno juga memberikan komik Raden Saleh kepada walikota Dresden yang hadir sebagai undangan. Raden Sarief Bastaman Saleh adalah seorang maestro lukis dari tanah air pada masa penjajahan Belanda. Kejeniusannya membuat sang pelukis menjadi primadona di kalangan elit masyarakat Eropa. Meski menuai kekaguman, Raden Saleh juga sosok yang kontroversial di kalangan Eropa. Beliau pernah membuat lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro yang menampilkan tokoh-tokoh Belanda dengan kepala di luar ukuran normal sebagai perlawanan atas lukisan serupa yang dilukis oleh Nicolaas Pieneman.

Dresden memiliki tempat spesial dalam sejarah hidup Raden Saleh sebab beliau pernah tinggal di desa kecil bernama Maxen dekat kota tersebut. Di Maxen terdapat sebuah mushola Raden Saleh yang bertuliskan aksara Jawa. Tempat ibadah tersebut dihadiahkan oleh tuan tanah Serre, seorang bangsawan yang menjadi patronnya selama tinggal di Jerman. Komik Raden Saleh merupakan hasil kerjasama antara Indonesia dan sejarawan Werner Kraus untuk memperkenalkan generasi muda di Indonesia dan Jerman akan sosok serta karya Raden Saleh.

Selain mengundang Lontara Project dan IASI Jerman, FORMID juga memberikan ruang bagi komunitas-komunitas seni asal Indonesia untuk meramaikan acara tersebut. Ada pertunjukan angklung dari Rumah Budaya Indonesia di Berlin, penampilan tarian dari rekan-rekan mahasiswa asal Papua, tarian bajidor dari mahasiswa Indonesia di kota Dresden serta lain sebagainya.

Say cheese!

Lontara Project turut memeriahkan perayaan 70 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Jerman dengan memamerkan lukisan La Salaga (karya I Made Sesangka Puja Laksana) dan buku dongeng Legenda La Salaga oleh Louie Buana & Kathryn Wellen dengan melibatkan Aditya Bayu Perdana & Ghina Amalia. Selain itu, untuk pertama kalinya ditampilkan pula Tarot Galigo, hasil kolaborasi Louie Buana dan ilustrator Alan Fajar Ma’aarij. Tarot Galigo adalah serangkaian kartu yang memuat visualisasi dari karakter dan simbol-simbol dalam epos La Galigo. Kartu-kartu Tarot Galigo ini ditujukan sebagai medium untuk menyampaikan cerita La Galigo kepada generasi muda yang penasaran dengan isi dari karya sastra terpanjang di dunia tersebut. Selain itu, Tarot Galigo juga dapat digunakan sebagai permainan atau sarana untuk melatih imajinasi dalam menyusun atau merekontruksi cerita oleh penggunanya.

Tidak hanya eksebisi, malam harinya ditampilkan pula sebuah pertunjukan bertajuk “Storytelling I La Salaga Daeng Mallari”. Persembahan ini mengambil bentuk kolaborasi tiga budaya untuk menuturkan kembali cerita tersebut dengan melibatkan Arief Daeng Rate (pasinrilik), I Made Naraya Sumaniaka (penari) dan Louie Buana sebagai narator. Cerita La Salaga dituturkan di luar bentuk tulisan maupun visual, yaitu melalui pembacaan narasi, lantunan lirik dan teatrikal.

Lontara Project berterima kasih kepada rekan-rekan IASI yang telah terlibat dan berkenan membantu selama proses persiapan acara, teristimewa kepada Eka Magda Febriani (IASI Jerman) dan Mirko di Leipzig. Kerja keras mereka lah yang membuat karya lukisan dan buku dongeng La Salaga serta Tarot Galigo dapat dinikmati masyarakat Jerman.

Sampai jumpa di kesempatan lainnya!

Tengok persiapan di balik layar tim Lontara Project dan IASI Jerman di sini.

Tentang La Salaga Project, tonton lebih lanjut di halaman ini.