Categories
Featured Galigoku Old Stuff Good Stuff

Dari Masa Lalu untuk Masa Depan Indonesia

Sejak ratusan tahun lalu, suku-suku di Nusantara telah bersinggungan dengan bangsa Belanda, yang telah memberi mereka sentuhan dengan perkembangan modern. Dampak revolusi industri, Perang Dunia I dan Perang Dunia II juga telah ikut mempengaruhi suku-suku bangsa di Nusantara berkat hubungan dengan bangsa Belanda.

Namun kemudian revolusi terjadi, darah tertumpah dan abad pun telah berubah, baik dari sisi politik maupun ekonomi. Hubungan dengan Belanda tak lagi seperti zaman silam itu, dimana nasib bangsa kita ditentukan di Den Haag, hasil ekspor kita dikumpulkan di Pelabuhan Rotterdam, dan berbincang dalam bahasa Belanda dipandang eliter. Kini semua bebas ditentukan oleh kita sendiri di Jakarta, produk ekspor dapat kita kirim ke pelabuhan mana saja kita suka. Dapat dikatakan kini pengaruh Belanda telah tertelan zaman.

Kendati pengaruh Belanda dalam kehidupan sehari-hari telah diminimalisir, bahkan nyaris hilang dibandingkan dengan zaman silam itu, namun kita tak boleh melupakan hubungan dengan mereka. Pikirkanlah, Indonesia dijajah oleh Belanda selama berabad-abad. Akankah dalam kurun waktu 68 tahun, yang digonjang-ganjing oleh instabilitas politik,  terdapat suatu penelitian rinci mengenai dampak penjajahan dalam kurun waktu selama itu?

Gedung KITLV, lembaga riset kerajaan Belanda yang telah berdiri sejak tahun 1851 di Leiden. Fokusnya adalah kajian mengenai budaya dan sejarah Indonesia. Di depan KITLV terdapat tulisan berupa syair (elong) dengan aksara Lontaraq Bugis.

Di tengah perkembangan modern dimana haluan RI lebih tertuju ke arah Asia-Pasifik dan mencari pasar-pasar baru hingga persada bumi demi pembangunan nasional, bangsa Indonesia justru apatis dengan sejarah. Kenapa? Memang, sebenarnya sikap ini tidak berlaku eksklusif di Indonesia saja. Setelah Belanda meraih kemerdekaan dari Nazi Jerman lalu memasuki tahun 50-60an dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, orang Belanda juga lebih sibuk dengan masa kini dan masa depan, yang lebih memberi berkah. Sedangkan masa lalu dipandang hanya memberi memori buruk. Demikian pula halnya dengan Indonesia. Setelah reformasi Indonesia sekali lagi mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat. Apa gunanya untuk Kang Marhaen memikirkan masa lalu, jika setiap hari ia masih hidup Senin-Kamis alias kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya? Syarat agar suatu bangsa menghargai masa lalu ialah dia harus meraih kesejahteraan dulu.

Di situlah terletak hebatnya La Galigo for Nusantara Project. Telah bangkit generasi baru yang sudah meraih tingkat kesejahteraan itu, sehingga bisa fokus peduli pada sejarah bangsanya, Nusantara. Mereka adalah hasil dan bukti perjuangan keras membanting tulang dari generasi-generasi sebelumnya. Para pahlawan Indonesia akan bangga atas kepedulian mereka!

Azzam Santosa, lahir dan besar di kota Delft, Belanda. Pemuda asli keturunan Pekalongan, Jawa Tengah, ini kini tengah belajar Ekonomi dan Hukum di Erasmus University, Rotterdam. Di samping berkuliah, ia juga menjabat sebagai Sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to The Netherlands Part III – Berziarah ke Makam Matthes

Sabtu, 21 Desember 2013

Agenda tim Lontara Project pada hari kelima adalah berziarah ke makam Benjamin Franklin Matthes di Den Haag. Hari itu pukul 11.00 pagi tim Lontara Project ditemani dengan Prof. Sirtjo Koolhof, ibu Betty Litamahuputty (peneliti berdarah Belanda-Mamasa-Jawa-Maluku), dan Sunarti Tutu (seorang warga Indonesia asal Maros yang telah menetap di Belanda) menziarahi sebuah pemakaman bernama Oud Eik en Duinen.

Rombongan Lontara Project di hadapan makam Matthes

Kala itu hujan gerimis turun membasahi bumi. Langit Den Haag kelabu, seakan tahu bahwa hari ini kami akan menghaturkan sebuket kembang di pusara salah seorang putra terbaiknya. Matthes merupakan seorang ahli bahasa penerjemah kitab Injil dari Belanda. Dalam mengemban tugasnya di Sulawesi Selatan, Matthes memerlukan bantuan orang lain untuk menerjemahan Injil yang berbahasa Latin ke Bahasa Bugis. Ditemuinya seorang Colliq Pujie, negarawan wanita asal Bugis yang intelek dan terasing di Makassar akibat pemberontakannya terhadap kolonialisme Belanda. Berawal dari situlah B. F. Matthes dan Colliq Pujie memprakarsai dan memulai sebuah proyek besar: penyalinan naskah La Galigo yang tersebar luas di berbagai wilayah di Sulawesi Selatan selama sekitar 20 tahun. Atas ide Matthes dan kerjasamanya dengan Arung Pancana Toa Retna Kencana Colliq Pujie itulah lahir naskah epik tulis terpanjang di dunia yang diakui UNESCO dan tersimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Makam Matthes, putri beserta saudarinya

Makam B. F. Matthes di Den Haag terletak di kompleks pemakaman tua. Di dalamnya juga terdapat beberapa makam penyair dan orang-orang Indo (campuran Belanda-Indonesia) yang tersohor pada zaman Hindia Belanda. Sekedar informasi, Den Haag dulu dikenal dengan nama julukan “Janda Hindia Timur”. Den Haag menjadi tempat bermukim pejabat-pejabat Belanda yang dulu pernah ditempatkan di Hindia Timur serta menjadi tempat suaka bagi banyak warga keturunan Indo pasca merdekanya Hindia Timur. Den Haag selalu punya ikatan yang erat dengan kepulauan Nusantara di seberang samudera sana. Ziarah ini mengingatkan kita kepada kematian serta mengingatkan kita tentang nilai perjuangan orang-orang yang dinikmati hasil karyanya saat ini. Melalui kegiatan ziarah ini diharapkan tim Lontara Project dan pemuda umumnya dapat meningkatkan optimismenya dalam melestarikan budaya nusantara.

 Tulisan Lontara Project tentang B.F. Matthes juga dapat dibaca di –> “Bule-Bule yang Kepincut La Galigo: B.F. Matthes”

 

 Muhammad Ulil Ahsan Arif, mantan Ketua Perhimpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI). Pemuda asal Sengkang ini punya cita-cita yang mulia untuk melestarikan budaya sekaligus mengkampanyekan semangat kesadaran atas isu-isu ketahanan pangan nasional. Dirinya yang lulusan Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini amat multitalenta; Ia dapat memainkan beragam alat musik daerah mulai dari kitoka, suling, hingga puik-puik. Kenali Ulil lebih lanjut dengan mengunjungi blog pribadinya di http://ulilahsan.wordpress.com/

Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode XI – Kelabang, Merak & Muscle

Bab IX Bagian 4: Kelabang Nyeb’rang, Merak Ngigel 

Sesuai dengan namanya, kedua langkah ini diinspirasi dari binatang. Dalam Pencak Silat, banyak sekali nama perguruan dan nama jurus–jurus yang diambil dari nama binatang, ini karena leluhur- leluhur kita banyak juga belajar dari memperhatikan alam. Tidak asing bila dalam beberapa sejarah dan hikayat perguruan silat tertentu disebutkan: “Sang pencipta aliran banyak memperhatikan bagaimana harimau bergerak di hutan dan bagaimana harimau memangsa..” atau mungkin, “sang guru sering mengamati bagaimana anggunnya bangau mengibaskan sayapnya ketika sedang melindungi dirinya.”

Langkah Kelabang Nyeb’rang dan Merak Ngigel adalah salah dua contohnya. Uniknya, kedua teknik ini adalah satu kesatuan langkah. Bagi kawan– awan yang mungkin bingung, sederhananya adalah langkahnya saling serong (seperti kelabang yang sedang merayap, pola jalannya kan zig–zag), dengan egosan pundak yang seperti sedang mengayun melengos (seperti pantat dan buntut merak yang bergoyang ketika berjalan). Ini adalah langkah yang paling susah yang gua pelajari dan latih di Tunggal Rasa.

Mas Ka mencontohkan bagaimana langkah ini digerakkan, dengan penjelasan yang luar biasa detil untuk setiap bagian: Posisi tangan dalam bentuk kepalan khas Tunggal Rasa, tidak lurus, tetapi agak menekuk, dengan bentuk kepalan setengah menotok. Posisi badan sedikit membungkuk, perut ditarik kedalam. Kaki kiri untuk tumpuan, kaki kanan untuk pergerakan.

Mas Ka dan Kepalan Tangan Tunggal Rasa

Pusing dalam memproses detil per detil, gua mengomel: “Mas, kok ribet banget ya? Kan susah untuk ingat begini mas. Katanya dulu harus cepet bisa?”

Mas Ka terkekeh dan membalas, “Put, aku kasih kamu detil ini karena rahasia dan inti geraknya ada di detilnya Put. Ini ciri khas Tunggal Rasa.”

Akhirnya gua memilih untuk diam dan memperhatikan.

Setelah setengah jam membahas detil gerak dan tata langkahnya Kelabang Nyeb’rang dan Merak Ngigel, akhirnya gua mencoba menggerakkan Kelabang Nyeb’rang dan Merak Ngigel ini. Pukul pendek, langkah, egos, langkah, egos pukul pendek, serong. Ulang. Ulang. Ulang. Ulang. AAAARRGGHHH.

Mas Ka memperhatikan dengan serius, dan setelah yang gua rasa sudah berpuluh kali mengulang gerak, akhirnya Mas Ka menyuruh gua untuk stop. “Cukup Put, istirahat.”

Mas Ka mengoper gua botol minum, dan bilang, “Oke Put, udah ngerti ya… kita bakal latihan hal yang sama dua bulan ke depan.”

 

Bab IX Bagian 5: Muscle Memory

Gua kaget, “Ah mas yang bener! Katanya aku harus bisa cepet, kok dua bulan latihannya ulang begini terus?” Mendengarkan omelan gua, Mas Ka hanya terkekeh sambil tersenyum. Kesal, gua mengomel dan menggerutu sampai rumah. Ayah gua menyadari kalau gua nampak tidak biasa ketika pulang latihan, beliau bertanya: “Kamu kenapa?”

Dan di situlah gua menumpahkan kesal gua: “Masa’ aku disuruh ngulang langkah terus-terusan selama dua bulan coba. Geraknya gini – gini doangan lagi (menggerakkan semua langkah yang dilatih secara asal–asalan karena kesal).”

Ayah gua mengangguk – ngangguk dan menanggapi, “Kamu tahu istilah ‘muscle memory’ enggak?”

Pada saat itu, baru pertama kali gua mendengar istilah itu. Gua menggeleng, dan beliau melanjutkan,

“Sekarang Papa Tanya, kamu kalau lagi makan, angkat sendok, kamu mikir enggak kalau harus angkat sendok?”

Gua menjawab, “Ya enggaklah Pa.”, beliau masih melanjutkan,

“Nah, sama halnya kalau kamu lagi ikat tali sepatu kan. Kamu sudah tidak perlu berpikir setelah kamu ikat, kamu perlu bentuk simpul gimana. Itu ingkatan ototmu, karena itu gerakan sudah berulang kali kamu gerakkan, badanmu sudah begitu nyaman sehingga rasanya alami saja untuk kamu bergerak seperti itu. Itulah yang Mas Ka mau ajarin kamu.”

Sekali lagi gua merasa bodoh luar biasa. Semua itu proses, dan itulah yang gua lupa karena sudah merasa bisa.

BERSAMBUNG…

 Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.