Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Heritage Camp

Cikal Bakal Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu

Pernah dengar tentang Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu? Mendengar nama ini untuk pertama kalinya mungkin akan membuat kita langsung teringat akan salah satu suku di Kalimantan yang beragama Hindu dan/atau Buddha. Lalu, apa hubungannya dengan Indramayu? Yuk, mari menelusuri tulisan Muhamad Handar untuk mengetahui jawabannya.

Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu merupakan sebuah komunitas. Orang luar sering menyebutnya dengan istilah “Dayak Losarang” atau “Dayak Indramayu”. Namun, sebelum membahas komunitas ini lebih lanjut. Ada baiknya kita menilik pengertian dan serba-serbi komunitas terlebih dahulu.

Konsep komunitas telah mulai memainkan peranan penting dalam penulisan sejarah pada beberapa tahun terakhir.[1] Studi tentang komunitas telah menjadi bagian antropologi dan sosiologi sejak pertengahan abad ini.

Akhir-akhir ini, para sosiologiwan dan antropologiwan mulai memandang kota sebagai kumpulan komunitas atau “kampung-kampung kota”. Antropologiwan Victor Turner, yang mengembangkan gagasan Durkheim tentang pentingnya acara-acara ‘pesta buih kreatif’ bagi pembaharuan sosial, menciptakan istilah ‘communitas’ untuk menyebut solidaritas sosial yang spontan dan tidak terstruktur (contoh-contohnya meliputi kaum Franciskan awal hingga kaum hippies). Solidaritas tentu saja bersifat sementara karena suatu kelompok informal sering bubar secara perlahan-lahan atau melebur ke dalam institusi formal. Walaupun begitu, komunitas dapat hidup kembali sewaktu-waktu di dalam institusi, berkat ritual dan acara-acara lain atas apa yang dinamakan ‘pembentukan komunitas secara simbolik’.

Ritual Adat Suku Dayak Losarang, Indramayu. (Sumber: http://danielmsy.com/dayak-losarang-indramayu/)

Menurut Benedict Anderson, misalnya faktor penting dalam penciptaan ‘komunitas yang dibayangkan’ ini adalah mundurnya agama dan tumbuhnya bahasa lokal (yang didorong oleh ‘kapitalisme cetak’. Bagi Ernest Gellner, faktor terpentingnya adalah tumbuhnya masyarakat industri, yang menciptakan keseragaman budaya yang ‘di permukaan muncul dalam bentuk nasionalisme’. (Burke, Peter. 2003: 84)

Komunitas merupakan istilah “masyarakat” yang dipakai untuk menyebut dua wujud kesatuan manusia yang menekan kepada aspek lokasi hidup dan wilayah, konsep “kelompok” yang menekan kepada aspek organisasi dan pimpinan dari suatu kesatuan manusia. Ada tiga wujud kesatuan manusia yang tidak dapat disebut “masyarakat”, karena memang tidak memenuhi ketiga unsur yang merupakan syarat dari konsep “masyarakat”, yaitu “kerumunan”, “kategori sosial”, dan “golongan sosial”. Sedangkan “perkumpulan” lazimnya juga tidak disebut demikian juga walaupun memenuhi syarat tersebut.

Nah, kembali pada Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu. Mereka dapat digolongkan sebagai salah satu contoh komunitas masyarakat karena memenuhi syarat-syarat tersebut. Komunitas tersebut tepatnya bermukim di Kampung Segandu. Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.[2] “Suku Dayak Indramayu” mulai mencuat ke permukaan sejak pernyataan mereka untuk menjadi golput (golongan putih) pada Pemilu tahun 2004 yang diungkap beberapa media massa, antara lain Harian Umum Pikiran Rakyat (Bandung) dan Radar Cirebon.

Asal usul penamaan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu :

  • Kata “suku”, artinya kaki, yang mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri di atas kaki masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.
  • Kata “dayak” berasal dari kata “ayak” atau “ngayak”  yang artinya memilih atau menyaring. Makna kata dayak disini adalah menyaring, memilih mana yang baik dan yang salah.
  • Kata “hindu” artinya kandungan atau rahim. Filosofinya adalah bahwa setiap manusia diklahirkan dari kandungan Sang Ibu (perempuan).
  • Kata “budha” berasal dari kata “wuda” yang artinya telanjang. Makna filosofisnya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang.
  • Kata “bumi segandu” yaitu, “bumi” mengandung makna wujud, “segandu” mengandung makna sekujur badan. Gabungan kedua kata tersebut “bumi segandu” mempunyai makna filosofis yaitu kekuatan hidup.
  • Kata “Indramayu” mengandung kata pengertian, “In memiliki kata “inti, ‘Darma artinya orangtua dan kata “Ayu” artinya perempuan. Makna filosofis yaitu bahwa ibu merupakan sumber hidup karena dari rahimnyalah kita semua dilahirkan.

    Suku Dayak Losarang (Sumber: http://fujiprastowo.files.wordpress.com/2012/03/dayak-losarang.jpg)

Jadi, penyebutan kata “suku” pada komunitas tersebut bukan dalam konteks terminologi suku bangsa (etnik) dalam pengertian antropologis, melainkan penyebutan istilah yang diambil dari kata-kata dalam bahasa daerah (Jawa). Demikian pula, dengan kata “dayak” bukan dalam pengertian suku bangsa (etnik) Dayak yang berada di daerah Kalimantan, kendati pun dari sisi performan ada kesamaan yakni mereka (kaum laki-laki) sama-sama tidak mengenakan baju serta mengenakan aksesoris berupa kalung dan gelang (tangan dan kaki).

Kesimpulan yang bisa diambil mengenai komunitas Suku Dayak Indramayu, yaitu :

  1. Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu merupakan sebuah komunitas independen yang tidak mengikatkan diri pada salah satu agama, organisasi, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maupun partai politik tertentu serta organisasi kemasyarakatan.
  2. Warga komunitas ini meyakini ajaran yang diajarkan oleh pimpinan mereka, Takmat Diningrat, yang disebut dengan ajaran ‘Sajarah Alam Ngaji Rasa’. Inti dari ajaran ini mencari kebenaran melalui penyatuan diri dengan alam, pemulian terhadap lingkungan alam, pengabdian kepada keluarga, berperilaku jujur dan sabar.
  3. Istilah “Suku Dayak” yang mereka gunakan sebagai identitas kelompok ini bukanlah ‘suku’ dalam etnik (suku bangsa), melainkan sebuah istilah dalam bahasa Indramayu. Demikian pula kata ‘Dayak’ bukan dalam arti suku bangsa Dayak, melainkan pula diambil dari bahasa Indramayu yang artinya memilih/menyaring.
  4. Pemimpin kelompok ini telah mengalami banyak kekecewaan hidup yang menimbulkan sikap apatis terhadap aturan-aturan formal pemerintah maupun hak-hak sipil mereka. Sikap ini kemudian diikuti oleh para pengikutnya. Selain itu, komunitas tersebut lebih mengarah pada suatu aliran kepercayaan, ketimbang kelompok suku bangsa sebagaimana mereka mengidentifikasikan dirinya ‘Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu’. Kesatuan dan kebersamaan mereka lebih didasari oleh keyakinan bersama akan kebenaran ajaran yang diberikan oleh pemimpin mereka kepada warganya.

 


[1]  Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 81


[2]  Hasil temuan wawancara bersama Nurul Hidayat (berasal dari Indramayu) dari Jurusan Sosiologi Progam Studi Pendidikan Sosiologi Tahun 2008, tertanggal 22 Desember 2011.

 

Muhamad Handar merupakan salah satu alumni Heritage Camp 2013.  Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan program studi Ilmu Sosial dan Politik. Pria yang hobi menulis ini punya tiga kata kunci untuk menggambarkan dirinya: inovatif, kreatif dan cerdas. Kenal lebih jauh dengan Handar lewat blognya http://handarsmart.blogspot.com/.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Sandeq: Sang Primadona dari Mandar

Bulan Februari 2013 lalu, desainer kondang Indonesia Ivan Gunawan mengangkat tema “Malolo” dalam acara Indonesia Fashion Week. Pada kesempatan itu untuk pertama kalinya Ia membuat gebrakan dengan memodifikasi kain tenun Mandar yang terkenal berkualitas wahid ke dalam beragam bentuk pakaian masa kini. Selain kain tenun, Mandar juga populer dengan perahu sandeq-nya. Penasaran apakah itu sandeq? Mari kita baca tulisan rekan Fitria berikut ini!

Pelayaran dengan menggunakan perahu tradisional telah berlangsung selama berabad-abad oleh nenek moyang kita di Nusantara. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya 10 relief perahu kuno di dinding Candi Borobudur. Yang pernah main ke Candi Borobudur mungkin pernah lihat. Nah, relief perahu kuno tersebut kemungkinan besar adalah jenis kapal yang digunakan oleh dinasti Sailendara dan kekaisaran bahari Sriwijaya yang menguasai perairan Nusantara pada abad ke-7 hingga ke-13. Sebagai negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut, Indonesia memang dianugerahi banyak warisan yang berkaitan dengan maritim, salah satunya perahu tradisional.

Bagi yang bersuku Mandar ataupun yang pernah tinggal lama di pulau Sulawesi, perahu tradisional bernama sandeq mungkin sudah tidak asing di telinga. Perahu sandeq merupakan perahu bercadik khas suku Mandar yang terkenal sebagai perahu tradisional tercepat di Austronesia. Suku Mandar sebagai salah satu suku di Sulawesi Barat (dulu termasuk bagian Sulawesi Selatan) memang mempunyai budaya yang berorientasi bahari. Laut menjadi sumber kehidupan mereka. Pelras, seorang etnolog asal Prancis, dalam bukunya “The Bugis” bahkan menuliskan bahwa suku Mandar dikenal sebagai pelaut yang ulung.

Kata sandeq sendiri berarti ‘runcing’, mengacu pada haluan yang tajam dari perahu. Sandeq digunakan untuk berbagai kegiatan maritim, mulai dari memancing hingga transportasi antarpulau. Pada masa kejayaan perdagangan kopra, sandeq mengarungi 700 mil laut dari Mandar ke Bali dan Jawa Timur. Selain di dalam negeri, perahu ini telah terkenal di mancanegara. Perancis, Jepang, Malaysia, Vietnam, dan Filipina adalah beberapa negara yang pernah dijelajahinya.

Si Cantik Sandeq (Source: http://www.geocities.co.jp/SilkRoad-Desert/1367/kanko/sandeq.html)

Selama puluhan tahun, perahu sandeq telah menemani dan memungkinkan bangsa Austronesia dalam menjelajahi lautan. Desain sandeq yang berumur sekitar 3000 tahun pun menjadi warisan pembangunan perahu dan navigasi yang mampu mempengaruhi arsitektur naval Barat, seperti model kapal trimaran dan catamaran modern yang didesain seperti kapal Austronesia.

Berdasarkan buku “Orang Mandar Orang Laut” karya Muhammad Ridwan Alimuddin, nelayan Mandar mulai menggunakan perahu sandeq pada tahun1930-an. Konon, di daerah tersebut, perahu ini pertama kali dikembangkan oleh tukang perahu di Kampung Pambusuang, sebuah kampung yang terletak di pantai Teluk Mandar, sekitar 300 km di sebelah utara Makassar. Pembuatan perahu tersebut terinspirasi oleh model  salah satu perahu besar di pelabuhan Makassar kala itu. Sebelum sandeq, perahu yang biasa digunakan adalah jenis pakur yang bentuknya sekilas seperti sandeq. Perahu pakur ini menggunakan layar tanja’, layar berbentuk segiempat yang tidak bisa ditarik ataupun digulung. Karena tidak praktis, layar tersebut kemudian diganti dengan layar segitiga. Perubahan layar tersebut kemudian diikuti dengan perubahan  bentuk lambung, tiang layar, dan cadik. Nah, inilah awal mula dari perahu sandeq. Dari perubahan-perubahan tersebut kemudian terciptalah perahu sandeq yang kita kenal sekarang ini.

Menurut ukurannya, perahu sandeq terbagi dua, yaitu sandeq kecil dan besar. Perahu sandeq kecil memiliki panjang 5 m, bermuatan 1-2 orang, dan dapat mengarungi laut sejauh 1-5 km dari garis pantai, sedangkan perahu sandeq besar memiliki panjang 7-11 m, bermuatan 3-5 orang, dan dapat mengarungi laut dengan jarak yang lebih jauh.

Para Pasandeq sedang unjuk gigi di Brest, Prancis (Source: http://www.geocities.co.jp/SilkRoad-Desert/1367/kanko/sandeq.html)

Seiring berkembangnya teknologi, jumlah perahu sandeq semakin berkurang. Kehadiran sandeq memang perlahan-lahan telah tergeser oleh kehadiran perahu mesin yang lebih modern yang disebut kappal dan bodi-bodi. Kappal merupakan perahu penangkap ikan terbesar bermotor terbesar yang juga biasa disebut perahu gae karena menggunakan alat penangkap ikan yang disebut gae (pukat cincin), sedangkan bodi-bodi berukuran lebih kecil dari kappal, lebih ramping dan panjang, serta tidak bercadik.

Dalam artikel Ketika Layar Sandeq Tak (Lagi) Berkembang, (Kompas, 28 Februari 2012), diketahui bahwa di Desa Tangnga-Tangnga, hanya 60 dari 510 nelayan yang masih menggunakan sandeq. Itu pun sandeq bermesin. Sedangkan, di Pambusuang, hanya ada 30 unit sandeq dari 769 kapal bermotor yang dipakai oleh sekitar 900 nelayan. Walaupun demikian, sandeq tanpa motor tetap digunakan, terutama dalam balapan sandeq.

Seiring berjalannya waktu, lomba balap sandeq mulai diadakan, salah satunya Sandeq Race. Lomba ini dirancang oleh Horst H. Liebner, seorang peneliti ilmu maritim asal Jerman,  pada tahun 1995. Sampai sekarang, lomba ini masih diadakan dan menarik perhatian turis lokal maupun mancanegara. Pada umumnya, setiap desa memiliki kapal yang didesain khusus untuk balap dan menjadi pemenang perlombaan adalah kebanggaan pemilik perahu dan desanya. Selain untuk keperluan melaut, masyarakat di Kampung Pambusuang memang membuat sandeq untuk keperluan lomba. Pada Juli 2012 lalu, tiga perahu sandeq asal Polewali Mandar, bersama 12 awaknya mewakili Asia di festival maritim internasional di Perancis. Bangga nggak, tuh? 😀

 

Referensi:
Alimuddin, M. Ridwan. 2005. Orang Mandar Orang Laut. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Kerin & Horst. 2001. What is a Sandeq?
Aswin Rizal Harahap, Mohamad Final Daeng, dan Nasrullah Nara. 2012. Ketika Layar Sandeq Tak (Lagi) Berkembang
Junaedi . 2012. Berwisata Sambil Belajar Tentang Perahu Sandeq

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku

NBG 188 Sang Naskah Terpanjang Di Dunia

Awalnya, NBG 188 dikumpulkan oleh I Colliq Pujie Arung Pancana Toa, seorang raja perempuan dari tanah Bugis yang ditahan oleh Belanda. Atas permintaan B.F. Matthes, sang ratu mengumpulkan dan menyalin ulang episode-episode La Galigo. Hasilnya adalah  2212 halaman folio salinan naskah yang merupakan 1/3 dari seluruh naskah La Galigo yang oleh Matthes dibawa ke Belanda. Pada tahun 1987 dimulailah sebuah proyek untuk menerjemahkan dan menerbitkan NBG 188 ini.

Naskah NBG 188 yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya tersusun dalam 2851 lembar folio. Ukuran kedua belas jilid itu 21 x 34 sentimeter. Puisi kuno ini ditulis dengan alat tulis tradisional yang disebut dengan Kallang bertinta hitam dalam aksara Lontaraq dan bahasa bugis kuno. Kertas yang digunakan sebagai media tulis adalah kertas yang berasal dari Eropa. Dikarenakan panjangnya naskah yang harus disalin dan waktu yang cukup lama untuk prosesnya seiring pula penggunaan beberapa jenis kertas yang berbeda-beda baik dari segi kualitas dan kuantitas. Warna krem dan berat kertas yang tebal paling banyak digunakan namun pada bagian-bagian akhir penyalinan, kualitas kertas menurun dengan menggunakan kertas yang berwarna lebih tua dan berat kertas yang tipis sehingga membuat tinta kallang membayang bahkan telah tembus ke bagian belakang kertas tersebut. Colliq Pujie memindahkan isi La Galigo dengan rapi dan dengan tulisan yang jelas walaupun nantinya akan ditemukan beberapa kesalahan penulisan dalam beberapa bagian-bagian naskah. Kesalahan tersebut diperbaiki dengan memberikan tanda kurung siku untuk kata, huruf dan fragmen yang harusnya terdapat dalam puisi La Galigo.

Untuk memudahkan penyusunan, B.F. Matthes memberikan nomor halaman dengan pensil. Pada kebanyakan bagian pinggir naskah dan beberapa bagian kosong di atas kalimat terdapat catatan kecil yang di buat oleh Matthes . Catatan ini merupakan arti kata-kata tertentu dari fragmen puisi La Galigo dalam bahasa Belanda, Makassar dan Bugis kuno itu sendiri yang diterangkan oleh Colliq Pujie selama proses pengerjaannya. Ada juga beberapa kata yang hanya dijelaskan oleh Colliq Pujie namun oleh Matthes tidak dituliskan dalam bahasa Belanda karena kata tersebut merupakan simbol dari konsep kebudayaan Bugis. Contohnya kata : Siri’.

Penyimpanan naskah kuno Bugis La Galigo ini membutuhkan teknologi yang tinggi dengan ruang hampa udara yang bisa menjaga keawetan naskah yang telah berusia ratusan tahun. Untuk melihat langsung naskah kuno ini, silahkan mengunjungi Perpustakaan Leiden di Leiden, Belanda. Tentunya dengan membawa surat pengantar dan mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh pihak perpustakaan. Hal ini perlu diterapkan karena naskah ini adalah naskah asli satu-satunya, Colliq Pujie hanya menuliskan satu set saja dan itupun dibawa oleh Matthes. Adapun penyalinannya belum diterbitkan dan disebar luas kecuali dua jilid dari dua belas yang telah diterjemahkan oleh Alm. Muhammad Salim, dkk. Untuk mendapatkan informasi mengenai salinan ini silahkan menghubungi KITLV baik yang berada di Belanda maupun di Jakarta.

 

Referensi:
Wawancara langsung dengan Alm. Muhammad Salim pada tahun 2010.
Salim, Muhammad & Fachruddin Ambo Enre. (1995). La Galigo menurut naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa (Jilid I). Jakarta: Djambatan-KITLV.
Salim, Muhammad & Fachruddin Ambo Enre. (2000). La Galigo menurut naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa (Jilid II). Makassar: Lephas.
Kern, Rudolph. A. (1989). I La Galigo: Cerita Bugis Kuno, diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Catalogus I (Catalogus van de Boegineesche, tot den I La Galigo-cyclus behoorende handschriften der Leidsch Universiteitsbibliotheek, alsmede van die in andere europeesche bibliotheken) & Catalogus II (Catalogus van de Boegineesche, tot den I La Galigo-cyclus behoorende handschriften van Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara te Makassar) oleh La Side dan M. D. Sagimun. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

 

Nur Azmah Musa, dara kelahiran Maros yang juga alumni Heritage Camp 2013 oleh Lontara Project ini punya kepeduliaan yang besar terhadap budaya. Meskipun menuntut ilmu di Universitas Komputer Indonesia, Azmah aktif di kegiatan yang berhubungan dengan budaya seperti penelitiannya mengenai naskah La Galigo dan keaktifannya di Indonesian Heritage Trust (BBPI). Saat ini Azmah berdomisili di Jakarta.