Categories
Featured Liputan

Gagal Diet di Singkawang

Selama dua malam berada di Singkawang, saya merasa diet saya (hampir) seluruhnya gagal. Setiap sudut kota menawarkan berbagai macam kuliner yang kesemuanya menarik dan nampak lezat untuk dicicipi. Tanpa mengurangi rasa hormat, hanya makanan halal yang bisa saya ceritakan disini.

Kuliner yang pertama saya cicipi adalah Bubur Pedas. Reni kawan saya, mengajak saya makan siang dengan kuliner ini. ‘Ah, mana kenyang. Cuma bubur gitu lho,’ pikirku. Melihat tampilannya saya sempat bertanya dan menebak bagaimana rasanya.

Bubur Pedas Singkawang

Dont judge something by its cover. Rasanya luar biasa, rempah – rempah sebagai bumbu penyedap, diramu dengan campuran daun kangkung dan daun kesum yang konon hanya terdapat di Singkawang. Sebagai pelengkap, ada Jeruk limau, Ikan teri kacang goreng, dan Sambal Kacang Pedas. Bubur Pedas ini biasa disajikan di Singkawang pada saat bulan Ramadhan tiba, sebagai menu wajib pada saat berbuka puasa. Kalau ingin mencicipinya silahkan tandang ke RM Bendahre, Singkawang di Jl. Merdeka no. 1B. Berada persis di depan Taman Burung Singkawang.

Bubur Gunting Singkawang

Sore harinya saya diajak mencicipi Bubur Gunting, Es Gado gado, Bubur Tahu. Penganan jenis ini bisa ditemui di sepanjang Jalan Yos Sudarso. Bubur Gunting terbuat dari Kacang Hijau kupas dengan kuah yang manis dinikmati dengan potongan Cakwe yang digunting.

 

Bubur Tahu secara fisik serupa dengan Bubur Kembang Tahu yang bisa kita temui di Jakarta.Cuma bedanya, di Singkawang kuahnya bukan menggunuakan Wedang jahe melainkan kuah manis dari gula tebu. Dan wajib dinikmati hangat hangat.Untuk minumannya wajib coba Es Gado Gado. Mendengar namanya saja mungkin yang akan terlintas di benak kita, minuman yang ditambahkan bumbu kacang layaknya kuliner Gado – Gado. Weits, begitu lihat penampakannya, barulah kita menyadari apa sebenarnya Es Gado Gado itu. Isi minuman ini antara lain rumput laut, selasih, potongan agar agar, buah lengkeng kupas, dan bulir jagung rebus bercampur seperti gado gado.

Puas menikmati ‘cemilan’ sore itu, saya beranjak menuju Pasar Hongkong dan Pasar Turi. Kota Singkawang yang heterogen, memungkinkan berbagai etnis masuk di kota ini. Salah satu lokasi yang kental dengan unsur kaum Tionghoa adalah Pasar Hongkong dan Pasar Turi.

Di kedua pasar ini, ada sajian kuliner yang wajib dicoba. Salah satunya Sotong Bakar dan Sotong Kangkung

Sotong Kangkung 1+1+1, nama kedai ini. Sang pemilik yaitu Phang Kin Sen dan Liu Tuy Ngo, memilki alasan kenapa nama itu yang diambil. Menurut mereka, saking enaknya hidangan disini kadang pengunjung tidak cukup hanya menikmati satu piring Sotong bakar saja, mereka juga ingin mencicipi Sotong Kangkung. Dari satu piring tambah satu piring dst. Begitu ceritanya.

Dan memang terbukti. Sepiring Sotong Kangkung habis saya lahap, kawan saya Reni yang menemani saya berjalan jalan dari sore kembali pun memesan Sotong Bakar. Hidangan ini telah menjadi primadona bagi siapapun yang mengunjungi Kota Singkawang. Kalau penasaran sama kuliner ini, datang langsung ke Pasar Turi Singkawang.

Bagaimana kalau saya sebut list kuliner diatas adalah makanan pembuka? Apaaaa, masih ada lagi?! Yap, tambahan buat main course ada Mie Kering Haji Yaman. Lokasinya cukup mudah ditemui, berada sebelum Pintu masuk menuju Kota Singkawang.

Mie Kering Haji Aman

Sebenarnya sih tampilannya menyerupai Mie Ayam, tapi orang Singkawang menamainya dengan mie kering karena kuahnya terpisah. Yang unik, untuk menikmati mie ini harus diberi perasan jeruk sayur terlebih dahulu sebelum dinikmati. Kalau tertarik kesini, jangan terlalu sore ya, nanti kehabisan. Sudah kenyang, atau malah tambah lapar? Silahkan kunjungi beberapa referensi kuliner saya tadi. Dijamin mengenyangkan. Ah, memang benar benar kuliner di Singkawang membuat diet saya gagal kali ini.

 Githa Anastasiaseorang ecotourism consultant, penikmat pasar tradisional, volunteer kegiatan sosial dan lingkungan. Predikat itu berada di perempuan ini, plus salah satu penghargaan yang baru saja ia terima sebagai salah satu Creative Tourism Ambassador dari salah satu Media Marketing terkemuika di Indonesia. Kenali Indonesia dan budayanya melalui sisi masyarakat lokal dan potensi kelompok usaha di wilayah tersebut.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Di Balik Bintang Budaya Parama Dharma…

Hari itu, Selasa 13 Agustus 2013. H. Andi Muhammad Rum, seorang ahli waris keluarga Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa berdiri di aula utama istana negara. Dirinya diterbangkan jauh-jauh dari bumi Sulawesi Selatan untuk menerima sebuah anugerah. Anugerah yang ditujukan kepada almarhum sang nenenda, penyalin naskah terpanjang di dunia, epos La Galigo yang saat ini beristirahat tenang di Leiden, Belanda. Melalui Keppres Nomor 57/TK/2013 ada 28 tokoh yang dianugerahi tanda kebesaran oleh negara pada hari itu. Dua di antaranya, penerima Bintang Budaya Parama Dharma ialah Colliq Pujie dan Hamzah Fansuri, penyair Islam nan mashyur dari Tanah Rencong.

Ada sebuah kegelisahan di balik penganugerahan ini. Di tengah segala kebahagiaan dan kesyukuran karena jasa Sang Ratu Tanete yang dulunya pernah diboikot oleh Belanda dan hidup di pengasingan layaknya “kandang” ini, tersirat cerita ketimpangan. Timpang? Beliau yang turut berjuang memompa semangat perjuangan rakyat Tanete untuk melawan Belanda pada tahun 1855 serta aktif dalam melestarikan budaya tulis nenek moyangnya ini belumlah mendapatkan penghargaan dengan selayaknya. Beliau yang tidak hanya melakukan perjuangan intelektual namun juga secara fisik dalam menghadapi pemerintah kolonial sudah sepantasnya diluhurkan dengan gelaran Pahlawan Nasional, sebagaimana yang saat ini tersemat pada diri Cut Nyak Dien sang Syuhada Perang Aceh serta R.A. Kartini.

Seorang Colliq Pujie wafat dalam keterasingan. Ia meninggal setelah 10 tahun diasingkan ke Makassar, yang jaraknya saat itu cukup jauh dari tempat asalnya di Kabupaten Barru sekarang. Beliau menciptakan aksara Bilang-Bilang yang merupakan sebuah alat komunikasi rahasia untuk menyampaikan pesan-pesan yang membakar semangat rakyat Tanete dalam gerilya mereka melawan Belanda. Tidak hanya itu, beliau juga mengarang lontar-lontar sejarah kerajaan Tanete yang penting sebagai dokumentasi masa lampau.

Sebenarnya sudah sejak tahun 2004 sudah dilakukan banyak usaha oleh budayawan Sulawesi Selatan untuk mengangkat nama beliau sebagai seorang Pahlawan Nasional. Pada tahun 2009 pernah diadakan seminar sehari yang disponsori oleh Kabupaten Barru dan Divisi Humaniora Universitas Hasanuddin yang bertajuk “Pengusulan Pahlawan Nasional Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa”. Pernyataan ini juga disetujui oleh sejarawan Univeristas Hasanuddin, Edward Poelinggomang yang dalam diskusi “Colliq Pujie Pejuang Arsip dan Bedah Buku” oleh Badan Arsip Sulawesi Selatan pada tahun 2010 menyebutkan bahwa karya-karya beliau telah menjadi bahan seminar internasional di Leiden. Sayangnya, usaha-usaha tersebut ditolak oleh pemerintah pusat. Beberapa alasannya pun cukup konyol: karena beliau pernah bekerja sama dengan pihak asing yaitu misionaris B.F. Matthes dalam menyalin ulang naskah La Galigo (!). Lalu, bagaimana halnya dengan R.A. Kartini yang bersurat-suratan dengan Nyonya Abendanon seorang Belanda yang juga sahabat karibnya?

Hingga hari ini, belum ada kepastian apakah Colliq Pujie dapat diakui jasa-jasanya sebagai seorang Pahlawan Nasional. Tidak ada seorang sosok pahlawan pun di persada bumi pertiwi ini yang atas jasanya mampu membuat sebuah mahakarya asli bangsa Indonesia seperti La Galigo diakui sebagai warisan dunia (Memory of The World UNESCO). Demikian pula, tidak ada sosok wanita pra-kemerdekaan yang mampu berjuang baik secara fisik maupun intelektual sekeras perjuangan wanita yang di akhir hayatnya ini meninggal dengan kondisi ekonomi yang memiriskan hati.

Mungkin pemerintah Indonesia tidak akan pernah dapat mengapresiasi jasa seorang Colliq Pujie dengan layak, secara formal. Ini menjadi tanggung jawab generasi Indonesia untuk menghormati beliau dengan mengenang jasa-jasa besarnya yang telah mengharumkan tanah air.  Pada generasi penerus inilah kelak perbuatan beliau akan terus dihayati serta menjadi amal jariah yang tak kunjung putus, pengingat bahwa jasa-jasa di kehidupan ini pasti akan dibalas sekecil apapun itu di hari akhirat. Sesuai ujaran Hamzah Fansuri dalam lirik-lirik syair mistiknya:

Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu

Terima kasih, Colliq Pujie. Bagi kami dirimu adalah pahlawan bangsa.

Referensi:

Nurhayati Rahman, Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa 1812-1876: Intelektual Penggerak Zaman, La Galigo Press: 2008.
http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2013/08/13/9299.html
http://metronews.fajar.co.id/read/102471/61/iklan/index.php
http://sudewi2000.wordpress.com/2009/07/26/colliq-pujie-perempuan-cerdas-unik-dan-perkasa-dari-bugis/
http://www.daengrusle.net/lebih-tangguh-dari-kartini/

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Bugis of Sabah: A Story of Migration

This writing is based on the author interview with Mohd Safar Abdul Halim, the third generation of Bugis migrant in Sabah, Malaysia. The Bugis community are best known as sailors, fishermans, merchants and also paid warriors to fight against the pirates of the Sulu Sea by the Sultanate of Sulu. They once also known as “the most energetic and successful cultivator of coconuts” in Tawau. The strong nature of family relationship in Bugis culture has made them one of the most-closely-connected-to each other ethnic group in eastern part of Malaysia. This is the story of their preservation toward ancestor’s tradition, although separated thousand miles away from their original homeland in South Sulawesi, Indonesia.

The Bugis people started to migrate to Tawau, Sabah in 1880. They decided to sail and settle in Sabah because the region was rich of potentials such as fertile soil for farm, and also British Petroleum Company and Japanese lodging company that require a lot of labor. It is known that wherever the Bugis people took abode, the surrounding area will be profited by their creativity to open businesses. The Bugis then hold important place in the economic life of Sabah, they even created job field for the locals. The new generation of Bugis in Sabah has enjoyed the benefit of education by government, many of them are studying until university level. They even hold significant role in the state’s ministries. A lot of the Bugis people in Sabah nowadays are already mixed through marriages with local people such as Dusun, Murut, Iban, Kadazan, and others.

The Bugis who’s migrated to Sabah brought a set of adat law and traditions. The Bugis of Sabah really take a great care of their traditional values, which can be seen from the way they embraces the system of pangaderreng such as adeq, wari, siriq, rappang, and saraq. It is important for Bugis-Sabah that their well-educated children should be raised and adorned with those values. Although lately not so many Bugis generations undersand the philosophy of their traditions, they still perform it, out of respect, to their parents.

Some important cultural expressions related to daily life are still performed by Bugis of Sabah. Important traditional ceremony such as maccera tasiq and mendeq bola is still widely celebrated. This tradition is seen as a way to strengthen their identity. Moreover, these ceremonies become cultural attraction that invite people from different ethnic group in Sabah to come and enjoy the proceedings. Another cultural element that could still be traced from Bugis of Sabah is the preservation of traditional culinary. Dishes such as  burasa, burasa koa, burasa pulu, sokko, palopo, bilundra. ketupat pulut, tumbu, masak likku, tapai, beppa sawalla, bandang-bandang, bandang mallojo, barongko, baulu pecak, katiri salah. kuek bangkek, barobbo and others. Those dishes show uniqueness of Bugis culture, which is very much appreciated by the locals.

Bugis family in Sabah

Although not so many of them lasted with the ability to speak Bugis language anymore, they are still curious and longing to see long-distance relatives from Indonesia. They see their preserved culture as identity to strengthen brotherhood with the Indonesians, especially people of South Sulawesi.