Selama ini banyak yang bilang kalau tokoh-tokoh semacam Sawerigading, Batara Guru maupun We Cudai hanyalah khayalan yang hidup dalam mitos La Galigo. Adapula yang benar-benar yakin akan keberadaan mereka, bahkan sampai-sampai merunut silsilah mereka hingga ke nama-nama yang disebutkan barusan. Salah satu penentu apakah seseorang benar-benar pernah hidup di muka bumi ini ialah keberadaan makamnya. Nah, kali ini ada cerita menarik dari Pulau Selayar mengenai makam We Tenri Dio, putri Sawerigading. Wah, ketika daerah lain di nusantara tidak memiliki situs makam yang berhubungan dengan tokoh-tokoh dalam La Galigo, Selayar nun jauh di ujung selatan jazirah Sulawesi justru menyingkap probabilitas eksistensi salah satu karakter dari epos besar ini. Penasaran? Yuk, kita simak liputannya!
Flyer di atas merupakan hasil reportase Mahasiswa KKN-PPM UGM di Kepulauan Selayar Angkatan Pertama (2012) demi kepentingan promosi wisata dan pelestarian situs-situs sejarah.
Wahyu Putri Kartikasari, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bagian Hukum Pidana. Saat ini tengah berjuang merampungkan studinya. Gadis kelahiran Magelang yang memiliki hobi minum kopi, makan es krim dan jalan- jalan ini juga merupakan seorang pecinta pantai dan pecinta kucing.
Yoshua Rendra, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Pemuda Bantul kelahiran 1991 ini pernah menghabiskan masa kecilnya di Papua. Tidak banyak bicara, Yoshua senang jalan-jalan, makan dan nonton film.
Sembilan dari sepuluh orang yang ditanya tentang naskah kuno pasti akan langsung membayangkan kertas atau daun lontar berwarna kecoklatan dengan huruf purba yang meliuk-liuk hampir tak terbaca lagi. Tidak banyak yang tahu bahwa pujangga-pujangga maupun penyalin naskah-naskah kuno pada zaman dahulu tidak sekedar menorehkan tinta atau mengukir kalimat di atas kertas semata. Ada banyak naskah-naskah kuno beriluminasi yang dapat membuat kita tercengang atas keindahan seni hias yang penuh estetika di nusantara ini.
Apa sih iluminasi itu?
Menurut Mu’jizah dalam bukuIluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19, iluminasi ialah ”istilah khusus dalam ilmu pernaskahan (kodikologi) untuk menyebut gambar dalam naskah”. Dengan kata lain, simpelnya naskah-naskah atau surat-surat beriluminasi dapat juga diartikan sebagai ‘naskah-naskah atau surat-surat bergambar’. Lalu, apa yang membuat naskah beriluminasi ini menarik? Sekarang coba deh perhatikan contoh naskah beriluminasi ini. Foto-foto berikut penulis ambil dari Simposium Internasional XIV Masyarakat Pernaskahan Nusantara yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada bulan lalu:
Menarik bukan? Naskah-naskah kuno tersebut bukan sekedar tulisan yang berisi hikayat, kronik, babad, fabel, atau petuah-petuah belaka. Pembuat maupun penyalin naskah ini paham betul dengan daya tarik gambar dan warna pada naskahnya, sehingga pada saat yang bersamaan naskah tersebut dapat diramu sebagai mahakarya sastra dan seni hias. Nah, uniknya lagi, iluminasi-iluminasi ini tidak hanya muncul pada naskah-naskah kuno saja. Kitab-kitab suci seperti Al-Quran dan surat-surat resmi kerajaan pun juga dihias sedemikian rupa untuk menunjukkan kebesaran serta keindahan obyek tulisannya. Tidak heran jika nusantara pernah mencetak pakar-pakar iluminasi pada masa kerajaan-kerajaan Islam klasik.
Iluminasi-iluminasi yang tertera pada naskah-naskah maupun surat-surat tersebut bukannya hiasan dengan warna-warni yang sedap dipandang mata belaka lho. Setiap pola yang tercipta memiliki maknanya tersendiri. Bahkan dari mana naskah kuno itu berasal juga dapat di-trace berdasarkan tipe atau ciri iluminasi yang dibubuhkan oleh penulisnya. Umumnya, setiap daerah memiliki ragam hiasnya masing-masing. Berikut ini contoh-contohnya, diambil dari http://quran-nusantara.blogspot.com:
Kitab Suci Alquran dengan gaya iluminasi AcehQuran kuno dari Singaraja, Bali
Wah, luar biasa ya nenek moyang bangsa ini! Tidak hanya memuarakan kearifan lokal atau menulis ayat-ayat suci di atas media tulis, mereka juga telah mengembangkan teknologi hias yang begitu indah! Uniknya lagi, motif-motif yang membingkai naskah kuno ini ternyata bukan sekedar ornamen biasa lho. Nenek moyang kita adalah orang-orang yang amat filosofis dan mementingkan makna di atas segalanya. Setiap lekuk atau pola pasti menyimpan arti. Hal ini nampak pada manuskrip dari Minangkabau. Menurut penelitian yang diadakan oleh Universitas Andalas, hiasan matahari pada manuskrip Minangkabau umumnya merupakan simbol Tuhan dan bulan merupakan simbol Nur (cahaya) Nabi Muhammad. Iluminasi burung merupakan simbolisasi dari roh manusia, Pohon Sijratul Muntaha sebagai sumber regenerasi kehidupan, dan bingkai pintu sebagai simbol perhubungan atau komunikasi. Iluminasi naskah kuno ternyata juga menyampaikan cerita kepada pembacanya lho!
Penasaran dengan iluminasi naskah kuno? Tertarik ingin lebih banyak mengumpulkan informasi terkait peninggalan sejarah yang satu ini? Wajib! Sebagai generasi penerus bangsa, kita patut memberikan perhatian khusus atas kelestarian naskah-naskah kuno leluhur kita. Banyaknya naskah kuno yang rusak, hilang, tidak terawat di museum, hingga dijual ke pihak asing membuat bangsa kita kehilangan tidak benda peninggalan sejarah, namun juga informasi berharga yang tertera di dalamnya. Jangan sampai kita menjadi generasi yang kehilangan identitas karena kehilangan rekaman kearifan lokal dalam aksara kuno yang diwariskan oleh nenek moyang.
Hasil Karya Adik-Adik Home-school Gafatar, Makassar
Selasa 28 Agustus 2012, Makassar.
Sore itu, sekitar tiga puluhan adik-adik home-school yang berusia sepuluh hingga tujuh belas tahun memadati ruangan pertemuan di lantai 2 Sekretariat Gafatar. Merupakan sebuah kehormatan bagi LONTARA PROJECT untuk dapat sharing sedikit mengenai La Galigo kepada mereka. Meskipun awalnya terlihat malu-malu, lama-lama adik-adik home-school yang sering mengadakan kegiatan-kegiatan bersama LSM Gafatar ini terlihat begitu antusias.
Hasil Karya Adik-Adik Home-school Gafatar, Makassar
Dengan penasaran, mereka bertanya tentang banyak hal mengenai La Galigo. Pembahasan diselingi dengan dialog interaktif antara tim Lontara Project dan adik-adik Gafatar. Tidak mudah untuk menjelaskan kenapa mereka harus mengetahui dan bangga dengan kekayaan budaya masing-masing ketimbang menjagokan superhero-superhero luar negeri yang membombardir pasaran. Ketika ditanya tentang kebudayaan Makassar, banyak yang menggeleng tertawa karena kurang tahu, bahkan tidak mengerti apa yang menjadi ciri khas Sulawesi Selatan.
Apalagi ketika mereka dibagi ke dalam tiga kelompok untuk saling berkompetisi menggambar ilustrasi tokoh Sawerigading sesuai petunjuk yang tim kami arahkan. Mereka kelihatan berpikir keras saat diberi limabelas menit untuk berimajinasi bagaimana sosok Sawerigading menurut khayalan mereka. Ada yang bingung, ada yang serius, ada yang heboh dalam menuangkan ide-ide mereka ke atas kertas.
Setelah mereka memilih sendiri tiga karya terbaik sebagai perwakilan dari masing-masing kelompok, maka dipilihlah satu pemenang pertama. Dan… Ternyata pemenangnya adalah Aslam! Si jago gambar yang pendiam ini berhak untuk mendapatkan pin I UNCOVER LA GALIGO sebagai hadiah dari kami! Adiknya yang berumur delapan tahun sebagai juara kedua, dan seorang abg berusia empat belas tahun sebagai juara ketiga. Ternyata umur bukanlah penghalang mereka untuk berkarya.
Tadaaa! Inilah Ilustrasi Tokoh Sawerigading Karya Aslam yang Meraih Juara I
Ran, tim LONTARA PROJECT berfoto dengan Aslam Sang Juara Lomba Menggambar Ilustrasi Sawerigading