Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Mencari Referensi tentang La Galigo

Sejak berdiri pada akhir tahun 2011 lalu, Lontara Project telah banyak sekali menerima pertanyaan yang sama dari para pembaca setia maupun dari orang-orang yang sekedar penasaran dengan La Galigo. Setelah La Galigo diakui oleh UNESCO sebagai Memory of The World, dalam sekejap berbondong-bondong pemuda Indonesia bertanya-tanya akan nasib karya sastra ini. Liputan-liputan di televisi, tulisan-tulisan di koran hingga postingan-postingan di blog dan media sosial beramai-ramai membahas tentang La Galigo sebagai harta karun kesusastraan Indonesia yang hilang. Nah persoalannya kemudian: seberapa akurat kah informasi-informasi yang beredar di luar sana, utamanya yang berada di dunia maya?

 
Kesulitan untuk mendapatkan informasi yang aktual dan terpercaya mengenai La Galigo dirasakan bahkan oleh para pendiri dan anggota Lontara Project. Mengapa? Ini disebabkan oleh keterbatasan sumber ilmiah yang dapat dipakai sebagai rujukan. Ambil contoh, buku. Sebagai media keilmuan yang paling mudah dan murah untuk diakses, di toko buku-toko buku besar tanah air, kita tidak dapat menemukan buku yang membahas mengenai La Galigo. Belakangan ini di Gramedia muncul dua jilid novel berjudul I La Galigo yang sebenarnya hanya menyingkat dan mengubah epos tersebut ke bentuk dan bahasa yang ngepop. Meskipun cukup menghibur, masyarakat luas tetaplah membutuhkan sumber-sumber ilmiah sebagai rujukan utama untuk meresapi keadiluhungan serta keistimewaan epos asli Nusantara ini.

 
Pada kesempatan ini, tim kami akan membocorkan referensi berupa buku, artikel, maupun makalah ilmiah yang kami jadikan sebagai sumber informasi berharga. Sebenarnya ada banyak peneliti asing maupun dalam negeri yang mengkaji La Galigo, namun kami hanya akan membatasinya kepada beberapa orang tokoh saja yang karyanya paling sering kami gunakan selama tiga tahun belakangan.

 
Sumber Referensi Buku
Untuk buku, ada empat serangkai tulisan buah karya ibunda Profesor Nurhayati Rahman yang boleh dikatakan merupakan tempat penggalian pertama serta tempat penyocokan akhir kami tentang segala hal yang berhubungan dengan La Galigo. Gaya tulisan beliau yang mengalir dan analisa yang tajam membuat keempat buku tersebut sebagai masterpiece terbaik tentang La Galigo yang ditulis oleh seorang putri Bugis sendiri. Keempat buku tersebut ialah:

 
Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah Meong Mpaloe, terbitan La Galigo Press tahun 2009.
Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa (1812-1876) Intelektual Penggerak Zaman, terbitan La Galigo Press tahun 2008.
Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo (Episode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina: Perspektif Filologi dan Semiotik), terbitan La Galigo Press tahun 2006.
La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, terbitan Pusat Studi La Galigo Universitas Hasanuddin, 2003.

 

Khusus untuk buku yang terakhir, Profesor Nurhayati Rahman bertindak sebagai sebagai editor bersama dengan Anil Hukma dan Idwar Anwar. Buku yang menurut kami merupakan sumber tunggal terlengkap mengenai La Galigo tersebut adalah kumpulan artikel ilmiah yang ditulis oleh berbagai macam akademisi untuk seminar internasional La Galigo yang pernah diadakan di Kab. Barru, Sulawesi Selatan tahun 2003. Di dalamnya ada artikel menarik mengenai bentuk kapal serta rute pelayaran Batara Lattuq menuju negeri Tompoq Tikkaq berdasarkan naskah La Galigo oleh Horst Liebner (seorang peneliti maritim asal Jerman yang juga mengkaji kapal-kapal karam VOC di perairan Indonesia serta perahu sandeq); hubungan antara bissu dan pewarisan tradisi La Galigo oleh Halilintar Latief; identifikasi tokoh Sawerigading oleh Prof. Mattulada; keterkaitan antara Sawerigading dengan tokoh-tokoh di cerita rakyat-cerita rakyat lain oleh James Danandjaja; dan masih banyak lagi.

 

La Galigo Press yang didirikan oleh Profesor Nurhayati merupakan salah satu usaha beliau untuk membumikan kajian La Galigo bagi khalayak umum. Sayangnya, buku-buku beliau tidak beredar secara nasional. Bagi yang ingin mengoleksi buku-buku tersebut, dapat langsung menghubungi La Galigo Press di Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10 Makassar (0411-585920, 588220) atau lewat email ke: galigo_2011@yahoo.com.

 
Buku berikutnya yang tak kalah penting jika berbincang masalah La Galigo ialah karya Prof. Fachruddin Ambo Enre berjudul Ritumpanna Welenrenge Sebuah Episoda Naskah Bugis Klasik Galigo terbitan Yayasan Obor Indonesia. Buku yang terbit tahun 1999 ini adalah hasil kerjasama antara Ecole francaise d’Extreme-Orient dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebelumnya kami juga sudah pernah mereview karya tersebut di web ini. Di lengkapi oleh peta-peta yang mengilustrasikan geografi Dunia Tengah berdasarkan naskah-naskah kuno, isi buku ini cukup lengkap dan terbilang yang paling kaya dengan informasi tentang La Galigo pada masanya. Buku ini masih beredar di kalangan umum, dimana kami pernah menemukan beberapa eksemplarnya yang tersisa di toko buku Toga Mas Gejayan, Yogyakarta.
Kekuasaan Raja, Syeikh dan Ambtenaar Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-2000 karya Thomas Gibson dari University of Rochester, Inggris merupakan sebuah simbiosa yang unik antara La Galigo dan kajian antropologi. Buku ini dipublikasikan dalam versi Bahasa Indonesia oleh Penerbit Ininnawa tahun 2009. Meskipun tidak membahas La Galigo dari segi filologi seperti kedua karya penulis lainnya di atas, Thomas Gibson memfokuskan penelitiannya akan hubungan antara La Galigo dengan pusat kebudayaan maritim lainnya di Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit. Ia juga membahas filosofi mendalam akan peran perempuan dan laki-laki, hubungan antara dunia laut dan pedalaman serta tradisi lisan La Galigo di kalangan pelaut-pelaut Bira, Sulawesi Selatan.

 
Selain itu, ada dua orang penulis lagi yang tidak mungkin luput namanya jika teman-teman ingin menyelami La Galigo lebih dalam. Ia lah almarhum Drs. Muhammad Salim, seorang penerjemah lontaraq yang amat besar jasanya mengalihbahasakan dua jilid naskah La Galigo yang tersimpan di Leiden (NBG 188) ke dalam Bahasa Indonesia. I La Galigo: menurut naskah NBG 188 Jilid 1 dan 2 terbitan Djambatan adalah buku wajib bagi teman-teman yang penasaran akan isi epos besar ini. Manusia Bugis karangan Christian Pelras La Massarassa Daeng Palippu adalah karya wajib lainnya. Di sini informasi mengenai La Galigo dipapar secara rinci, mulai dari perannya sebagai sebuah karya suci masyarakat Bugis pre-Islam, sebagai sebuah karya sastra serta sebagai sumber kajian sejarah. Peneliti berkebangsaan Perancis yang baru saja meninggal dunia pekan lalu ini menganggap La Galigo sebagai sebuah karya yang amat mengesankan, baik dari segi isi maupun panjangnya. Manusia Bugis yang diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok ini diterbitkan Penerbit Nalar (bekerja sama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient) pada tahun 2006.

 
Sayangnya, baik buku terjemahan naskah NBG 188 maupun Manusia Bugis kini sudah tidak dicetak lagi sehingga amat susah untuk mendapatkannya di pasaran. Apabila teman-teman memang berniat untuk mencari, pasar buku bekas Soping di Yogyakarta adalah salah satu tempat yang layak dicoba untuk menemukan karya-karya ini. Jikapun tidak menemukannya di sana, perpustakaan wilayah Sulawesi Selatan serta perpustakaan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Hasanuddin memiliki beberapa eksemplar karya ini.

Sumber Referensi Internet
Generasi muda hari ini yang serba instan, seringkali tidak sabaran dalam mengakses informasi. Teknologi internet dalam hal ini bagaikan pedang bermata dua bagi keakuratan informasi yang mereka peroleh. Berikut adalah hasil penelusuran kami mengenai sumber-sumber online yang dapat dipertanggungjawabkan isinya. Tulisan-tulisan mengenai La Galigo ini berasal dari ilmuwan-ilmuwan dunia yang nama dan gelarnya telah malang-melintang di jagad penelitian akademis selama bertahun-tahun. Kami sajikan nama peneliti yang bersangkutan berikut link tulisan-tulisan mereka.

 
Sirtjo Koolhof: kumpulan tulisan ilmiah yang amat bagus mengenai La Galigo, mulai dari segi sastra, sejarah hingga filosofi yang terkandung di dalamnya. Sirtjo Koolhof adalah salah seorang peneliti berkebangsaan Belanda yang turut berandil besar di dalam penerjemahan dua volume NBG 188 yang tersimpan di Leiden University Library. Link
Muhammad Salim: terjemahan dari salah satu episode La Galigo berjudul Pelayaran Sawerigading ke Senrijawa. Link
A.Zainal Abidin: salah satu peneliti senior naskah-naskah lontaraq dan La Galigo, seorang Guru Besar Universitas Hasanuddin yang juga pakar di bidang hukum. Artikelnya ini diterbitkan oleh Cornell University, Amerika Serikat. Link
David Bullbeack: kajian arkeologi di daerah Luwu yang merujuk pada tradisi La Galigo oleh profesor dari Australian National University (ANU). Link

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Peradaban yang Hilang di Sekitar Bumi Manakarra

Bumi Manakarra yang berarti Bumi Pusaka yang Sakti merupakan julukan yang dimiliki oleh Mamuju, sebuah daerah di Sulawesi Barat. Mamuju dulunya dikenal sebagai salah satu kerajaan yang masuk ke dalam persekutuan Mandar. Keunikan Mamuju sebagai tempat bertemunya kebudayaan pesisir “Pitu Baqbqana Binanga” dan kebudayaan pegunungan Toraja “Pitu Ulunna Salu” membentuk sejarah yang panjang. Masih banyak misteri yang belum terungkap dari daerah ini, salah satunya ialah mengenai jejak artefak peradaban Hindu-Buddah serta situs Austronesia yang konon merupakan yang tertua di Indonesia. Mari sama-sama kita tengok!

Arca Sampaga

Sebuah arca Buddha yang berasal dari abad ke-2 Masehi ditemukan di Sikendeng, kecamatan Sampaga (Mamuju), Sulawesi Barat pada tahun 1921. Patung ini berwujud seorang Buddha yang mengenakan jubah selempang di pundak kiri (lekukan pada kainnya dibuat sedetail mungkin!). Secara ikonografi, langgam arca ini jelas menunjukkan gaya Amarawati dan sejatinya berasal dari India Selatan. Penemuan arca berbahan perunggu yang sejauh ini menjadi artefak Buddha tertua di Indonesia merupakan titik penting dalam mempelajari sejarah awal peradaban kita. Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang mengganjal. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh arca kuno ini sehingga terdampar sedemekian jauh hingga ke jantung Pulau Sulawesi?

Sobat Lontara tentunya masih ingat bahwa “kerajaan berperadaban” tertua di Indonesia ialah kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Buktinya ialah ditemukannya tujuh buah Yupa (batu bertulis yang berfungsi sebagai tempat untuk mengikat hewan kurban). Yupa yang ditemukan di Muara Kaman, tepi Sungai Mahakam ini ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Nah dari gaya tulisan Pallawa inilah kemudian dapat disimpulkan bahwa Yupa tersebut berasal dari abad ke-5 Masehi, dan kemungkinan agama Hindu masuk melalui India Selatan. Aksara Pallawa merupakan aksara yang lazim digunakan di India Selatan.

Lho, tapi kok bisa sih arca Buddha di Sampaga justru berusia lebih tua daripada kerajaan tertua di Indonesia?

Yuk, kita tengok sebentar negeri India Selatan tempat arca Buddha Sempaga dan inspirasi awal peradaban Kutai berasal. Amarawati ialah sebuah daerah di India Selatan yang terkenal karena memiliki sekolah seni rupa. Amarawati menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan kerajaan Satavahana (Andhra) yang pengaruhnya menyebar ke Sri Langka sekitar tahun 230 SM hingga 220 M. Sekolah seni rupa ini telah menghasilkan banyak sekali patung-patung Hindu dan Buddha yang tersebar di berbagai penjuru Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Ketinggian cita rasa serta seni kriya yang dihasilkan oleh alumnus-alumnus Sekolah Seni Amarawati sejak abad ke-3 SM ini menghasilkan karya-karya yang secara umum memiliki ciri-ciri seperti pose nan rumit, figur tubuh yang dipahat dengan langsing dan elegan, serta detail lekukan yang mengagumkan. Karya-karya yang bersumber dari Amarawati juga sering menggambarkan Buddha dalam bentuk simbol (bukan sosok manusia) seperti melalui lambang purnakumbha, teratai, takhta yang kosong, serta Swastika. Ternyata, arca Buddha tipe Amarawati juga dapat kita temukan di Sikendeng, Jember (Jawa Timur) dan di Bukit Siguntang (Sumatera Selatan) walau tetap saja arca Sampaga berusia lebih tua daripada yang lain.

Sejarawan Barat yakin bahwa besarnya pengaruh India Selatan dalam bidang keagamaan, bahasa, seni, dan bahkan pemerintahan di Asia Tenggara disebabkan karena Kerajaan Satavahana pernah menjajah wilayah ini dan menancapkan pengaruhnya dengan kuat. Meskipun sejarawan Indonesia sendiri menolak pendapat tersebut karena tidak ada bukti penjajahan India terhadap nusantara, Kerajaan Satavahana memang memberikan pengaruh besar terhadap dunia Asia Tenggara (Negeri Bawah Angin). Koin-koin pada periode ini menggambarkan bentuk-bentuk perahu yang menandakan bahwa hubungan internasional dengan bangsa-bangsa yang jauh di timur pun secara aktif telah dilakukan oleh mereka. Satavahana pun diakui sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar di Anak Benua.

Dusun Sikendeng tempat ditemukannya patung perunggu Buddha dari sekolah seni Amarawati juga terletak di pesisir pantai Sulawesi Barat. Pesisir ini tepat berseberangan dengan lokasi yang dipercaya sebagai Kerajaan Kutai kuno. Apakah pernah ada hubungan yang terjalin antara kerajaan Kutai dan Bumi Manakarra? Tahukah Sobat Lontara bahwa raja Kutai yang keempat bernama Sultan Mandarsyah? Sebuah lagu tradisional Mandar berjudul Tengga-Tengga Lopi juga menceritakan hubungan dekat antara pelaut-pelaut dari Tanah Sulawesi ini dengan penduduk lokal Kutai. Selat Makassar yang memisahkan kedua daratan tersebut seakan-akan bukanlah penghalang.

Kemunculan Kutai sebagai sebuah kerajaan tidak terlepas dari lokasinya yang istimewa. Kutai telah menjalankan perdagangan asing dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya, bahkan hingga ke India dan Cina. Permintaan akan emas dari tempat-tempat jauh seperti kemaharajaan India dan kekaisaran Cina membuat kekayaan emas yang dikandung oleh kerajaan ini dicari-cari. Prasasti yupa menyebutkan bahwa Raja Mulawarman yang murah hati telah menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada golongan Brahmana sebagai kurban upacara keagamaan di tempat suci Waprakeswara. Nah, menurut informasi yang penulis dapat dari Melayu Online, konon sapi-sapi tersebut didatangkan dari luar Kerajaan Kutai karena daerah di sekitar Kutai kebetulan tidak menghasilkan hewan jenis ini. Apakah mungkin asalnya dari Bumi Manakarra? Yang jelas, sampai hari ini pun di daerah sekitar situ kita masih dapat menemukan penduduk Pitu Ulunna Salu yang menganggap kerbau sebagai hewan yang penting dalam ritual adat mereka. Di daerah tersebut kerbau merupakan hewan terbaik yang digunakan sebagai persembahan kepada dewata. Lagi pula, dalam agama Hindu yang dianut oleh kerajaan Kutai, sapi merupakan binatang yang suci, sehingga untuk dibunuh pun tidak boleh. Apakah yang dimaksud Yupa hewan kurban tersebut adalah kerbau? Hmmm… Sekali lagi, tidak ada yang benar-benar pasti!

Christian Pelras di dalam bukunya Manusia Bugis pernah menyebutkan bahwa konon nenek moyang masyarakat Sulawesi Selatan berasal dari Kalimantan. Lontar-lontar kuno serta cerita-cerita lisan masyarakat Mandar menyebutkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Ulu Sa’dang atau suatu daerah di hulu Sungai Sa’dang. Cerita ini pun berkembang di kalangan masyarakat Toraja. Jika kisah ini benar, menurut Pelras, nenek moyang masyarakat sekitar (Suku Bugis-Makassar-Mandar-Toraja) berlayar memasuki Sungai Sa’dang dari Kalimantan dan kemudian menyebar ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan dan Barat.

Nah, jika memang dulunya ada sebuah peradaban tua di Bumi Manakarra, lalu kemana gerangan hilangnya? Prof. Darmawan Mashud Rahman, seorang budayawan Mandar yang tenar berpendapat begini:

Hilangnya jejak kerajaan tua tersebut mungkin disebabkan oleh migrasi penduduk dengan melalui dua arus, yang pertama menyusur pantai dan sebagian dengan jalan darat dan kemudian sampai ke Tana Toraja. Dibuktikan dengan upacara dan pola-pola hiasan serta kepercayaan yang masih terlihat di daerah Toraja. Untuk mencarai hubungan lebih jauh dan keinginan untuk berkembang, maka mereka berpindah lagi, kemudian menuju tepi pantai, yakni ke daerah Luwu. Di sana kemudian mereka menetap dan mengembangkan serta menumbuhkan kerajaan yang kemudian menyebar luas ke seluruh penjuru Sulawesi Selatan. Hal ini diperkuat oleh adanya beberapa kesamaan-kesamaan di dalam adat istiadat. Upacara-upacara, tarian dan geraknya, serta penyebutan kepala-kelapa kampung, misalnya Tomakaka dan Ma’dika, kesamaan dialek bahasa antara orang-orang Mandar, Toraja dan Luwu.

Serat Dewabuda

Berdasarkan temuan arkeologis, kerajaan tertua di Indonesia selain berada di Kutai juga berada di Jawa Barat. Tarumanegara, sebuah kerajaan bercorak Hindu yang keberadaannya dilaporkan oleh seorang pendeta dari negeri Tiongkok bernama Fa Xian di tahun 414 ini juga meninggalkan banyak prasasti dalam Bahasa Sansekerta dan beraksara Pallawa. Kira-kira ada hubungannya tidak ya, kerajaan Kutai dan Tarumanegara yang sama-sama didaulat sebagai peradaban tersepuh di nusantara ini? Jawabannya datang dari naskah berbahasa Jawa Kuno dari abad ke-17 yang berjudul Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara koleksi kesultanan Cirebon.

Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara menyebutkan bahwa pada tahun 52 Saka (130 M) seorang raja bernama Dewawarman yang berkuasa atas negeri Jawa bahagian barat bertakhta. Putranya yang bernama Aswawarman tanpa suatu alasan yang jelas pergi ke Bakulapura (Kalimantan Timur) dan diambil menjadi menantu oleh penghulu suku pribumi di situ, Kundungga. Sementara itu, anak perempuan Dewawarman di Jawa menikah dengan seorang maharesi dari negeri India bernama Rajadhirajaguru, yang kemudian mendirikan kerajaan Tarumanegara. Cucu Dewawarman yang bernama Purnawarman dikenang sebagai raja Tarumanegara teragung karena banyak meninggalkan bukti berupa prasasti. Apakah kisah yang diceritakan berabad-abad setelah kejadian aslinya ini terjadi otentik? Sampai sekarang naskah Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara masih didebatkan keabsahannya.

            Pada tahun 1988, Ayatrohaedi, seorang sejarawan besar dalam kebudayaan Sunda menerjemahkan sebuah naskah kuno bernama Serat Dewabuda. Serat Dewabuda ini selesai ditulis pada tahun 1357 Saka atau 1435 Masehi. Bahasanya ialah Bahasa Jawa Kuno, lokasi penulisannya disebutkan pada suatu tempat di antara Gunung Cupu, Gunung Rantay, dan Bukit Talagacandana. Serat Dewabuda ini berisi ajaran-ajaran agama Hindu-Buddha dengan campuran kepercayaan Sunda lokal yang ditulis oleh seseorang bernama Resi Siddhayogiswara. Salah satu unsur kepercayaan Sunda lokal yang dibahas di dalamnya ialah paparan akan konsep Sanghyang Taya atau Tuhan Yang Maha Esa nan jauh di atas dunia para dewa. Isi naskah ini sejak awal hingga akhir terus-menerus memperbincangkan upaya manusia agar dapat bersatu dengan Sang Pencipta. Naskah ini menurut Agus Ari Munandar bahkan banyak beredar di kalangan masyarakat jelata karena isinya yang membumi.

Lalu, apa hubungan antara semua ini dengan Bumi Manakarra? Pada salah satu bagiannya, Sang Siddhayogiswara menyebutkan bahwa ajarannya selain beredar di kalangan Tatar Sunda juga disebarluaskan hingga ke negara-negara lain seperti Keling, Cina, Prasola, Meta, Tanjungpura, Melayu, Kedah, Byalapura, Markaman, Hulumando, Buwun, Gurun dan Bandan. Nama Hulumando di sini kemudian mengundang tanya penulis; daerah manakah yang disebut dengan nama Hulumando ini? Apakah ada kaitannya dengan nama daerah Ulumanda di daerah Malunda, Majene yang berbatasan dengan Bumi Manakarra?

Secara bahasa penduduk Ulumanda dapat digolongkan sebagai bagian dari Pitu Ulunna Salu. Secara genetis, ternyata sub-suku Mandar ini berhubungan darah dekat dengan orang-orang Bungku di Sulawesi Tengah. Mereka tinggal di daerah pesisir dan juga pegunungan sehingga fokus matapencaharian mereka adalah menjadi nelayan atau petani. Daerah mereka kaya dengan mineral, pasir, kayu eboni dan kayu rotan. Menurut A. Syaiful Sinrang dalam buku “Mengenal Mandar Sekilas Lintas”, Ulumanda adalah sebuah daerah sepuh di Mamuju yang konon memiliki peranan penting pada asal mula penamaan “Mandar”. Ulumanda dulunya merupakan sebuah desa kecil di Malunda yang termasuk ke dalam wilayah kerajaan Sendana. Di Ulumanda terdapat sebuah gunung bernama Pebulahangan. Gunung Pebulahangan konon akan bercahaya apabila ditimpa sinar bulan atau sinar matahari, akibat pantulan cahaya dari batu-batu gunung yang berwarna kuning kehitam-hitaman. Dari situlah nama “Mandar” yang juga dapat diartikan “terang” berasal.

Ngomong-ngomong soal batu nih, di daerah Ujung Rangas, sekitar 4 km dari kota Majene sendiri pernah ditemukan batu dengan bekas telapak kaki. Konon menurut kepercayaan warga sekitar bekas telapak kaki tersebut merupakan peninggalan Sawerigading saat akan naik ke atas langit. Nah, beberapa peninggalan sejarah Tarumanegara juga ada yang berhubungan dengan batu-telapak kaki. Prasasti Ciaruteun, Cidanghyang dan Pasir Awi berterakan jejak telapak kaki baginda Purnawarman dari abad ke-4 M. Apakah tradisi membuat telapak kaki di atas batu yang ditemukan di daerah Sunda dan Mandar ini menandakan sisa peradaban tua yang saling terhubung satu sama lain, terlebih lagi dengan adanya penyebutan nama Hulumando pada Serat Dewabuda?

Kedengarannya maksa ya. Tetapi ada dua fakta unik yang memang menunjukkan kemiripan antara Sunda dan Mandar. Pertama: alat musik calong. Calong yang di Mandar terbuat dari buah kelapa dan bambu ternyata juga ditemukan di daerah Jawa Barat dengan nama calung. Calung Sunda terbuat dari awi wulung (bambu hitam) dan awi temen (bambu putih) serta dipercaya sebagai protoripe dari alat musik angklung yang tersohor itu. Kedua: Siti KDI. Meskipun pada kompetisi dangdut nasional di salah satu televisi swasta beberapa tahun yang lalu ia menjadi perwakilan Bandung, sebenarnya Siti berasal dari Mandar. Yah, jika Ulumanda tidak cukup kuat untuk menjadi saksi hubungan antara bekas kerajaan Tarumanegara dengan Bumi Manakarra, maka prestasi yang diraih atas keindahan suara Siti KDI dapat menjadi saksi sejarah hubungan antara kedua daerah tersebut 🙂

PS: Agak susah rupanya menemukan gambar patung Buddha dari Sikendeng, Mamuju ini di internet. Sayang sekali padahal untuk peninggalan sejarah tertua dan sepenting itu tidak banyak sobat-sobat Lontara yang mengetahuinya!

Categories
Featured Galigoku Old Stuff Good Stuff

Dari Masa Lalu untuk Masa Depan Indonesia

Sejak ratusan tahun lalu, suku-suku di Nusantara telah bersinggungan dengan bangsa Belanda, yang telah memberi mereka sentuhan dengan perkembangan modern. Dampak revolusi industri, Perang Dunia I dan Perang Dunia II juga telah ikut mempengaruhi suku-suku bangsa di Nusantara berkat hubungan dengan bangsa Belanda.

Namun kemudian revolusi terjadi, darah tertumpah dan abad pun telah berubah, baik dari sisi politik maupun ekonomi. Hubungan dengan Belanda tak lagi seperti zaman silam itu, dimana nasib bangsa kita ditentukan di Den Haag, hasil ekspor kita dikumpulkan di Pelabuhan Rotterdam, dan berbincang dalam bahasa Belanda dipandang eliter. Kini semua bebas ditentukan oleh kita sendiri di Jakarta, produk ekspor dapat kita kirim ke pelabuhan mana saja kita suka. Dapat dikatakan kini pengaruh Belanda telah tertelan zaman.

Kendati pengaruh Belanda dalam kehidupan sehari-hari telah diminimalisir, bahkan nyaris hilang dibandingkan dengan zaman silam itu, namun kita tak boleh melupakan hubungan dengan mereka. Pikirkanlah, Indonesia dijajah oleh Belanda selama berabad-abad. Akankah dalam kurun waktu 68 tahun, yang digonjang-ganjing oleh instabilitas politik,  terdapat suatu penelitian rinci mengenai dampak penjajahan dalam kurun waktu selama itu?

Gedung KITLV, lembaga riset kerajaan Belanda yang telah berdiri sejak tahun 1851 di Leiden. Fokusnya adalah kajian mengenai budaya dan sejarah Indonesia. Di depan KITLV terdapat tulisan berupa syair (elong) dengan aksara Lontaraq Bugis.

Di tengah perkembangan modern dimana haluan RI lebih tertuju ke arah Asia-Pasifik dan mencari pasar-pasar baru hingga persada bumi demi pembangunan nasional, bangsa Indonesia justru apatis dengan sejarah. Kenapa? Memang, sebenarnya sikap ini tidak berlaku eksklusif di Indonesia saja. Setelah Belanda meraih kemerdekaan dari Nazi Jerman lalu memasuki tahun 50-60an dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, orang Belanda juga lebih sibuk dengan masa kini dan masa depan, yang lebih memberi berkah. Sedangkan masa lalu dipandang hanya memberi memori buruk. Demikian pula halnya dengan Indonesia. Setelah reformasi Indonesia sekali lagi mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat. Apa gunanya untuk Kang Marhaen memikirkan masa lalu, jika setiap hari ia masih hidup Senin-Kamis alias kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya? Syarat agar suatu bangsa menghargai masa lalu ialah dia harus meraih kesejahteraan dulu.

Di situlah terletak hebatnya La Galigo for Nusantara Project. Telah bangkit generasi baru yang sudah meraih tingkat kesejahteraan itu, sehingga bisa fokus peduli pada sejarah bangsanya, Nusantara. Mereka adalah hasil dan bukti perjuangan keras membanting tulang dari generasi-generasi sebelumnya. Para pahlawan Indonesia akan bangga atas kepedulian mereka!

Azzam Santosa, lahir dan besar di kota Delft, Belanda. Pemuda asli keturunan Pekalongan, Jawa Tengah, ini kini tengah belajar Ekonomi dan Hukum di Erasmus University, Rotterdam. Di samping berkuliah, ia juga menjabat sebagai Sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda.