Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Anak Kampung Makassar Era Hindia Belanda

Salah satu kontributor tulisan di web Lontara Project berandai-andai bagaimana rasanya jika ia hidup di daerah perkampungan tepi Makassar era Hindia Belanda. Mahasiswa sejarah ini berusaha menangkap atmosfer kehidupan di kala itu melalui cerita singkatnya. Mari simak tuturan kisah-kisah nostalgia yang mengalir dari imajinasi Arianto ini!

Aku bingung harus mulai dari mana untuk menceritakan kisah kehidupanku yang sudah berlalu puluhan tahun silam. Kepalaku sudah sulit untuk mengingat kembali beberapa kejadian penting di Kota Makassar, karena faktor usia yang semakin bertambah tua. Hanya sebagian kecil yang aku mampu ceritakan tentang kisah kehidupanku, sebagai warga perkampungan yang hidup di masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Aku tidak tahu dengan jelas sejak kapan bangsa kulit putih mulai berdatangan dan tinggal di Kota Makassar. Kami, anak penduduk perkampungan tidak tahu apa itu “kota”, yang kami tahu hanyalah tempat tinggal kami. Orang-orang tua menyebut tempat dimana kami tinggal dengan nama “kampong”.

Jalanan Kota Makassar zaman Hindia Belanda. Sumber: Koleksi KITLV

Kerap kali ku bertanya kepada orang-orang tua kami, apa itu kota? Orang tua kami sulit untuk menjelaskan seperti apa itu kota, bahkan mereka baru pertama kali mendengar yang namanya “kota”. Orang tua kami mulai mengenal nama “kota” sejak kedatangan orang-orang kulit putih dan pada saat itu orang-orang asing ini mulai menyebut Makassar sebagai Kota Makassar. Nama ini sungguh sangat asing bagi kami yang tinggal di perkampungan. Pengetahuan kami terhadap dunia luar sangat terbatas bahkan bisa dibilang sama sekali tidak ada, karena orang tua kami selalu mendidik untuk selalu menghormati adat-istiadat kami sebagai orang-orang Makassar.

Selain harus menjaga adat-istiadat Makassar, orang tua kami juga sering melarang kami bergaul dengan bangsa kulit putih. Entah apa alasan orang tua kami melarang hal tersebut. Pada malam hari, para penduduk kampung memilih untuk tinggal di rumah masing-masing. Kami berdiam diri di dalam rumah yang sederhana ini, menikmati angin malam yang menembus dinding rumah kami yang terbuat dari anyaman bambu. Banyak pula rumah-rumah peduduk yang terletak di antara pepohonan, dipagari oleh bambu yang mengelilingi rumah mereka.

Melewati malam yang panjang, di dalam rumah penduduk kampung hanya ada pelita minyak yang menjadi alat penerangan. Jauh di sebelah selatan perkampungan penduduk, sorotan cahaya terlihat di antara rumpun-rumpun bambu. Kami menikmati kerlap-kerlip sorotan cahaya lampu itu di sela-sela dinding rumah. Cahaya lampu tersebut berasal dari sekitar benteng di antara rumah-rumah penduduk  Eropa. Sebelum kami tertidur para orang tua kami biasanya akan bercerita tentang orang-orang kulit putih yang tinggal di sekitar benteng. Mereka adalah orang-orang yang kejam. Mereka berperang melawan orang-orang Makassar dan kemudian merebut istana-istana penguasa kerajaan bapak-bapak kami.

Sungai Tello, Makassar. Sumber: Koleksi KITLV

Kisah-kisah peperangan antara orang-orang Makassar dengan bangsa kulit putih sering kali diperdengarkan di perkampungan melalui alunan musik tradisional orang-orang Makassar yang disebut sinrilik. Ketika alunan musik ini memecah kebisuan malam, orang-orang tua mulai duduk melingkar menikmati untaian nadanya, tenggelam dalam pengisahan akan peperangan beberapa abad yang lalu. Tidak sedikit dari orang-orang tua yang larut dalam pengisahan ini, seakan-akan mereka hadir di masa lalu itu, di tengah-tengah medan peperangan. Raut muka mereka menunjukkan kesedihan dan dendam lama mulai terbakar di dada mereka. Seolah-olah kabut peperangan mulai menyelimuti perkampungan kami dan mungkin inilah alasan orang tua kami melarang bergaul dengan orang-orang kulit waktu itu.

Roda waktu terus berjalan dari tahun ke tahun, wajah Makassar meninggalkan masa lalunya dari masa kerajaan ke masa modern. Bangsa  Eropa kini mulai membangun berbagai gedung yang mengagumkan bagi kami penduduk kampung. Jalan-jalan yang berada di sekitar benteng Rotterdam mulai diperbaiki, deretan bangunan rumah-rumah orang-orang Eropa berderet-deret rapi berwarna putih di antara pepohonan. Susunan rumah mereka sangat rapi berjejer dari arah barat Kota Makassar sampai ke sebelah timur kota. Tempat orang-orang Eropa ini dikenal dengan Kampung Belanda.

Kehidupan kami dengan orang-orang ini sangat jauh berbeda, mereka dapat mengubah segalanya dan menciptakan peradaban baru di Makassar. Meskipun leluhur kami mengutuk orang-orang asing ini atas kekejaman peperangan pada waktu itu, akan tetapi kami sebagai generasi yang terlahir di zaman ini penuh kekaguman atas apa yang mereka ciptakan. Dari kejauhan kami terus memandangi bangunan-bangunan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada pohon-pohan yang tumbuh di sekitar perkampungan penduduk. Pertanyaan-pertanyaan sering muncul di kepala kami, salah satunya: bagaimana cara orang-orang ini dapat membangun gedung-gedung setinggi itu?

Gedung Pengadilan Belanda di Kota Makassar. Sumber: Koleksi KITLV

Di perkampungan kami tidak  ada satupun di antara orang-orang tua yang mampu melakukan hal tersebut. Kehidupan penduduk kampung hanya berputar di situ-situ saja. Gubuk-gubuk yang reyot di antara pohon-pohon kelapa dipagari bambu. Jalan-jalan yang menghubungkan dengan rumah penduduk lainnya bertebaran debu, terkadang berlumpur di saat musim hujan. Kami sebagai warga kampung tidak menyadari akan pentingnya kebersihan, anak-anak kecil tanpa busana dibiarkan bermain-main ke sana-sini di sekitar halaman rumah.

Di akhir abad ke-19 Kota Makassar berkembang dengan pesat dan sudah dilengkapi berbagai fasiltas kota. Alat transportasi seperti mobil mulai didatangkan dari Eropa sana. Kapal-kapal dagang terus berdatangan dari segala penjuru di pelabuhan Juliana Cade dan Wilhelmina Cade (sekarang Pelabuhan Soekarno-Hatta). Di sepanjang garis pantai berdiri deretan kios-kios saudagar Arab. Perkembangan Kota Makassar yang pesat menembus sekat kehidupan di perkampungan, warga kampung pun mulai bergaul dengan orang-orang Eropa. Sekolah-sekolah untuk penduduk kampung didirikan, yang dikenal dengan nama “Sekolah Rakyat”, anak-anak kecil pun mulai diajar bahasa Indo. Pengetahuan kami mulai terbuka dan bahkan sebagian dari penduduk kampung mulai mengenal budaya orang-orang Eropa. Tidak segan-segan sebagian orang-orang mulai mengikuti cara berpakain orang-orang Eropa tersebut.

Anak kecil pribumi di upacara penyambutan Gubernur Jenderal de Graeff. Sumber: Koleksi KITLV

Cerita kehidupan kami sebagai warga kampung adalah kesan bagiku, yang pernah hidup di fajar kemunculan peradaban Eropa yang mutakhir. Seingatku, Kota Makassar di masa Pemerintah Hindia-Belanda adalah kota terindah yang pernah berdiri kokoh di kawasan timur Nusantara. Fantasi Kota Makassar di masa lalu tidak kalah canggih dengan wajah Kota Makassar pada hari ini. Orang-orang Eropa dari berbagai belahan dunia kagum atas pernak-pernik Kota Makassar yang dilengkapi berbagai fasiltas yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda. Mereka bahkan  memberikan julukan kepada Kota Makassar sebagai Kota Paris yang berdiri dikawasan timur Hindia-Belanda. Lalu, anakku, bagaimana dengan Kota Makassar-mu pada hari ini?

 Arianto, alumni program studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar angkatan 2014. Punya kegemaran membaca. Bisa dijumpai lewat akun facebooknya Antho Imagined.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan Old Stuff Good Stuff

Datu Museng, Riwayatmu Kini…

Banyak hal menarik yang bisa dituliskan tentang Kota Makassar, dengan melihat dan mengamati hal yang kecil dan sederhana atau yang mungkin sebagian orang belum mengetahuinya. Kali ini saya akan membahas tentang Datu Museng dulu dan Datu Museng sekarang. Ada yang melekat dan tak bisa terpisahkan dari sosok ini. Nama Datu Museng terkenal melalui kesenian tradisional sinrilik. Sinrilik yang merupakan musik tradisional Sulawesi Selatan ialah sebuah tradisi lisan Makassar yang cukup digemari. Sinrilik adalah genre narasi populer orang Makassar yang biasanya berirama dengan satu tekanan bunyi untuk lima atau enam suku kata, yang di antarai dengan satu tekanan bunyi untuk delapan suku kata. Tema Sinrilik biasanya merujuk pada kejadian-kejadian yang berlangsung dimasa “Kompeni”, nama populer VOC. (Thomas Gibson “Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara”).

 
Merunut pada kisah-kisah yang disajikan dalam sinrilik, Datu Museng dikenal dimasa mudanya dengan nama Baso Mallarangang. Datu Museng adalah pelayan setia Datu Taliwang Sultan Sumbawa yang menjabat pada tahun 1761-1766. Datu Museng ialah seorang pribadi yang taat pada agamanya, pemurah dalam berderma kepada orang miskin, mengasihi orang malang serta berpaling dari larangan dan menghindari keburukan. (Thomas Gibson “Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara”). Sinrilik Datu Museng ketika pertama kali mendapat perhatian orang Eropa pada tahun 1850-an. Ketika itu para misionaris Belanda mencatat dua versi berbeda sinrilik ini. Matthes mengumpulkan sejumlah besar naskah lokal yang tertulis dalam aksara lontara. Ia juga menyewa penulis lokal untuk mencatat beragam sastra lisan, khususnya sajak-sajak pendek, kelong, dan epik-epiknya. Sajak-sajak, kelong dan epik-epik tersebut memberikan gambaran atas tradisi di Sulawesi Selatan.

 
Muncul pertanyaan: mengapa Matthes tertarik untuk mencatat sinrilik Datu Museng? Matthes tiba di Makassar pada tanggal 20 Desember 1848. Ia adalah Sekertaris Lembaga Alkitab Belanda. Pada bulan Oktober 1847 oleh Lembaga Alkitab Belanda ia bersedia diutus ke Sulawesi Selatan untuk mempelajari dan mendalami bahasa-bahasa Sulawesi Selatan dan kemudian menyalin alkitab ke dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. (Hidup dan Kehidupan B.F. MATTHES Di Sulawesi Selatan oleh: Van Ben Bri). Berawal dari ditugaskannya Matthes, Gubernur Van Clootwijk kemudian memerintahkannya untuk melakukan penyusunan kompilasi risalah hukum setempat agar dapat  digunakan oleh para pengawai VOC yang bertugas di daerah-daerah jauh. Saking cintanya ia terhadap Sulawesi Selatan. sampai-sampai Mathes pun balik ke Sulawesi Selatan serta ingin menjabat sebagai Direktur Sekolah Pendidikan Guru di Makassar.

 
Suatu hari di bulan Agustus 2014 saya bertemu dengan teman seperjuangan ketika kuliah di Ilmus Sejarah Unhas, namanya Arianto. Ada banyak hal yang kami diskusikan, salah satunya tentang beberapa tokoh-tokoh di Sulawesi Selatan dan Datu Museng. Dalam diskusi tersebut Arianto mengatakan bahwa “Dalam perdebatan masalah historiografi Indonesia, sebagian besar sejarawan lebih cenderung melihat sebuah peristiwa sejarah dengan konsep “Indonesisentris”. Pandangan ini lebih menenkankan kepada bahwa sejarah Indonesia seakan-akan adalah produk murni, dimana orang-orang Indonesia adalah pencipta sejarahnya sendiri. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah Indonesia tidak lahir dengan sendirinya tetapi banyak pengaruh dari luar yang mendorong munculnya kesadaran nasionalisme. Yang lebih fatal lagi, tulisan-tulisan sejarah yang selalu disodorkan hari ini banyak yang hanya membahas peristiwa-peristiwa besar.  Para sejarawan lebih cenderung mengangkat realitas sejarah bukan hasil dari sebuah  perdebatan akademisi. Tetapi mereka lebih meluangkan waktunya menulis sejarah hanya semata-mata hasil dari sebuah proyek. Pada akhirnya produk-produk sejarah sama-sekali tidak menghasilkan sebuah kesadaran sangat penting, malah yang tercipta hanya karya sejarah yang sifatnya dapat dijadikan sebagai legitimasi untuk mengguatkan para penguasa.”

 
Ada kesedihan tersendiri bagi penulis ketika melihat dan membaca beberapa buku baik itu sejarah kota Makassar dan tokoh atau pejuang Sulawesi Selatan. Contoh misalnya buku Profil Raja dan Pejuang Sulawesi Selatan yang diterbitkan di tahun 2004, tak sedikitpun terdapat nama Datu Museng dalam tulisan tersebut. Terkadang banyak penulis atau sejarawan baru menulis jika terdapat sebuah proyek dari pemerintah sehingga seringkali mengakibatkan terjadinya pembodohan publik. Pada tanggal 14 Agustus 2014 saya bertanya ke salah satu daeng becak yang tengah berkumpul di depan kantor kelurahan tempat dimana Datu Museng dimakamkan. Pak dimana Makam Datu Museng? Tanya saya. Salah seorang tukang becak itu kemudian menjelaskan ada lorong kecil sebelah kanan di situ ada kuburan, itulah kuburan Datu Museng. Dari tempat saya bertanya, tidak jauh berjalan kaki saya langsung mendapatkan makam tersebut.

Makam Datu Museng dari Kejauhan

Dari arah utara jalan Somba Opu di Kota Makassar sekitar 20 meter terdapat Jalan Mochtar Lubis. Tak jauh dari jalan tersebut sekitar 5 meter, terdapat Makam Datu Museng yang terletak di jalan Datu Museng. Ketika kita bepergian ke jalan Datu Museng yang terlintas dalam pikiran adalah pusat kuliner kota Makassar atau Sop Ubi Datu Museng, atau Mie Titi Datu Museng dan lainnya. Padahal Makam Datu Museng sendiri terdapat di lingkungan jalan tersebut. Berdekatan dengan gerbang selamat datang di Pusat Kuliner Kota Makassar tak jauh dari sana, di antara warung asongan dan warung nasi kuning Losari nampak sebuah kamar kecil dengan tembok berwarna oranye yang sudah pudar, dipagari dengan pagar besi berwarna hijau, serta sebuah genteng yang berwarna hijau. Terdapat papan nama kecil pas di depan pintu yang betuliskan “Makam Datu Museng” dengan warna emas berdasar papan berwarna merah. Kondisi makam Datu Museng sangatlah menyedihkan. Ketika saya berkunjung, debu yang menempel di lantai dan dinding makam sangatlah tebal, selain itu sampah berserakan di depan pagar makam Datu Museng. Terdapat beberapa kantong plastik hitam dan sampah-sampah lainnya. Lebih parahnya lagi limbah dari rumah makan yang berdekatan dengan Makan Datu Museng mengalir di beberapa bagian pagar tersebut.

Kayu nisan dan Kondisi Makam Datu Museng dari dalam

Ketika Masuk ke dalam Makam Datu Museng saya melihat sebuah tempat dupa dan terdapat sebuah kotak amal yang berwarna hijau. Di atas Makam Datu Museng juga terdapat kelambu yang berwarna putih dan besinya berwarna hijau dengan empat tiang berdiri tegak di setiap sudut makam Datu Museng. Terdapat pula karpet plastik yang berwarna hijau. Bau khas dedaunan pandan amat menusuk hidung. Melihat kondisinya yang seperti ini, tak bisa penulis membedakan yang mana batu nisan Datu Museng dan kekasihnya, Maipa anak dari kesultanan Sumbawa. Batu Nisan Datu Museng dan Maipa hanya ditandai dengaan kayu berwarna hitam dan tak adapun tanda nama yang tertulis dalam kayu tersebut.

Nisan Datu Museng

Bahwasanya di Jalan Datu Museng tersebut terdapat makam tak terawat Datu Museng, tokoh yang menginspirasi bagi para seniman dan tetua-tetua Suku Makassar lewat alunan sinrilik sungguh amat mengiris hati. Padahal kota Makassar bisa mengangkat kisah percintaan Datu Museng dan Maipa Deapati sebagai identitas kota yang menonjolkan kebudayaan lokal, jika benar-benar jargon “Makassar Kota Dunia” ingin diwujudkan. Kisah cinta keduanya yang abadi bisa mendatangkan wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mengunjungi ke Kota Makassar. Seharusnya pemerintah Kota Makassar (dan tentunya juga masyarakat sekitar) lebih mnemperhatikan situs peninggalan sejarah termasuk makam-makam yang lainnya. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi yang harus peduli terhadap kota ini?

 

Anna Asriani de Sausa, atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini   merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung dengan para Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan Old Stuff Good Stuff

Ssst… Hanya Ada Boontjes di Belanda!

Rekan kita Louie Buana yang sedang belajar di negeri Belanda punya cerita seru tentang sejenis kacang-kacangan yang merubah dunia. Penasaran? Yuk simak kisahnya!

Selama beberapa bulan pertama di Leiden, saya dan teman-teman penerima beasiswa Encompass dari Leiden University diwajibkan untuk mengikuti kelas Bahasa Belanda. Setiap hari (kecuali hari rabu dan weekend) kami berkuliah di gedung Lipsius Faculty of Humanities yang letaknya tepat berada di sebelah KITLV dan di seberang Leiden University Library yang menyimpan NBG 188. Saya pribadi merasa senang sekali rasanya bisa berada sedekat ini dengan naskah La Galigo terpanjang di dunia! Pun kami tak kalah senang karena diajar oleh Renate Overbeek, seorang docent yang pintar dan amat baik hati.

Belajar Bahasa Belanda ternyata susah-susah gampang. Susah karena background Bahasa Inggris yang kami miliki acap kali menjadi tantangan tersendiri. Kami terus-terusan menggunakan mindset Bahasa Inggris ketika belajar Bahasa Belanda, padahal bahasa yang disebut kedua ini punya aturan struktur kalimat dan gramatika yang berbeda dengan yang disebut pertama. Teman-teman kami yang berasal dari Anak Benua India bahkan lebih kewalahan lagi. Alam bawah sadar mereka yang terbiasa mengenal huruf ‘e’ dengan bunyi ‘i’ membuat mereka berulang kali melafalkan ‘nee‘ (Bahasa Belanda untuk kata ‘tidak’) sebagai ‘ni’.

Nah, Bahasa Belanda tergolong gampang karena banyaknya kemiripan kosakata yang diserap atau dibaginya dengan Bahasa Indonesia. Hubungan selama 350 tahun yang tak selamanya membahagiakan di antara kedua bangsa ini menciptakan jaringan bahasa yang cukup luas. Hal tersebut muncul sebagai jawaban untuk saling melengkapi kebutuhan zaman akan nama-nama benda atau sifat yang tak dimiliki oleh masing-masing. Ambil contoh kata keramiek dan tegels. Lalu ada cursus, hallo, kantine, koffie, bezoek, foto, korting, donker, oom, tante, opa, oma, trakteer, idee dan glas yang diadopsi sedemikian rupa ke dalam bahasa kita. Orang-orang Belanda sendiri juga mengambil banyak kosakata dari Bahasa Indonesia. Kebanyakan di antaranya berhubungan dengan makanan yang tidak mereka miliki. Ambil contoh, ada kata: kroepoek, sambal, nasi, pisang, bami, tempeh dan sate.

Di antara sekian banyak kata-kata tersebut, ada satu yang menarik perhatian saya. Kata tersebut ialah: boontjes alias buncis. Apakah buncis berasal dari Bahasa Belanda boontjes, atau justri boontjes-lah yang berasal dari Bahasa Indonesia? Hmmm… Kali ini, sepertinya buncis memang berasal dari boontjes.  Lho, kok bisa?

Lambang hieroglif dari peradaban bangsa Maya kuno yang berarti “Kacang Lima” (Lima Bean, Phaseolus lunatus). Sumber: The Term Lima Bean Vessel

Kacang buncis (Phaseolus vulgaris) aslinya berasal dari daerah sekitar Pegunungan Andes di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Bersama jagung, buncis adalah tumbuhan yang tidak dikenal oleh umat manusia sebelum era eksplorasi Columbus ke Dunia Baru. Bangsa Eropa yang mengolonialisasi Benua Amerika lalu menyebarkan tanaman buncis ini ke berbagai penjuru bumi. Zaman dahulu kala, selain dijadikan sebagai bahan makanan, buncis juga digunakan sebagai media untuk meramal lho! Ilmu ramal dengan menggunakan buncis ini disebut dengan nama favomancy. Tidak hanya itu, kacang buncis juga ternyata bertanggungjawab atas meningkatnya populasi umat manusia serta pemicu terjadinya Revolusi Industri!

Some researchers have suggested that the introduction of beans has driven dramatic population growths in many parts of the world. In fact, beans may have driven the industrial revolution as much as the increasing use of fossil fuels. As a cheap and abundant food resource, beans provided the impoverished workers with enough nutrients and energy to get through the long, grueling work days.

Canned beans appeared on the scene in the late 19th century, and provide a cheap and easy food. The original canned beans were the Boston Baked Beans, but now many different recipes have been adapted for canning purposes. A sub-culture devoted to the preparation of beans and unique bean recipes has arisen, and beans are an important part of pop culture as well.

(Source: American Indian Health and Diet Project)

Gambar kacang buncis di buku Les plantes potagères, katalog Vilmorin-Andrieux et Cie, 1891

Hari ini, Indonesia merupakan negara produsen buncis kedua terbesar di dunia setelah Cina. Meskipun demikian, bahwa sejatinya buncis lebih duluan dikenal oleh Belanda dan diperkenalkan bangsa Eropa ke tanah air adalah kenyataan yang tak terelakkan. Di Belanda sendiri saat ini tidak ada buncis, sebab mereka hanya ada boontjes!