Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Sandeq: Sang Primadona dari Mandar

Bulan Februari 2013 lalu, desainer kondang Indonesia Ivan Gunawan mengangkat tema “Malolo” dalam acara Indonesia Fashion Week. Pada kesempatan itu untuk pertama kalinya Ia membuat gebrakan dengan memodifikasi kain tenun Mandar yang terkenal berkualitas wahid ke dalam beragam bentuk pakaian masa kini. Selain kain tenun, Mandar juga populer dengan perahu sandeq-nya. Penasaran apakah itu sandeq? Mari kita baca tulisan rekan Fitria berikut ini!

Pelayaran dengan menggunakan perahu tradisional telah berlangsung selama berabad-abad oleh nenek moyang kita di Nusantara. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya 10 relief perahu kuno di dinding Candi Borobudur. Yang pernah main ke Candi Borobudur mungkin pernah lihat. Nah, relief perahu kuno tersebut kemungkinan besar adalah jenis kapal yang digunakan oleh dinasti Sailendara dan kekaisaran bahari Sriwijaya yang menguasai perairan Nusantara pada abad ke-7 hingga ke-13. Sebagai negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut, Indonesia memang dianugerahi banyak warisan yang berkaitan dengan maritim, salah satunya perahu tradisional.

Bagi yang bersuku Mandar ataupun yang pernah tinggal lama di pulau Sulawesi, perahu tradisional bernama sandeq mungkin sudah tidak asing di telinga. Perahu sandeq merupakan perahu bercadik khas suku Mandar yang terkenal sebagai perahu tradisional tercepat di Austronesia. Suku Mandar sebagai salah satu suku di Sulawesi Barat (dulu termasuk bagian Sulawesi Selatan) memang mempunyai budaya yang berorientasi bahari. Laut menjadi sumber kehidupan mereka. Pelras, seorang etnolog asal Prancis, dalam bukunya “The Bugis” bahkan menuliskan bahwa suku Mandar dikenal sebagai pelaut yang ulung.

Kata sandeq sendiri berarti ‘runcing’, mengacu pada haluan yang tajam dari perahu. Sandeq digunakan untuk berbagai kegiatan maritim, mulai dari memancing hingga transportasi antarpulau. Pada masa kejayaan perdagangan kopra, sandeq mengarungi 700 mil laut dari Mandar ke Bali dan Jawa Timur. Selain di dalam negeri, perahu ini telah terkenal di mancanegara. Perancis, Jepang, Malaysia, Vietnam, dan Filipina adalah beberapa negara yang pernah dijelajahinya.

Si Cantik Sandeq (Source: http://www.geocities.co.jp/SilkRoad-Desert/1367/kanko/sandeq.html)

Selama puluhan tahun, perahu sandeq telah menemani dan memungkinkan bangsa Austronesia dalam menjelajahi lautan. Desain sandeq yang berumur sekitar 3000 tahun pun menjadi warisan pembangunan perahu dan navigasi yang mampu mempengaruhi arsitektur naval Barat, seperti model kapal trimaran dan catamaran modern yang didesain seperti kapal Austronesia.

Berdasarkan buku “Orang Mandar Orang Laut” karya Muhammad Ridwan Alimuddin, nelayan Mandar mulai menggunakan perahu sandeq pada tahun1930-an. Konon, di daerah tersebut, perahu ini pertama kali dikembangkan oleh tukang perahu di Kampung Pambusuang, sebuah kampung yang terletak di pantai Teluk Mandar, sekitar 300 km di sebelah utara Makassar. Pembuatan perahu tersebut terinspirasi oleh model  salah satu perahu besar di pelabuhan Makassar kala itu. Sebelum sandeq, perahu yang biasa digunakan adalah jenis pakur yang bentuknya sekilas seperti sandeq. Perahu pakur ini menggunakan layar tanja’, layar berbentuk segiempat yang tidak bisa ditarik ataupun digulung. Karena tidak praktis, layar tersebut kemudian diganti dengan layar segitiga. Perubahan layar tersebut kemudian diikuti dengan perubahan  bentuk lambung, tiang layar, dan cadik. Nah, inilah awal mula dari perahu sandeq. Dari perubahan-perubahan tersebut kemudian terciptalah perahu sandeq yang kita kenal sekarang ini.

Menurut ukurannya, perahu sandeq terbagi dua, yaitu sandeq kecil dan besar. Perahu sandeq kecil memiliki panjang 5 m, bermuatan 1-2 orang, dan dapat mengarungi laut sejauh 1-5 km dari garis pantai, sedangkan perahu sandeq besar memiliki panjang 7-11 m, bermuatan 3-5 orang, dan dapat mengarungi laut dengan jarak yang lebih jauh.

Para Pasandeq sedang unjuk gigi di Brest, Prancis (Source: http://www.geocities.co.jp/SilkRoad-Desert/1367/kanko/sandeq.html)

Seiring berkembangnya teknologi, jumlah perahu sandeq semakin berkurang. Kehadiran sandeq memang perlahan-lahan telah tergeser oleh kehadiran perahu mesin yang lebih modern yang disebut kappal dan bodi-bodi. Kappal merupakan perahu penangkap ikan terbesar bermotor terbesar yang juga biasa disebut perahu gae karena menggunakan alat penangkap ikan yang disebut gae (pukat cincin), sedangkan bodi-bodi berukuran lebih kecil dari kappal, lebih ramping dan panjang, serta tidak bercadik.

Dalam artikel Ketika Layar Sandeq Tak (Lagi) Berkembang, (Kompas, 28 Februari 2012), diketahui bahwa di Desa Tangnga-Tangnga, hanya 60 dari 510 nelayan yang masih menggunakan sandeq. Itu pun sandeq bermesin. Sedangkan, di Pambusuang, hanya ada 30 unit sandeq dari 769 kapal bermotor yang dipakai oleh sekitar 900 nelayan. Walaupun demikian, sandeq tanpa motor tetap digunakan, terutama dalam balapan sandeq.

Seiring berjalannya waktu, lomba balap sandeq mulai diadakan, salah satunya Sandeq Race. Lomba ini dirancang oleh Horst H. Liebner, seorang peneliti ilmu maritim asal Jerman,  pada tahun 1995. Sampai sekarang, lomba ini masih diadakan dan menarik perhatian turis lokal maupun mancanegara. Pada umumnya, setiap desa memiliki kapal yang didesain khusus untuk balap dan menjadi pemenang perlombaan adalah kebanggaan pemilik perahu dan desanya. Selain untuk keperluan melaut, masyarakat di Kampung Pambusuang memang membuat sandeq untuk keperluan lomba. Pada Juli 2012 lalu, tiga perahu sandeq asal Polewali Mandar, bersama 12 awaknya mewakili Asia di festival maritim internasional di Perancis. Bangga nggak, tuh? 😀

 

Referensi:
Alimuddin, M. Ridwan. 2005. Orang Mandar Orang Laut. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Kerin & Horst. 2001. What is a Sandeq?
Aswin Rizal Harahap, Mohamad Final Daeng, dan Nasrullah Nara. 2012. Ketika Layar Sandeq Tak (Lagi) Berkembang
Junaedi . 2012. Berwisata Sambil Belajar Tentang Perahu Sandeq

Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode II – ‘Latihan’ dan ‘Rambet, Sikut, Lepas’

Bab II: Latihan

Latihan bersama Mas Ka itu kerap kali di sore menjelang malam. Kebanyakan perguruan Silat Tradisional akan mulai berlatih sore pada saat matahari terbenam, atau selesai Sholat Maghrib. Kenapa begini? Sejarahnya adalah, ketika Nusantara ini masih dijajah Belanda, pemerintahan Belanda melarang penduduk untuk berlatih segala bentuk beladiri atau ilmu perang apapun. Alhasil, para jawara, pendekar, dan jago silat jaman itu mencari waktu dimana serdadu Belanda tidak akan mencurigai: di malam hari dan ditempat-tempat yang tidak biasa (seperti dapur, kebun pisang, hutan, di gua, dan bahkan dibawah meja makan. Cerita lebihnya nanti ya!).

Tiga sampai lima bulan pertama, Mas Ka memberi gua latihan-latihan yang tujuannya menguatkan tubuh untuk nantinya siap latihan jurus. Selama 3 bulan pertama, Mas Ka TIDAK PERNAH menunjukkan gua jurus silat atau langkah silat apapun, 3 bulan awal latihan bersama Mas Ka itu diisi dengan latihan fisik yang keras. Latihan fisik yang “silat banget”, dimulai dari kuda-kuda, latihan pukulan, lari keliling kompleks, dan masih banyak lagi yang akan gua ceritakan. Bagi orang awam, 3 bulan latihan fisik itu pasti membosankan. Tetapi memang Mas Ka itu seru orangnya, sampai saat ini gua latihan bareng sama Mas Ka, gua enggak pernah bosan. Beliau berhasil membuat setiap latihan menjadi satu pengalaman dan pembelajaran yang baru.

Setting latihan kita kali ini adalah di garasi rumah gua. Kalau sama Mas Ka, latihan itu fleksibel, bisa dimana saja. Tetapi tempat favorit kita latihan biasanya di rumah, apakah itu rumah gua atau rumah Mas Ka.

“Yuk lebih rendah lagi coba kuda-kudanya” Suara Mas Ka tenang sambil merendahkan kuda-kudanya

“Ah Mas, pegel niih,” dan bayangkan suara gua masih baru pecah akibat puber

“Ayo yuk, kamu bisa kok. Kemarin aja udah tahan kuda-kuda satu menit kan”

“Pegel nih mas….Paha udah gemeteran…”

“Yaudah, kalau gitu kita istirahatin dulu pahanya…” Perlahan-lahan Mas Ka meregangkan kakinya, dan dia berdiri tegak “… Tapi kalau kamu udah kuat kuda-kudanya, nanti kamu bisa begini lho..” Mas Ka tersenyum, dan ia menghentakkan kakinya ke ubin garasi rumah gua… dan terdengar suara dentuman ‘DHUM’

Dan pada saat itulah, Mas Ka memperkenalkan gua dengan ‘Gedik’.

Gua tercengang, menganga lebar dan mata terbelalak. Dalam benak gua, “Itu apaan barusan??”

Seakan-akan bisa baca pikiran, Mas Ka tersenyum sambil tertawa kecil “Hahaha, nanti ya aku ajarin. Yuk latihan kuda-kuda lagi? Kali ini kalau kamu bisa tahan satu menit lebih 15 detik aja, aku kasih pinjem komik baru!”

Buyarlah konsentrasi gua mendengar kata “Komik baru” dan dengan cepat gua menjawab “OKEH MAS AYO!”

 

Bab III: Rambet, Sikut, Lepas.

Setelah 5 bulan yang cukup seru dan meletihkan berlalu, gua merasa cukup percaya diri akan kondisi fisik gua untuk seorang bocah berumur 11 tahun. Gua bisa menahan kuda-kuda yang kuat, melakukan push up 30 kali non-stop untuk 3 set, dan lari non stop selama 15 menit. Gua merasa kuat, dan paling pentingnya, sehat.

Hari Sabtu sore itu, gua menggowes sepeda gua kerumah  Mas Ka untuk latihan. Seperti biasa, Mas Ka sudah berdiri menunggu di pintu gerbang rumahnya sambil meregangkan kaki dan badannya.

Gua langsung semangat, segera gua lompat turun dari sepeda, dan memarkir sepeda gua di samping pohon kelapa yang sudah menjulang tinggi di depan rumah Mas Ka.

“Mas! Latihan apa kita hari ini?” Celoteh gua dengan nada penuh semangat

“Sabar… Kamu stretching dulu deh, terus kamu push up dulu 30 kali, dan kuda-kuda dulu 30 detik biar hangat dulu badannya.” Mas Ka menjawab dengan kalem.

Dengan penuh semangat gua selesaikan set latihan yang diberikan Mas Ka, dan setelah beberapa detik mengatur napas, Mas Ka mendekati gua dengan perlahan, dan beliau berdiri di samping gua.

“Nah, kamu coba ikutin gerakan aku deh.” Kata Mas Ka

Beliau memposisikan tubuhnya tegak dengan dada menghadap depan, kuda-kuda dengan posisi kaki kanan didepan, lutut sedikit tertekuk, kaki kiri sedikit kebelakang. Berat badan rata pada kedua kaki. Gua pun mencoba mengikuti sembari memperhatikan dengan seksama.

Mas Ka memposisikan tangannya demikian: Kepalan tangan kanan di samping dada, tangan kiri menutupi dada, dengan posisi telapak terbuka mendampingi kepalan tangan kanan.

“Put, ini namanya kuda-kuda siap ya.” Mas Ka menjelaskan,

“Trus posisi begini, lanjutannya begini… Rambet” Dalam benak bocah umur 11 tahun, pikiran gua bisa gua tulis seperti ini: Tangan kiri dengan telapak terbuka Mas Ka itu seolah-olah mengambil sesuatu, tetapi kok cara ngambil sesuatu itu aneh sekali ya?

Yang setelah beberapa sesi latihan kemudian, Mas Ka menjelaskan gua, dan gua pun sadar itu gunanya apa. Maka gua akan menuliskan isi benak gua dengan baik dan benar agar teman-teman yang baca pun mengerti dengan baik dan benar, bukan dengan narasi bocah suara pecah baru mau puber berusia 11 tahun.

Tangan kiri Mas Ka digerakkan seolah-olah menjemput pukulan yang datang, gerakkannya mirip dengan menepis atau mengalihkan pukulan itu kesamping kiri tubuh kita, tetapi ini satu lagi ciri khas dari Silat Tunggal Rasa yang diperkenalkan ke gua hari itu: Rambet.

Apakah ‘Rambet’ itu? Rambet adalah gerakan dimana telapak tangan terbuka, menjemput pergelangan tangan dari lawan kita ketika melancarkan pukulan. Uniknya, setelah dijemput, telapak tangan kita tempelkan ke pergelangan tangan lawan, dan kita genggam dengan kencang – caranya adalah dengan menggengam secara berurutan menutup tangan dari jari kelingking hingga ibu jari – dan kita putarkan pergelangan kita agar pergelangan tangan lawan terpelintir. Ketika pergelangan tangan lawan terpelintir, maka sendi sikut lawan akan berada diluar posisi yang biasa, menyebabkan rasa nyeri dan mengekspos lengan lawan untuk dipatahkan.

“Setelah kamu rambet… terus kamu lanjutin ini… “ Set! Mas Ka mengayunkan pundaknya dan melancarkan sebuah ayunan “… Sikut kanan. Habis sikut, kamu lepas.” Bet! Dan dari gerakan sikutan tadi dilancarkanlah kepalan kanan.

“Oke, coba sekarang kamu yang gerakin pelan-pelan barengan sama aku yuk.”

Gua nyengir kegirangan, gua langsung pasang kuda-kuda siap, dan mencoba untuk melakukan gerakan tadi sebagai rangkaian. Setelah 15 menit mencoba, dan dengan hasil yang amatir dan berantakan, Mas Ka masih tetap sabar. Setiap gua menggerakan rangkaian Rambet – Sikut – Lepas itu, beliau memperhatikan dengan seksama, tanpa berkomentar, dan hanya berdiri sambil melipat tangannya.

“Oke, cukup dulu. Kita coba pecah dulu ya gerakannya. Besok kita mulai latihan pukul-rambet dulu ya. Ini supaya nanti rangkaian gerakan kamu mantep.” Kata Mas Ka sambil melemparkan handuk kearah muka gua… dan pluk! Berhasil mendarat menutupi muka gua.

‘Besok’ pun menjadi hari ini, dan hari ini gua kembali menggowes sepeda dengan penuh semangat ke rumah Mas Ka. “Mas Ka!” Gua memanggil  beliau sembari memarkir sepeda di pohon yang biasa, dan terdengar suara Mas Ka menyahut “Masuk aja! Pagarnya enggak aku kunci.”

Gua masuk dan memulai stretching dan pemanasan. Sembari stretching, gua agak heran ketika melihat ada bangku abang-abang (bangku yang biasa diduduki abang-abang di warung rokok, bentuknya hanya sebalok kayu diberi kaki-kaki yang menyokong), dua batu-bata, dan sepasang barbel 2 kg.

Mas Ka terlihat berjalan keluar dari pintu rumahnya menuju garasi (tempat latihan), “Gimana? Udah pemanasan kan?” Gua mengangguk dan Mas Ka melanjutkan, “OK, latihan hari ini, kita mulai latihan kuda – kuda yang lebih mantap, terus kamu latihan pakai barbel ini buat latihan egosan.

“Egosan? Egosan itu apa mas?” Gua bertanya dengan lugu. Layaknya seorang guru dan kakak yang baik, Mas Ka menjawab dengan detil:

“Egosan itu ayunan pundak, tapi kamu ga sembarang ngayun. Ayunan ini ada maksudnya, apakah itu mengelak pukulan lawan, atau justru mau menyerang. Sini coba aku tunjukkin. Kamu berdiri pundak kiri kamu tempel sama pundak kiri aku deh.”

Gua berdiri mendekat, dan gua menempelkan pundak kiri terhadap pundak kiri Mas Ka seperti diinstruksikan. “Gini nih kalau egosan kamu udah mantep..” Dug! Gua merasakan ngilu mendadak dan terhentak kebelakang.

Inilah salah satu lagi ciri khas Silat Tunggal Rasa, dan banyak Silat Betawi lainnya. Karena permainan (di Betawi, ketika bertukar pikiran antara dua jago silat, mereka menyebutnya ‘main’. Sehingga ini dianggap juga sebagai permainan) mereka banyak sekali yang memang berjarak sangat dekat, bahkan kadang hanya berjarak dua jengkal dari hadapan lawan. Dari jarak yang begitu dekat ini, mereka harus bisa memanfaatkan bagian tubuh manapun yang bisa digunakan untuk bertahan dan menyerang.

“Wuiiih… KEREN MAS! Tapi sakit.” Gua mengomel sembari mengusap-usap pundak gua. Mas Ka pun tertawa kecil, dia membantu gua berdiri, dan segera menginstruksikan gua untuk mengerjakan beberapa set latihan.

Di sini gua sadar kalau level gua sudah mulai naik, karena set latihan yang diberikan sudah mulai susah: menahan kuda-kuda diatas kursi abang-abang selama 30 detik, turun dari situ, memegang beban dan berdiri tegak sembari melatih egosan, dan melakukan rangkaian gerakan rambet – sikut – lepas sebanyak 15 kali, dan melatih rambet tangan Mas Ka. Setiap kali jatuh dari kursi abang-abang, maka hukumannya adalah push up 5 kali dan set rambet pun ditambah 5 repetisi.

Set pertama: oke, bisa pelan-pelan… Enggak jatuh… oke. Nah, latihan egosan… Oke, enggak seberapa, bisa lah 5 kali lagi, nah selesai. Rambet – sikut – lepas (ulangi 15 kali) selesai. Rambet lengan dan tangan Mas Ka… Waduh.

Lengan Mas Ka terasa seperti balok kayu. Mas Ka hanya menyipitkan mata sembari tersenyum. Khas sekali, “Wah, gua dikerjain nih.” Bocah 11 tahun ini menggerutu dalam benaknya tanpa disadari bahwa guru silatnya sedang menaikkan standar latihan. Setelah merambet lengan Mas Ka 10 kali masing-masing sisi, dan 3 set kedepan, gua kelelahan.

Mas Ka banyak tertawa dalam latihan ini, nampaknya beliau menikmati melihat gua berusaha begitu keras untuk memutar lengannya.  “Kita sudah dulu ya latihan hari ini, kamu kan besok sekolah, nanti pas nulis catatan, tangan kamu gemetaran kan lucu hahaha.” Mas Ka tertawa, dan gua hanya bisa terkekeh sambil cemberut.

Beliau kembali mengambilkan handuk kecil untuk menyeka keringat di muka gua yang sudah kusut, dan dari jauh, beliau melemparkan handuk itu dan pluk! Mendarat tepat menutupi muka gua. Latihan hari itu pun selesai.

 

Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.

 

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku

NBG 188 Sang Naskah Terpanjang Di Dunia

Awalnya, NBG 188 dikumpulkan oleh I Colliq Pujie Arung Pancana Toa, seorang raja perempuan dari tanah Bugis yang ditahan oleh Belanda. Atas permintaan B.F. Matthes, sang ratu mengumpulkan dan menyalin ulang episode-episode La Galigo. Hasilnya adalah  2212 halaman folio salinan naskah yang merupakan 1/3 dari seluruh naskah La Galigo yang oleh Matthes dibawa ke Belanda. Pada tahun 1987 dimulailah sebuah proyek untuk menerjemahkan dan menerbitkan NBG 188 ini.

Naskah NBG 188 yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya tersusun dalam 2851 lembar folio. Ukuran kedua belas jilid itu 21 x 34 sentimeter. Puisi kuno ini ditulis dengan alat tulis tradisional yang disebut dengan Kallang bertinta hitam dalam aksara Lontaraq dan bahasa bugis kuno. Kertas yang digunakan sebagai media tulis adalah kertas yang berasal dari Eropa. Dikarenakan panjangnya naskah yang harus disalin dan waktu yang cukup lama untuk prosesnya seiring pula penggunaan beberapa jenis kertas yang berbeda-beda baik dari segi kualitas dan kuantitas. Warna krem dan berat kertas yang tebal paling banyak digunakan namun pada bagian-bagian akhir penyalinan, kualitas kertas menurun dengan menggunakan kertas yang berwarna lebih tua dan berat kertas yang tipis sehingga membuat tinta kallang membayang bahkan telah tembus ke bagian belakang kertas tersebut. Colliq Pujie memindahkan isi La Galigo dengan rapi dan dengan tulisan yang jelas walaupun nantinya akan ditemukan beberapa kesalahan penulisan dalam beberapa bagian-bagian naskah. Kesalahan tersebut diperbaiki dengan memberikan tanda kurung siku untuk kata, huruf dan fragmen yang harusnya terdapat dalam puisi La Galigo.

Untuk memudahkan penyusunan, B.F. Matthes memberikan nomor halaman dengan pensil. Pada kebanyakan bagian pinggir naskah dan beberapa bagian kosong di atas kalimat terdapat catatan kecil yang di buat oleh Matthes . Catatan ini merupakan arti kata-kata tertentu dari fragmen puisi La Galigo dalam bahasa Belanda, Makassar dan Bugis kuno itu sendiri yang diterangkan oleh Colliq Pujie selama proses pengerjaannya. Ada juga beberapa kata yang hanya dijelaskan oleh Colliq Pujie namun oleh Matthes tidak dituliskan dalam bahasa Belanda karena kata tersebut merupakan simbol dari konsep kebudayaan Bugis. Contohnya kata : Siri’.

Penyimpanan naskah kuno Bugis La Galigo ini membutuhkan teknologi yang tinggi dengan ruang hampa udara yang bisa menjaga keawetan naskah yang telah berusia ratusan tahun. Untuk melihat langsung naskah kuno ini, silahkan mengunjungi Perpustakaan Leiden di Leiden, Belanda. Tentunya dengan membawa surat pengantar dan mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh pihak perpustakaan. Hal ini perlu diterapkan karena naskah ini adalah naskah asli satu-satunya, Colliq Pujie hanya menuliskan satu set saja dan itupun dibawa oleh Matthes. Adapun penyalinannya belum diterbitkan dan disebar luas kecuali dua jilid dari dua belas yang telah diterjemahkan oleh Alm. Muhammad Salim, dkk. Untuk mendapatkan informasi mengenai salinan ini silahkan menghubungi KITLV baik yang berada di Belanda maupun di Jakarta.

 

Referensi:
Wawancara langsung dengan Alm. Muhammad Salim pada tahun 2010.
Salim, Muhammad & Fachruddin Ambo Enre. (1995). La Galigo menurut naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa (Jilid I). Jakarta: Djambatan-KITLV.
Salim, Muhammad & Fachruddin Ambo Enre. (2000). La Galigo menurut naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa (Jilid II). Makassar: Lephas.
Kern, Rudolph. A. (1989). I La Galigo: Cerita Bugis Kuno, diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Catalogus I (Catalogus van de Boegineesche, tot den I La Galigo-cyclus behoorende handschriften der Leidsch Universiteitsbibliotheek, alsmede van die in andere europeesche bibliotheken) & Catalogus II (Catalogus van de Boegineesche, tot den I La Galigo-cyclus behoorende handschriften van Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara te Makassar) oleh La Side dan M. D. Sagimun. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

 

Nur Azmah Musa, dara kelahiran Maros yang juga alumni Heritage Camp 2013 oleh Lontara Project ini punya kepeduliaan yang besar terhadap budaya. Meskipun menuntut ilmu di Universitas Komputer Indonesia, Azmah aktif di kegiatan yang berhubungan dengan budaya seperti penelitiannya mengenai naskah La Galigo dan keaktifannya di Indonesian Heritage Trust (BBPI). Saat ini Azmah berdomisili di Jakarta.