Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode IV – “Penantian Sambut”

Bab V: Penantian Sambut

 

Setelah 9 bulan berlatih, gua merasa bisa banyak. Langkah 1 sudah lancar, jurus-jurus sudah hapal dan gerakan mulai terlihat bagus. Arahan-arahan dari Mas Ka sudah mulai bisa diikuti dengan baik, dan set latihan mulai bisa dikuasai

Suatu saat selesai latihan, gua pulang kerumah. Setelah menikmati makan malam bersama keluarga, orangtua gua bertanya: “Jadi, kamu sudah belajar apa saja sama Mas Ka?” Gua menjelaskan panjang lebar tentang latihan, apa saja yang dilakukan pada saat latihan, langkah apa saja yang sudah dipelajari, nama-nama gerakan, gedik, rambet, semuanya.

Ayah gua yang sepak terjangnya di dunia persilatan sudah lama melegenda ini meminta gua untuk menunjukkan langkah silat yang sudah dipelajari. Dengan penuh percaya diri, gua segera menunjukkan apa yang sudah gua latih selama ini. Setelah beberapa detik bergerak, ayah berdiri dari sofa.

“Bagus tuh gerakanmu,”bBeliau berkata sembari melihat gerakan gua. “Oke, Papa mau tanya deh, gerakan itu tadi buat apa ya?”

Dan gua pun terdiam. Kepala kosong, selama ini yang gua pelajari adalah gerakkan yang kosong. “Belum dikasih tahu Pa, gerakannya untuk apa.”

Ayah gua tersenyum, “Besok tanya deh ke Mas Ka, Papa jadi pengen tahu juga hehe.”

“Aduh, masih hari Jumat depan latihannya” gua ngedumel dalam benak gua, dan gua harus menghadapi sekolah selama seminggu kedepan. Baiklah, tidak apa, gua harus sabar menunggu, karena beberapa penantian itu memang nikmat.

Seminggu itu sekolah berlalu SANGAT lambat. Banyak sekali PS (bagi teman-teman yang membaca dan kelahiran 1990 – 1993 pasti tahu kalau PS itu bukan “Plaza Senayan”, atau “Playstation”, melainkan “Pekerjaan Sekolah”), PR (yang ini tahu kan kalau “Pekerjaan Rumah”?) dan tugas-tugas kelompok yang harus dikerjakan. Ditambah badan dan kaki yang pegal-pegal, gua pun berjalan seperti kakek-kakek yang lututnya goyang.

Dikarenakan gua mengendarai mobil antar-jemput ketika SMP, tidak banyak hal yang bisa gua lakukan setelah sekolah. Gua harus langsung lari ke parkiran antar jemput ketika bel sekolah berbunyi, dan ketika sampai rumah, gua mengerjakan PR dan… berlatih silat.

Suatu saat, sahabat-sahabat gua di SMP memperhatikan kenapa cara jalan gua aneh dan jari-jemari gua gemetar ketika menulis.

“Put, lu kenapa sih? Kok jalannya aneh?”

“Iya nih… Gua lagi sering latihan silat”

Didalam benak seorang bocah yang menghabiskan masa kecilnya dibacakan cerita wayang, didongengi cerita-cerita silat, dan menonton serial-serial seperti “Wiro Sableng” dan atau “Si Buta Dari Gua Hantu”, gua merasa gagah bisa cerita kalau gua pegal-pegal habis latihan silat.

Lain ceritanya ketika anak-anak Jakarta masa kini (pada jaman itu) yang menghabiskan waktunya menonton acara-acara MTV, beli barang-barang dari toko-toko macam Point Break atau Surfer Girl (kalau gua belanja, Ibu tercinta akan membawa gua ke department store lokal macam “Matahari” atau mungkin “Aneka Busana”), dan membaca novel-novel ‘teenlit’ (dimana gua akan disajikan TJERITA WAYANG oleh ayah gua yang digambar dan ditulis oleh mendiang R.A. Kosasih). Gua adalah orang aneh dimata mereka. Dan seperti yang mungkin teman-teman bayangkan, gua jadi bahan ketawaan.

“HUAHAHAHAHAH Latihan silat??? Lu bisa keluarin sinar ungu dong dari tangan lu, terus nembak batu nanti batunya pecah? HAHAHAHAHA” ~ ini mungkin mereka membuat sebuah referensi dari film-film silat yang dimata mereka itu norak.

“Ehm… Enggak sih… Tapi ya ini silat tradisional…” tukas gua dengan nada pelan tetapi pasti.

“Terus kenapa sih lu mau belajar silat gitu? Emang lu bisa apa sekarang?” ledek mereka

“Iya namanya kan juga proses latihan, enggak langsung lah hasilnya, sakitnya sekarang, tapi sehatnya nanti kedepan.” Jawab gua sambil tersenyum percaya diri.

“Tapi lu jalan sekarang kayak kakek-kakek! HAHAHAHAH”

Yap,  itulah silat dimata mereka.

Seminggu itu akhirnya berlalu, dan gua sudah sampai di akhir pekan. “Akhirnya, gua bisa latihan.” Gumam gua di dalam benak gua. Sepulang sekolah pada hari Jumat, gua langsung menggowes sepeda gua kerumah Mas Ka.

“Mas Ka!” Gua lompat dari sepeda gua, dan langsung lari masuk ke garasi Mas Ka

“Yop! Masuk Put!” Suara Mas Ka terdengar menyahut dari dalam rumah. Gua langsung stretching dan pemanasan sendiri, Mas Ka pun keluar dari rumah dan tersenyum lebar.

“Put, hari ini kita latihan sambut ya.”

“Sambut itu apaan mas? Latihan hormat gitu?” Tanya gua dengan dungu dan polos

“Haha enggak lah Put, ‘Sambut’ itu kalau di Silat Betawi, artinya sparring. Kalau kamu lagi di acara silat gitu, dan ada yang bilang ‘Mas, boleh saya sambut?’ itu artinya nantang kamu sparring. Jadi kamu ‘disambut’ sama jurus-jurusnya dia, dan kamu harus tau cara ‘menyambut’ yang baik, dan yang sopan.” Mas Ka menjelaskan dengan kalem.

“Sopan? Kok kita ditantang harus sopan mas? Orang yang nantang saja udah enggak sopan.” Gua mendadak sewot.

“Put, kalau di Silat Betawi itu, ada yang namanya ‘Lu Jual, Gua beli’. Memang kita enggak mau dan enggak boleh cari gara-gara, tapi kalau di gelanggang, itu memang sudah tempatnya kita unjuk ilmu dan cobain ilmu lain. Selain itu, Silat itu juga ada tata kramanya! Kan kamu sudah aku ajarin, kalau misalnya kuda-kuda aku merendah, kamu ikut merendah juga. Ini tuh gesture-gesture kecil yang menunjukkan kalau kamu itu pesilat yang mengerti tata krama dan orang yang santun.”

“Oh gitu ya mas. Hmm… contohnya gimana mas?”

Mas Ka pun mendekat, dia memasang kuda-kuda siap,

“Ini Put, posisiku kalau siap sambut. Kalau di silat Betawi yang ‘main’nya jarak dekat, kamu tempel tangan kamu sama tanganku.”

Gua mengerjakan apa yang Mas Ka diktekan, dan gua mencoba untuk bersikap dan memasang kuda-kuda yang sama dengan Mas ka. Kepalan Mas Ka gua tempelkan dengan kepalan kanan gua.

“Nah, ini kamu mau adu keras kalau gaya kamu kayak gini Put.” Mas Ka terkekeh.

Gua bingung, “Maksudnya gimana Mas?”

“Kamu nyodorin kepalan pas aku nyodorin kepalan. Itu artinya kamu siap melawan aku dengan keras. Kecuali kalau kamu begini…”

Mas Ka membuka kepalan tangannya, dan menyodorkan tangan terbuka dengan telapak menghadap keatas,  beliau pun mengubah posisi tubuhnya. Dada mengahadap kedepan, tangan kiri tetap menyilang dada dengan mengepalkan tangan, seakan “mempersilahkan” gua untuk memulai.

“Put, kamu coba serang aku ya, aku isi sambut dari kamu pakai langkah yang udah kita latih selama ini.” Raut Mas Ka mendadak berubah menjadi serius.

Gua deg-degan, Mas Ka seakan-akan mengubah atmosfer yang biasanya dipenuhi penuh pembelajaran dan canda tawa menjadi tenang tetapi menegangkan.

“Mas Ka, aku mesti nyerang gimana nih?” Suara gua mendadak parau dan menunjukkan betapa bingung akan apa yang harus gua lakukan. Mendengar pertanyaan gua, kuda-kuda Mas Ka merendah, beliau tidak bergeming.

Akhirnya gua melakukan apa yang Mas Ka instruksikan, gua memasang kuda-kuda siap, dan gua melontarkan sebuah pukulan ke arah dada Mas Ka. Bet! Pergelangan tangan gua dirambet, dan sikut Mas Ka sudah di depan muka gua (ya karena Mas Ka itu tinggi, dan gua pada saat itu masih setinggi pohon singkong), secara reflek, gua menepis sikutan Mas Ka, dan tiba-tiba tangan Mas Ka merambet telapak gua dan mendorong pundak gua kesamping, dan bruk! Gua kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

“Hyeh hyeeeh Putra… kaget ya? He he he he” Mas Ka terkekeh sembari membantu gua berdiri,

“Katanya mau pakai langkah yang Mas Ka latih aku, kok aku belum apa-apa jatuh duluan coba.” Gua menggerutu sambil mengusap-usap pundak.

“Nah, Put, namannya juga lagi sparring, berarti harus bereaksi dong sama sambutan yang kamu kasih. Kan setiap orang enggak pasti memukul kearah perut, ada nanti yang tiba-tiba nendang, ada yang bisa ngerambet tangan kamu duluan. Intinya, kamu harus siap dengan apa yang orang mau kasih kamu.”

Mas Ka bersiap lagi, dan gua pun memasang kuda-kuda. “Put, sekarang kamu aku serang, nah, kamu harus bisa ‘ngisi’ pakai semua yang kita udah latih ya.” Sembari berbicara, Mas Ka melancarkan pukulan dengan pelan, “Ayo, dirambet tanganku.”

Instruksi beliau gua ikuti perlahan-lahan, setiap pukulan, egosan, kuncian, berhasil gua tangani dengan langkah-langkah yang Mas Ka sudah latih gua. Tiba di suatu gerakan, dimana Mas Ka menyerukan “Tendang!” dan karena gua dulu sempat ikut olahraga Korea yang diminati anak-anak karena banyak tendangan, gua reflek menendang tinggi.

“Put! Kalau Silat Betawi jangan nendang tinggi-tinggi! Bahaya!” Mas Ka menegur gua,

“Lho, kan Mas Ka yang bilang nendang. Ya aku tendang.” Dengan lugunya gua menjawab.

“Oke, coba deh kamu tendang lagi.” Mas Ka mendadak memicikkan mata dan memberikan senyuman yang licik dan khas.

Gua tidak ragu, gua lancarkan tendangan tinggi, dan Wut! Tiba-tiba badan gua sudah terbalik! Kaki diatas, kepala dibawah, dan pinggang gua sudah dipegangi Mas ka. Posisi yang sangat ajaib ini diiringi kekeh Mas Ka yang khas. “Keh keh keeeh Puuut… kamu udah aku bilangin jangan nendang tinggi-tinggi.. Hyeh hyeeeh.”

“MAS!! INI AKU DIAPAIIIN” Suara cempreng belum pecah itu keluar lagi dari mulut gua.

Hari itu kami menghabiskan berjam-jam (sungguh!) untuk berlatih sambut, sampai di satu titik, gua sudah sangat lelah, berdiri pun goyah. Mas Ka menyuruh gua pulang untuk beristirahat, dan gua menggowes sepeda gua dengan lunglai sampai di rumah.

Sesampainya gua dirumah, pas waktunya makan malam. Ibu pun bertanya setelah melihat tampang gua yang amburadul dan kemleh-kemleh (maksud gua, lemas), “Kamu habis latihan apa tadi? Kok lemes banget?”

Gua menjawab singkat sembari berusaha mengangkat sendok nasi, “Latihan sparring Ma.”

Ayah gua tersenyum sembari mengunyah, “Oh ya? Jadi kamu sekarang udah bisa apa?”

BERSAMBUNG…

 Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.

Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode III – “Gedik” dan “Sambut Isi”

Bab IV:  Gedik!

Tak terasa gua sudah 8 bulan berlatih bersama Mas Ka. Setiap latihan set latihan berubah, mereka menjadi lebih menantang, dan lebih banyak yang harus gua lakukan. Tetapi memang Mas Ka yang luar biasa, setiap latihan walaupun mungkin mengulang hal yang sama lagi dan lagi, gua tidak pernah bosan. Beliau selalu berhasil memancing rasa penasaran gua dan menantang gua untuk bisa lebih.

Gerakan demi gerakan diperbaiki,  tetapi dari cara Mas Ka melatih, beliau akan memberikan satu rangkaian gerakan terlebih dahulu, lalu aspek dari satu rangkaian itu akan dibedah dan dipertajam satu per satu.  Suatu kali kita berlatih, beliau sudah menambahkan lebih lagi variasi langkah silatnya. Rambet, sikut, lepas, dilanjutkan rambet, gepruk gentus, rambet patah sodok, GEDIK lancar.

Nama-namanya lucu, tetapi memang mereka dirancang sederhana dan mudah diingat. Zaman dahulu memang gerakan ini diperuntukkan untuk tarung jarak dekat yang praktis dan cepat, maka si pesilat pun harus cepat bisa. Sebutan-sebutannya pun “Betawi Banget”, gepruk gentus contohnya, sebenarnya pukulan yang dilancarkan ketika lengan lawan sudah dirambet, dan pukulan dilancarkan untuk mematahkan sendi sikut lawan dari dalam. Sederhananya, lengan lawan di’gepruk’ dan setelah itu dihantam dengan punggung kepalan kearah muka, sehingga muka lawan di’gentus’. Rambet – patah – sodok, dari rangkaian itu sudah jelas, setelah lengan lawan terkunci (diputar rambet), sikut dipatahkan dari bawah, dan titik dibawah ketiak lawan disodol (ini sakit banget lho).

Gedik. Nah, kita sudah masuk ke bagian paling penting dari Silat Tunggal Rasa. Setiap Mas Ka menggedikkan kakinya, bunyinya seperti kalau kita melemparkan atau menjatuhkan barang yang padat ke lantai: “Dug” atau “Dhum”. Sementara gedik gua bunyinya cemen, sama dengan suara kecipak air atau tepuk tangan yang keras: “Plek”.

Jengkelnya bukan main, sudah latihan hampir 9 bulan, tetapi suara gedik masih payah. “Mas, sebenarnya gedik tuh buat apa sih? Kenapa harus keras?” Mas Ka tersenyum, dan gua pun ditunjukkan sembari beliau menjelaskan.

Mas Ka mendekat,

“Gedik itu penting dan harus keras. Karena fungsinya itu begini, coba kamu deketan sini…”

Gua mendekat, dia memasang posisi siap, gua pun secara reflek begitu, dan tiba-tiba pisau kakinya sudah menekan jari-jemari kaki gua “… Coba kamu bayangin kalau aku gediknya keras, nanti bunyinya kamu ‘WUUAADOOW’ hahahahhaha.”

Gua tercengang. Gedik, begitu sederhana, begitu efektif. Menginjak kaki lawan.

“Tapi bukan itu doang, kalau nginjek kaki orang, semua juga bisa kan? Filosofinya begini…”

Mas Ka sembari menuang air minum, “Kita ini hidup dari bumi, dan nanti pada saatnya, akan kembali ke bumi untuk mengembalikan apa yang kita sudah ambil dari bumi. Gedik ini untuk mengingatkan kita kalau kita hidup di bumi ini, dan satu bentuk pernyataan diri kalau kita tetap harus menjejak bumi. Intinya, menjaga diri untuk tetap rendah hati. Selain itu, ini juga merupakan self-statement kalau kita lagi di gelanggang atau kalangan pendekar silat lain.”

Gua terdiam, sambil minum air dingin, gua berpikir. Seperti biasa, Mas Ka membaca pikiran gua lagi, “Mungkin kamu bingung kenapa gedikmu bunyinya kayak kaki bebek ya? Haha, itu sih gampang, masalah teknik saja kok. Kamu gedik jangan pakai telapak kaki lah, orang kalau diinjek pakai telapak kaki juga enggak sakit kan.” Gua mengangguk, dan Mas Ka menambahkan, “Kamu kalau mau gediknya mantep, gedik pakai pisau kakimu nih…” Beliau menunjukkan sisi pisau kaki yang digunakan.

“AHA!” Gua mendadak bersemangat, dan langsung mencoba gedik dengan teknik yang disarankan… dan bunyi yang terdengar adalah ‘duk’ pelan. Mas Ka tersenyum lebar, “Nah, itu udah mulai bagus suaranya! Tapi masih mendem yah? Hahahaha.” Gua ikut tertawa.

Latihan hari itu selesai, dan Mas Ka menutup dengan pesan yang pada saat itu gua tolak, tetapi sekarang gua terus ingat: “Kamu jangan latihan terus ya dirumah. Badan dan pikiran kamu juga perlu istirahat. Main lah sama teman-teman kamu, jalan ke mall kek, nonton anime baru kek, baca komik kek, yang penting istirahat dan enggak mikirin latihan dulu. Harus seimbang ya.” Tetapi ya begitulah anak umur 11 tahun yang keras kepala, gua cuman “Iya Mas.” Dimulut, tetapi bersikeras latihan di rumah.

Setelah minum es teh manis yang menyegarkan dan ganti baju, Mas Ka melemparkan handuk kearah muka gua dan Set! Secara reflek gua berhasil mencengkram handuk itu, menangkapnya dan menariknya dengan cepat kearah badan gua. “Hiyah! Rambetmu udah jadi tuh! Hyeheheheheh.” Mas Ka berseru sambil tertawa girang, Rambet gua sudah matang! Ternyata banyak sekali yang gua pelajari hari ini. Bersama Mas Ka pun kita berseru: “TOS!

 

Bab V: Sambut Isi

 

Setelah 9 bulan berlatih, gua merasa bisa banyak. Langkah 1 sudah lancar, jurus-jurus sudah hapal dan gerakan mulai terlihat bagus. Arahan-arahan dari Mas Ka sudah mulai bisa diikuti dengan baik, dan set latihan mulai bisa dikuasai.

Suatu saat selesai latihan, gua pulang kerumah. Setelah menikmati makan malam bersama keluarga, orangtua gua bertanya: “Jadi, kamu sudah belajar apa saja sama Mas Ka?” Gua menjelaskan panjang lebar tentang latihan, apa saja yang dilakukan pada saat latihan, langkah apa saja yang sudah dipelajari, nama-nama gerakan, gedik, rambet, semuanya.

Ayah gua yang sepak terjangnya di dunia persilatan sudah lama melegenda ini meminta gua untuk menunjukkan langkah silat yang sudah dipelajari. Dengan penuh percaya diri, gua segera menunjukkan apa yang sudah gua latih selama ini. Setelah beberapa detik bergerak, ayah berdiri dari sofa.

“Bagus tuh gerakanmu” Beliau berkata sembari melihat gerakan gua.

“Oke, Papa mau tanya deh, gerakan itu tadi buat apa ya?”

Dan gua pun terdiam. Kepala kosong, selama ini yang gua pelajari adalah gerakkan yang kosong. “Belum dikasihtahu Pa, gerakannya untuk apa.”

Ayah gua tersenyum, “Besok tanya deh ke Mas Ka, Papa jadi pengen tahu juga hehe.”

Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode II – ‘Latihan’ dan ‘Rambet, Sikut, Lepas’

Bab II: Latihan

Latihan bersama Mas Ka itu kerap kali di sore menjelang malam. Kebanyakan perguruan Silat Tradisional akan mulai berlatih sore pada saat matahari terbenam, atau selesai Sholat Maghrib. Kenapa begini? Sejarahnya adalah, ketika Nusantara ini masih dijajah Belanda, pemerintahan Belanda melarang penduduk untuk berlatih segala bentuk beladiri atau ilmu perang apapun. Alhasil, para jawara, pendekar, dan jago silat jaman itu mencari waktu dimana serdadu Belanda tidak akan mencurigai: di malam hari dan ditempat-tempat yang tidak biasa (seperti dapur, kebun pisang, hutan, di gua, dan bahkan dibawah meja makan. Cerita lebihnya nanti ya!).

Tiga sampai lima bulan pertama, Mas Ka memberi gua latihan-latihan yang tujuannya menguatkan tubuh untuk nantinya siap latihan jurus. Selama 3 bulan pertama, Mas Ka TIDAK PERNAH menunjukkan gua jurus silat atau langkah silat apapun, 3 bulan awal latihan bersama Mas Ka itu diisi dengan latihan fisik yang keras. Latihan fisik yang “silat banget”, dimulai dari kuda-kuda, latihan pukulan, lari keliling kompleks, dan masih banyak lagi yang akan gua ceritakan. Bagi orang awam, 3 bulan latihan fisik itu pasti membosankan. Tetapi memang Mas Ka itu seru orangnya, sampai saat ini gua latihan bareng sama Mas Ka, gua enggak pernah bosan. Beliau berhasil membuat setiap latihan menjadi satu pengalaman dan pembelajaran yang baru.

Setting latihan kita kali ini adalah di garasi rumah gua. Kalau sama Mas Ka, latihan itu fleksibel, bisa dimana saja. Tetapi tempat favorit kita latihan biasanya di rumah, apakah itu rumah gua atau rumah Mas Ka.

“Yuk lebih rendah lagi coba kuda-kudanya” Suara Mas Ka tenang sambil merendahkan kuda-kudanya

“Ah Mas, pegel niih,” dan bayangkan suara gua masih baru pecah akibat puber

“Ayo yuk, kamu bisa kok. Kemarin aja udah tahan kuda-kuda satu menit kan”

“Pegel nih mas….Paha udah gemeteran…”

“Yaudah, kalau gitu kita istirahatin dulu pahanya…” Perlahan-lahan Mas Ka meregangkan kakinya, dan dia berdiri tegak “… Tapi kalau kamu udah kuat kuda-kudanya, nanti kamu bisa begini lho..” Mas Ka tersenyum, dan ia menghentakkan kakinya ke ubin garasi rumah gua… dan terdengar suara dentuman ‘DHUM’

Dan pada saat itulah, Mas Ka memperkenalkan gua dengan ‘Gedik’.

Gua tercengang, menganga lebar dan mata terbelalak. Dalam benak gua, “Itu apaan barusan??”

Seakan-akan bisa baca pikiran, Mas Ka tersenyum sambil tertawa kecil “Hahaha, nanti ya aku ajarin. Yuk latihan kuda-kuda lagi? Kali ini kalau kamu bisa tahan satu menit lebih 15 detik aja, aku kasih pinjem komik baru!”

Buyarlah konsentrasi gua mendengar kata “Komik baru” dan dengan cepat gua menjawab “OKEH MAS AYO!”

 

Bab III: Rambet, Sikut, Lepas.

Setelah 5 bulan yang cukup seru dan meletihkan berlalu, gua merasa cukup percaya diri akan kondisi fisik gua untuk seorang bocah berumur 11 tahun. Gua bisa menahan kuda-kuda yang kuat, melakukan push up 30 kali non-stop untuk 3 set, dan lari non stop selama 15 menit. Gua merasa kuat, dan paling pentingnya, sehat.

Hari Sabtu sore itu, gua menggowes sepeda gua kerumah  Mas Ka untuk latihan. Seperti biasa, Mas Ka sudah berdiri menunggu di pintu gerbang rumahnya sambil meregangkan kaki dan badannya.

Gua langsung semangat, segera gua lompat turun dari sepeda, dan memarkir sepeda gua di samping pohon kelapa yang sudah menjulang tinggi di depan rumah Mas Ka.

“Mas! Latihan apa kita hari ini?” Celoteh gua dengan nada penuh semangat

“Sabar… Kamu stretching dulu deh, terus kamu push up dulu 30 kali, dan kuda-kuda dulu 30 detik biar hangat dulu badannya.” Mas Ka menjawab dengan kalem.

Dengan penuh semangat gua selesaikan set latihan yang diberikan Mas Ka, dan setelah beberapa detik mengatur napas, Mas Ka mendekati gua dengan perlahan, dan beliau berdiri di samping gua.

“Nah, kamu coba ikutin gerakan aku deh.” Kata Mas Ka

Beliau memposisikan tubuhnya tegak dengan dada menghadap depan, kuda-kuda dengan posisi kaki kanan didepan, lutut sedikit tertekuk, kaki kiri sedikit kebelakang. Berat badan rata pada kedua kaki. Gua pun mencoba mengikuti sembari memperhatikan dengan seksama.

Mas Ka memposisikan tangannya demikian: Kepalan tangan kanan di samping dada, tangan kiri menutupi dada, dengan posisi telapak terbuka mendampingi kepalan tangan kanan.

“Put, ini namanya kuda-kuda siap ya.” Mas Ka menjelaskan,

“Trus posisi begini, lanjutannya begini… Rambet” Dalam benak bocah umur 11 tahun, pikiran gua bisa gua tulis seperti ini: Tangan kiri dengan telapak terbuka Mas Ka itu seolah-olah mengambil sesuatu, tetapi kok cara ngambil sesuatu itu aneh sekali ya?

Yang setelah beberapa sesi latihan kemudian, Mas Ka menjelaskan gua, dan gua pun sadar itu gunanya apa. Maka gua akan menuliskan isi benak gua dengan baik dan benar agar teman-teman yang baca pun mengerti dengan baik dan benar, bukan dengan narasi bocah suara pecah baru mau puber berusia 11 tahun.

Tangan kiri Mas Ka digerakkan seolah-olah menjemput pukulan yang datang, gerakkannya mirip dengan menepis atau mengalihkan pukulan itu kesamping kiri tubuh kita, tetapi ini satu lagi ciri khas dari Silat Tunggal Rasa yang diperkenalkan ke gua hari itu: Rambet.

Apakah ‘Rambet’ itu? Rambet adalah gerakan dimana telapak tangan terbuka, menjemput pergelangan tangan dari lawan kita ketika melancarkan pukulan. Uniknya, setelah dijemput, telapak tangan kita tempelkan ke pergelangan tangan lawan, dan kita genggam dengan kencang – caranya adalah dengan menggengam secara berurutan menutup tangan dari jari kelingking hingga ibu jari – dan kita putarkan pergelangan kita agar pergelangan tangan lawan terpelintir. Ketika pergelangan tangan lawan terpelintir, maka sendi sikut lawan akan berada diluar posisi yang biasa, menyebabkan rasa nyeri dan mengekspos lengan lawan untuk dipatahkan.

“Setelah kamu rambet… terus kamu lanjutin ini… “ Set! Mas Ka mengayunkan pundaknya dan melancarkan sebuah ayunan “… Sikut kanan. Habis sikut, kamu lepas.” Bet! Dan dari gerakan sikutan tadi dilancarkanlah kepalan kanan.

“Oke, coba sekarang kamu yang gerakin pelan-pelan barengan sama aku yuk.”

Gua nyengir kegirangan, gua langsung pasang kuda-kuda siap, dan mencoba untuk melakukan gerakan tadi sebagai rangkaian. Setelah 15 menit mencoba, dan dengan hasil yang amatir dan berantakan, Mas Ka masih tetap sabar. Setiap gua menggerakan rangkaian Rambet – Sikut – Lepas itu, beliau memperhatikan dengan seksama, tanpa berkomentar, dan hanya berdiri sambil melipat tangannya.

“Oke, cukup dulu. Kita coba pecah dulu ya gerakannya. Besok kita mulai latihan pukul-rambet dulu ya. Ini supaya nanti rangkaian gerakan kamu mantep.” Kata Mas Ka sambil melemparkan handuk kearah muka gua… dan pluk! Berhasil mendarat menutupi muka gua.

‘Besok’ pun menjadi hari ini, dan hari ini gua kembali menggowes sepeda dengan penuh semangat ke rumah Mas Ka. “Mas Ka!” Gua memanggil  beliau sembari memarkir sepeda di pohon yang biasa, dan terdengar suara Mas Ka menyahut “Masuk aja! Pagarnya enggak aku kunci.”

Gua masuk dan memulai stretching dan pemanasan. Sembari stretching, gua agak heran ketika melihat ada bangku abang-abang (bangku yang biasa diduduki abang-abang di warung rokok, bentuknya hanya sebalok kayu diberi kaki-kaki yang menyokong), dua batu-bata, dan sepasang barbel 2 kg.

Mas Ka terlihat berjalan keluar dari pintu rumahnya menuju garasi (tempat latihan), “Gimana? Udah pemanasan kan?” Gua mengangguk dan Mas Ka melanjutkan, “OK, latihan hari ini, kita mulai latihan kuda – kuda yang lebih mantap, terus kamu latihan pakai barbel ini buat latihan egosan.

“Egosan? Egosan itu apa mas?” Gua bertanya dengan lugu. Layaknya seorang guru dan kakak yang baik, Mas Ka menjawab dengan detil:

“Egosan itu ayunan pundak, tapi kamu ga sembarang ngayun. Ayunan ini ada maksudnya, apakah itu mengelak pukulan lawan, atau justru mau menyerang. Sini coba aku tunjukkin. Kamu berdiri pundak kiri kamu tempel sama pundak kiri aku deh.”

Gua berdiri mendekat, dan gua menempelkan pundak kiri terhadap pundak kiri Mas Ka seperti diinstruksikan. “Gini nih kalau egosan kamu udah mantep..” Dug! Gua merasakan ngilu mendadak dan terhentak kebelakang.

Inilah salah satu lagi ciri khas Silat Tunggal Rasa, dan banyak Silat Betawi lainnya. Karena permainan (di Betawi, ketika bertukar pikiran antara dua jago silat, mereka menyebutnya ‘main’. Sehingga ini dianggap juga sebagai permainan) mereka banyak sekali yang memang berjarak sangat dekat, bahkan kadang hanya berjarak dua jengkal dari hadapan lawan. Dari jarak yang begitu dekat ini, mereka harus bisa memanfaatkan bagian tubuh manapun yang bisa digunakan untuk bertahan dan menyerang.

“Wuiiih… KEREN MAS! Tapi sakit.” Gua mengomel sembari mengusap-usap pundak gua. Mas Ka pun tertawa kecil, dia membantu gua berdiri, dan segera menginstruksikan gua untuk mengerjakan beberapa set latihan.

Di sini gua sadar kalau level gua sudah mulai naik, karena set latihan yang diberikan sudah mulai susah: menahan kuda-kuda diatas kursi abang-abang selama 30 detik, turun dari situ, memegang beban dan berdiri tegak sembari melatih egosan, dan melakukan rangkaian gerakan rambet – sikut – lepas sebanyak 15 kali, dan melatih rambet tangan Mas Ka. Setiap kali jatuh dari kursi abang-abang, maka hukumannya adalah push up 5 kali dan set rambet pun ditambah 5 repetisi.

Set pertama: oke, bisa pelan-pelan… Enggak jatuh… oke. Nah, latihan egosan… Oke, enggak seberapa, bisa lah 5 kali lagi, nah selesai. Rambet – sikut – lepas (ulangi 15 kali) selesai. Rambet lengan dan tangan Mas Ka… Waduh.

Lengan Mas Ka terasa seperti balok kayu. Mas Ka hanya menyipitkan mata sembari tersenyum. Khas sekali, “Wah, gua dikerjain nih.” Bocah 11 tahun ini menggerutu dalam benaknya tanpa disadari bahwa guru silatnya sedang menaikkan standar latihan. Setelah merambet lengan Mas Ka 10 kali masing-masing sisi, dan 3 set kedepan, gua kelelahan.

Mas Ka banyak tertawa dalam latihan ini, nampaknya beliau menikmati melihat gua berusaha begitu keras untuk memutar lengannya.  “Kita sudah dulu ya latihan hari ini, kamu kan besok sekolah, nanti pas nulis catatan, tangan kamu gemetaran kan lucu hahaha.” Mas Ka tertawa, dan gua hanya bisa terkekeh sambil cemberut.

Beliau kembali mengambilkan handuk kecil untuk menyeka keringat di muka gua yang sudah kusut, dan dari jauh, beliau melemparkan handuk itu dan pluk! Mendarat tepat menutupi muka gua. Latihan hari itu pun selesai.

 

Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.