Categories
Ilustrasi Karakter

Ilustrasi Remmang Ri Langiq

Adanna kua Remmang Ri Langiq, “Amaséang ngaq Muttia Simpéng, ati kalémping to Rualetté, muéréang ngaq bake tumaniq muressaqé kupoppangngeppeq kinninawa I soloq ri lino maponcoq a I sungeq datukku ri tengnga tasiq.”

Demikian kata Remmang Ri Langiq, “Kasihanilan aku Muttia Simpéng (Wé Tenriabéng) bunga bilik Rualetté, berikanlah aku ampas sirihmu, yang kau gigit, kujadikan penguat jiwa turun ke dunia. Siapa tahu ajalku pendek di tengah laut.” (Nurhayati Rahman, 2006:229)*

Remmang Ri Langiq by Maharani Budi

Suami Wé Tenriabéng adalah Remmang Ri Langiq, yang dalam teks digambarkan sebagai dewa dari langit. Meskipun demikian ia masih sepupu sekali dengan Wé Tenriabéng.

Karakter tokoh ini tidak terlalu banyak disebutkan kecuali sebagai seorang lelaki yang sangat mencintai istrinya. Sebagai perwujudan rasa cinta itu adalah dengan memenuhi segala permintaan istrinya. Ketika ia menikahi Wé Tenriabéng, pemberian mas kawinnya sangatlah banyak, bukan saja harta tapi juga bissu dan dayang-dayang yang tak terbilang banyaknya. Begitu cintanya ia kepada istrinya, maka saat akan turun ke bumi untuk membantu Sawérigading yang kewalahan menghadapi La Tenrinyiwiq, salah satu musuh yang diperangi Sawérigading di tengah laut, ia meminta ampas sirih Wé Tenriabéng yang ada di mulutnya untuk dijadikan penguat jiwa turun ke dunia.

*Rahman, Nurhayati. 2006. Cinta, Laut, dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo (Episode Pelayaran Sawérigading ke Tanah Cina: Perspektif Filologi dan Semiotik. Makassar: La Galigo Press.

Dikutip dari Landasan Teori BAB II, Tugas Akhir “Ilustrasi Karakter Utama Naskah La Galigo Episode SSLTC”, Maharani Budi, STISI-Telkom Bandung, 2011.

PS : Kalau page/gambar/teks ini mau kamu salin ke blog/web lain, jangan asal copas, cantumkan sumbernya! Tolong hargai karya dan usaha tim kami. Tanggungjawab dimulai dari diri kamu sendiri, oke!

Categories
Featured Lontara Project

Ilustrasi La Galigo Episode SSLTC

Pelayaran Sawerigading ke tanah cina

Dari ke-sekian episode naskah La Galigo, SSLTC (Sompeqna Sawérigading Lao ri Tana Cina/Perjalanan Sawérigading ke Tanah Cina) menjadi salah satu episode yang sangat menarik, yakni menceritakan tentang perjalanan Sawérigading mengarungi samudera dan melawan musuh-musuh yang ditemuinya di laut, untuk mencapai tanah Cina. Episode inilah yang akan dikemas dalam bentuk ilustrasi, yakni kelima karakter utamanya : Sawérigading, La Pananrang, La Massaguni, Wé Tenriabéng, dan Remmang Ri Lanqiq. Namun, sebelum mengenal kelima tokoh itu lebih jauh, kita harus mengetahui dulu, bagaimana sih inti cerita episode SSLTC ini?

SEJARAH

Pada jaman dahulu, orang Bugis memiliki kepercayaan tentang keberadaan dewa-dewi yang mendiami tiga dimensi yang berbeda, yakni Boting Langiq atau kerajaan langit atau disebut juga dunia atas, Buriq Liu atau kerajaan bawah laut atau disebut juga Pérétiwi (dunia bawah), dan diantara keduanyalah terdapat Alé kawaq, bumi yang kita tempati sekarang.

Dalam Naskah “Mula Tau” diceritakan bahwa Patotoé atau Tuhan yang bertahta di Boting Langiq mempunyai saudara perempuan yang bernama Sinauq Toja, dewi yang bertahta di Pérétiwi. Sinauq Toja kawin dengan Guru Ri Selleq dari Pérétiwi, sementara Guru Ri Selleq juga mempunyai saudara perempuan bernama Datu Palinge. Datu Palinge inilah yang menjadi istri Patotoé. Perkawinan Patotoé dengan Datu Palinge membuahkan beberapa anak, dan salah satunya bernama La Togeq Langiq yang selanjutnya diutus ke bumi untuk menjadi penguasa bumi; setelah di bumi ia pun bernama Batara Guru. Batara Guru kemudian kawin dengan sepupunya dari Pérétiwi bernama Wé Nyiliq Timoq, dan selanjutnya dari Wé Nyiliq Timoq lahirlah Batara Lattuq, ayah Sawérigading; dan Sawérigading inilah yang menjadi ayah La Galigo. (Nurhayati Rahman, 2006:13)

Sawérigading dikisahkan memiliki saudara kembar perempuan yang bernama Wé Tenriabéng, yang dipisahkan sejak lahir karena takut mereka berdua akan jatuh cinta saat dewasa. Namun pada kenyataannya, Sawérigading bertemu dengan Wé Tenriabéng di sebuah pesta jamuan makan tanpa sengaja, dan terjadilah apa yang ditakutkan selama ini. Singkat cerita, Sawérigading gagal meminang adik kandungnya sendiri karena hal itu sangat bertentangan dengan adat dan kebiasaan, dan kemudian akhirnya memutuskan berlayar menuju tanah Cina, ditemani pengawal dan ajudan-ajudannya, menemui sepupu jauhnya, Wé Cudai, untuk dinikahi. Dari keseluruhan cerita, petualangan Sawérigading ke tanah Cina lah yang paling mendominasi dan menjadi topik hangat yang sering diperbincangkan oleh para peminat kisah La Galigo.

Beberapa tokoh utama memiliki karakter yang sangat kuat dan menonjol, yang menjadi ciri khas yang membedakannya dengan tokoh-tokoh dalam cerita lain. Seperti Sawérigading yang selain  digambarkan dengan karakter yang sangat manusiawi, ia juga memiliki kemampuan-kemampuan khusus sebagai seorang keturunan dewa seperti Sawérigading dapat menghidupkan kembali orang yang mati hanya dengan menyelupkan Besi Jawa* ke dalam air bersama ramuan-ramuan lain, lalu dipercikkan kepada orang mati, orang tersebut dapat hidup kembali. (Nurhayati Rahman, 2006:397)*

 

*Rahman, Nurhayati. 2006. Cinta, Laut, dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo (Episode Pelayaran Sawérigading ke Tanah Cina: Perspektif Filologi dan Semiotik. Makassar: La Galigo Press.

Dikutip dari Landasan Teori BAB II, Tugas Akhir “Ilustrasi Karakter Utama Naskah La Galigo Episode SSLTC”, Maharani Budi, STISI-Telkom Bandung, 2011.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Surviving Folklores

It was a cloudy December 12, 2011. Earlier in the morning, I planned to go to an exhibition related to indigenous oral tradition. Although that day wasn’t the best monday leisure of mine, I still decided to attend the event considering the rareness of its topic.  So, amidst class traffic and capricious rain, I went to Alphabeta Journal’s Spoken Belief: Audio-Visual Interpretation. It was one of my very inspiring afternoon.

The exhibition was held at LIR Space which is located on Bachiro area, Yogyakarta. My first impression was “what an unique venue!”. LIR Space maybe hasn’t enjoyed that much publication or customers, since they just started to roll the dice this July. But the atmosphere is so familiar and unique. They uses 3 in 1 (bookstore-boutique-cafe) concept and surrounding it with Butterbeer from Harry Potter; Homemade Ginger Ale and Picnic Sandwich of Enid Blyton’s classic; Pippi Long Stocking’s Pancake; and Afternoon Tea Set that come straight out of Alice in Wonderland story on their menu’s lists. All of sudden, I found myself on childhood backyard again.

Spoken Belief: Audio-Visual Interpretation is an appreciation toward tales and folklores in Indonesia, by Alphabeta Journal. The exhibition was divided into two chapters: the first is visual exhibition through drawings and paintings, and the second is the audio interpretation. Eight young artists were participated on the visual interpretation. Their wildest imagination let go their skills to sweep the canvas, telling the chosen folklores. You can see how these talented artists defined their own version of some well-known fairytales, such as Lutung Kasarung, The Prince and Mosquito, Slugs and Deer, and many more. However, the folklores are not merely picturesque in an easy way; most of the paintings are strikingly sophisticated and abstract. You will enjoy them as combination of fetterless craft and deep philosophical thoughts. On Sunday, December 18 the audio interpretation began. Stop Lichten, a local band brought their musical performance to tell the visitors about childhood fairytales using modern tones. The exhibition was opened from December 12 until 24, 2011.

The Author (left). And his friend (right).

Although I didn’t find any La Galigo interpretation being showed on both visual and audio exhibition, I found a South Celebes folklore from Bone, Putri Tadampalik and the Bull. It is a very famous story, taken from Pau-Pau Rikadong or the collection of advices and proverbs of The Bugis. The story goes long before Islamic belief infiltrate The Kingdom of Luwu. An exquisite yet so generous princess called Her Grace Tadampalik is the daughter of Datu Luwu (the king). One day, out of nowhere she suffered of inexplicable skin diseases (maja’ uli) which turned her face ugly and her body smelly. The councils of Luwu asked the Datu to expell her from the kingdom, in hope that the skin diseases would not infect the king’s subjects. Brokenhearted by the decision, the Datu of Luwu himself then commanded Her Grace Tadampalik to broad on a small bamboo raft with several lady-in-waiting. She followed the river stream, and finally landed on a jungle.

She decided to live there with her attendants and spent most of her time praying to Dewata with great patient. One day, when she was alone on the yard, a big albino bull came and licked her skin. The bull’s saliva magically cured the disease. After healed Princess Tadampalik, the bull suddenly disappeared. Her Grace was very grateful, but she remained to stay in that remote place rather than come back to Luwu. The story continues with the visit of prince from The Kingdom of Bone and his hunting team near Tadampalik’s abode. Shortly told, the prince met Tadampalik, he found out that she was actually the daughter of King Luwu, married her, and then ruled the Kingdom of Bone together.

Visual Interpretation of Princess Tadampalik and The Bull

Folklores were told by parents to their children orally, from generation to generation. Saving folklores or traditional values through modern package like this exhibition is very important. Many kids nowadays are more familiar with Disney Characters or Japanese Anime rather than their ancestors-made stories. Internet, smartphone, and games also contributes on causing the lackness of interest toward old tales. Alphabeta Journal has proven that as youngsters we could still enjoy globalization and beautiful folklores from our fathers side by side. This Spoken Belief: Audio-Visual Interpretation is an homage to oral tradition, and a jar of creativity for youth thru music and art. Let’s be inspired! Let’s spread this spirit!