Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Perang Gerilya Kita yang Nomer Satu?

Pagi ini di kelas Hukum Pidana Khusus saya mendapat informasi menarik tentang betapa hebatnya Indonesia “di masa lalu”. Seperti biasa, bahasan-bahasan mengenai local wisdom maupun fakta-fakta mengagumkan yang menjadi prestasi bangsa ini di era yang telah lampau selalu dapat menstimulus saya dengan berbagai inspirasi maupun optimisme akan masa yang akan datang, meskipun pada saat yang bersamaan juga membuat saya miris dengan keadaan di masa sekarang. Kali ini, kisah yang Ia tuturkan merefresh memori saya akan sejarah dan tokoh nusantara yang mewarnai dunia secara global hingga ke zaman modern ini.

Di sela-sela bahasan beliau mengenai Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, dan Kejahatan Perang, dosen saya memberikan intermezzo. Alkisah, jagoannya pertempuran laut di dunia ini pasca WWII adalah Inggris dan Uni Soviet. Negara lain hampir tidak ada yang bisa memenangkan pertempuran jika berhadapan dengan mereka. Adapun jagoan pertempuran udara ialah Amerika Serikat dan Prancis. Jangan ditanya, Paman Sam memang memegang teknologi udara militer yang paling canggih di abad ini. Pesawat Siluman merupakan salah satu inovasi mereka yang dapat masuk ke area musuh tanpa terbaca radar. Yang terakhir inilah yang mengejutkan. Siapakah jagoan perang di darat? Jawabannya ialah Jerman dan Indonesia.

Jerman dengan teknologi tempur, strategi militer yang kuat, dan otot-otot pasukan bangsa Arya yang terlatih memang pantas berulang kali memenangi pertempuran darat di benua Eropa. Satu per satu daerah terbuka maupun kota takluk di hadapan bala tentara Hitler. Tapi, Indonesia? Benarkah negara yang sekarang ini tengah dilanda krisis sosial, korupsi yang mengakar di pemerintahannya, serta pesawat militer maupun komersil yang terus menerus jatuh layak menjadi jagoan pertempuran darat? Sekali lagi, kita bicara dalam konteks “masa lalu.”

Jerman, mempelajari banyak literatur kuno dari berbagai bangsa di Eropa demi menyempurnakan strategi perang mereka. Salah satu yang mereka perhatikan dengan seksama ialah dokumentasi perang kerajaan Belanda dengan golongan pemberontak pribumi di Dutch East Indies alias Hindia Belanda. Bagi bangsa Belanda, menjajah Indonesia selama 300 tahun lebih itu bukannya tanpa biaya. Bangsa timur yang barbar itu dalam pandangan mereka merupakan budak sekaligus musuh yang paling berbahaya. Ambil contoh De Java Orloog atau Perang Diponegoro yang terjadi selama 5 tahun (1825-1830). Perang tersebut menurut sumber Belanda menjadi perang termahal yang pernah dihadapi oleh pemerintah kolonial Eropa di wilayah jajahannya.

Perang mengambil tempat di seluruh daratan, di daerah kota maupun desa-desa yang jarang penduduknya. Belanda mengandalkan formasi pasukan ala Napoleon Bonaparte yang saat itu sedang ngetrend si Eropa. Ada barisan infanteri, kavaleri, dan artileri, pasukan dipecah menjadi 3 unit dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Perang tersebut berlangsung sengit dan sempat membuat pihak Belanda frustasi. Bayangkan saja, daerah yang telah mati-matian mereka taklukkan pada siang hari, di malam hari sudah berhasil direbut kembali oleh pasukan pribumi melalui aksi gerilya mereka. Masyarakat pribumi yang dipimpin oleh para senopati dengan pendidikan mereka yang tradisional mampu memanfaatkan medan pertempuran dan keadaan cuaca sehingga dapat berulang kali membuat kondisi tentara Belanda terpuruk, tidak hanya oleh serangan fisik namun juga oleh serangan hujan tropis maupun penyakit musiman.

Kondisi pertempuran menjadi benar-benar mengerikan ketika untuk pertama kalinya di pulau kecil seperti Jawa, Belanda menurunkan 23.000 orang personil. Inilah perang pertama yang dicatat dalam sejarah sebagai perang modern, karena menggunakan segala taktik kemiliteran yang kita ketahui di masa sekarang ini. Usaha-usaha seperti perang terbuka maupun serangan gerilya hingga telik sandi dilakukan dalam perang ini, menjadi cikal bakal unsur-unsur perang modern. Dunia menyaksikan bahwa setelah ribuan penduduk sipil meninggal dan ribuan tentara Belanda tewas di medan laga, akhirnya Pangeran Diponegoro dapat ditaklukkan. Namun sejak hari itu, dunia melihat nusantara dengan perspektif yang berbeda. Nusantara menjadi daerah yang ditakuti karena kegigihan rakyat pribumi serta kemahiran mereka menjalankan serangan darat yang diam-diam, cepat, dan mematikan.

Tidak hanya di Jawa, namun perang yang terjadi di daerah Indonesia Timur seperti Makassar pun membuat Belanda kecut. Sebuah catatan mengenai peristiwa yang terjadi pada tanggal 8 Agustus 1668 menjadi rekaman pahit Belanda ketika berhadapan dengan Kerajaan Gowa. Ketika itu, pasukan Belanda memasuki pelabuhan dan mendekati daerah Somba Opu yang terletak di pinggir pantai. Masyarakat yang tinggal di sekitar situ pun berteriak-teriak siap menyambut kedatangan para penjajah. Mereka menantang dengan gagah berani, sehingga membuat pasukan Belanda yang membawa mesiu dan senjata api gentar menyaksikan semangat pribumi Makassar. Catatan tersebut kemudian bercerita bahwa pertempuran berlangsung amat dahsyat dan mengerikan, bahkan konon “als crijgers van hoogen ouderdom mischien in Europa selve niet dickwiljs gehoort hebben”  (prajurit-prajurit yang sudah lanjut usianya di Eropa sekalipun tidak pernah mendengarkannya).

Cornelis Speelman yang saat itu menjabat sebagai panglima tinggi Belanda pun mengakui bahwa perlawanan tersebut merupakan yang paling hebat yang pernah Ia temui selama menjalankan misi di nusantara. Saking mengerikannya pertempuran tersebut, sampai-sampai pihak Belanda memberikan salutation kepada pemimpin kerajaan Gowa saat itu, Sultan Hasanuddin, dengan gelar“Haantje van het Oosten” alias Si Ayam Jantan dari Timur. Menurut Nasarudin Koro, seorang mantan diplomat sekaligus penulis buku sejarah Makassar, salah satu pendukung kuatnya barisan Makassar saat itu adalah keberadaan para putra Wajo yang jago bertempur di laut, pasukan Melayu, serta putra-putra Mandar yang punya reputasi sebagai penembak meriam nan jitu. Pada masa itu memang kerajaan Gowa bersekutu dengan kerajaan Wajo dan federasi Mandar di utara. Salah satu penembak meriam yang disegani Belanda dari Mandar ialah Daenna Dollah. Kehebatan Daenna Dollah membuat Ia juga dipanggil oleh Sultan Ternate untuk menghadapi Belanda. Saking terkenalnya, tentara Belanda sambil berdecak kagum berkata: “Hij is een goed kanonneer”.

Selain di Makassar, pertempuran habis-habisan rakyat Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dien juga mengilhami pasukan Jerman saat Perang Dunia II. Taktik bumi hangus yang Jerman lakukan sebenarnya  mereka tiru dari catatan Belanda ketika berhadapan dengan rakyat Aceh ini. Saat itu Belanda menganggap rakyat Aceh sebagai momok, mereka ketakutan dengan kekuatan armada laut Aceh yang mereka sebut sebagai “bajak laut nan beringas.” Semangat tempur rakyat Aceh dalam perang habis-habisan membela bangsa dan agama ini terekam abadi dalam nyanyian pengantar tidur berjudul “Dodaidi” yang iramanya mendayu-dayu namun liriknya begitu tajam.

Terakhir, dosen saya menutup ceritanya dengan kutipan dari pidato salah satu petinggi militer Amerika Serikat untuk Perang Vietnam:

“apabila yang kita hadapi di Vietnam adalah para pasukan guerilla Indonesia, maka nasib kita tidak akan sebaik sebagaimana yang kita alami pada hari ini.” Nama Abdul Haris Nasution pun Ia sebutkan sebagai seorang pria asal Republik Indonesia yang telah memberikan sumbangsih bagi dunia pertempuran militer di darat. Buku Jendral Nasution yang berjudul Fundamentals of Guerilla Warfare (terbit tahun 1965 di New York) would become one of the most studied books on guerrilla warfare along with Mao Zedong’s works on the same subject matter (Emmet McElhatton: 2008).

Tidak hanya mengulas hingga menciptakan metode perang gerilya, beliau juga bahkan membuat ‘anti-virus’ atau tangkisan bagi pihak yang menghadapi perang gerilya. Ia menjadi seorang ahli strategi perang dari Indonesia serta peletak dasar atas perang gerilya.

Itu cerita dulu, kawan-kawan, dan prestasi dari bapak-bapak kita yang telah meninggal. Terlepas dari benar tidaknya cerita beliau, fakta punya versinya sendiri. Yang jadi soalan sekarang, masih sanggupkah kita meneruskan jejak mereka dan menomorsatu-kan kembali Indonesia di mata dunia?

Categories
Featured Galigoku

Senja Anging Mammiri

Menjelang senja kami datang. Menjengukmu  yang jauh di pengasingan. Sudah lama kau terbaring, terasing sepi di negeri daeng. Aku tahu tuan menunggu, lama menunggu.. menghadap laut bersila di serambi menanti anging mammiri bertiup dari Losari.

Menjelang senja yang hampir padam, tuan… dengan decak langkah terkayuh menuju tumpahan duka dan pilu masa lalu. Tempat kau bertempur, mengerang, dan mengubur kekalahanmu. Aku datang tuan, dalam bendungan kerinduan, menyelipkan senyum kemenangan, menutup luka pengkhianatan.. paling tidak demikian. Tuan, hampir dua ratus tahun belalu. Senja itu masih terasa pilu.. Magelang 1830, menjelang senja.. sebelum maghrib tiba di bukit Manoreh yang tua.

Menjelang senja, kumengetuk dipintumu. Haru jiwaku menatapmu yang terdiam membatu.  Sujudku hantarkan doa  kedamaian, pada tuanku. Ah tuan, akhirnya aku bisa menjengukmu, lewat langkahku, bukan lewat buku.

Ini bukan nostalgia, memoria, atau terinspirasi dari sebuah cerita. Engkau yang dulu rela menderita dalam keterasingan, patutlah kami memuja. Patriotmu bagai cambuk, bagai pemicu, bagai peluru, memaksa untuk terus bergerak maju.

Tuan.. senja ini pernah ku impikan dimasa lalu, jauh sebelum aku sanggup mengarungi lautan biru. Senja itu kini telah tiba, bersama anging mammiri melayarkanku hingga Ternate dan Tidore. KRI surabaya 591 tuan yang membawaku kemari, KRI surabaya 591 tuan, yang mengingtkanku kembali.. pada tuan yang terdiam di pengasingan buram terkubur zaman.. nyaris dilupakan.

Kini senja berhias jingga seperti sore dahulu kala. Pekatnya sama dikala tuan injakkan kaki di negeri daeng. Menjelang senja di akhir tahun 1834 tiba di Port of Makassar, tetap tuan tak terkalahkan. Di penghujung langkahku di kota Daeng, Aku datang dengan sekantung bunga yang kubeli di kampung melayu seharga 5 ribu. Seharusnya kuhaturkan juga sekantung rindu dari tanah kelahiranmu, Negeri Ngayogyakarto. Dan seharusnya tuan, kutaburkan sekantong doa dari 6 juta rakyat Indonesia di atas pusaramu. Tapi tuan, kini senja menjelang, dan 6 juta rakyat indonesia mungkin tengah asik nonton Tv sampai lupa diri.

Menjelang senja aku datang

Menjengukmu dalam sepinya kesendirian

Dalam senja aku datang

Membawa derap langkah tak berjejak

berharap mereka akan mengingat

menjengukmu dilain waktu

sama sepertiku

Satu lagi dari hati,

Makassar 20 Sepetember 2012.

 

Asyhadi Mufsi Batubara, pemuda asal Sumatera Utara ini memiliki ketertarikan yang besar terhadap dunia arkeologi dan maritim Indonesia. Pernah terpilih sebagai awak dalam Ekspedisi Kebudayaan Kapal Layar Republik Indonesia Majapahit keliling Asia, pria yang hobi scuba diving, bermain skateboard dan menulis ini kini tengah merampungkan studi S2-nya di Universitas Gadjah Mada. Baca tulisan-tulisannya di http://penjelajahbahari.wordpress.com/

 

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Dari Rangkong Hingga Hieroglyph Toraja

Indonesia tak cuma kaya budaya. Alamnya menyimpan berjuta potensi luarbiasa. Kedekatan antara manusia dan alam membentuk suatu simbiosis yang oleh nenek moyang kita zaman dahulu kala diramu dalam ragam bentuk tradisi. Salah satunya adalah melalui tarian dan sistem tulisan. Penasaran bagaimana hewan seperti burung dapat mempengaruhi peradaban suku-suku di Indonesia? Yuk kita simak kisah serunya berikut ini!

Rangkong dan Panglima Burung

Burung rangkong atau enggang (Latin: Bucerus) merupakan fauna bangsa aves yang menjadi ciri khas Pulau Kalimantan. Satwa ini tergolong unik karena tubuhnya yang besar, bulunya yang berwarna-warni, corak ekornya nan anggun dan “tanduk” yang menarik perhatian di atas paruhnya. Indonesia termasuk beruntung karena dari sekian banyak spesies rangkong yang ada di dunia ini, sekitar 13 di antaranya berasal dari negera kita. Totalnya ada sembilan spesies rangkong di Sumatera, delapan spesies di Kalimantan (hampir sama dengan yang ada di Sumatera minus Rangkong Papan), serta empat spesies endemik lainnya di Sulawesi, Sumba dan Papua.

Keanekaragaman rangkong yang cukup tinggi di negara kita serta masih minimnya informasi mengenai kebiasaan hidupnya menjadikan burung ini sebagai satwa yang dilindungi. Sayangnya, belakangan ini cerita-cerita menyedihkan tentang perburuan rangkong marak terdengar. Konon per ekornya burung langka ini dihargai 2,5 juta rupiah! Apabila diperdagangkan di luar negeri, harganya bisa melejit hingga tiga kali lipatnya.

Kehadiran burung rangkong di hutan-hutan Kalimantan tidak hanya penting sebagai penyeimbang rantai makanan dan ekosistem hutan. Bagi masyarakat tradisional Dayak, rangkong ialah simbol kesucian, kekuatan dan juga kekuasaan. Burung ini tidak boleh diburu, apalagi dimakan. Komunikasi dengan arwah leluhur terjadi melalui perantaraan burung-burung ini. Bulu rangkong juga berarti keindahan dan keanggunan. Coba teman-teman perhatikan tari-tarian khas Suku Dayak. Pakaian penarinya yang indah berwarna-warni itu pasti dihiasi oleh ornamen bulu rangkong. Di tataran stratifikasi sosial, kepala rangkong hanya boleh dijadikan hiasan oleh para petinggi Dayak, orang biasa tidak boleh sembarangan mengenakannya.

Penulis berfoto bersama rangkong di Taman Safari Indonesia II

Misteri kultus rangkong tidak berhenti sampai di situ saja. Konon, roh alam yang menjadi pelindung Pulau Kalimantan dan masyarakat Dayak sering menampakkan diri dalam wujud seekor rangkong raksasa. Sosok yang oleh komunitas lokal dikenal sebagai Panglima Burung ini hanya menampakkan dirinya pada momen-momen tertentu saja, seperti saat keadaan genting atau terjadi peperangan. Panglima Burung dipercaya memiliki kekuatan gaib yang luarbiasa besar. Menurut cerita yang pernah penulis dengar, pada masa pemerintahan Presiden Megawati dulu sosok ini pernah memunculkan dirinya.

Saat sedang memberikan pidato pada kunjungannya di suatu tempat di tengah Kalimantan, tiba-tiba seekor burung rangkong raksasa terbang berputar-putar di atas ibu presiden. Burung rangkong raksasa itu lalu turun, mendarat persis di hadapan ibu Megawati, lalu berubah wujud menjadi seorang pria dengan pakaian prajurit Dayak lengkap. Ia memberikan salam kepada beliau selaku pemegang amanah pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kembali berubah wujud menjadi rangkong raksasa, lalu terbang menghilang. Terlepas dari benar tidaknya peristiwa tersebut, yang jelas sosok rangkong diidentikkan dengan simbol kekuatan magis yang dimiliki oleh Sang Panglima Burung.

Aksara Burung-Burungan dari Makassar

Masih bicara tentang burung, kali ini kita menyeberang dari daratan Kalimantan ke tanah Sulawesi. Saya teringat akan sebuah sistem tulisan hasil kejeniusan masyarakat Makassar yang dikenal dengan nama “Jangngang-Jangngang” (dalam Bahasa Bugis: “Uki Manuk-Manuk”) alias “Burung-Burung”. Burung? Ya, bentuk aksara yang meliuk-liuk ini memang mirip dengan ragam gerakan burung ketika sedang mengangkasa. Apa sebenarnya yang menjadi motivasi bagi orang-orang Makassar zaman kuno untuk menciptakan sistem tulisan serupa gerak kepakan sayap burung ini?

Aksara Jangngang-Jangngang menurut Fachruddin Ambo Enre diperkirakan muncul sekitar abad ke-8 hingga ke-14 Masehi. Pada saat yang bersamaan, aksara Kawi masih digunakan pula di daerah Jawa. Seorang pakar sejarah bernama Cense mengungkapkan bahwa sepertinya antara Sulawesi Selatan dan Jawa bagian timur (era itu ditandai dengan eksistensi kerajaan Hindu terkenal seperti Kediri dan Singosari) telah terbina hubungan yang lumayan intens. Buktinya ialah kemiripan yang nampak antara aksara Jangngang-Jangngang dan aksara Kawi. Bahkan sebahagian peneliti ada yang beranggapan bahwa sejatinya aksara Jangngang-Jangngang merupakan turunan dari aksara Kawi. Selain aksara Kawi, aksara Jangngang-Jangngang juga memiliki banyak kemiripan dengan aksara Kamboja. Hal ini tidak mengherankan sebab kerajaan orang-orang Makassar (Gowa) menjelang abad ke-16 telah membangun kekuatan maritim dan perdagangan internasional yang kuat, sehingga hubungan dengan negara-negara tersebut pun memungkinkan pula timbulnya pertukaran budaya.

Aksara Jangngang-Jangngang atau Huruf Burung-Burungan (kiri) di Kraton Tamalate, Gowa

Aksara Jangngang-Jangngang masih digunakan setidaknya hingga beberapa saat setelah Perjanjian Bongaya. Perjanjian yang menandai penguasaan VOC atas Kerajaan Gowa itu disalin dalam beberapa bahasa, termasuk salah satunya dengan Bahasa Makassar yang menggunakan aksara Jangngang-Jangngang. Aksara ini kehilangan popularitasnya di kalangan kerajaan dan penulisan sastra setelah Arung Palakka meluaskan penggunaan aksara Bugis atau yang hari ini kita kenal sebagai huruf Lontaraq Sulappaq Eppaq. Sebenarnya ada yang menarik ketika fitur burunglah yang dipilih sebagai inspirasi untuk menjadi sebuah model aksara. Mengapa bangsa pelaut seperti Makassar tidak mengambil bentuk ikan, gerakan ombak atau layar sebagai aksaranya?

Epos La Galigo mungkin bisa sedikit memberikan gambaran. Meskipun belum pernah ditemukan ada naskah La Galigo yang disalin dengan menggunakan aksara Jangngang-Jangngang, akan tetapi ruh dan memori atas cerita-ceritanya menjadi pondasi dalam kultur masyarakat Bugis-Makassar. La Galigo dalam berbagai episodenya kerap memunculkan tokoh bernama La Dunrung Sereng yang sejatinya merupakan seekor burung peliharaan Sawerigading. Nah, La Dunrung Sereng ini memiliki peran vital sebagai penghimpun informasi, dan pengirim kabar bagi tuannya. Tokoh lain dalam La Galigo seperti si bijaksana We Tenri Abeng juga dikisahkan memiliki beragam jenis burung yang biasa ia jadikan suruhan. Budaya menggunakan jasa burung sebagai sarana komunikasi sudah hidup di benak masyarakat Bugis-Makassar sejak zaman La Galigo. Aksara Jangngang-Jangngang bisa jadi merupakan pengejawentahan dari peran burung sebagai penyedia informasi itu sendiri: media transfer ilmu pengetahuan dalam bentuk aksara atau tulisan kepada umat manusia.

Pasuraq: Menulis dengan Gambar

Dari rangkaian formasi beburungan yang terbang di atas lembaran lontar atau kertas untuk menyebar ilmu pengetahuan, kita singgah ke daerah pegunungan di jantung Sulawesi, tempat suku tua Toraja berada. Suku Toraja, salah satu dari tiga etnis penghuni jazirah Sulawesi bagian selatan merupakan salah satu suku penuh eksotisme dan esoterisme. Keindahan alam maupun misteri kebudayaannya sungguh tak dapat diuraikan dengan kata-kata; nenek moyang Toraja bahkan tidak menciptakan tulisan untuk merekam kearifan lokal adiluhung mereka. Tidak seperti orang Makassar yang menciptakan aksara Jangngang-Jangngang, orang Bugis yang menggunakan aksara Sulappaq Eppaq, atau orang Mandar yang mengadopsi sistem tulis Bugis, orang Toraja bercerita dengan gambar.

Di dunia ini, mungkin hanya orang Mesir Kuno dan Toraja yang mengenal sistem tulisan berupa hieroglyph. Hieroglyph merupakan sistem tulisan yang menggunakan simbol gambar alih-alih huruf sebagai sarana untuk bercerita. Tentunya teman-teman pernah melihat bagaimana dinding-dinding piramida dan kuil-kuil Fir’aun dipenuhi oleh beragam gambar-gambar indah yang menceritakan sejarah bangsa mereka, bukan? Kira-kira seperti itulah yang dulu juga dilakukan oleh nenek moyang orang Toraja. Hanya saja “tulisan” itu memenuhi dinding-dinding Tongkonan sebagai rumah adat mereka.

Salah satu bentuk pasuraq pada dinding Tongkonan. Sumber: toraja.net

Masih belum begitu banyak referensi yang ditulis berkaitan dengan pasuraq –nama sistem tulisan dalam bentuk gambar ini– akan tetapi berdasarkan informasi yang pernah penulis baca, secara etimologis  suraq berarti berita, tulisan atau gambaran. Mengapa? Sebab tradisi lisan amat kental dalam budaya Toraja, sehingga mereka sebenarnya tidak membutuhkan sistem tulisan seperti peradaban lain. Untuk mengekspresikan konsep agama, menceritakan sejarah nenek moyang serta kehidupan sosial maka diciptakanlah tradisi mengukir cerita di atas kayu ini.

Setiap ukiran memiliki nama dan maknanya sendiri. Sebagai contoh, tanaman dan hewan dari elemen air seperti kepiting dan kecebong biasanya menyimbolkan kesuburan. Kerbau melambangkan kekayaan, kebahagiaan dan kesejahteraan, sedangkan ikan biasanya mengindikasikan kerja keras serta kelincahan. Di samping ornamen-ornamen suraq yang berbentuk binatang, terdapat pula jenis-jenis suraq yang berbentuk pola-pola geometris dan motif-motif abstrak. Keseluruhan pola tersebut memiliki maknanya masing-masing. Sebuah tongkonan dapat berisi kisah siklus kehidupan seorang manusia mulai dari hidup hingga matinya atau sejarah suatu klan.

Masih ada banyak sekali teka-teki yang belum terpecahkan dalam pasuraq Suku Toraja. Demikian pula halnya dengan misteri kultus rangkong oleh masyarakat Dayak atau awal mula terciptanya aksara Jangngang-Jangngang pada Suku Makassar. Nah, sekarang giliran kita yang muda-muda untuk memecahkan itu semua. Bagaimana caranya? Tentunya dengan jalan mencari tahu tentang budaya kita sendiri. Jangan sampai generasi muda mendatang hanya akan mengenal rangkong dari gambaran di televisi (karena sudah punah), tidak tahu tentang aksara Jangngang-Jangngang atau bahkan tidak dapat lagi membaca makna-makna yang tertulis pada ukir-ukiran pasuraq di dinding Tongkonan. Budaya bangsa adalah jati diri kita. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi?

 

Makassar, 27 Desember 2012
Pukul 23:27

 

Referensi:

Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrenge, Yayasan Obor.
http://omkicau.com/2012/12/19/pesona-rangkong-asli-indonesia-kenali-cintai-dan-hindari-sanksi/
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/08/14/mengenal-burung-enggang-khas-kalimantan-486065.html
http://punyannyuh.blogspot.com/2011/06/habitat-burung-rangkong-indonesia.html