Categories
Featured Galigoku

Tanahku Yang Kulupakan

Malam itu posisi saya berada di tengah sebuah diskusi santai mengenai Sulawesi Selatan, dimana semua peserta dalam forum itu bercerita tentang apa saja kebudayaan dan fenomena sosial di daerah masing-masing, dilihat dari sudut pandang sejarah maupun pandangan kekinian kami.

Dimulai dari Tanah Luwu sebagai kerajaan pertama yang menerima masuknya pengaruh Islam di Sulawesi. Selanjutnya ke Tanah Gowa, mengorek andil pertahanan kerajaan Gowa terhadap serangan pasukan Belanda pada saat itu, ditandai oleh keperkasaan Sultan Hasanuddin yang sampai sekarang bisa kita lihat dan rasakan keabadiannya melalui penyebutan nama Sang Raja baik dari bandara hingga kampus sebuah universitas terbesar di kota Makassar.

(Foto Wawan 2014, Pembuat perahu Phinisi , Tanah Lemo)
(Foto Wawan 2014, Pembuat perahu Phinisi , Tanah Lemo)

Cerita sempat terhenti ketika teman yang lain berusaha mengetahui tentang bagaimana andil Tanah Bugis yakni Bulukumba dalam hal sejarah perahu phinisi. Saat itu saya merasakan malu yang teramat sangat. Berbicara mengenai hal tersebut, saya yang asli dari Bulukumba hanya sebatas mengetahui bahwa daerah ini memiliki julukan Butta Panrita Lopi alias negerinya para pengrajin perahu. Bahkan anehnya teman dari Luwu justru lebih banyak tahu tentang sejarah kebudayaan perahu phinisi. Kejadian itu kemudian membuat saya terinspirasi untuk mencari dan mengorek rahasia perahu ini lebih dalam. Di dalam hati saya berkata bodohnya diri ini karena telah banyak melupakan sejarah atas tanahku berpijak.

Setelah beberapa usaha saya lakukan untuk mencari tahu tentang perahu phinisi baik melalui bacaan serta banyak bertanya kepada orang, termasuk salah satunya ialah pada saat saya melakukan perjalanan ala backpackers dari Gowa ke Bulukumba. Dari situ saya banyak tahu mengenai sejarah dan berusaha untuk mengaitkan dan membandingkannya satu sama lain. Pada saat akhirnya saya berhenti di Butta Panrita Lopi, dengan bermodalkan kemampuan berkomunikasi dan lebih banyak mendengarkan petuah adat lokal, saya menyerap informasi tentang phinisi di tanahku ini.

(Foto Wawan 2014 , Batas Bulukumba)

Tanahku terletak sekitar 129 km dari kota Makassar,  butuh waktu 3-4 jam untuk sampai ke sana. Berdasarkan kisah yang saya ketahui dari sejarah, tanah ini konon merupakan tempat bersandarnya bongkahan perahu Sawerigading yang dahulu hendak kembali ke Luwu. Perahu Sawerigading terpecah menjadi tiga, dan tiap-tiap bongkahan terjatuh di daerah Ara, Tana Lemo, dan Bira (semuanya masuk ke dalam wilayah kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan). Akan tetapi fokus pembuatan perahu yang dipraktekkan oleh masyarakat lokal berada di Tana Lemo. Sekitar sebulan yang lalu saya menyisir daerah tersebut karena rasa ingin tahu yang sangat kuat. Setelah mengumpulkan beragam referensi akhirnya saya mendapatkan sebuah tempat yakni Monte yang menurut cerita rakyat merupakan desa tertua, dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah berupa bom dan meriam peninggalan Belanda. Artefak-artefak ini menjadi ikon kebersamaan mereka karena mereka yakin barang tersebut yang nantinya menjadi bukti sejarah. Selain peninggalan Belanda, juga banyak terdapat kuburan tua dengan menhir tinggi, serta bekas benteng pertahanan kerajaan kuno. Di sini juga banyak terdapat gua, bahkan ada gua yang menjadi sumber mata air (menurut cerita lokal gua tersebut terhubung dengan laut dan merupakan tempat berlindungnya warga kerajaan dulunya).

(Foto Abdul 2014 Rumah warga Monte dan meriam peninggalan sejarah)

Para pembuat perahu dulunya terlahir di daerah ini, tetapi karena akses jalan yang sulit dan terkendala efisiensi waktu akhirnya banyak pandai-pandai tersebut hijrah dari Monte ke Tana Lemo, walau masih dalam lingkup kelurahan yang sama. Bibir Pantai yang terbentang asri dan keindahan hutan yang masih terjaga ini bisa dibuktikan dengan banyaknya hewan yang kadang melintas seperti kera atau monyet. Akan tetapi daerah ini masih kurang perhatian dari pemerintah setempat yakni dengan banyaknya sampah yang berserakan. Entah alasan apa tempat ini bukan menjadi fokus kelestarian pemerintah padahal potensi yang dimiliki di sini sangat besar. Ini bisa dilihat dari sudut pandang tiga dimensi: yakni cerita sejarah yang kuat dibuktikan oleh banyaknya peninggalan, keasrian alamnya yang masih kental, serta masyarakatnya yang masih memegang teguh kebersamaan dan kekompakan. Sungguh ini menjadi dilema bagi pemerintah setempat yang mempunyai otoritas untuk mengembangkan daerah tersebut. Tetapi apa daya semua tinggal kenangan, di kala semua orang sudah tidak acuh terhadap daerahnya sendiri.

(Foto Meriska 2014, Bibir Pantai Tanah Lemo Kampung Monte)

Bagi saya, ketika  kita berada pada suatu zaman, saat itu pula kita sedang membuat sejarah. Segala sesuatu yang terjadi sekarang itu sejatinya merupakan setitik cerita untuk masa yang akan datang.  Semuanya adalah permainan waktu.

Kurniawan alias Wawan, putra asli Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pernah menikmati masa kecilnya di kabupaten Tana Toraja. Wawan yang saat ini kuliah Teknologi Informatika punya hobi fotografi. Bersama dengan Try Juandha ia mendirikan komunitas bernama Warani yang punya tujuan untuk mendokumentasikan keunikan kekayaan alam Indonesia. Yang ingin kenal lebih lanjut dengan Wawan, bisa kunjungi facebooknya di Chapoendu.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Anak Kampung Makassar Era Hindia Belanda

Salah satu kontributor tulisan di web Lontara Project berandai-andai bagaimana rasanya jika ia hidup di daerah perkampungan tepi Makassar era Hindia Belanda. Mahasiswa sejarah ini berusaha menangkap atmosfer kehidupan di kala itu melalui cerita singkatnya. Mari simak tuturan kisah-kisah nostalgia yang mengalir dari imajinasi Arianto ini!

Aku bingung harus mulai dari mana untuk menceritakan kisah kehidupanku yang sudah berlalu puluhan tahun silam. Kepalaku sudah sulit untuk mengingat kembali beberapa kejadian penting di Kota Makassar, karena faktor usia yang semakin bertambah tua. Hanya sebagian kecil yang aku mampu ceritakan tentang kisah kehidupanku, sebagai warga perkampungan yang hidup di masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Aku tidak tahu dengan jelas sejak kapan bangsa kulit putih mulai berdatangan dan tinggal di Kota Makassar. Kami, anak penduduk perkampungan tidak tahu apa itu “kota”, yang kami tahu hanyalah tempat tinggal kami. Orang-orang tua menyebut tempat dimana kami tinggal dengan nama “kampong”.

Jalanan Kota Makassar zaman Hindia Belanda. Sumber: Koleksi KITLV

Kerap kali ku bertanya kepada orang-orang tua kami, apa itu kota? Orang tua kami sulit untuk menjelaskan seperti apa itu kota, bahkan mereka baru pertama kali mendengar yang namanya “kota”. Orang tua kami mulai mengenal nama “kota” sejak kedatangan orang-orang kulit putih dan pada saat itu orang-orang asing ini mulai menyebut Makassar sebagai Kota Makassar. Nama ini sungguh sangat asing bagi kami yang tinggal di perkampungan. Pengetahuan kami terhadap dunia luar sangat terbatas bahkan bisa dibilang sama sekali tidak ada, karena orang tua kami selalu mendidik untuk selalu menghormati adat-istiadat kami sebagai orang-orang Makassar.

Selain harus menjaga adat-istiadat Makassar, orang tua kami juga sering melarang kami bergaul dengan bangsa kulit putih. Entah apa alasan orang tua kami melarang hal tersebut. Pada malam hari, para penduduk kampung memilih untuk tinggal di rumah masing-masing. Kami berdiam diri di dalam rumah yang sederhana ini, menikmati angin malam yang menembus dinding rumah kami yang terbuat dari anyaman bambu. Banyak pula rumah-rumah peduduk yang terletak di antara pepohonan, dipagari oleh bambu yang mengelilingi rumah mereka.

Melewati malam yang panjang, di dalam rumah penduduk kampung hanya ada pelita minyak yang menjadi alat penerangan. Jauh di sebelah selatan perkampungan penduduk, sorotan cahaya terlihat di antara rumpun-rumpun bambu. Kami menikmati kerlap-kerlip sorotan cahaya lampu itu di sela-sela dinding rumah. Cahaya lampu tersebut berasal dari sekitar benteng di antara rumah-rumah penduduk  Eropa. Sebelum kami tertidur para orang tua kami biasanya akan bercerita tentang orang-orang kulit putih yang tinggal di sekitar benteng. Mereka adalah orang-orang yang kejam. Mereka berperang melawan orang-orang Makassar dan kemudian merebut istana-istana penguasa kerajaan bapak-bapak kami.

Sungai Tello, Makassar. Sumber: Koleksi KITLV

Kisah-kisah peperangan antara orang-orang Makassar dengan bangsa kulit putih sering kali diperdengarkan di perkampungan melalui alunan musik tradisional orang-orang Makassar yang disebut sinrilik. Ketika alunan musik ini memecah kebisuan malam, orang-orang tua mulai duduk melingkar menikmati untaian nadanya, tenggelam dalam pengisahan akan peperangan beberapa abad yang lalu. Tidak sedikit dari orang-orang tua yang larut dalam pengisahan ini, seakan-akan mereka hadir di masa lalu itu, di tengah-tengah medan peperangan. Raut muka mereka menunjukkan kesedihan dan dendam lama mulai terbakar di dada mereka. Seolah-olah kabut peperangan mulai menyelimuti perkampungan kami dan mungkin inilah alasan orang tua kami melarang bergaul dengan orang-orang kulit waktu itu.

Roda waktu terus berjalan dari tahun ke tahun, wajah Makassar meninggalkan masa lalunya dari masa kerajaan ke masa modern. Bangsa  Eropa kini mulai membangun berbagai gedung yang mengagumkan bagi kami penduduk kampung. Jalan-jalan yang berada di sekitar benteng Rotterdam mulai diperbaiki, deretan bangunan rumah-rumah orang-orang Eropa berderet-deret rapi berwarna putih di antara pepohonan. Susunan rumah mereka sangat rapi berjejer dari arah barat Kota Makassar sampai ke sebelah timur kota. Tempat orang-orang Eropa ini dikenal dengan Kampung Belanda.

Kehidupan kami dengan orang-orang ini sangat jauh berbeda, mereka dapat mengubah segalanya dan menciptakan peradaban baru di Makassar. Meskipun leluhur kami mengutuk orang-orang asing ini atas kekejaman peperangan pada waktu itu, akan tetapi kami sebagai generasi yang terlahir di zaman ini penuh kekaguman atas apa yang mereka ciptakan. Dari kejauhan kami terus memandangi bangunan-bangunan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada pohon-pohan yang tumbuh di sekitar perkampungan penduduk. Pertanyaan-pertanyaan sering muncul di kepala kami, salah satunya: bagaimana cara orang-orang ini dapat membangun gedung-gedung setinggi itu?

Gedung Pengadilan Belanda di Kota Makassar. Sumber: Koleksi KITLV

Di perkampungan kami tidak  ada satupun di antara orang-orang tua yang mampu melakukan hal tersebut. Kehidupan penduduk kampung hanya berputar di situ-situ saja. Gubuk-gubuk yang reyot di antara pohon-pohon kelapa dipagari bambu. Jalan-jalan yang menghubungkan dengan rumah penduduk lainnya bertebaran debu, terkadang berlumpur di saat musim hujan. Kami sebagai warga kampung tidak menyadari akan pentingnya kebersihan, anak-anak kecil tanpa busana dibiarkan bermain-main ke sana-sini di sekitar halaman rumah.

Di akhir abad ke-19 Kota Makassar berkembang dengan pesat dan sudah dilengkapi berbagai fasiltas kota. Alat transportasi seperti mobil mulai didatangkan dari Eropa sana. Kapal-kapal dagang terus berdatangan dari segala penjuru di pelabuhan Juliana Cade dan Wilhelmina Cade (sekarang Pelabuhan Soekarno-Hatta). Di sepanjang garis pantai berdiri deretan kios-kios saudagar Arab. Perkembangan Kota Makassar yang pesat menembus sekat kehidupan di perkampungan, warga kampung pun mulai bergaul dengan orang-orang Eropa. Sekolah-sekolah untuk penduduk kampung didirikan, yang dikenal dengan nama “Sekolah Rakyat”, anak-anak kecil pun mulai diajar bahasa Indo. Pengetahuan kami mulai terbuka dan bahkan sebagian dari penduduk kampung mulai mengenal budaya orang-orang Eropa. Tidak segan-segan sebagian orang-orang mulai mengikuti cara berpakain orang-orang Eropa tersebut.

Anak kecil pribumi di upacara penyambutan Gubernur Jenderal de Graeff. Sumber: Koleksi KITLV

Cerita kehidupan kami sebagai warga kampung adalah kesan bagiku, yang pernah hidup di fajar kemunculan peradaban Eropa yang mutakhir. Seingatku, Kota Makassar di masa Pemerintah Hindia-Belanda adalah kota terindah yang pernah berdiri kokoh di kawasan timur Nusantara. Fantasi Kota Makassar di masa lalu tidak kalah canggih dengan wajah Kota Makassar pada hari ini. Orang-orang Eropa dari berbagai belahan dunia kagum atas pernak-pernik Kota Makassar yang dilengkapi berbagai fasiltas yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda. Mereka bahkan  memberikan julukan kepada Kota Makassar sebagai Kota Paris yang berdiri dikawasan timur Hindia-Belanda. Lalu, anakku, bagaimana dengan Kota Makassar-mu pada hari ini?

 Arianto, alumni program studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar angkatan 2014. Punya kegemaran membaca. Bisa dijumpai lewat akun facebooknya Antho Imagined.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan Old Stuff Good Stuff

Datu Museng, Riwayatmu Kini…

Banyak hal menarik yang bisa dituliskan tentang Kota Makassar, dengan melihat dan mengamati hal yang kecil dan sederhana atau yang mungkin sebagian orang belum mengetahuinya. Kali ini saya akan membahas tentang Datu Museng dulu dan Datu Museng sekarang. Ada yang melekat dan tak bisa terpisahkan dari sosok ini. Nama Datu Museng terkenal melalui kesenian tradisional sinrilik. Sinrilik yang merupakan musik tradisional Sulawesi Selatan ialah sebuah tradisi lisan Makassar yang cukup digemari. Sinrilik adalah genre narasi populer orang Makassar yang biasanya berirama dengan satu tekanan bunyi untuk lima atau enam suku kata, yang di antarai dengan satu tekanan bunyi untuk delapan suku kata. Tema Sinrilik biasanya merujuk pada kejadian-kejadian yang berlangsung dimasa “Kompeni”, nama populer VOC. (Thomas Gibson “Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara”).

 
Merunut pada kisah-kisah yang disajikan dalam sinrilik, Datu Museng dikenal dimasa mudanya dengan nama Baso Mallarangang. Datu Museng adalah pelayan setia Datu Taliwang Sultan Sumbawa yang menjabat pada tahun 1761-1766. Datu Museng ialah seorang pribadi yang taat pada agamanya, pemurah dalam berderma kepada orang miskin, mengasihi orang malang serta berpaling dari larangan dan menghindari keburukan. (Thomas Gibson “Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara”). Sinrilik Datu Museng ketika pertama kali mendapat perhatian orang Eropa pada tahun 1850-an. Ketika itu para misionaris Belanda mencatat dua versi berbeda sinrilik ini. Matthes mengumpulkan sejumlah besar naskah lokal yang tertulis dalam aksara lontara. Ia juga menyewa penulis lokal untuk mencatat beragam sastra lisan, khususnya sajak-sajak pendek, kelong, dan epik-epiknya. Sajak-sajak, kelong dan epik-epik tersebut memberikan gambaran atas tradisi di Sulawesi Selatan.

 
Muncul pertanyaan: mengapa Matthes tertarik untuk mencatat sinrilik Datu Museng? Matthes tiba di Makassar pada tanggal 20 Desember 1848. Ia adalah Sekertaris Lembaga Alkitab Belanda. Pada bulan Oktober 1847 oleh Lembaga Alkitab Belanda ia bersedia diutus ke Sulawesi Selatan untuk mempelajari dan mendalami bahasa-bahasa Sulawesi Selatan dan kemudian menyalin alkitab ke dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. (Hidup dan Kehidupan B.F. MATTHES Di Sulawesi Selatan oleh: Van Ben Bri). Berawal dari ditugaskannya Matthes, Gubernur Van Clootwijk kemudian memerintahkannya untuk melakukan penyusunan kompilasi risalah hukum setempat agar dapat  digunakan oleh para pengawai VOC yang bertugas di daerah-daerah jauh. Saking cintanya ia terhadap Sulawesi Selatan. sampai-sampai Mathes pun balik ke Sulawesi Selatan serta ingin menjabat sebagai Direktur Sekolah Pendidikan Guru di Makassar.

 
Suatu hari di bulan Agustus 2014 saya bertemu dengan teman seperjuangan ketika kuliah di Ilmus Sejarah Unhas, namanya Arianto. Ada banyak hal yang kami diskusikan, salah satunya tentang beberapa tokoh-tokoh di Sulawesi Selatan dan Datu Museng. Dalam diskusi tersebut Arianto mengatakan bahwa “Dalam perdebatan masalah historiografi Indonesia, sebagian besar sejarawan lebih cenderung melihat sebuah peristiwa sejarah dengan konsep “Indonesisentris”. Pandangan ini lebih menenkankan kepada bahwa sejarah Indonesia seakan-akan adalah produk murni, dimana orang-orang Indonesia adalah pencipta sejarahnya sendiri. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah Indonesia tidak lahir dengan sendirinya tetapi banyak pengaruh dari luar yang mendorong munculnya kesadaran nasionalisme. Yang lebih fatal lagi, tulisan-tulisan sejarah yang selalu disodorkan hari ini banyak yang hanya membahas peristiwa-peristiwa besar.  Para sejarawan lebih cenderung mengangkat realitas sejarah bukan hasil dari sebuah  perdebatan akademisi. Tetapi mereka lebih meluangkan waktunya menulis sejarah hanya semata-mata hasil dari sebuah proyek. Pada akhirnya produk-produk sejarah sama-sekali tidak menghasilkan sebuah kesadaran sangat penting, malah yang tercipta hanya karya sejarah yang sifatnya dapat dijadikan sebagai legitimasi untuk mengguatkan para penguasa.”

 
Ada kesedihan tersendiri bagi penulis ketika melihat dan membaca beberapa buku baik itu sejarah kota Makassar dan tokoh atau pejuang Sulawesi Selatan. Contoh misalnya buku Profil Raja dan Pejuang Sulawesi Selatan yang diterbitkan di tahun 2004, tak sedikitpun terdapat nama Datu Museng dalam tulisan tersebut. Terkadang banyak penulis atau sejarawan baru menulis jika terdapat sebuah proyek dari pemerintah sehingga seringkali mengakibatkan terjadinya pembodohan publik. Pada tanggal 14 Agustus 2014 saya bertanya ke salah satu daeng becak yang tengah berkumpul di depan kantor kelurahan tempat dimana Datu Museng dimakamkan. Pak dimana Makam Datu Museng? Tanya saya. Salah seorang tukang becak itu kemudian menjelaskan ada lorong kecil sebelah kanan di situ ada kuburan, itulah kuburan Datu Museng. Dari tempat saya bertanya, tidak jauh berjalan kaki saya langsung mendapatkan makam tersebut.

Makam Datu Museng dari Kejauhan

Dari arah utara jalan Somba Opu di Kota Makassar sekitar 20 meter terdapat Jalan Mochtar Lubis. Tak jauh dari jalan tersebut sekitar 5 meter, terdapat Makam Datu Museng yang terletak di jalan Datu Museng. Ketika kita bepergian ke jalan Datu Museng yang terlintas dalam pikiran adalah pusat kuliner kota Makassar atau Sop Ubi Datu Museng, atau Mie Titi Datu Museng dan lainnya. Padahal Makam Datu Museng sendiri terdapat di lingkungan jalan tersebut. Berdekatan dengan gerbang selamat datang di Pusat Kuliner Kota Makassar tak jauh dari sana, di antara warung asongan dan warung nasi kuning Losari nampak sebuah kamar kecil dengan tembok berwarna oranye yang sudah pudar, dipagari dengan pagar besi berwarna hijau, serta sebuah genteng yang berwarna hijau. Terdapat papan nama kecil pas di depan pintu yang betuliskan “Makam Datu Museng” dengan warna emas berdasar papan berwarna merah. Kondisi makam Datu Museng sangatlah menyedihkan. Ketika saya berkunjung, debu yang menempel di lantai dan dinding makam sangatlah tebal, selain itu sampah berserakan di depan pagar makam Datu Museng. Terdapat beberapa kantong plastik hitam dan sampah-sampah lainnya. Lebih parahnya lagi limbah dari rumah makan yang berdekatan dengan Makan Datu Museng mengalir di beberapa bagian pagar tersebut.

Kayu nisan dan Kondisi Makam Datu Museng dari dalam

Ketika Masuk ke dalam Makam Datu Museng saya melihat sebuah tempat dupa dan terdapat sebuah kotak amal yang berwarna hijau. Di atas Makam Datu Museng juga terdapat kelambu yang berwarna putih dan besinya berwarna hijau dengan empat tiang berdiri tegak di setiap sudut makam Datu Museng. Terdapat pula karpet plastik yang berwarna hijau. Bau khas dedaunan pandan amat menusuk hidung. Melihat kondisinya yang seperti ini, tak bisa penulis membedakan yang mana batu nisan Datu Museng dan kekasihnya, Maipa anak dari kesultanan Sumbawa. Batu Nisan Datu Museng dan Maipa hanya ditandai dengaan kayu berwarna hitam dan tak adapun tanda nama yang tertulis dalam kayu tersebut.

Nisan Datu Museng

Bahwasanya di Jalan Datu Museng tersebut terdapat makam tak terawat Datu Museng, tokoh yang menginspirasi bagi para seniman dan tetua-tetua Suku Makassar lewat alunan sinrilik sungguh amat mengiris hati. Padahal kota Makassar bisa mengangkat kisah percintaan Datu Museng dan Maipa Deapati sebagai identitas kota yang menonjolkan kebudayaan lokal, jika benar-benar jargon “Makassar Kota Dunia” ingin diwujudkan. Kisah cinta keduanya yang abadi bisa mendatangkan wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mengunjungi ke Kota Makassar. Seharusnya pemerintah Kota Makassar (dan tentunya juga masyarakat sekitar) lebih mnemperhatikan situs peninggalan sejarah termasuk makam-makam yang lainnya. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi yang harus peduli terhadap kota ini?

 

Anna Asriani de Sausa, atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini   merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung dengan para Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.