Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba Kolaborasi Lontara Project

Ketika La Galigo, La Salaga dan Raden Saleh bertemu di Dresden

Sobat Lontara, pada tanggal 15 Oktober 2022 silam, Lontara Project bekerjasama dengan Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia (IASI) Jerman mendapatkan kehormatan untuk ikut memeriahkan acara Indonesischer Abend 2022 di Stadtmuseum kota Dresden, Jerman. Sejak awal tahun 2022, IASI Jerman telah berkomunikasi dengan pihak penyelenggara Indonesischer Abend yaitu Forum Masyarakat Indonesia di Dresden (FORMID) untuk melibatkan Lontara Project dalam eksebisi di acara tersebut. Kerjasama antara Lontara Project dan IASI Jerman ini bertujuan agar karya-karya yang berhubungan dengan konservasi kreatif dari tradisi-tradisi Sulawesi dapat pula diangkat di kancah diplomasi budaya Indonesia.

Stadtmuseum Dresden tempat dilaksanakannya Indonesischer Abend 2022 oleh FORMID

Acara Indonesischer Abend merupakan bagian dari peringatan 70 tahun hubungan bilateral antara Indonesia dan Jerman oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin. Pada kesempatan tersebut, Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman yaitu Arif Havas Oegroseno juga memberikan komik Raden Saleh kepada walikota Dresden yang hadir sebagai undangan. Raden Sarief Bastaman Saleh adalah seorang maestro lukis dari tanah air pada masa penjajahan Belanda. Kejeniusannya membuat sang pelukis menjadi primadona di kalangan elit masyarakat Eropa. Meski menuai kekaguman, Raden Saleh juga sosok yang kontroversial di kalangan Eropa. Beliau pernah membuat lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro yang menampilkan tokoh-tokoh Belanda dengan kepala di luar ukuran normal sebagai perlawanan atas lukisan serupa yang dilukis oleh Nicolaas Pieneman.

Dresden memiliki tempat spesial dalam sejarah hidup Raden Saleh sebab beliau pernah tinggal di desa kecil bernama Maxen dekat kota tersebut. Di Maxen terdapat sebuah mushola Raden Saleh yang bertuliskan aksara Jawa. Tempat ibadah tersebut dihadiahkan oleh tuan tanah Serre, seorang bangsawan yang menjadi patronnya selama tinggal di Jerman. Komik Raden Saleh merupakan hasil kerjasama antara Indonesia dan sejarawan Werner Kraus untuk memperkenalkan generasi muda di Indonesia dan Jerman akan sosok serta karya Raden Saleh.

Selain mengundang Lontara Project dan IASI Jerman, FORMID juga memberikan ruang bagi komunitas-komunitas seni asal Indonesia untuk meramaikan acara tersebut. Ada pertunjukan angklung dari Rumah Budaya Indonesia di Berlin, penampilan tarian dari rekan-rekan mahasiswa asal Papua, tarian bajidor dari mahasiswa Indonesia di kota Dresden serta lain sebagainya.

Say cheese!

Lontara Project turut memeriahkan perayaan 70 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Jerman dengan memamerkan lukisan La Salaga (karya I Made Sesangka Puja Laksana) dan buku dongeng Legenda La Salaga oleh Louie Buana & Kathryn Wellen dengan melibatkan Aditya Bayu Perdana & Ghina Amalia. Selain itu, untuk pertama kalinya ditampilkan pula Tarot Galigo, hasil kolaborasi Louie Buana dan ilustrator Alan Fajar Ma’aarij. Tarot Galigo adalah serangkaian kartu yang memuat visualisasi dari karakter dan simbol-simbol dalam epos La Galigo. Kartu-kartu Tarot Galigo ini ditujukan sebagai medium untuk menyampaikan cerita La Galigo kepada generasi muda yang penasaran dengan isi dari karya sastra terpanjang di dunia tersebut. Selain itu, Tarot Galigo juga dapat digunakan sebagai permainan atau sarana untuk melatih imajinasi dalam menyusun atau merekontruksi cerita oleh penggunanya.

Tidak hanya eksebisi, malam harinya ditampilkan pula sebuah pertunjukan bertajuk “Storytelling I La Salaga Daeng Mallari”. Persembahan ini mengambil bentuk kolaborasi tiga budaya untuk menuturkan kembali cerita tersebut dengan melibatkan Arief Daeng Rate (pasinrilik), I Made Naraya Sumaniaka (penari) dan Louie Buana sebagai narator. Cerita La Salaga dituturkan di luar bentuk tulisan maupun visual, yaitu melalui pembacaan narasi, lantunan lirik dan teatrikal.

Lontara Project berterima kasih kepada rekan-rekan IASI yang telah terlibat dan berkenan membantu selama proses persiapan acara, teristimewa kepada Eka Magda Febriani (IASI Jerman) dan Mirko di Leipzig. Kerja keras mereka lah yang membuat karya lukisan dan buku dongeng La Salaga serta Tarot Galigo dapat dinikmati masyarakat Jerman.

Sampai jumpa di kesempatan lainnya!

Tengok persiapan di balik layar tim Lontara Project dan IASI Jerman di sini.

Tentang La Salaga Project, tonton lebih lanjut di halaman ini.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Jejak La Galigo di Jerman

Sobat Lontara, selain di Indonesia dan Belanda, naskah-naskah Bugis kuna juga banyak tersimpan di negara Jerman. Berdasarkan hasil riset filologi yang diadakan oleh tim peneliti pernaskahan Nusantara pada tahun 2015, tercatat ada sekitar 45 naskah Bugis dan Makassar berbentuk kodeks di koleksi Staatsbibliothek zu Berlin. Di antara naskah-naskah tersebut, ternyata terdapat pula beberapa naskah La Galigo. Bagaimana kisahnya sehingga naskah-naskah tersebut berakhir di ibukota Jerman? Mari kita telusuri!

Kisah ini bermula dari seorang pria bernama Karl Schoemann. Ia lahir pada tahun 1806 di kota Trier, negara bagian Rheinland-Pfalz. Tidak banyak yang kita ketahui tentang masa muda Karl. Namun, jelas Karl adalah seorang yang terpelajar dan berdedikasi di bidang pendidikan. Karl hijrah ke Hindia Belanda pada tahun 1845 untuk memulai karirnya sebagai seorang tutor pribadi bagi anak-anak Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Selama di Hindia Belanda, Karl tinggal di kota Batavia dan Buitenzorg (Bogor) agar dapat berdekatan dengan keluarga sang gubernur jenderal. 

Mengapa Rochussen jauh-jauh mendatangkan Karl sebagai guru privat bagi anak-anaknya? Nah, background sang gubernur jenderal ini menarik untuk kita ketahui terlebih dahulu. Rochussen terbilang ‘tajir melintir’ untuk ukuran zaman itu. Sebelum ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, Rochussen pernah ditugaskan sebagai Menteri Keuangan Belanda pada tahun 1840-1843. Ketika menjabat di Hindia Belanda, ia mengerahkan ekspedisi militer ke berbagai pelosok tanah air (seperti Pulau Sulawesi, Bali, Sumatera dan Bangka). Ia juga pejabat tinggi yang meresmikan pembukaan tambang “Oranje Nassau”, tambang batu bara pertama di Hindia Belanda (daerah Pengaron, Kesultanan Banjar). Tambang tersebut menghasilkan kurang lebih 15.000-18.000 ton per tahun hingga 1859. Singkat kata, Gubernur Jenderal Rochussen adalah seseorang yang amat berkuasa baik sebelum, saat maupun setelah ia mengampu jabatan di Hindia Belanda.

Tidak heran jika kemudian ia memilih untuk mendidik anak-anaknya dengan seorang tutor terpelajar dari Jerman. Pada masa itu, Jerman adalah pemimpin dunia dalam bidang pendidikan bergengsi (der angesehenen Bildung). Sistem pendidikan Jerman dianggap paling sukses dan layak menjadi percontohan oleh negara-negara Eropa lainnya, termasuk bagi orang-orang Eropa yang tinggal di koloni. Salah seorang putra Rochuseen yang bernama Willem Frederik baru berusia 13 tahun ketika Karl Schoemann tiba di Buitenzorg sebagai tutor. Kelak, lewat prestasi dan koneksi ayahnya, Willem Frederik menjadi Menteri Urusan Luar Negeri Kerajaan Belanda (1881-1883). 

Di Batavia, Karl berkawan dengan sesama warga Jerman, Dr. R. H. Th. Friederich, seorang filolog dan arkeolog yang bekerja untuk Bataviaasch Genootschap van Künsten en Wetenschappen. Penelitian Friederich berfokus di kawasan Jawa dan Bali dari tahun 1844 hingga 1869. Salah satu karyanya adalah sebuah analisa terkait penemuan Prasasti Jambu di kawasan Bogor yang ditengarai sebagai peninggalan kerajaan Tarumanegara. Hubungannya yang dekat dengan Friederich membuat Karl tertarik terhadap sejarah dan kebudayaan Nusantara. Ssst… mungkin dulu Si Friderich sering curhat dan berdiskusi soal penelitiannya kepada Karl kali ya!

Selama tinggal di Hindia Belanda, Karl banyak mengumpulkan salinan naskah-naskah dari berbagai daerah di tanah air. Naskah-naskah ini ada yang berbentuk kodeks, namun banyak pula yang masih berbahan lontar, kulit kayu, bambu dan bahkan logam. Tercatat, Karl mengoleksi lebih dari 350 naskah dalam Bahasa Kawi, Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Bima dan Minangkabau. Jumlah ini tergolong amat besar untuk koleksi naskah Nusantara lho. Koneksinya dengan Friederich memudahkan Karl untuk membeli dan mendapatkan beragam naskah lokal tersebut. Tidak hanya itu, Friederich pun juga membantu membuat klasifikasi bahasa untuk naskah-naskah koleksi Schoemann. Nah, di antara naskah-naskah Bugis tersebut ternyata terdapat beberapa sureq La Galigo juga lho!

Pada tahun 1851, Gubernur Jenderal Rochessen telah menyelesaikan masa tugasnya di Hindia Belanda dan hendak kembali ke Eropa. Perkembangan tersebut kemudian membuat Karl memutuskan untuk pulang ke Jerman sambil membawa koleksi naskah-naskah Nusantaranya. Karl tinggal di kota kelahirannya, Trier, hingga ia meninggal dunia pada tahun 1877. Setelah ia wafat, koleksi naskah-naskah Nusantara miliknya dihibahkan kepada Königliche Bibliothek, perpustakaan kerajaan Prussia di Berlin yang telah berdiri sejak tahun 1661.

Selanjutnya, oleh pustakawan Königliche Bibliothek naskah-naskah Schoemann diberikan kode Schoem I-XIII untuk mempermudah proses penyusunan katalog dan pengarsipan. Pada tahun 1939, seorang filolog Belanda bernama R.A. Kern pernah menelusuri naskah-naskah Bugis dalam koleksi Schoemann. Kern sedang mengerjakan sebuah proyek ambisius untuk menyusun katalog dari naskah-naskah La Galigo yang pernah tercatat dan diketahui keberadaannya. Dalam penemuannya, ia berhasil membuat deskripsi dari 19 naskah La Galigo pada koleksi Königliche Bibliothek yang telah berganti nama menjadi Staatsbibliothek zu Berlin sejak tahun 1992 itu. Nah, berdasarkan temuan terbaru di tahun 2022 ini, ternyata jumlah naskah La Galigo di Staatsbibliothek zu Berlin ada 22 manuskrip! Wah, jumlah yang mencengangkan!

Koleksi Schoemann bagaikan kepingan puzzle yang melengkapi pengetahuan kita tentang epos La Galigo. Perlu dicatat bahwa keseluruhan naskah La Galigo di koleksi Schoemann tersebut merupakan salinan dari abad ke-19, didapatkan melalui pembelian ataupun sebagai pemberian. Meskipun tujuan awal dari pengoleksian naskah-naskah Nusantara oleh Karl Schoemann tidak terlepas dari semangat orientalisme bangsa Eropa di abad ke-19, dokumentasi serta pemeliharaan naskah-naskah tersebut terbukti penting bagi peradaban umat manusia di masa depan. 

Selama ini, narasi yang muncul di pemberitaan media cetak maupun daring sering mengasosiasikan La Galigo dengan kedua belas jilid NBG 188 di koleksi Perpustakaan Leiden University. Keberadaan naskah La Galigo di Berlin atau pelosok dunia lainnya kerap kali terlupakan. Amat disayangkan jika kekayaan budaya Indonesia warisan leluhur di perpustakaan-perpustakaan tersebut tidak dikaji dan diolah dengan baik. Pemerintah Indonesia dan Jerman perlu bekerjasama untuk menciptakan peluang-peluang bagi kalangan akademisi, seniman maupun industri kreatif dari tanah air agar dapat memanfaatkan arsip-arsip tersebut lewat beragam media. Sudah saatnya bagi kita untuk berpikir secara out of the box dan inovatif dalam hal pelestarian fisik serta konten yang terekam di dalam naskah kuno.

Mari bergerak dari segala penjuru!

Referensi

Titik Pudjiastuti, Katalog Naskah Indonesia Koleksi Staatsbibliotheek zu Berlin dalam Hakikat Ilmu Pengetahuan Budaya, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.

Barend ter Haar, Ritual and Mythology of the Chinese Triads: Creating an Identity, Leiden: Brill, 2021.

Muhlis Hadrawi, Basiah, Gusnawaty Taqdir, Sastra Klasik Bugis La Padoma: Tinjauan Kodikoligis dan Ciri Naratif Tekshttps://adoc.pub/sastra-klasik-bugis-la-padoma-tinjauan-kodikoligis-dan-ciri-.html