Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Mencari Cina untuk We Cudai – Part I

 Sobat Lontara yang pernah membaca cuplikan epos besar La Galigo pasti kenal dengan tokoh yang satu ini. I We Cudai alias Daeng Risompa, putri bungsu dari raja Ale Cina adalah seorang wanita yang amat cantik namun tinggi hati. Ulahnya menolak lamaran Pangeran Sawerigading dari Ale Luwu menimbulkan banyak sekali masalah, bahkan Ia tega membiarkan kerajaan Cina terbakar oleh api. Dimanakah sebenarnya letak negri Cina tempat Putri We Cudail? Apakah Cina yang dimaksud merupakan nama sebuah daerah di Sulawesi Selatan atau  justru –sesuai kepercayaan awam– merujuk kepada negri Tiongkok di Asia Daratan?

Gambaran Robert Wilson terhadap Putri We Cudai pada pementasan teater I La Galigo. Sumber: http://sriqadariatin.wordpress.com/

Para penulis dan peneliti sejarah lokal mayoritas sepakat untuk ‘meletakkan’ Ale Cina pada sebuah wilayah di sekitar semenanjung Sulawesi Selatan. Menurut tradisi setempat, kerajaan Ale Cina yang terbagi dua itu berada di sebelah timur Teluk Bone dan di sebelah barat lembah Cenrana. Istana La Tanete tempat Putri We Cudai bersemayam terletak di situs bukit Allangkanangnge ri La Tanete (Pammana, Wajo Selatan). Dataran rendah yang subur ini diyakini sebagai tanah air Suku Bugis (Tana Ugiq), yang namanya diambil dari Opunna Cina (ayah We Cudai), La Sattumpugiq. Penemuan-penemuan benda-benda bersejarah mengindikasikan bahwa wilayah tersebut mulai dihuni dan berperadaban sekitar tahun 1200-1400 Masehi. Setelah itu, tingkat kepentingan wilayah ini mulai menurun dan akhirnya ditinggalkan sama sekali pada abad ke-17.

Peristiwa-peristiwa dalam kisah La Galigo, oleh Christian Pelras, dianggap terjadi pada periode peralihan antara “zaman perunggu-besi” (bronze-iron age), waktu penduduk mungkin masih berpuak-puak, hingga zaman sejarah yang kita kenal berdasarkan naskah lontaraq attorioloang. Rentang waktu yang entah kapan dimulainya tersebut berakhir ketika Sulawesi Selatan memasuki zaman kerajaan. Pelras mengosongkan sama sekali periode antara prasejarah hingga abad ke-15 dan meyakini bahwa sumber-sumber cerita lisan maupun tulisan La Galigo terjadi pada kurun waktu tersebut. Umur temuan arkeologis di Allangkanangnge ri La Tanete dianggap sesuai dengan kronologis sejarah, karena tepat setelah tahun 1400-an kerajaan-kerajaan yang disebut di dalam La Galigo (ex: Luwu, Cina) kehilangan pengaruh seiring bermunculannya kerajaan-kerajaan Bugis yang lebih muda (Bone, Soppeng, Wajo). Bukti berupa nama, penyebutannya di dalam lontaraq, serta artefak-artefak kuno dianggap cukup membuat Pammana sebagai lokasi kerajaan Ale Cina.

Menariknya, ada sebagian penggemar konspirasi yang ‘meletakkan’ negri Ale Cina di Asia Daratan. Tak puas dengan teori “Cina = Pammana”, mereka menghubung-hubungkannya dengan peninggalan-peninggalan kebudayaan logam (nekara, kapak corong) dan jalur perdagangan laut. Fakta bahwa Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang menjadi pusat penemuan keramik Cina kuno terbesar di Indonesia tentunya menarik; hubungan seperti apakah yang terjalin antara daerah ini dengan negri Sang Putra Langit nun jauh di sana? Hmmm… membuat penasaran ya? Katanya, kebudayaan logam bangsa Indonesia dibawa oleh orang-orang Austronesia dari Cina Bawah (Yunnan) kemudian menyebar ke kepulauan nusantara. Adakah kaitannya dengan We Cudai dan asal-usul penghuni Sulawesi Selatan?

Team kami menghimpun beberapa alasan mengapa “Cina”-nya Putri We Cudai seharusnya terletak di Asia Daratan, bukan di semenanjung Sulawesi Selatan. Tidak berarti kemudian kami melawan teori Cina = Pammana lho, kami hanya sekedar bertujuan untuk memberikan balancing opinion. Yuk, simak satu per satu!

  • Riwayat Kelantan tentang Suwira Gading dan Negri Annam

Riwayat Kelantan memegang kunci penting sebagai patokan kita dalam menentukan lokasi geografis Ale Cina serta prakiraan zaman berlangsungnya “Abad La Galigo”. Data yang kami dapat ini bersumber dari tulisan Abdullah Nakula, seorang sejarawan Melayu yang membedah riwayat Kelantan. Riwayat Kelantan mengisahkan seorang panglima bernama Suwira Gading yang bersama dengan Raja Dewa Muda Anak Tok Raja Jawa (Raja Sanjaya) berlayar menuju Giao Chi (ibukota Annam, sekarang menjadi kota Hanoi) untuk memerangi orang-orang Cina. Bangsa Yuwana mendiami Annam, negara yang kini bernama Vietnam. Selama berabad-abad Annam menjadi bagian dari provinsi sebelah selatan kekaisaran Tang dan mengalami Cinaisasi dari segi kebudayaan. Bangsa Yuwana sengaja memanggil bantuan Suwira Gading dan Sanjaya untuk membebaskan mereka dari bayang-bayang Kekaisaran Tang.

Koleksi Keramik Cina Kuno yang tersimpan di Museum Balla Lompoa, Gowa

Sekitar tahun 760 dan 762 Masehi, dua kali Ngo Sri Voung Ngan duta dari Annam datang menghadap ke Medang Bhumi (Kelantan). Dihadapan Sri Vijayandraraja Ia memohon bantuan tentara untuk membebaskan negri mereka. Menurut Abdullah Nakula negri Annam inilah yang kemudian dilambangkan dengan Putri We Cudai. Selama lima tahun diatur siasat untuk membebaskan Putri We Cudai dari penjajahan Cina, hingga kemudian pada tahun 767 berangkatlah pasukan yang dipimpin oleh Sanjaya dari Jawa, Sang Satiaki Satirta dan Suwira Gading. Beberapa bulan sebelum keberangkatan, sejumlah pasukan dari Laos dan berbagai wilayah di Kepulauan Melayu lainnya turut pula menggabungkan diri dalam barisan.

Kemudian dikisahkan pula bagaimana 3.000 orang tentara menyamar sebagai pedagang dan berlayar menggunakan perahu perdagangan ke kota Giao Chi. Pada malam hari mereka keluar dari tempat persembunyian dan bersama dengan bangsa Yuwana menyerang tentara Cina. Prajurit lainnya menyusul dengan berlayar di atas 5.700 kapal, mereka diibaratkan berlayar dalam formasi yang bentuknya bagaikan deretan pulau yang bergerak menuju ke Timur. Rombongan kapal tersebut menyeberangi Teluk Serendah Sekebun Bunga (Teluk Siam) terus menuju ke kota Giao Chi. Disebutkan pula kehadiran prajurit bergajah dan berkuda yang muncul dari arah pegunungan menuju ke ibukota. Pertempuran berlangsung dengan dahsyat, hingga pada akhirnya ibukota Gioa Chi jatuh setelah berperang selama enam bulan.

Riwayat Kelantan merupakan salah satu tradisi yang menyebutkan nama tokoh Sawerigading dan lokasi Ale Cina dengan pasti. Berita penyerangan ini pun dimuat di dalam beberapa kronik penjelajah, seperti yang dicatat oleh Abu Zaid Hasan pada tahun 774 dan 787 Masehi. Jika pendapat di atas benar, maka Ale Cina pastilah berada di negri Annam, dan pelayaran Sawerigading terjadi sekitar abad ke-8 ketika Annam masih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Tang.

Periode sejarah tersebut bersamaan dengan kebangkitan kerajaan Sriwijaya (Senrijawa dalam La Galigo) di Sumatera Selatan. Prasasti Ligor di Semenanjung Melayu menjadi bukti bahwa Sriwijaya berkuasa atas wilayah itu hingga tahun 775 Masehi. Ligor dijadikan pangkalan untuk menyerang Kamboja dan Campa. Kekuasaan Sriwijaya di Semenanjung Melayu kelak dipatahkan oleh tentara Mataram Kuno dari Bhumi Jawa, yang diisyaratkan dengan kehadiran Raja Sanjaya oleh riwayat Kelantan. Penaklukkan Melayu dan Campa oleh Raja Sanjaya dengan bantuan Suwira Gading diabadikan pula dalam Carita Parahyangan, naskah Sunda Kuno dari abad ke-16.

  • Rute Pelayaran Sawerigading ke Negri Cina

Mari sama-sama kita perhatikan rute pelayaran Sawerigading ke Ale Cina! Sumber rekonstruksi rute ini diambil dari buku Cinta, Laut, dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo karya Prof. Nurhayati Rahman.

Rekonstruksi Perjalanan Sawerigading ke Negri Cina. Gambar oleh Maria Yohana Kristyadewi

Sawerigading yang bergelar Opunna Wareq sudah terbiasa berlayar, menjelajahi berbagai macam negri dan pulau di nusantara, bahkan hingga ke Majeng (negri kematian). Sawerigading berangkat dari Ale Luwuq dengan perahu raksasa Welenrenge beserta banyak perahu pengiring lainnya. Kurang lebih lima belas malam setelah meninggalkan Ale Luwuq, rombongan Sawerigading bertemu dengan perompak Banynyaq Paguling dari Maccapaiq (Majapahit?). Tujuh hari kemudian rombongan mereka bertemu dengan La Tupu Soloq To Apunge, sembilan malam kemudian dengan La Tuppu Gellang (berperang selama 3 malam), tiga hari kemudian bertemu La Togeq Tana, sembilan malam kemudian bertemu La Tenripula, sembilan malam kemudian bertemu La Tenrinyiwiq To Malaka, dan puluhan malam kemudian bertemu dengan Settia Bonga Lompeng Ri Jawa Wolio (Buton).

Setelah berhasil mengalahkan seluruh musuhnya, tujuh malam kemudian Sawerigading dan rombongannya mendarat di negri Wewang Nriwuq, yang lokasinya berada di Teluk Mandar/Selat Makassar. Wewang Nriwuq merupakan salah satu dari trio kerajaan Manurung di muka bumi, dengan Tejjoq Risompa sebagai pemegang kedatuannya. Secara geografis kerajaan ini berada di sebuah teluk besar sebelah barat Ale Luwu, sebagaimana Tompoq Tikkaq berkuasa atas sebelah timurnya. Tejjoq Risompa yang tiada lain ialah paman Sawerigading menyambut kemenakannya tersebut dengan senang hati. Sawerigading kemudian melanjutkan pelayaran hingga Ia bertemu dengan I La Pewajoq yang baik hati, sang penguasa Pao (Davao, Filipina Selatan).

Letak Aleluwu dan Alecina Menurut Teori Pammana

Berdasarkan deskripsi I La Pewajoq, Ale Cina ternyata masih nun jauh di sana letaknya! Kerajaan tersebut diapit oleh negri Sabbang Mparu dan Baebunta. Sawerigading masih harus berlayar berpuluh malam lagi hingga bertemu samudera, berhadapan dengan “perempatan” yang terbentuk oleh belahan arus sungai di laut, hingga Ia menemukan sungai yang banyak ditumbuhi oleh pohon asana. Itulah Ale Cina.

Perjalanan ke Ale Cina memakan waktu yang lama karena luarbiasa jauh jaraknya. Dapat dibayangkan, jika kita berpegang teguh dengan teori yang mengatakan bahwa Cina terletak di Pammana, Kab. Wajo sekarang ini, maka pelayaran Sawerigading di atas hanya perjalanan fiktif belaka mengingat jarak pelayaran dari Luwu ke Pammana tidaklah sejauh gambaran tersebut. Meskipun cerita La Galigo memiliki beragam versi, namun perjalanan panjang  dari Ale Luwu menuju ke Ale Cina sudah mengendap dalam imajinasi masyarakat Bugis klasik. Episode ini merupakan peristiwa sentral karena menggambarkan kesengsaraan Sawerigading menggapai cintanya yang jauh di ujung samudera.

Tahta Kerajaan Annam. Sumber: http://www.royalark.net/Vietnam/annam.htm

Ada beberapa hal menarik yang terungkap melalui pelayaran Sawerigading. Pertama; dari Luwu Ia berlayar ke selatan, lalu merubah haluannya (setelah melalui Selat Selayar) ke utara hingga akhirnya mendarat di Wewang Nriwuq (Teluk Mandar). Sebelum sampai di Barat (baca: Wewang Nriwuq) Ia sudah mengalahkan tujuh penguasa laut dari berbagai daerah yang berlayar di Teluk Bone (di antaranya bajak laut Jawa, Malaka, dan Buton). Dari sana Ia mengarungi Selat Makassar menuju utara, sampai bertemu dengan kapal penguasa Davao di Laut Sulawesi. Perjumpaan dengan penguasa Davao yang letaknya di pulau Mindanao ini mengindikasikan bahwa Sawerigading melanjutkan pelayaranannya ke arah utara.

Kedua; setelah mendapatkan arahan mengenai lokasi Ale Cina, Sawerigading terus berlayar sampai menemukan daerah berbukit-bukit namun subur serta di dalamnya mengalir sungai-sungai dengan banyak pohon asana. Asana (Pterocarpus indicus) alias kayu narra merupakan sejenis pohon kayu yang endemik di kawasan hutan hujan tropis. Tumbuhan ini dapat ditemukan mulai dari Burma selatan, Kamboja, kepulauan Asia Tenggara, Pasifik barat, bahkan hingga Cina selatan. Daerah Annam (Indocina) sampai hari ini pun masih kaya dengan kayu yang kuat dan awet sebagai bahan furnitur ini. Kayu narra banyak digunakan sebagai bahan untuk membuat alat musik dan konstruksi bangunan. Kerajaan Cina yang terkenal dengan ukiran-ukiran serta kemampuan mereka di bidang arsitektur menjadikan provinsi Annam sebagai gudang alam yang berlimpah kayu narra.

Ketiga, perihal kondisi alam Annam. Berdasarkan data terbaru (2011) dari Index Mundi terkait geografi Vietnam, 40% wilayah negara ini terdiri atas perbukitan, 42% terdiri atas hutan tropis, dan sisanya adalah dataran rendah. Bagian utara negri ini (yang berbatasan dengan Cina) terdiri dari dataran tinggi dan delta Sungai Merah (Song Hong). Sungai Mekong yang terkenal itupun juga mengaliri bumi Vietnam, dari utara ke selatan. Ale Cina yang dialiri oleh tujuh sungai dan daratannya terdiri atas negri berbukit-bukit indah sempurna sekali untuk diletakkan di Annam. Lebar Sungai Merah di Vietnam amat sangat memungkinkan digunakan sebagai tempat pelabuhan internasional yang ramai dikunjungi oleh berbagai macam pedagang dari mancanegara.

Logika arah pelayaran Sawerigading menuju barat-utara serta informasi mengenai spesies tumbuhan dan bentang alam Annam ternyata 90% cocok dengan deskripsi tentang Ale Cina di dalam naskah La Galigo! 

Selanjutnya… Mencari Cina untuk We Cudai – Part II

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku

HUSIN BIN ISMAIL: Cendekiawan Melayu-Bugis yang Terlupakan

Husin bin Ismail, nama yang jarang terdengar di kalangan dunia sastra Melayu. Tapi, tahukah Sobat Lontara, sastrawan klasik keturunan Bugis ini merupakan penyalin sekaligus pengarang naskah Melayu yang paling produktif di jamannya. Simak penuturan Prof. Nurhayati Rahman yang mencoba untuk menguak kisah maestro yang terlupakan ini…

Istana Sultan Malaka, Malaysia. Sumber: Wikipedia

Penyebaran etnis Melayu ke seluruh wilayah Nusantara terjadi karena dua faktor, pertama melalui perdagangan. Mereka berlayar dan mendatangi daerah-daerah pantai dan bandar-bandar niaga yang besar untuk berdagang. Dari daerah-daerah tersebut mereka juga membeli berbagai hasil bumi dan dibawa ke kampung halamannya. Kedua, melalui penyebaran agama Islam. Orang Melayu terkenal sebagai pemeluk agama Islam yang pertama di Nusantara. Mereka sangat kuat dan taat dalam menjalankan syariat agama. Suku bangsa ini pulalah yang telah melahirkan ulama-ulama besar yang kemudian menyebar ke pelosok-pelosok Nusantara untuk berdakwah dan menyebarkan Islam. Melalui kontak itulah mereka berhasil meng-Islamkan daerah-daerah tujuan mereka, termasuk meng-Islamkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.

Puncak imigrasi terbesar orang Melayu terjadi saat runtuhnya kerajaan Malaka pada tahun 1511 yang ditandai oleh pendudukan Portugis di Malaka. Lalu pada tahun 1605 Malaka diblokade oleh Belanda yang menyebabkan banyak orang Melayu merantau ke pelosok Nusantara termasuk ke Sulawesi Selatan. Mula-mula mereka berimigrasi secara besar-besaran ke pelosok Nusantara lalu menetap dan membangun komunitas Melayu di rantau. Saat itulah terjadi kontak budaya secara intens antara orang Melayu dengan penduduk setempat.

Istana Tamalate Gowa, Sulawesi Selatan

Dalam catatan resmi kerajaan Gowa/Tallo, kronik Gowa menyebutkan bahwa orang-orang Melayu yang pertama datang ke Sulawesi Selatan adalah Nakhoda Bonang , yang datang pada tahun 1525 di bandar niaga Kerajaan Gowa. Mereka diberi tempat yang khusus oleh raja Gowa. Sejak saat itu, orang-orang Melayu mendapat kedudukan yang cukup istimewa dalam struktur Kerajaan Gowa. Berbagai jabatan yang berkaitan dengan urusan perniagaan dan urusan sekretariat kerajaan diurus oleh orang Melayu. Sejak saat itu pula, gelar-gelar seperti syahbandar, nakhoda (dalam Bugis dan Makassar disebut pabeang)  melengkapi kosa kata orang-orang Bugis dan Makassar.

Hubungan itu semakin intens setelah kedatangan tiga ulama besar dari negeri Melayu,  yaitu: Datok Ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal), Datok Patimang (Sulaiman Khatib Sulung), dan Datok Di Tiro (Abdul Jawab Khatib Bungsu). Pada tanggal 22 September 1605 ketiga ulama ini berhasil mengislamkan dua kerajaan terbesar di Indonesia Timur itu, yaitu Raja Gowa I Mangerangi Daeng Manrabbiah dan Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Mannyonri. Hari itu merupakan momen awal bagi ditetapkannya agama Islam sebagai agama resmi kerajaan Gowa dan Tallo yang selanjutnya menyebar ke berbagai kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan sampai di Indonesia Timur.

Ketika Belanda datang maka peranan orang Melayu semakin signifikan di tanah Bugis/Makassar. Ia menjadi perantara Belanda dengan raja-raja di Makassar berkat kepiawaiannya dalam bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu, yang ketika itu menjadi lingua franca di Nusantara. Berbagai jabatan dalam struktur kerajaan Gowa/Tallo pun dipegang oleh orang Melayu termasuk jabatan sekertaris kerajaan.

***

Sementara itu penyebaran orang Bugis di Nusantara – termasuk ke Semenanjung Malaya – juga telah berlangsung cukup lama bahkan ratusan tahun yang lampau. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya penyebutan Melayu di dalam naskah La Galigo, karya Bugis terpanjang di dunia yang oleh para ahli telah menempatkannya sebagai karya sastra Bugis Purba yang telah ada jauh sebelum Islam datang di Sulawesi Selatan. La Galigo oleh para ahli diperkirakan telah ditulis sejak abad ke-7-14 M, itu berarti hubungan orang Bugis dan Melayu telah berlangsung sepanjang abad tersebut.

Tema-tema utama dalam La Galigo, adalah pelayaran, perantauan, perniagaan, dan kekuasaan di laut. Ternyata tema-tema itu telah baku dalam kebudayaan Bugis yang memang sejak zaman dulu dikenal sebagai bangsa pelaut dan perantau. Mereka membangun pemukiman-pemukiman baru di rantau dan membentuk komunitas-komunitas orang Bugis di perantauannya, termasuk di dalamnya Opu Daeng Parani bersaudara di negeri Melayu.

Puncak imigrasi orang Bugis-Makassar terbesar terjadi ketika penandatanganan Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang merupakan bukti kekalahan diplomatis, politis, dan kekuasaan  orang Makassar terhadap Belanda. Ketidakpuasan terjadi di kalangan para elit politik yang menyebabkan mereka melakukan  eksodus besar-besaran ke Nusantara, termasuk Daeng Mangalle sepupu Sultan Hasanuddin yang sangat kecewa dan melakukan eksodus ke Ayuthia pada abad ke-18.

Dari dua uraian di atas – kedatangan orang Melayu di tanah Bugis dan kedatangan orang Bugis-Makassar di tanah Melayu –  menyebabkan terjadinya pertemuan dua budaya besar yang berassimilasi dan berakulturasi sekaligus memunculkan ras yang berdarah Bugis-Makassar dan Melayu.

Tampilnya orang Melayu-Bugis ini memberikan warna dan peta baru dalam percaturan politik, budaya, dan intelektual yang unik di Nusantara. Menurut Mukhlis Paeni, percampuran darah Bugis yang dikenal sebagai cendekia dan pemberani serta darah Melayu yang dikenal sebagi seniman dan intelektual, menyebabkan tampilnya ras baru yang merupakan percampuran Bugis-Melayu dengan ciri utamanya: memiliki intelektual yang tinggi dan pemberani.

Di bidang seni dan kepengarangan misalnya, di Barat Nusantara kita akan bertemu  Raja Ali Haji dengan karya-karyanya yang spektakuler seperti gubahan Gurindam Dua Belas, Tuhfat Al-Nafis, dan menyusun Kamus dan Tata Bahasa Melayu. Di Timur Nusantara, kita akan bertemu Retna Kencana Colliq Pujie, aristokrat Bugis yang berketurunan Melayu. Ia yang menyalin, menyusun, dan mengedit 12 jilid naskah La Galigo yang ada di Perpustakaan Leiden Belanda, yang kemudian ditetapkan sebagai karya sastra terpanjang di dunia dan ditetapkan di UNESCO sebagai “Memory of the World”. Ia pulalah yang mengarang beberapa buku sejarah dan kebudayaan seperti La Toa, Sejarah Tanete, dan menerjemahkan berbagai karya sastra Melayu ke dalam bahasa Bugis, yang keseluruhan karyanya ini tersebar di berbagai perpustakaan dan muzium di dunia.

***

Dalam tulisan ini, saya coba memperkenalkan salah seorang cendekia Melayu-Bugis dari Singapore, yang sebagian sumber data tulisan di bawah ini diambil dari hasil penelitian DR. Roger Tol, yang diberinya judul:”Pengembaraan Sawerigading ke Washington DC: Memperkenalkan Husin bin Ismail Seorang Bugis Terpelajar di Singapore, 2003 dalam buku Menelusuri Jejak Warisan sastra Dunia, Makassar:Pusat Studi La galigo Universitas Hasanuddin). .

Berbeda dengan pengarang dan cendekia Melayu lainnya, Husin bin Ismail adalah tokoh unik yang senyap dari gegap gempita pemberitaan. Namanya  hampir-hampir tidak dikenal padahal ia adalah salah satu pengarang terbaik, penyalin produktif, sekaligus penerjemah naskah-naskah terkemuka di dalam dunia Melayu.

Karya-karyanya tersebar di berbagai perpustakaan di dunia, seperti di Library of Congress dan Harvard University Amerika,  di London, serta Belanda dan Roger Tol memperkirakan juga pasti terdapat salinan tangan Husin bin Ismail di Perpustakaan Nasional Jakarta koleksi H.von de Wall, karena Husin bin Ismail pernah berteman dengannya. Karena itu, menurut Roger Tol:

“Husin Bin Ismail adalah penyalin naskah Melayu yang paling produktif di seluruh dunia ditinjau dari sejumlah naskah yang masih selamat (2003:65) bukan saja dari segi kuantitas, tapi dari segi kualitas dan teknik penyalinan, beliau adalah seorang yang unik yang mengungguli kebanyakan penyalin lainnya (2003:66).

Meskipun begitu, beliau hampir-hampir tidak dikenal di dalam dunia Melayu, namanya tenggelam oleh popularitas Abdullah bin Abd.Kadir Munsyi teman sejawatnya , yang diketahui tempat dan  tanggal lahirnya, karya-karyanya, dan meninggalnya. Husin bin Ismail sama sekali tidak ada informasi tentang kehidupannya yang misterius, satu-satunya yang dapat dijadikan informasi adalah: 1) informasi ilmuan asing seperti dari Alfred North, Charles Wilkes, dan 2) dari karya-karyanya.

Pada tahun 1838-1848 Amerika melakukan ekspedisi besar-besaran di wilayah Pasifik dan Antartika yang disebutnya United States Exporing Expedition. Ekspedisi  ini dipimpin oleh Charles Wilkes, makanya ekspedisi ini lebih popular disebut Wilkes Expedition. Dalam waktu 2 tahun Wilkes menerbitkan ekspedisi resminya dalam 5 jilid besar yang diberinya judul: Narrative of the United States Exploring Expedition, During the Years 1838, 1839, 1840, 1841, 1842. Yang menarik dari ekspedisi ini adalah ketika tiba di Singapore pada bulan februari 1842 yang disambut oleh Alfred North seorang pendeta Amerika yang bertugas di Singapore. Dalam laporan itu antara lain Wilkes mengatakan:

“Dari Tuan North kami peroleh sejumlah naskah Melayu dan Bugis yang amat langka. Konon pada zaman sekarang tidak terdapat koleksi naskah yang lebih besar, terutama sejak koleksi naskah Sir Stamford  Raffles telah hilang. Beberapa naskah ditulis dengan indah sekali” (dalam Tol 2003:62).

Ada dua informasi yang sangat penting dalam kutipan di atas, yakni selain mengumpulkan sejumlah  koleksi naskah Melayu yang banyak juga terdapat koleksi naskah Bugis.

Library of Congress - Washington DC

Ternyata naskah-naskah tersebut dibuat dan disalin  oleh dua kolega Alfred North, yakni: 1) Abdullah bin Abd.kadir Munsyi dan 2) Husin Bin Ismail. Keduanya bekerja di Mission Press of Singapore yang dipimpin oleh Alfred North  pada tahun 1838-1843 dan keduanya bertugas untuk menyalin naskah, membantu di bidang cetak buku litograf, dan yang paling penting keduanya mengajar pula orang Inggeris dan Amerika. Abdullah mengajar bahasa Melayu dan Husin mengajar bahasa Bugis. Ia kemudian meminta bantuan kedua orang ini untuk menyalin beberapa naskah, yang kemudian ia  persembahkan kepada ketua ekspedisi di Singapore pada bulan Februari tahun 1842. Paket itu kemudian tersimpan di dua tempat, yaitu: 1) Library of Congres dan 2) Harvard University Library.

 

Dari 15 naskah Melayu di Washington, tujuh naskah disalin oleh Abdullah sendiri, selebihnya oleh Husin bin Ismail. Dua naskah Hikayat Abdullah disalin oleh Husin bin Ismail, yang satu tersimpan di Washington dan satunya lagi tersimpan di Cambridge.

Pada kolopon naskah yang di Washington terdapat  tulisan di bagian terakhir naskah yang berbunyi: Al-Fakir Husin Bin Ismail dan juga terdapat catatan lepas Alfred North yang berbunyi:

“This copy is taken the autograph by Husin, a Bugis, who writes a good Malay hand.

“”Salinan ini diambil langsung dari naskah otograf oleh Husin, seorang Bugis, yang mahir menulis huruf Melayu” (Tol: 2003 64).

Dalam ilmu filologi pada  penyusunan silsilah sebuah naskah: otograf itu bermakna tulisan asli dari pengarang, arketif adalah salinan langsung dari tulisan  pengarang, sedangkan hiparketif salinan dari salinan yang biasanya merupakan penyimpan naskah tertua. Kalau benar demikian maka dipastikan Hikayat Abdullah bukan saja disalin oleh Husin Bin Ismail tapi kemungkinan besar ia pula turut mengarang naskah tersebut. Karena itu Roger Tol menyatakan kekecewaannya (2003:65):

“Yang agak mengecewakan adalah bahwa Husin satu kali pun tidak disebut di dalam Hikayat Abdullah, karangan rekannya di Mission Press, Abdullah Bin Abdul kadir Munsyi”

Di dalam naskah koleksi Library of Congress terdapat 10 naskah dengan tulisan Bugis dan bahasa Bugis. Ke-10 naskah tersebut ditulis oleh Husin karena tulisannya sama dan  dibuktikan melalui kolopon naskah serta catatan dari North sebagai berikut:

1)      Jilid VIII terdapat tulisan: Guru La using punna okiq e artinya: Guru Husin yang punya tulisan.

2)      Jilid IX yang mengandung empat terjemahan dari bahasa Melayu, tiap terjemahan berakhir dengan sebuah kolofon yang menyebutkan Husin sebagai penerjemah: Guru La Useng punnae okiq e sureq Malaju ripakkedadai I sureq Ogiq artinya: penulisan terjemahan ini dari bahasa melayu ke dalam bahasa Bugis oleh Guru Husin.

3)      Dalam beberapa naskah terdapat catatan dari North yang menyebutkan bahwa naskah tersebut: disalin oleh Husin seorang Bugis terpelajar di Singapore (jilid VII, VIII, IX, X).

4)      Empat naskah Melayu di Inggeris (lihat Ricklefs dan Voorhoeve 1977:119,161-2) Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Indera Putera menyebutkan penyalinnya: Enci’ Husin Bin Ismail, dan Enci’ Husin di Tanah Merah.

5)      Di dalam perpustakaan SOAS di London  terdapat Syair Harith Fadilah dan Hikayat Syahi Mardan yang menyebutkan keduanya disalin oleh Al-Husin bin Ismail orang Bugis To Belawa.

***

Beberapa informasi dari luar teks (Wilkes dan Alfred North) serta informasi dari dalam teks (kolofon) dapat dijadikan rujukan untuk merekonstruksi garis besar tentang kehidupan dan karya Husin bin Ismail. Husin adalah orang Melayu yang berketurunan Bugis dari Belawa, Wajoq (Sekarang kabupaten Wajo, 4 jam perjalanan dari Makassar). Husin tinggal dan menetap di Tanah Merah, Singapore.

Beliau seorang guru (Guru La Huseng). Dalam budaya Bugis, seorang guru adalah cerdik pandai yang bukan saja mengajar secara formal di sekolah-sekolah tapi juga menjadi tempat bertanya orang kepadanya tentang segala hal baik yang berkaitan dengan ilmu dunia maupun ilmu akhirat.

Kepandaiannya itu  diakui oleh North, seorang bangsa asing yang punya standar tertentu untuk menetapkan seseorang sebagai  terpelajar. Dalam berbagai catatannya ia menyebut Husin sebagai “Bugis terpelajar”. Dalam dunia akademik terdapat standar akademik dan  hierarkhi untuk menyebut kadar  ketinggian ilmu seseorang dengan penyebutan yang berbeda. Seorang professor biasanya dalam ujian terbuka untuk disertasi dipanggil  “yang amat terpelajar” dan untuk Doktor dipanggil dengan sapaan “terpelajar”. Adanya pengakuan dari orang asing ini dengan menyebutnya sebagai orang Bugis terpelajar membuktikan akan kadar intelektual yang dimiliki oleh Husin bin Ismail yang tinggi. Itu pula sebabnya sehingga beliau bersama koleganya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dipercaya mengajar orang asing. Abdullah mengajar bahasa Melayu dan Husin mengajar bahasa Bugis.

Lukisan Arung Palakka di Museum La Galigo, Benteng Rotterdam

Di samping sebagai guru, baik dalam pengertian sebagai “guru tradisional orang Bugis” maupun dalam pengertian “guru” dan “terpelajar” bagi orang Barat, ia pun dipercaya untuk menyalin dan menulis naskah-naskah Melayu dan Bugis. Tulisan itu kini bertaburan di berbagai perpustakaan terkemuka di dunia yang menjadi rujukan dan referensi utama bagi berbagai ilmuan dalam menulis dan merekonstruksi sejarah di Asia Tenggara, khsusnya Indonesia, Malaysia, dan Singapore.

Selain sebagai penyalin, Husin juga seorang penerjemah. Penerjemah di sini dapat dimaknai penerjemahan dua arah, yakni penerjemahan dari naskah Melayu ke bahasa dan tulisan Bugis atau sebaliknya penerjemahan naskah dan bahasa Bugis ke dalam bahasa Melayu..

Di samping sebagai penulis, penyalin, dan penerjemah ia juga mengabdikan hidupnya untuk kepentingan publikasi di Mission Press Singapore bersama koleganya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Cukup lama ia bekerja di sini, yakni sepuluh tahun (1834-1843). Tak terhitung betapa banyak buku tentang karya-karya kebudayaan Melayu dan Bugis yang telah dicetak dan disebarkan di seluruh dunia dalam kurun waktu sepuluh tahun mereka bekerja.

Meskipun demikian, nasib Husin bin ismail tidaklah seberuntung dengan kawannya Abdullah bin Abd.Kadir Munsyi, yang sangat terkenal, tersanjung, dan dipuja di dunia. Demikian pula, nasib guru Husin tenggelam oleh kemilau dan kebesaran penulis seangkatannya yang berdarah Melayu-Bugis  yakni Raja Ali Haji. Banyak ilmuan dunia yang mengatakan keheranannya, padahal baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas tulisannya mengungguli penulis-penulis Melayu lainnya.

Guru Husin telah menyelamatkan begitu banyak karya-karya besar Melayu dan yang tak kalah pentingnya juga menyelamatkan karya-karya sastra Bugis penting termasuk sekaliber La Galigo. Lima jilid episode La Galigo yang merupakan salinan tangannya di Library of Congress, yang ditulis di Tanah Merah, Singapore sampai sekarang tidak banyak yang tahu dan belum pernah diteliti, ditranskripsi dan diterjemahkan. Orang-orang terpaku dengan La Galigo dengan orang Bugis yang ada di Sulawesi Selatan, tak sedikit pun pernah terlintas dalam benak mereka bahwa Husin yang hidup pada abad ke-19, seangkatan dengan Colliq Pujie (penyalin La Galigo yang terkenal yang salinannya sekarang ada di Belanda), adalah keturunan Bugis di tanah Melayu yang turut andil dalam menyelamatkan warisan dunia tersebut.

Karena itu, di sinilah keunikan Guru Husin, melampaui Raja Ali haji dan Abdullah, karena ia bukan saja ahli tentang bahasa dan kebudayaan Melayu tapi juga ahli tentang bahasa Bugis, menguasai konvensi penulisan huruf Bugis dan faham tentang budaya Bugis. Tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai belahan dunia adalah saksi bisu tentang kebesaran nama Husin bin Ismail.

“Jika kita membandingkan riwayat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan Husin bin Ismail, ternyata nasib kedua rekan dan penyalin naskah ini sangat berbeda. Sudah pada masa hidupnya Abdullah menjadi seseorang yang termasyuhur yang tanggal kelahiran dan kematiannya diketahui, sedangkan Husin menjadi seorang yang kehidupannya tetap semacam misteri. Tanggal lahir dan wafatnya tidak diketahui. Hanya buah tangan Husin yang masih ada sebagai wakil suatu pengabdian  pada sastra dan bahasa Melayu dan Bugis yang tak tertandingi”.(Tol:2003:67).

Selama hampir dua 2 abad meninggalnya, tak pernah terdengar sedikit pun suara-suara nyaring yang menyapanya, khususnya dari kalangan dunia Melayu. The inspiring men itu telah menghembuskan nafasnya di tanah Melayu yang tempatnya antah berantah, tulang-belulangnya telah termakan tanah tapi karyanya tetap menjadi saksi bisu tentang kebesarannya.

 

Kuala Lumpur, 30 Desember 2011

 

 

 Prof.DR. Nurhayati Rahman, Senior Research Fellow Akademi pengajian Melayu UM. Pakar La Galigo keturunan Bone-Soppeng ini telah banyak menulis buku, mengadakan penelitian, serta mempromosikan budaya Sulawesi Selatan di Indonesia dan dunia internasional. Setelah menyelesaikan gelar S1 di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, beliau melanjutkan pendidikan di Program Pascasarjana UNPAD hingga mendapat predikat program Cumlaude dari Pascasarjana Universitas Indonesia.  Tahun 1999 beliau dipercaya sebagai editor penerbitan terjemahan naskah La Galigo jilid II di Leiden. 

Categories
Featured Galigoku

“Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut Ke Pantai”

Kru lontara dalam pakaian daerah

Berawal dari ide-ide besar yang dimiliki oleh remaja-remaja liar Makassar di perantauan, proyek ini lahir. Tidak muluk-muluk, yang diinginkan keempat remaja ini hanya ambisi untuk membuat dunia sekali lagi menoleh kepada Sulawesi Selatan, tempat yang dapat kami sebut sebagai “rumah”. Tanah yang dulu pernah menjadi sarang pengarung samudera yang menguasai lautan nusantara. Orang-orang yang disegani sebagai keturunan para pelaut ulung serta penerus budaya petualang Austronesia.

Aksi yang kami lakukan ini bukanlah suatu bentuk chauvinisme gaya baru. Bukan pula bentuk kesombongan “Sulawesi-sentris” berbalut busana modern. Apa yang kami lakukan ini adalah suatu bentuk tuntutan, sebuah somasi kepada nusantara atas ketidakpedulian generasi muda masa kini terhadap harta karun yang tersembunyi di pelosok daerah-daerahnya. Budaya Nasional yang kita saksikan di TV adalah sebuah budaya yang telah dibentuk sedemikian rupa sehingga kita kehilangan identitas pribadi.

Mengutip perkataan Amri Pitoyo (seorang sarjana HI UI sekaligus senior di AFS Bina Antarbudaya); “Indonesia yang kamu bawa ini bukanlah wayang, keindahan Bali, atau batik yang kamu pakai”. Ya, Indonesia yang terdiri dari 17.000 lebih pulau dan 520 lebih suku bangsa ini terlalu sempit jika hanya dimaknai dengan rupa-rupa budaya yang sudah terkenal saja sebagai identitas nasional. Seakan tertidur panjang selama 1.000 tahun, kita lupa bahwa nenek moyang kita yang hobi bercerita itu telah mewariskan sebuah tradisi lisan (yang lalu ditulis ke dalam 12 naskah oleh penginjil Belanda) tentang asal-muasal alam semesta dan mula kehidupan manusia. Mitos yang murni, bebas dari pengaruh signifikan unsur-unsur asing. Nanti, baru ketika seorang Amerika bernama Robert Wilson memaksa untuk meniupkan ruh cerita La Galigo ke atas pentas di mancanegara, kita kalang kabut berbangga hati.

Kota Makassar yang kami cintai punya sebuah motto yang indah, “Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut Ke Pantai”. Kami, yang minum air dari tanah para pelaut ulung memegang janji suci, Toddopuli, seperti itu. Layar sudah terkembang, samudera luas yang penuh bahaya dan godaan telah menanti. Misi kami untuk mempromosikan La Galigo (khususnya) dan budaya Sulawesi Selatan (Makassar, Bugis, Mandar, Toraja) kepada generasi muda di Indonesia tidak akan surut ke pantai sebelum pelayaran ini selesai. Karena niat kami suci, karena tekad kami kuat, semoga Karaeng Allah Ta’ala mempermudah serta memegang kami dengan tangan kanan-Nya. Amin!

Kuru’ sumange’!

Yogyakarta, 23 September 2011