Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Iluminasi Naskah Kuno: Ilustrasi yang Bercerita di dalam Naskah

Sembilan dari sepuluh orang yang ditanya tentang naskah kuno pasti akan langsung membayangkan kertas atau daun lontar berwarna kecoklatan dengan huruf purba yang meliuk-liuk hampir tak terbaca lagi. Tidak banyak yang tahu bahwa pujangga-pujangga maupun penyalin naskah-naskah kuno pada zaman dahulu tidak sekedar menorehkan tinta atau mengukir kalimat di atas kertas semata. Ada banyak naskah-naskah kuno beriluminasi yang dapat membuat kita tercengang atas keindahan seni hias yang penuh estetika di nusantara ini.

Apa sih iluminasi itu?

Menurut Mu’jizah dalam buku Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19, iluminasi ialah ”istilah khusus dalam ilmu pernaskahan (kodikologi) untuk menyebut gambar dalam naskah”. Dengan kata lain, simpelnya naskah-naskah atau surat-surat beriluminasi dapat juga diartikan sebagai ‘naskah-naskah atau surat-surat bergambar’. Lalu, apa yang membuat naskah beriluminasi ini menarik? Sekarang coba deh perhatikan contoh naskah beriluminasi ini. Foto-foto berikut penulis ambil dari Simposium Internasional XIV Masyarakat Pernaskahan Nusantara yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada bulan lalu:

Menarik bukan? Naskah-naskah kuno tersebut bukan sekedar tulisan yang berisi hikayat, kronik, babad, fabel, atau petuah-petuah belaka. Pembuat maupun penyalin naskah ini paham betul dengan daya tarik gambar dan warna pada naskahnya, sehingga pada saat yang bersamaan naskah tersebut dapat diramu sebagai mahakarya sastra dan seni hias. Nah, uniknya lagi, iluminasi-iluminasi ini tidak hanya muncul pada naskah-naskah kuno saja. Kitab-kitab suci seperti Al-Quran dan surat-surat resmi kerajaan pun juga dihias sedemikian rupa untuk menunjukkan kebesaran serta keindahan obyek tulisannya. Tidak heran jika nusantara pernah mencetak pakar-pakar iluminasi pada masa kerajaan-kerajaan Islam klasik.

Iluminasi-iluminasi yang tertera pada naskah-naskah maupun surat-surat tersebut bukannya hiasan dengan warna-warni yang sedap dipandang mata belaka lho. Setiap pola yang tercipta memiliki maknanya tersendiri. Bahkan dari mana naskah kuno itu berasal juga dapat di-trace berdasarkan tipe atau ciri iluminasi yang dibubuhkan oleh penulisnya. Umumnya, setiap daerah memiliki ragam hiasnya masing-masing. Berikut ini contoh-contohnya, diambil dari http://quran-nusantara.blogspot.com:

Kitab Suci Alquran dengan gaya iluminasi Aceh
Quran kuno dari Singaraja, Bali

Wah, luar biasa ya nenek moyang bangsa ini! Tidak hanya memuarakan kearifan lokal atau menulis ayat-ayat suci di atas media tulis, mereka juga telah mengembangkan teknologi hias yang begitu indah! Uniknya lagi, motif-motif yang membingkai naskah kuno ini ternyata bukan sekedar ornamen biasa lho. Nenek moyang kita adalah orang-orang yang amat filosofis dan mementingkan makna di atas segalanya. Setiap lekuk atau pola pasti menyimpan arti. Hal ini nampak pada  manuskrip dari Minangkabau. Menurut penelitian yang diadakan oleh Universitas Andalas, hiasan matahari pada manuskrip Minangkabau umumnya merupakan simbol Tuhan dan bulan merupakan simbol Nur (cahaya) Nabi Muhammad. Iluminasi burung merupakan simbolisasi dari roh manusia, Pohon Sijratul Muntaha sebagai sumber regenerasi kehidupan, dan bingkai pintu sebagai simbol perhubungan atau komunikasi. Iluminasi naskah kuno ternyata juga menyampaikan cerita kepada pembacanya lho!

Penasaran dengan iluminasi naskah kuno? Tertarik ingin lebih banyak mengumpulkan informasi terkait peninggalan sejarah yang satu ini? Wajib! Sebagai generasi penerus bangsa, kita patut memberikan perhatian khusus atas kelestarian naskah-naskah kuno leluhur kita. Banyaknya naskah kuno yang rusak, hilang, tidak terawat di museum, hingga dijual ke pihak asing membuat bangsa kita kehilangan tidak benda peninggalan sejarah, namun juga informasi berharga yang tertera di dalamnya. Jangan sampai kita menjadi generasi yang kehilangan identitas karena kehilangan rekaman kearifan lokal dalam aksara kuno yang diwariskan oleh nenek moyang.

Peduli naskah kuno, peduli kelangsungan bangsa!

 

Categories
Featured Galigoku

Budaya dan Media sebagai Penjaga Ketentraman dalam Berbangsa

Budaya bagi saya adalah sesuatu yang terbilang rumit, pelik dan luas. Budaya mengandung banyak sekali unsur, mulai dari unsur geografis hingga unsur ideologis. Dimulai dari adanya budaya, agama dan bangsa, lahirlah sebuah negara atau suatu golongan. Budaya, biasa kita sebut juga dengan culture, di bawahnya ada subculture dan di atasnya ada mainstream. Semuanya berkesinambungan, lebih tepatnya saling tarik-menarik dan berkaitan. Apabila kita membahas salah satu substansi dari kata budaya tersebut, kita juga harus menarik benang-benang lain yang terkait dengan substansinya.

Budaya juga merupakan bagian dari keberagaman. Dalam suatu bangsa terdapat keanekaragaman budaya. Kita, masyarakat dengan raga manusia, sebagai bagian dari bangsa tersebut merupakan pemilik kebudayaan dan dituntut untuk mengenali, melindungi dan melestarikannya. Kita patut bersyukur berada di Tenggara, 30 derajat dari Timur, dimana macam-macam bentuk budaya masih terjaga utuh dan lestari. Budaya itu seni; seni itu indah; indah itu ketika damai terlaksana sebagaimana mestinya. Sekiranya ulasan di atas adalah sedikit gambaran tentang apa itu budaya dari sudut pandang saya.

Bendera Malaysia dan Indonesia. Sumber: www.sindonews.com

Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di bagian tenggara benua Asia, terkenal dengan kekayaannya akan budaya-budaya tradisional yang beberapa di antaranya masih bernuansa primitif, unik dan belum tersentuh modernisasi Barat. Dari Sabang sampai Merauke; ada suku Melayu yang memiliki bahasa yang halus nan indah, suku Bugis yang  kaya akan keteladanan sastranya, sampai suku Samin dengan ideologinya yang tak tergoyahkan. Itu benar-benar mencerminkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang kuat dari beragam bidang. Namun, dewasa ini kerap terjadi fenomena-fenoma yang menyebabkan apa yang saya sebut damai seperti di atas tadi, terusik. Lebih menyedihkannya lagi yang mengusik kedamaian tersebut adalah isu kebudayaan.  Apalagi setelah mengetahui bahwa fenomena tersebut melibatkan negara tetangga kita yang memiliki cukup banyak kesamaan dengan Indonesia; ya, mereka tetangga kita sendiri, Malaysia.

Agar saya yang berintelegensi rendah ini  tidak memperluas hingga kemana-mana pembahasan dalam opini saya, mari kita tengok sejenak daftar dari isu-isu kebudayaan antara Indonesia dan Malaysia yang pernah terjadi sebelumnya :

  1. Naskah kuno dari Riau, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  2. Naskah kuno dari Sumatera Barat, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  3. Naskah kuno dari Sulawesi Selatan, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  4. Naskah kuno dari Sulawesi Tenggara, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  5. Rendang (makanan) dari Sumatera Barat, Klaim oleh Warga Negara Malaysia.
  6. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  7. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  8. Lagu Soleram dari Riau, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  9. Lagu Injit Injit Semut dari Kalimantan Barat, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  10. Alat musik Gamelan dari Jawa, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  11. Tari kuda lumping dari Jawa Timur, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  12. Tari Piring dari Sumatera barat, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  13. Lagu Kakak Tua dari Maluku, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  14. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  15. Motif Batik Karang dari Yogyakarta, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  16. Badik Tumbuk Lada, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia.
  17. Kain Ulos, Klaim tidak jelas dari oknum/pemerintah Malaysia.
  18. Alat musik Angklung, Klaim sepihak dari pemerintah Malaysia.
  19. Lagu Jali-Jali, Klaim sepihak dari pemerintah Malaysia.
  20. Tari Pendet dari Bali, Klaim sepihak oleh pemerintah Malaysia

sumber : http://maxxalkahfi.blogspot.com/2011/11/pengklaiman-budaya-indonesia-oleh.html

Sudah ada 20 isu mengenai pengklaiman kebudayaan milik atau asal Indonesia yang mencuat di permukaan. Semuanya merupakan KLAIM SEPIHAK OLEH PEMERINTAH MALAYSIA. Sekali lagi saya tekankan disini KLAIM SEPIHAK OLEH PEMERINTAH MALAYSIA. Ketika pertama kali mengetahu kalimat tersebut yang terbersit di benak saya, ini adalah bentuk klaim dari pemerintah. Terus terang saja saya tergolong orang yang tidak pernah mempercayai pemerintah, termasuk pemerintah di Indonesia. Ketika mendengar hal tersebut merupakan perbuatan dari pemerintah saya sudah tidak heran lagi, karena menurut saya pemerintah sejak awal terbentuknya suatu negara memang sudah busuk dan layak dibenci – sebagaimana suku Samin membenci pemerintah sejak zaman Hindia-Belanda-. Tetapi bukan hal itu yang ingin saya bahas dan opinikan disini.

Media, sebagai pemberita, menjadi salah satu aktor di balik isu pengganggu perdamaian ini. Beberapa hari ini isu kebudayaan antara Indonesia dan Malaysia  mencuat kembali, kali beredar isu tentang pengklaiman tari Tor-tor dan Gondang Sambilan milik komunitas Mandailing di Sumatera Utara. Isu yang diedarkan oleh sejumlah media adalah tentang Pengklaiman Tari Tor-tor oleh Pemerintah Malaysia. Contoh konkritnya ialah pemberitaan yang dilakukan oleh Viva News (Indonesia) dengan judul ‘Giliran Tari Tor-tor Batak Diklaim oleh Malaysia’ (http://nasional.vivanews.com/news/read/326095-giliran-tari-tor-tor-batak-diklaim-malaysia). Di sana dituliskan “Malaysia kembali mengklaim hasil kebudayaan asli Indonesia menjadi miliknya” lalu “Namun kini, Malaysia dengan berani akan meregistrasi kebudayaan itu berdasarkan Bab 67 Undang-undang Peninggalan Nasional 2005” dan “Aksi ini memancing reaksi keras dari masyarakat Indonesia. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu sempat marah atas klaim itu. Budayawan Malaysia juga menyesalkan klaim ini”.

Sumber: TempoInterAktif

Dari berita yang beredar tersebut dapat  diinterpretasikan bahwa ‘Pemerintah Malaysia atau Negara Malaysia seenak udelnya mengklaim tari Tor-tor sebagai warisan kebudayaan milik Malaysia, hal tersebut menyebabkan pemerintah Indonesia serta masyarakat Indonesia naik pitam dan menentang keras  apa yang sudah diperbuat oleh Pemerintah Malaysia atau Negara Malaysia’. Ada beberapa kata yang perlu kita garis bawahi dari interpretasi dan berita tersebut yaitu, ‘Klaim’, ‘Pemerintah’, ‘Rakyat’ dan ‘Registrasi’. Pemberitaan dari situs dengan skala kepercayaan cukup besar di Indonesia tersebut apabila diterima dengan mentah-mentah dapat menjadi pengusik kedamaian antara Indonesia dan Malaysia. Karena menurut saya pemberitaan yang beredar tersebut kurang bulat atau kurang obyektif. Dari postingan tersebut tidak disebutkan secara detail siapa pihak dari Malaysia yang mengklaim tari Tor-tor. Seolah-olah subyek yang melakukan klaim terhadap tarian tersebut adalah keseluruhan manusia yang ada di Malaysia, atau bisa diartikan sebagai pemerintah dan rakyatnya.

Lalu disebutkan bahwa Presiden Indonesia  marah akan hal tersebut. Memang jelas disebutkan nama Presiden Indonesia namun dalam penulisan kata rakyat, tidak disebutkan secara jelas juga rakyat yang mana yang meman bereaksi negatif atas apa yang dilakukan Malaysia terhadap tarian tersebut. Kemudian, terdapat kontradiksi dalam pemakaian kata-kata. Seperti yang disebutkan pada judul berita tersebut ada kata ‘Klaim’ namun dari substansi berita ditemukam kata ‘Registrasi’. Klaim dan registrasi  sungguh merupakan dua kata yang amat berbeda. Apabila memang yang dilakukan oleh Malaysia adalah klaim atas suatu warisan kebudayaan, lantas kenapa Malaysia hanya melakukan registrasi atau pendaftaran atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai listing saja? Apabila memang Malaysia mengklaim tarian tersebut dan Indonesia merasa sebagai pemilik asli dari tarian itu seharusnya sudah terjadi perang yang amat dahsyat di wilayah paling tenggara di Asia ini. Bila kita lihat dari sumber lain seperti Bernama.com (Malaysia) yang mengutip perkataan dari Menteri Informasi, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Dr Rais Yatim bahwa tarian tersebut akan didaftarkan dibawah Section 67 UU tentang warisan budaya nasional tahun 2005. Disebutkan di sana bahwa tarian tersebut hanya didaftarkan, bukan diakui sebagai milik atau berasal dari, sebagaimana interpretasi dari kata Klaim itu sendiri. 

Hal yang saya soroti dari kedua sumber ini adalah terdapat banyak pengaburan fakta secara besar-besaran dari peristiwa sebenarnya dalam pemberitaan yang dilakukan oleh Viva News. Sebelum memublikasian berita, sudah sepatutnya pihak yang memberitakan hal ini mengetahui keseluruhan fakta peristiwa tersebut, sehingga tidak kemudian memunculkan perseteruan antara pihak yang merasa benar dan pihak yang disalahkan dalam beritanya. Seharusnya pembaca yang menjadi obyek sasaran dari media pemberita tersebut dapat menganalisa kebenaran dari peristiwa yang terjadi dan tidak langsung mempercayai berita yang diberitakan oleh media pemberita begitu saja. Hal itu dapat menyebabkan perseteruan dan terusiknya perdamaian antara kedua negara tersebut akan terus berkelanjutan. Media seyogyanya bisa menjadi tempat mencari fakta dan segala bentuk pengetahuan secara utuh. Bukan sebagai penyebar propaganda yang secara terang-terangan melakukan provokasi dengan mengaitkan beberapa pihak dalam suatu peristiwa dan merubah peristiwa tersebut menjadi konflik. Media seharusnya bisa menjaga keharmonisan hubungan antar umat dalam pengungkapan kebenaran tersebut.

Salah satu hal yang dapat kita lakukan jika ingin mencari kebenaran dan menghindar dari pembutaan fakta yang dilakukan oleh media terkait isu Pengklaiman tari Tor-tor dan Gondang Sambilan adalah seperti melakukan kunjungan langsung ke Malaysia untuk mengkaji beberapa paham mengenai asal-usul kebudayaan tersebut. Sebagai sampel adalah kunjungan yang dilakukan oleh beberapa kawan dari La Galigo for Nusantara dalam proyek “Lontara Project Goes to Malaysia” . Dalam proyek tersebut mereka mengkampanyekan fakta bahwa Indonesia dan Malaysia terletak dalam satu Nusantara dan Satu bangsa, yaitu bangsa Melayu. Dari temuan tersebut terdapat beberapa fakta lagi yang dibuktikan yaitu bagaimana kebudayaan tersebut lahir di Indonesia, dan bagaimana kebudayaan tersebut bisa mengalami persebaran hingga bisa ditampilkan di negara lain; bahwa penduduk asli dari tempat asal kebudayaan itu lahir adalah para perantau yang berpindah tempat tinggal namun tetap ingin kebudayaan mereka lestari di tempat tinggal mereka yang baru itu. Satu fakta lagi yang ditemukan dalam kunjungan tersebut ialah hampir 80% artefak yang berada di museum kecil milik Akademi Pengkajian Melayu University of Malaya adalah artefak yang dapat ditemukan di Indonesia juga. Yang dapat disimpulkan dari fakta-fakta di atas adalah jika ada kesamaan kebudayaan atau benda-benda warisan kebudayaan seyogyanya dipandang dengan wajar, karena Indonesia dan Malaysia berada dalam satu rumpun Melayu yang memiliki kemiripan dan dinamis.

Kesimpulan dari opini dan analisa saya dari fakta-fakta yang ada:  Indonesia dan Malaysia adalah satu, satu rumpun Melayu. Isu kebudayaan yang memang sensitif dan pemberitaannya terkadang dilebih-lebihkan ini seharusnya tidak bisa menjadi perusak perdamaian antar bangsa. Masing-masing bangsa, Indonesia dan Malaysia, dengan mengetahui bahwa mereka berada dalam satu rumpun yang sama seharusnya menjadi bisa menjaga kestabilan hubungan mereka yang semula baik-baik saja. Bahkan budaya-budaya yang diributkan tersebut lahir jauh sebelum batas wilayah dan negara ada. Tidak seharusnya budaya diperebutkan dan menjadi penyebab rusaknya keharmonisan hubungan antar bangsa. Karena Indonesia dan Malaysia memang diciptakan berdekatan, bertetangga dan dalam memiliki banyak similiarities dalam satu rumpun Melayu tersebut.

Semoga budaya bisa tetap menjalankan fungsinya yaitu sebagai Penjaga Ketentraman dalam Berbangsa.  Semoga damai tercipta karena kebudayaan dan keanekaragaman ini adalah anugerah yang tidak bisa kita temukan di belahan dunia lainya. Salam!

 

Hilman Fathoni, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada angkatan 2010. Bungsu dari dua bersaudara ini kini menjabat sebagai Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan di Badan Pers dan Penerbitan Mahasiswa MAHKAMAH. Ketertarikannya terhadap gejala sosial dan filsafat membuat penyuka musik aliran keras dan film-film “hitam-putih” ini sering menampilkan ide-ide yang eksentrik. Kenali Hilman lebih jauh dengan mengunjungi blognya di http://jokerjester-jesterjoker.blogspot.com/

Categories
Featured Galigoku

Sarjana = Civilized = Orang yang Berbudaya

Volunteer Lontara Project, Anggita Paramesti, ingin sedikit berbagi perspektifnya terhadap Jakarta selama mengikuti program US Indonesia Partnership Program for Study Abroad Capacity (USIPP). Jakarta yang dikenal sebagai metropolis, kota “kejam” tempat mengadu nasib ini ternyata menyimpan ruang-ruang budaya yang menanti untuk dikunjungi, dihayati, dan dijaga oleh generasi muda Indonesia.

I never liked Jakarta. I see it as a mean place, where the wealth disparity between people is so wide, and the rich doesn’t care to the poor. The national parliament is located here, so I always see Jakarta as the place where corruption is centered. I hate the hectic life, wake up at 4 am and get home at 11 pm JUST because you are trapped in a crazy traffic. It is a scary place because crimes are all around. That was why it was very hard for me to believe the presentation today at the Jakarta Local Government office.

Pak Sukesti Martono, the Deputy Governor told us how Jakarta is a harmonious place where people from different background can melt together in peace, how the economic development of Jakarta is even bigger than the economic development of the country as a whole, how Governor Fauzi Bowo is close to the people. I didn’t believe that. I kept comparing this presentation with Jokowi’s presentation about Solo (I interpreted for him when he talked in front of Citibankers, talked about his leadership experience in Solo). Jokowi is just real. He didn’t fill his slide with the normative principles, how things should happen. Instead, he gave the examples, how things already are. When the audiences asked him about his plan or idea, he didn’t come up with abstract things like, “Yeah, we should have dialogue in order to respect each other.” But he went like, “What I did was… because… and the result was…” And he didn’t need to put his picture on banners all around the city to make people acknowledge him. He is already in people’s heart and mind because he really does the people favors. I don’t want to sound like campaigning for DKI Jakarta Governor Candidates here. I mean, I do not even live here (Thank God). But yeah, I started to think that I’m being unfair here.

Gita di Museum Gajah, Jakarta

Jakarta is a lot bigger than Jogja and Solo, and it has more complex situation compare to both cities. Like any other big cities, the gap between rich and poor tends to be more obvious, crimes are more often, and so on. So I asked Pak Junaidi, the Head of UI international office, who is very cool, to get the perspective from a person who live in Jakarta. And yes he admitted that many problems remain unsolved, like traffic jam, but compare to the situation couple years ago, Jakarta nowadays is actually not so bad. I nodded, and promised to myself that I will try my best to see the different side of this city.

So we stopped by to the National Museum or Museum Gajah (which is pretty much my favorite museum beside Ullen Sentalu. I love the golden room the most because it reminds me on how rich Indonesia is), and when we walked around the block where the museum is located, I feel like Jakarta is kind of pretty. The buildings are well taken care of, as well as the plants and flowers, at least it looks good and prestigious as a capital city. After a quick, like real quick, tour in the museum, we went right away to the Constitution Court. I am so excited because the head of the court is one of my favorite figures which is Mahfud M.D. We met with Pak Harjono (read: Pak Haryono), one of the 9 judges in Constitution court. Constitution Court (MK) was established in 1999, as a result of constitution amendment. At that time, post reformation era, Indonesian politics was unstable and there was a demand from the society to uphold the constitution. MK judges consist of 8 male and 1 female (I saw the picture of this lady, I like her, she looks fierce). Since its establishment, MK never had a scandal like any other parts of government (you-know-what).

Mahkamah Konstitusi

Pak Harjono explained that this situation was because 2 factors. The 1st one: in 1999, the political parties and government were not strong enough to give pressure or influence toward MK. So MK can grew independently, in a shaped attitude. And the 2nd, because all the judges were scholars from university! This second point reminded me to our conversation with Pak Junaidi during the lunch. We talked about the system: how to change the system. The most effective way, if not the only way, to change the rotten system is to get into the system and replace it with the new one.

Our concern is whether or not when the idealist people get into the system, they will still uphold their idealism instead of being blown away. To avoid this, Pak Jun said, we need to get into the system together with other people who have the same vision, so the replacement have to be done massively. But how is this possible? And Pak Jun said, that is the job of the university. To create sarjana, sarjana isn’t only mean a scholar. But according to Sanskrit, the word also means a civilized person, orang yang berbudaya. By being civilized doesn’t only mean that you have to be smart, or knowledgeable about cultures, but you also have to have a good manner, and do good deeds.

When these sarjana created by universities get into the system, they will be able to make the change. Pak Harjono and MK prove this hypothesis. I now feel like I have so much optimism for being a university student. From MK, we head to the Old Batavia. We had Pak Jun’s student, Mas Kartum Setiawan, as our tour guide. He works at Museum Mandiri (the biggest bank in Indonesia) and a member of Komunitas Jelajah Budaya or the Cultural Journey Community. He took us through Glodok Market which sells rabbits, candies and electronic things. Through pecinan or China Town in which we found market (that sells lamp, candles, frogs to Chinese herbs medicines), Confucian klenteng, and a church in a shape of klenteng. The church guard is a man from Panggang, Gunung Kidul. His English is fluent because he teaches English in an elementary school. He showed us around the church, told us the story that the church used to be a house of a rich family. Until they finally sold the house to priests.

We then continued the walk to Museum Mandiri, and the old city hall. I’ve seen more in Jakarta today than I thought I can found; the complexity, commitment, and the beautiful places. Guess I’ll start to like it a little.

 

Depok, June 7 2012

 

Anggita Paramesti, mahasiswi FISIPOL UGM yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar AFS-YES ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Pada tahun 2011 Ia berangkat ke Mindanao, Filipina Selatan untuk mengikuti Silsilah Summer Course on Moslem-Christian Dialogue  bersama komunitas lokal Zamboanga. Ketertarikannya pada isu-isu global seperti dialog antaragama, hak-hak minoritas, feminisme dan budaya membuat anak kedua dari dua bersaudara ini kritis terhadap kondisi di sekitarnya. Saat ini Gita bekerja sebagai Interpreter dan guru Bahasa Indonesia untuk pelajar asing di Realia Language and Cultural Center, Yogyakarta.