Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

La Galigo, The Lord of The Rings-nya Indonesia

Demam film-film kolosal-fantasi sekelas The Lord of The Rings trilogi ternyata belum usai. Setelah sukses dengan tiga film sebelumnya,  sutradara Peter Jackson tidak kekeringan ide. Ia segera mengambil buku karangan J.R. Tolkien lainnya –The Hobbit– untuk digarap. Desember lalu, dunia dihebohkan sekali lagi oleh para Tolkien-mania dengan kemunculan Bilbo Baggins dalam petualangan besarnya menolong bangsa kurcaci merebut kembali kampung halaman dari tangan si naga jahat. Petualangan Bilbo Baggins inilah yang konon melatari lahirnya epik besar Frodo Baggins, sang keponakan dalam The Lord of The Rings Series.

Sebagai orang Indonesia kita seharusnya bangga lho karena jauh sebelum Tolkien kepikiran untuk membuat kisah kolosal macam The Silmarillion-The Hobbit-The Lord of The Rings, nenek moyang kita udah duluan menciptakan epos besar macam La Galigo yang ceritanya nggak kalah fantastis. Efek-efek luarbiasa seperti mahluk-mahluk gaib, senjata-senjata hebat, petualangan menempuh bentang alam yang berbahaya, serta jalinan konflik yang saling menghubungkan antara karakter satu dengan yang lainnya pun terdapat dalam epos La Galigo. Nggak percaya? Mari simak tiga persamaan antara kisah fantasi terbaik sepanjang masa The Lord of The Rings dengan La Galigo, epos adiluhung leluhur bangsa yang telah hidup selama ratusan tahun berikut ini!

Middle Earth v. Alelino/Alekawa

Kosmologi The Lord of The Rings (LOTR) mengenal dunia tempat hidup bangsa manusia ini sebagai Middle Earth alias Dunia Tengah. Meskipun pada trilogi bukunya tidak pernah disebut-sebut bagaimanakah struktur alam semesta di dalam benak Tolkien, akan tetapi berdasarkan buku The Silmarillion (yang memuat kisah penciptaan Dunia Tengah) kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dunia LOTR sejatinya terdiri atas tiga tingkatan: Dunia Iluvatar (Sang Pencipta) yang berada jauh di luar batas-batas yang diketahui oleh bangsa elf dan manusia, Middle Earth, serta Underworld alias Dunia Bawah. Dunia Tengah selain dihuni oleh bangsa manusia juga dihuni oleh kaum elf (keturunan peri yang turun dari langit), kurcaci, hobbit (manusia kerdil), naga, dan banyak mahluk hidup fantasi lainnya. Bentang alam Dunia Tengah yang kita ketahui dari LOTR bentuknya amat sangat mirip dengan daratan Eropa hari ini. Yang demikian itu disebabkan karena Tolkien sendiri yang mengatakan bahwa Dunia Tengah adalah Eropa, meskipun Ia tidak mengikuti keseluruhan fitur-fitur Eropa modern (seperti menghilangkan bentuk Inggris dari Lautan Atlantik). Gondor kurang lebih terletak di Italia modern sekarang ini sedangkan Hobbiton, kota asal Bilbo dan Frodo Baggins, berada di dekat Oxford.

Peta Middle Earth versi Tolkien

Bagaimana halnya dengan La Galigo? Sepanjang episode-episodenya yang menegangkan, kita diberi insight bahwa orang Bugis kuno menganut konsep tiga lapis dunia dalam kosmologinya. Dunia menurut La Galigo terdiri atas tiga lapisan yaitu Boting Langiq, Ale Kawaq/Ale Lino, dan Buri Liu/Perettiwi. Boting Langiq dan Perettiwi menjadi tempat kediaman para dewa sedangkan Ale Lino alias Dunia Tengah menjadi tempat manusia beraktifitas. Segala keadaan yang terjadi di Dunia Tengah dikontrol oleh Boting Langiq dan Buri Liu, itulah sebabnya manusia yang hidup di Dunia Tengah harus tunduk dan patuh pada tatanan yang ditentukan oleh keduanya. Jika LOTR mengambil latar di Benua Eropa, maka La Galigo sesuai dengan kondisi geografis lahirnya cerita ini mengambil latar di Kepulauan Nusantara. Jangan heran jika kebanyakan latar La Galigo berada di laut, karena memang kontur Nusantara tertutup oleh perairan luas yang menghubungkan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Nama-nama kerajaan yang dikunjungi Sawerigading bukanlah negeri antah-berantah yang ada dalam khayalan, namun kerajaan-kerajaan seperti Maloku, Siwa, Wolio, Maccapaiq (Majapahit), Senrijawa (Sriwijaya), Wadeng (Gorontalo), dan Sunraq (Sunda) pun masih dapat kita trace jejaknya hingga hari ini.

Galadriel v. We Tenri Abeng

Galadriel bersama Frodo dan Sam

Siapakah sosok wanita keibuan, bijaksana, penuh kasih namun pada saat yang bersamaan juga memiliki kekuatan yang luarbiasa di dalam LOTR? Yup, dialah Lady Galadriel, seorang elf yang menjadi penguasa negeri Lothlorien. Galadriel telah hidup lama di Dunia Tengah. Ia turut dalam banyak pertempuran besar selama tiga zaman. Kemampuannya dalam melihat masa depan membantu Frodo dalam perjalanannya memusnahkan Cincin Utama. Galadrieal banyak menolong sesama bangsa elf, dan bahkan manusia selama kekuasaan gelap Sauron berkuasa di Dunia Tengah.

Di dalam La Galigo, kita juga mengenal seorang figur wanita yang bijaksana, penuh kasih, memiliki kekuatan nan besar. Siapakah dia? Dialah pasangan saudari kembar emas Sawergading, We Tenri Abeng putri kerajaan Ale Luwu. Terlahir sebagai seorang bissu sejak lahir, We Tenri Abeng sering mengalami trans karena “disentuh” pasangan dewatanya, Remmang ri Langiq. Meskipun hidup disembunyikan di bagian tengah istana oleh kedua orang tuanya, We Tenri Abeng dengan sabar dan tulus ikhlas menjalani itu semua, demi sang kakak. Ketika Sawerigading mengamuk dan bahkan membunuh salah seorang sesepuh di istana karena keinginannya untuk menikahi sang adik, We Tenri Abeng muncul meredakan amarah sang kakak dengan kata-kata bijak. Dengan kekuatannya, We Tenri Abeng membuat Sawerigading dapat menyaksikan hologram wajah Putri Cina I We Cudai yang muncul di kuku-kuku jarinya. Tidak hanya itu, We Tenri Abeng pun bahkan terus membantu Sawerigading selama kesusahan demi kesusahan yang menimpanya di negeri Cina, termasuk melalui kekuatan meramalnya.

Pasukan Elf v. Pasukan Remmang ri Langiq

Pasukan Elf dari Lothlorien nan gagah perkasa

Bangsa elf adalah golongan makhluk istimewa yang hidup di Dunia Tengah sejak zaman dahulu kala. Mereka diciptakan lebih dahulu serta berusia lebih panjang daripada manusia. Tubuh mereka berkembang lebih cepat jika dibandingkan dengan manusia, itulah sebabnya banyak elf yang punya kekuatan fisik serta kecepatan di atas rata-rata. Bangsa elf menyukai hal-hal yang indah seperti sastra, musik, seni pembuatan senjata dan perhiasan, serta patung. Mereka juga adalah ras pemburu yang mahir serta memiliki kedekatan psikologis dengan hutan.

Di La Galigo, pasukan elf mungkin dapat kita bandingkan dengan pasukan dewa yang turun ke muka bumi. Remmang ri Langiq adalah seorang dewa di Boting Langiq yang telah ditakdirkan untuk menjadi pasangan bissu We Tenri Abeng. Ketika Sawerigading berangkat ke negeri Cina, Remmang ri Langiq turun ke istana Ale Luwu untuk menjemput sang calon istri menuju ke langit. Remmang ri Langiq amat mencintai sang istri, terbukti setelah We Tenri Abeng tinggal di Boting Langiq mereka tidak pernah sekejap pun berpisah. Suatu ketika Sawerigading berhadapan dengan La Tenrinyiwiq di tengah laut, seorang musuh yang amat kuat dan memiliki armada kapal sebesar gunung. Pasukan Sawerigading terdesak, sehingga ia pun meminta pertolongan kepada sang adik yang berada di Boting Langiq. We Tenri Abeng dengan hati yang dipenuhi kesedihan pun meminta kepada suaminya untuk turun ke bumi dan menolong sang kakak. Remmang ri Langiq turun bersama pasukan langitnya dan dengan gagah berani mengalahkan armada Wangkang Tana milik La Tenrinyiwiq dari Malaka. Tubuh mereka yang lebih gesit serta lebih kuat daripada manusia biasa dapat mengalahkan La Tenrinyiwiq. Pasukan Remmang ri Langiq tersebut terdiri atas prajurit dewa yang disebut “pemburu”, pasukan Peresola (makhluk halus) serta To Alebborang Pula Kalie alias bakteri-bakteri tak kasad mata yang dapat menimbulkan sensasi gatal di sekujur tubuh! Wow, bayangkan aja betapa serunya bertempuran tersebut 🙂

Appangara o Oddang Mpatara/ naripatteteng pabbaranie/ ata dewata le soloqe/ mupalluru i paddengngenge/ mupajappa i le setangnge/ peresolae mupallebbangngi/ To Alebboreng Pula Kalie/ mupattujungngi salangka musuq/ paddioloe tasialonrang/ mpali sanreseng La Tenrinyiwiq.

Memerintahlah engkau Oddang Mpatara/ supaya dikerahkan semua pasukan/ hamba dewa yang turun/ majukanlah para pemburu/ jelmakanlah setan-setan/ peresola, sebarkanlah/ To Alebborang Pula Kalie/ kau tebarkan tepat pada bahu musuh/ yang di depan kita, bertaruh/ dengan La Tenrinyiwiq

Demikian tadi tiga keistimewaan yang dimiliki oleh La Galigo dan karya fantasi yang paling dikenang sepanjang zaman, LOTR. Sebenarnya masih banyak lagi unsur-unsur fantasi menarik yang ada di La Galigo dan terdapat juga di LOTR seperti misalnya referensi terhadap Bahasa Sindarin (bahasa bangsa elf kelas tinggi yang diciptakan oleh Tolkien sendiri) dengan Bahasa Torilangiq Bissu (bahasa para dewa di langit yang hanya diketahui golongan bissu), keistimewaan senjata-senjata gaib yang ada di kedua cerita, serta mitos mengenai pohon pusaka bernama Welenrenge serta pohon Silmarillion dalam LOTR. Yang jelas, La Galigo oke banget deh Sobat Lontara, nggak kalah keren dengan LOTR! Malah yang membuat La Galigo lebih istimewa adalah karena usianya yang sudah tua dan karena berasal dari bangsa kita sendiri (bukan hasil adaptasi dari bangsa India, Cina atau Arab), bangsa Indonesia. So, bagi yang suka LOTR, nggak ada salahnya bagi kalian untuk mencoba membaca dan mencintai La Galigo juga 🙂

Referensi:
Nurhayati Rahman, Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo, La Galigo Press.
David Colbert, The Magical Worlds of The Lord of The Rings, PT Gramedia Pustaka Utama.

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku

NBG 188 Sang Naskah Terpanjang Di Dunia

Awalnya, NBG 188 dikumpulkan oleh I Colliq Pujie Arung Pancana Toa, seorang raja perempuan dari tanah Bugis yang ditahan oleh Belanda. Atas permintaan B.F. Matthes, sang ratu mengumpulkan dan menyalin ulang episode-episode La Galigo. Hasilnya adalah  2212 halaman folio salinan naskah yang merupakan 1/3 dari seluruh naskah La Galigo yang oleh Matthes dibawa ke Belanda. Pada tahun 1987 dimulailah sebuah proyek untuk menerjemahkan dan menerbitkan NBG 188 ini.

Naskah NBG 188 yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya tersusun dalam 2851 lembar folio. Ukuran kedua belas jilid itu 21 x 34 sentimeter. Puisi kuno ini ditulis dengan alat tulis tradisional yang disebut dengan Kallang bertinta hitam dalam aksara Lontaraq dan bahasa bugis kuno. Kertas yang digunakan sebagai media tulis adalah kertas yang berasal dari Eropa. Dikarenakan panjangnya naskah yang harus disalin dan waktu yang cukup lama untuk prosesnya seiring pula penggunaan beberapa jenis kertas yang berbeda-beda baik dari segi kualitas dan kuantitas. Warna krem dan berat kertas yang tebal paling banyak digunakan namun pada bagian-bagian akhir penyalinan, kualitas kertas menurun dengan menggunakan kertas yang berwarna lebih tua dan berat kertas yang tipis sehingga membuat tinta kallang membayang bahkan telah tembus ke bagian belakang kertas tersebut. Colliq Pujie memindahkan isi La Galigo dengan rapi dan dengan tulisan yang jelas walaupun nantinya akan ditemukan beberapa kesalahan penulisan dalam beberapa bagian-bagian naskah. Kesalahan tersebut diperbaiki dengan memberikan tanda kurung siku untuk kata, huruf dan fragmen yang harusnya terdapat dalam puisi La Galigo.

Untuk memudahkan penyusunan, B.F. Matthes memberikan nomor halaman dengan pensil. Pada kebanyakan bagian pinggir naskah dan beberapa bagian kosong di atas kalimat terdapat catatan kecil yang di buat oleh Matthes . Catatan ini merupakan arti kata-kata tertentu dari fragmen puisi La Galigo dalam bahasa Belanda, Makassar dan Bugis kuno itu sendiri yang diterangkan oleh Colliq Pujie selama proses pengerjaannya. Ada juga beberapa kata yang hanya dijelaskan oleh Colliq Pujie namun oleh Matthes tidak dituliskan dalam bahasa Belanda karena kata tersebut merupakan simbol dari konsep kebudayaan Bugis. Contohnya kata : Siri’.

Penyimpanan naskah kuno Bugis La Galigo ini membutuhkan teknologi yang tinggi dengan ruang hampa udara yang bisa menjaga keawetan naskah yang telah berusia ratusan tahun. Untuk melihat langsung naskah kuno ini, silahkan mengunjungi Perpustakaan Leiden di Leiden, Belanda. Tentunya dengan membawa surat pengantar dan mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh pihak perpustakaan. Hal ini perlu diterapkan karena naskah ini adalah naskah asli satu-satunya, Colliq Pujie hanya menuliskan satu set saja dan itupun dibawa oleh Matthes. Adapun penyalinannya belum diterbitkan dan disebar luas kecuali dua jilid dari dua belas yang telah diterjemahkan oleh Alm. Muhammad Salim, dkk. Untuk mendapatkan informasi mengenai salinan ini silahkan menghubungi KITLV baik yang berada di Belanda maupun di Jakarta.

 

Referensi:
Wawancara langsung dengan Alm. Muhammad Salim pada tahun 2010.
Salim, Muhammad & Fachruddin Ambo Enre. (1995). La Galigo menurut naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa (Jilid I). Jakarta: Djambatan-KITLV.
Salim, Muhammad & Fachruddin Ambo Enre. (2000). La Galigo menurut naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa (Jilid II). Makassar: Lephas.
Kern, Rudolph. A. (1989). I La Galigo: Cerita Bugis Kuno, diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Catalogus I (Catalogus van de Boegineesche, tot den I La Galigo-cyclus behoorende handschriften der Leidsch Universiteitsbibliotheek, alsmede van die in andere europeesche bibliotheken) & Catalogus II (Catalogus van de Boegineesche, tot den I La Galigo-cyclus behoorende handschriften van Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara te Makassar) oleh La Side dan M. D. Sagimun. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

 

Nur Azmah Musa, dara kelahiran Maros yang juga alumni Heritage Camp 2013 oleh Lontara Project ini punya kepeduliaan yang besar terhadap budaya. Meskipun menuntut ilmu di Universitas Komputer Indonesia, Azmah aktif di kegiatan yang berhubungan dengan budaya seperti penelitiannya mengenai naskah La Galigo dan keaktifannya di Indonesian Heritage Trust (BBPI). Saat ini Azmah berdomisili di Jakarta.
Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Fashion of Keraton Nusantara – Part I

Zaman sekarang, dunia fashion tanah air kebanyakan berkiblat ke Barat.  Sebelum booming K-Pop, Jepang dengan style Harajuku-nya juga sempat mewabahi generasi muda. Di tengah pertempuran ide dan kreatifitas untuk membuat diri terlihat indah hari ini, sayangnya fashion nusantara belum mendapatkan perhatian yang besar dari pemuda-pemudi bangsa (malah acapkali dilabeli “kampungan”). Padahal, fashion nenek moyang kita dulu bisa jadi inspirasi yang oke punya lho. Keluarga kerajaan di nusantara ini ternyata punya selera yang tinggi dalam mix and match budaya Timur dengan unsur-unsur estetika Barat, tentunya tanpa kehilangan filosofi di balik pakaian yang mereka kenakan. Penasaran seperti apa? Yuk kita lihat satu-satu!

I. Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin dari Kesultanan Aceh Darussalam

Ialah salah seorang wanita yang pernah memegang tampuk pemerintahan tertinggi di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai anak perempuan Sultan Iskandar Muda, tidak heran jika bakat kepemimpinan mengalir di darah wanita yang menjadi patron ulama besar Abdurrauf Singkil. Untuk ukuran wanita pada zamannya pun, track record-nya lumayan mengagumkan: ia punya hobi menulis sajak dan cerita serta mendukung proyek pembangunan perpustakaan di istana. Sosoknya sebagai seorang perempuan yang tegas dan cinta ilmu pengetahuan jauh dari stigma masyarakat Eropa terhadap kaum Hawa pada masa itu. Satu hal lagi yang perlu disaluti dari sang ratu, Ia menjadi penguasa Aceh pertama yang mengizinkan biarawan Fransiskan dari Eropa untuk membangun gereja di wilayah kekuasaannya.

Berdasarkan ilustrasi karya Sayyid Dahlan Al-Habsyi di atas, busana yang ia kenakan jelas mencerminkan pengaruh Timur Tengah dengan adanya kain penutup kepala  serta gamis bermodel Turki. Warna emas dan hijau yang mencirikan keagungan serta agama Islam mendominasi pakaiannya. Aksesoris dari permata seperti kalung, anting-anting, dan hiasan kepala bercorak-ukir menandakan kemajuan peradaban Aceh masa itu. Ada fakta menarik terkait aksesoris emas yang beliau gunakan. Penggunaan emas sebagai perhiasan utama di istana Aceh Darussalam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dimana menurut laporan Augustin de Beaulieu dari Prancis setiap penari istana mengenakan 20 kg emas di badannya! Trend emas ini dibuktikan dengan koleksi benda-benda peninggalan Kesultanan Aceh di Museum Nasional Kopenhagen yang terdiri atas selendang dan celana berbenang emas, kain kepala, topi dan kalung, anting-anting dan ikat pinggang dari perak. Wow, beliau adalah seorang ratu nan pintar, baik hati, terbuka dan kaya raya!

II. Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X dari Kasunanan Surakarta

Susuhunan Pakubuwono X – Kasunanan Surakarta (1893-1939)

Inilah raja terkaya dalam sejarah kerajaan Mataram (keraton Yoyakarta-Surakarta). Raja yang bergelar Sinuhun Wicaksana ini amat istimewa. Ia melakukan revolusi di bidang sosial dengan cara memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Setiap malam Jumat ia akan naik ke atas mobil Mercedes Benz 1905-nya (jangan lupa kalau ia juga raja pertama yang memiliki mobil pribadi di seluruh penjuru Jawa) dan membagi-bagikan uang kepada rakyat yang kurang mampu. Paku Buwono X mendapatkan bintang kehormatan dari Sri Maharaja Puteri Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam bahasa Belanda Zijne Vorstelijke Hoogheid. Permaisurinya, Gusti Bandara Raden Ajeng Mur Sudarsinah merupakan putri Sultan Yogyakarta. Penikahan mereka menjadi sejarah karena setelah kerajaan Mataram pecah di tahun 1755 baru kali ini keraton Surakarta dan Yogyakarta kembali menjalin hubungan akrab.

Dalam lukisan ini Ia mengenakan jas hitam atau yang biasa disebut beskap berhiaskan banyak sekali lencana kehormatan. Warna beskap yang hitam menandakan bahwa busana ini tergolong sanes padinetenan atau pakaian yang hanya dikenakan pada upacara adat saja. Sunan Pakubuwono mengenakan kemeja sepinggang serta jarik yang dikencangkan oleh ikat pinggang. Beliau juga mengenakan sepatu atau sloop, yang dari namanya saja sudah jelas berasal dari pengaruh Belanda. Beliau mengenakan kuluk (topi/kopiah kebesaran) yang biasanya juga dikenakan oleh pengantin laki-laki Jawa. Sang istri tampil lebih tradisional dengan baju lengan panjang berbahan velvet atau beludru dengan hiasan benang emas yang hanya boleh dikenakan oleh kaum bangsawan. Jarik dan rambut disanggul. Aksesoris yang ia kenakan ialah tiga susun bros (penanda bahwa beliau merupakan seorang permaisuri), kalung emas, anting-anting, lencana kehormatan, cincin (di kelingking, jari manis dan telunjuk), dan gelang (di kedua pergelangan tangan). Baik raja maupun ratu sama-sama memegang sehelai sapu tangan dengan kunci yang tergantung di bawahnya. Kunci tersebut merupakan kunci ruang pusaka kerajaan.

III. I Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng

I Gusti Ketut Jelantik – Patih Raja Buleleng, Bali (1849)

Patih muda yan terkenal gigih menentang penjajahan Belanda ini sejatinya berasal dari Karangasem. Ia terkenal karena kekerasan hatinya dalam mempertahankan martabat kerajaan dan menolak tunduk pada Belanda. Beliau menyerukan puputan alias perang hingga titik darah penghabisan kepada seluruh warga Buleleng. Meskipun terpaksa mundur hingga ke Gunung Batur, Kintamani dan gugur di sana, nama Gusti Ketut Jelantik tetap hidup sebagai penyemangat warga Bali dalam menentang kekuasaan Belanda di Pulau Dewata. 

I Gusti Jelantik nampak begitu gagah pada foto yang diambil di Batavia tersebut. Pakaian yang dikenakan oleh beliau terdiri atas kemeja berkerah dan jas (?) lengan panjang bermotif, kain yang diikat setinggi ulu hati serta celana panjang corak Bali. Beliau juga mengenakan kain sebagai penutup kepala. Perhiasan yang dipakai hanyalah cincin pada jari kelingking dan telunjuk. Pengaruh Barat hampir tidak terlihat, pakaian Gusti Jelantik dapat digolongkan nyaris 100%  busana Bali asli. Berbeda dengan kraton Jawa, di Bali tidak ada motif-motif pakaian yang dikhususkan untuk bangsawan semata. Akan tetapi rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan untuk mengenakan kain tenun yang berhiaskan benang emas dan perak atau prada (ragam hias goresan cat emas). Selain hiasan prada, tenunan songket juga menjadi penanda pakaian bangsawan kelas atas. Ciri khas kain Bali yang biasanya berwarna-warni sayangnya tidak dapat kita nikmati dengan jelas pada foto hitam-putih I Gusti Jelantik.

IV. Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa MatinroE ri TucaE dari Kerajaan Tanete

Retna Kencana Colliq Pujie – Arung Pancana Toa (1812-1876)

Sosok perempuan inspiratif yang telah menyusun naskah La Galigo terpanjang di dunia ini adalah seorang sejarawan, budayawan dan novelis pada zamannya. Tidak hanya sampai di situ, kejeniusan beliau juga nampak dengan terciptanya aksara Bilang-Bilang yang idenya diambil dari bentuk aksara Lontaraq dan Arab. Wanita keturunan Johor-Bugis ini terkenal gigih dalam menghadapi Belanda yang bercokol di negeri Tanete (Kab. Barru, Sulawesi Selatan). Meskipun diasingkan selama bertahun-tahun dan tidak mendapatkan perlakuan selayaknya seorang ratu, Colliq Pujie tetap bertahan dengan prinsipnya untuk tidak tunduk pada penjajahan Belanda.

Pada foto di atas, beliau mengenakan baju model Melayu lengan panjang dengan motif geometris. Baju ini tergolong unik, coba saja perhatikan sambungan diagonal yang melintang dari pundak sebelah kiri beliau hingga perut sebelah kanan. Aksesoris yang ia gunakan antara lain dua cincin emas pada jari telunjuk dan jari manis, kalung, serta semacam sisir kecil yang disisipkan di rambut bagian atas serta sapu tangan. Nah, rambutnya mengkilap di foto ini hampir bisa dipastikan diolesi oleh minyak kelapa, tradisi yang hingga saat ini pun masih hidup di kalangan orang tua Bugis. Sarung yang beliau kenakan merupakan sarung dengan motif flora (pengaruh Melayu-Cina?), sayangnya keindahan sarung tersebut tidak kelihatan karena warnanya hitam-putih. Yang paling membuat penulis terkesima ialah sepatu bergaya India (Jutti) yang beliau gunakan! Sepatu dengan ujung melengkung ke atas seperti itu menandakan bahwa beliau tergolong up to date dengan dunia fashion pada zamannya.  Dikutip dari situs The Bata Shoes Museum:

In Northern India, the curled toe and open back is a common feature of footwear, as is the beautiful, intricate metallic embroidery, which today is still executed completely by hand.

Konon sepatu tipe Jutti atau Mojari ini pertama diciptakan pada masa Dinasti Mughal di India Utara, tepatnya di sekitar wilayah Punjab dan Rajasthan sekarang. Hanya kalangan orang kaya dan bangsawan yang dapat memakai sepatu berbentuk unik dengan motif-motifnya yang cantik ini karena biaya pembuatanya yang lumayan mahal. Sepatu tipe seperti ini digandrungi Barat ketika Eropa terserang oleh demam “Gila India” sekitar abad ke-17. Wah, ternyata Colliq Pujie tidak hanya seorang jenius secara intelektual, referensi fashion beliau pada masa itu pun telah berkelas internasional!

 

Berlanjut ke Fashion Keraton Nusantara – Part II

Referensi Gambar: 

http://sejarah.kompasiana.com/2010/06/22/sultanah-safiatuddin-memimpin-berapa-lama-174008.html
http://www.bridgemanartondemand.com/image/646807/-pakubuwono-x
http://devry.wordpress.com/2010/10/27/a7789ef88d599b8df86bbee632b2994d/
http://www.balifornian.com/blog/2012/7/30/our-family-and-balis-royal-family-of-karangasem.html
http://indonesiaproud.wordpress.com/2011/12/22/colliq-pujie-perempuan-bugis-intelektual-yang-diakui-dunia/
http://sergapntt.wordpress.com/category/manggarai/