Categories
101 La Galigo Old Stuff Good Stuff

Yang Tersisa dari Mutiara Tompoq Tikkaq

Kalau saja seluruh kisah cinta keturunan Batara Guru (mulai dari Batara Lattuq yang dalam episode Mutiara Tompoq Tikkaq berlayar untuk menemukan tambatan hati yang belum pernah Ia lihat sekilas pun wajahnya) dijadikan buku atau film… Twilight bakalan lewat!!! Niscaya yang diteriakkan remaja gadis hari ini bukan lagi “EDWAAARD!!! JACOOOB!!!” melainkan “BATARA LATTUQ!!! MARRY MEEE…”.

Apa coba?

Jangan anggap remeh dulu, nenek moyang kita terbukti gila dalam berfantasi, ratusan tahun sebelum Stephanie Meyer bahkan. Mereka mampu menciptakan adegan cinta super-lebay dan sangat jeli dalam menceritakan hal-hal romantis (meskipun sebenarnya amat repetitif dalam mendeskripsikan detail). Berani jamin, kalau dibaca anak perempuan labil seperti fans Twilight, maka hiduplah mereka dalam khayalan romantisme ala lelaki Bugis jaman dulu.

Sparkling Gay vs Not-Sparkling Gay

Ya, nenek moyang kita memang hidup dalam cerita turun menurun bahwasanya dahulu pembesar negeri Bugis ini merupakan keturunan mahapenting, yakni To Manurung -para pewaris Bottiq Langiq dan Peretiwi yang kemudian melahirkan seorang anak yang bernama Batara Lattuq. Batara Lattuq ialah calon raja selanjutnya yang akan menggantikan Batara Guru memerintah Kerajaan Ale Luwu dengan segala kebesaran dan kemasyhurannya. Beranjak dewasa, Batara Guru merasakan kegelisahan si perjaka Luwu yang telah tiba masanya untuk mempersunting seorang gadis. Namun dengan satu catatan mutlak : Perempuan ini haruslah memiliki garis keturunan dewa pula untuk menjaga kemurnian darah mulia mereka, yang digambarkan saat Batara Lattuq datang meminang We Datu Sengngeng (satu diantara dua bersaudara yang kecantikannya tiada tara – bahkan tidak ada yang lebih cantik lagi di atas Botting Langiq sana atau di bawah Bumi Peretiwi). We Adiluwuq yang merupakan kakak We Datu Sengngeng bahkan secara dramatis mengiris jarinya sendiri, memperlihatkan darah dewa-nya yang berwarna putih susu (bahkan dalam artian yang sebenarnya, jadi bukan istilah darah biru seperti pada bangsawan Jawa) kepada Batara Lattuq.

Singkat cerita, digambarkan pula bagaimana kerennya perahu (kalau di zaman sekarang mungkin bisa disamakan dengan mobil mewah ya) dan mahar Batara Lattuq yang langsung diturunkan oleh Datu Patotoqe, sang kakek yang menjadi penguasa Dunia Atas. Dibutuhkan waktu berhari-hari untuk mengangkut harta benda masuk ke dalam perahu yang extravagant, kehadiran ribuan perahu pendamping, ribuan pengayuh, ribuan dayang-dayang, dan segala jumlah ribuan lainnya demi mengarungi samudera berbulan-bulan menuju Kerajaan Tompoq Tikkaq, tempat We Datu Sengngeng berada.

Peta Pelayaran Batara Lattuq menuju Tompoq Tikkaq oleh F. Ambo Enre (Sumber: La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Dunia, 2003)

Itu baru mula cerita.

Takkan habis rasanya berimajinasi akan keroyalan Kerajaan Luwu pada masa itu. Cerita-cerita tersebut mengindikasikan betapa kekayaan alam, bumi dan langit mampu menanggung kebutuhan berpesta selama berhari-hari dengan jamuan tak terhingga. Alam itu sendiri yang menjadi tuan rumah dan menjamu para hadirin.

Kerajaan Ale Luwu atau Tompoq Tikkaq kini tidak menyisakan apapun selain nama. Bahkan tak secuil pun kehormatan pada anak cucunya yang bisa dibanggakan. Kisah kemegahan keturunan dewata, kerajaan yang bersahabat dengan alam, dan segala keagungannya itu hanya tinggal naskah bisu dalam kesunyian di tengah temperatur dingin pada sebuah ruangan khusus di Leiden, Belanda. Sementara hanya segelintir orang yang menangisi dari tanah Bugis untuk menunggunya pulang, generasi muda Indonesia semakin lama semakin luntur dari kearifan lokal nenek moyang mereka.

Semoga kita masih bisa menyaksikan hari ketika Batara Lattuq menjadi sepopuler Edward Cullen. Suatu hari nanti, mudah-mudahan.