Categories
Featured Galigoku

Mengenal Sampit dan Masyarakatnya

Oleh:

Rinchi Andika Marry (Ilmu Sejarah Universitas Indonesia 2010)

Dari beberapa kota kabupaten di Kalimantan Tengah, Sampit merupakan kota penting yang sudah lebih maju dibanding daerah-daerah lainnya di Kalimantan Tengah. Sebagai kota yang berpenduduk relatif sedikit, Sampit memperlihatkan beberapa keunggulan, diantaranya adalah sebagai kota kabupaten yang memiliki pelabuhan air dan bandar udara sendiri. Sampit  terus memperlihatkan kemajuan sejak awal berdirinya hingga sekarang. Nama Sampit sendiri, berdasarkan beberapa sumber  online, diambil dari bahasa Cina, yaitu Sam artinya tiga dan It artinya satu,  jadi sam-it artinya tiga satu. Mengapa tiga satu? Karena sesuai dengan jumlah orang Tiongkok yang datang ke Sampit dan melakukan perdagangan dengan suku setempat. Tidak diketahui pasti siapa yang kemudian mencetuskan kata Sampit. Sumber lain lagi membantah bahwa nama Sampit berasal dari bahasa Cina, bahwa ada seorang yang bernama  Sampit yang berasal dari Kalimantan Selatan yang kemudian datang ke Sampit dan membangun Sampit.

Sampit sendiri merupakan ibu kota kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Luas wilayahnya hanya 16.796 km2 dengan jumlah penduduk 429.931 jiwa. Selain suku asli, yaitu suku Dayak, banyak juga para pendatang yang berasal dari Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan Selatan, dan orang-orang Tiongkok yang kemudian membaur dengan masyarakat setempat sehingga terjalin harmonisasi antara masing-masing suku serta membentuk karakteristik masyarakat Sampit itu sendiri. Untuk orang-orang Tiongkok sendiri telah ada semenjak ratusan tahun lalu pada era perdagangan Nusantara.  Di jalan-jalan kota Sampit tidak ditemukan jembatan flyover maupun jalan tol, hal ini terkait dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak dan jarang terjadi macet sehingga tidak diperlukan adanya jalan tol maupun jembatan flyover. Dari luas wilayah yang ada, sebagian besar masih berupa hutan belantara. Jika musim kemarau tiba, seringkali terjadi pembakaran hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang kemudian menghasilkan kabut asap yang tebal dan mengganggu pernafasan. Tidak jauh berbeda dengan kondisi ibukota, pada siang hari terasa sangat panas dan  menyengat namun pada malam hari (mulai pukul 7 malam keatas) sangat berbanding terbalik, dingin yang cukup menusuk tulang.

Sampit. Sumber: Wikipedia.

Aktivitas masyarakatnya lebih banyak dilakukan di siang hari daripada malam hari. Malam hari jalanan cenderung sepi karena warganya banyak yang tinggal di dalam rumah kecuali jika ada keperluan tertentu atau untuk keperluan hiburan, biasanya pusat-pusat kota menjadi ramai dikunjungi warga. Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakatnya adalah bahasa Banjar (bahasa yang dipakai di Kalimantan Selatan) dengan aksen khas Sampit yang sedikit berbeda dengan bahasa Banjar yang digunakan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, selain itu Bahasa Dayak Sampit dan Dayak Ngaju (Dayak Hulu). Suku asli setempat, yakni suku Dayak telah membaur dengan suku-suku lainnya yang ada karena suku Dayak di Sampit cenderung  lebih bisa bersahabat dan membuka diri dengan suku lainnya sehingga dapat tejalin harmonisasi yang baik.

Pada suku-suku Dayak pedalaman yang menganut kepercayaan Hindu Kaharingan, tradisi masih dipegang teguh terutama pada acara-acara tertentu seperti perkawinan, kematian, pengangkatan kepala suku, maupun acara adat lainnya. Namun di Sampit, suku Dayak yang ada sudah mulai meninggalkan tradisi nenek moyang mereka, meskipun dalam beberapa aktivitas masih tetap melekat. Hal ini dikarenakan suku Dayak di Sampit telah memeluk agama baru selain kepercayaan nenek moyang mereka. Agama mayoritas suku Dayak di Sampit adalah agama Islam, kemudian sisanya adalah Kristen Protestan dan Hindu Kaharingan. Meskipun demikian, perbedaan agama ini tidak lantas menjadikan suku Dayak merasa terpisah-pisah, rasa persaudaran sesama suku Dayak mereka masih kuat.

Bagi masyarakat luar kota Sampit, non suku Dayak khususnya, yang belum pernah mengunjungi kota Sampit mungkin akan berpikiran bahwa suku Dayak merupakan suku yang kejam dan tidak bersahabat. Namun akan berbeda rasanya jika sudah berkunjung ke kota Sampit. Masyarakatnya cenderung bisa menerima pendatang. Tidak sulit untuk bisa berbaur dengan suku Dayak, terutama suku Dayak yang ada di Sampit karena dalam aktivitas sehari-hari suku Dayak tidak rasis.  Suku Dayak Sampit juga bisa berbahasa Indonesia dengan baik sehingga untuk berkomunikasi pun tidak sulit.

Gadis Dayak Sampit. Sumber: sampitrami.blogspot.com

Kota Sampit terhubung dengan daerah-daerah lainnya di Kabupaten Kotawaringin Timur. Untuk mencapainya bisa dilalui dengan menggunakan transportasi darat maupun air. Warga Sampit rata-rata memiliki kendaraan pribadi sendiri. Tidak mengherankan jika kebanyakan warga Sampit memiliki motor sendiri karena bisa dikatakan tanpa motor sulit untuk melakukan aktivitas. Selain itu, transportasi air yang menghubungkan kota Sampit dengan daerah lainnya dengan menyeberangi sungai, dikenal dengan sebutan ­kelotok, yaitu perahu air yang memiliki mesin. Orang Sampit, khususnya suku asli sudah biasa jika berkendaraan/ bepergian dengan menggunakan kelotok untuk mencapai daerah –daerah lainnya. Rata-rata suku asli Sampit pandai berenang karena sehari-hari sudah akrab dengan kehidupan sungai. Sungai Mentaya merupakan sungai yang ada di Sampit. Di sungai Mentaya inilah biasanya kapal-kapal besar dengan tujuan Pulau Jawa dan kelotok melintas.

 

Sekilas mengenai kerusuhan Sampit tahun 2001

          Pada waktu kerusuhan di Sampit meletus awal tahun 2001, usia saya 11 tahun dan sedang duduk di bangku kelas 6 SD. Saya dan keluarga baru sekitar dua tahun tinggal di Sampit. Sebelumnya saya dan keluarga saya tinggal di sebuah kecamatan kecil tidak begitu jauh dari kota Sampit. Saya masih ingat saat kerusuhan terjadi, keadaannya sangat mencekam dan memprihatinkan. Pada waktu itu, sekolah-sekolah harus berhenti sejenak dari kegiatan belajar mengajarnya hingga kerusuhan mereda. Banyak rumah orang Madura yang ditinggalkan pemiliknya di bom dan dijarah oleh penduduk sekitar. Pemiliknya tidak pernah lagi kembali hingga kerusuhan telah mereda. Selain itu, di depan rumah tiap penduduk harus menuliskan nama suku masing-masing dan mengikuti kode sesuai dengan siapa yang sedang berkuasa saat itu. Sempat suku Madura yang berukuasa selama seminggu. Suku Dayak yang ada di Sampit sempat kalah dan mundur ke pedalaman dan memanggil para sesepuh suku Dayak. Saat Madura yang berkuasa, sempat tersiar kabar Sampit ingin dijadikan daerah Sampang ke dua dan akan diadakan pemutihan. Namun hal itu tidak sampai terjadi karena setelah satu minggu, suku Dayak yang ada di pedalaman kembali dengan jumlah massal yang lebih banyak dan menggunakan kemampuan mistik mereka dalam menumbangkan orang-orang Madura.

Saya dan keluarga tinggal di sebuah kompleks perumahan yang baru saja dibuka dan letaknya berada di tengah hutan. Kebanyakan orang masih belum cukup mengenal kompleks tempat saya tinggal karena letaknya yang agak sulit dijangkau bagi orang yang belum benar-benar menjelajahi kota Sampit. Selama berlangsungnya kerusuhan, saya dan keluarga hanya berdiam diri di rumah. Kami juga harus mengirit bahan makanan jika tidak ingin kelaparan . Mencari bahan makanan ke pusat kota Sampit berarti mengorbankan nyawa, karena bisa saja kepala melayang. Saya sudah terbiasa mendengar suara tangisan ibu-ibu yang meratapi terjadinya kerusuhan setiap harinya. Setiap hari kita benar-benar harus waspada menghadapi ancaman kedatangan orang Dayak yang datang melakukan penyisiran ke rumah-rumah untuk menghabisi nyawa orang-orang Madura.

Selama kerusuhan saya tidak pernah pergi kemanapun selain di sekitar rumah. Pada saat itu ibu saya juga sedang mengandung lima bulan adik saya yang terakhir. Saya ingin sekolah lagi, ingin bisa makan enak tanpa dibatasi, tapi tentu saja itu tidak bisa dilakukan karena kerusuhan masih berlangsung dan bahan makanan susah didapat. Menurut cerita yang  saya dengar waktu itu, di pusat kota sudah banyak orang Madura yang dibantai dan kepalanya dibiarkan menggeletak begitu saja. Bahkan yang paling mengerikan tidak terbayangkan oleh saya, otak-otak orang Madura di masuk bersama dengan mie rebus. Saya tidak tahu cerita itu benar atau tidak karena saya tidak pernah melihat secara langsung, saya hanya mendengar cerita itu dari orang-orang di sekitar saya. Saya juga tidak pernah melihat pembantaian orang Madura secara langsung atau melihat kepala orang Madura berserakan, hanya beberapa tetangga saya yang pernah melihatnya.

Mengkritisi terjadinya kerusuhan, saya tidak tahu pasti pangkal penyebab terjadinya kerusuhan. Yang jelas, sebelum  meletus kerusuhan awal tahun 2001, pernah juga ada isu-isu pemicu kerusuhan tahun-tahun sebelumnya namun tidak pernah sampai meledak seperti yang terjadi pada awal tahun 2001 itu. Saya rasa karena pada Orde Baru hal-hal yang berbau SARA tidak diperbolehkan atau cepat bisa diredam sehingga tidak sampai terjadi kerusuhan besar.  Selain itu pula, antara suku Dayak dan Madura maupun suku lainnya sebelum kerusuhan terjadi masih hidup berdampingan dengan rukun dan toleransi. Setahu saya, orang Dayak sangat welcome dengan pendatang. Apalagi suku Dayak dan  suku  Madura pun telah  hidup berdampingan sekian tahun tanpa ada konflik besar yang tidak bisa diatasi dengan damai. Jika tidak karena adanya provokasi oleh golongan tertentu, kerusuhan yang banyak menelan korban jiwa dan kerugian material dan immaterial ini tidak akan terjadi.

Kerusuhan yang terjadi berlangsung tidak begitu lama, hanya dalam hitungan bulan. Kerusuhan antara kedua suku ini akhirnya bisa diselesaikan dengan cara damai setelah melihat jumlah korban jiwa dan kekacauan disana-sini yang terjadi. Banyak pihak-pihak yang tidak bersalah turut menjadi korban sehingga jalan damai pun menjadi alternatif. Terlalu kecil bagi saya memahami kondisi politis pada masa itu, tapi yang saya tahu kerusuhan akhirnya selesai damai. Orang-orang Madura yang berhasil mengungsi keluar Sampit dan terikat kontrak dengan pemerintah setempat atau memiliki keterikatan dengan kota Sampit akhirnya dipulangkan kembali ke Sampit. Cara damai yang ditempuh kedua belah pihak ini merupakan alternatif yang baik agar tercipta toleransi antar suku. Hingga saat ini, orang-orang Madura masih di temukan di Sampit dan sekitarnya. Harapan saya semoga kerusuhan sosial tahun 2001 tidak pernah terjadi lagi dan masyarakatnya bisa hidup rukun, damai, dan tidak mudah terprovokasi.

Referensi :
www.sampitonline.com
www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/62/name/kalimantan-tengah/detail/6202/kotawaringin-timur

 

 Rinchi Andika Marry, mahasiswi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia ini memiliki nama panggilan yang beragam. Di keluarga ibu di panggil Iin, di keluarga bapak dipanggi Enchik, teman-teman kampus Rinchi. Suka mempelajari bahasa asing terutama Bahasa Inggris, Bahasa Korea, dan Bahasa Mandarin. Punya hobby nulis cerita pendek dan novel. Berharap suatu hari tulisan2nya bisa dimuat di majalah dan novelnya dipublish. Selalu berimajinasi dimanapun berada. 

 

Categories
Featured Galigoku

Siger: Lambang Lampung nan Feminin dan Misterius

Provinsi yang terletak di ujung paling selatan pulau Sumatera ini bak mutiara yang terpendam. Keindahan alam serta kekayaan budaya Lampung kurang terekspos di panggung budaya nasional. Simak cerita singkat Astri Agustina dalam lawatan singkatnya ke provinsi multikultural ini untuk pertama kali.

Meskipun terlahir di tengah keluarga Jawa (Ayah dari Probolinggo dan Ibu dari Surakarta) -menghabiskan sebagian besar masa hidup saya berada di Pulau Jawa, dan bangga terhadap kebudayaannya- saya memiliki ketertarikan dan keingintahuan yang tinggi terhadap atribut-atribut budaya dan sejarah, baik di wilayah dalam maupun luar negeri Saya sangat senang berkeliling mengunjungi berbagai wilayah, terutama daerah-daerah di Nusantara. Selain menghabiskan masa kecil di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, saat ini saya sering mengadakan perjalanan kerja ke berbagai tempat. Di tengah-tengah keterkejutan kita akan buruknya taraf hidup gajah di habitatnya yang selama ini kita banggakan, Way Kambas, kali ini saya akan berbagi sedikit mengenai pengalaman saya ketika mengunjungi Lampung.

Kesan pertama yang saya dapatkan ketika beberapa bulan yang lalu mendarat di Bandar Udara Radin Inten Lampung adalah betapa panasnya Lampung. Udara panas terik khas wilayah laut layaknya Surabaya dan Jogjakarta. Tetapi, begitu memasuki kota Bandar Lampung, saya mengamati ada yang sangat menarik dari atap gedung-gedung di Lampung. Di ujung atap bangunan-bangun di kota Bandar Lampung, baik itu kantor pemerintahan, rumah penduduk, sampai ke rumah makan-rumah makan terdapat hiasan yang berbentuk seperti mahkota atau hiasan kepala mempelai wanita. Yang menarik dari hiasan tersebut, selain keberadaannya yang dimana-mana, adalah bentuk yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Berbentuk seperti bunga teratai yang memiliki lima kelopak berujung lincip dengan kelopak tengah yang berperan sebagai poros berbentuk paling besar seperti segitiga.

Tugu Siger di Bandar Lampung. Sumber: Wikipedia

Berangkat dari ketertarikan ini, maka saya pun bertanya ke tuan rumah, teman-teman saya yang berada di Lampung. Selain bahwa benda berbentuk mahkota itu disebut sebagai Siger, nyaris tidak ada yang mengetahui informasi lebih mendalam mengenai fungsi maupun makna dari keberadaan benda tersebut. Rupanya, menurut dugaan salah seorang teman, pengwajiban Pemerintah Lampung kepada warganya untuk memasang hiasan tersebut merupakan salah satu bagian dari kampanye budaya yang sedang digalakkan pemerintah. Pemerintah Lampung merasa bahwa generasi muda di sana nyaris kehilangan identitasnya. Sangat sedikit generasi muda yang menggunakan atau bahkan sekedar mengerti Bahasa Lampung asli yang dekat dengan Bahasa Melayu. Walaupun saya kemudian menjadi sedikit kecewa setelah mengetahui bahwa hiasan tersebut diwajibkan, bukanlah kesadaran pribadi warga Lampung, tetapi saya juga memahami apabila terkadang memang kesadaran harus dibina secara top-down, diawali dengan kebijakan pemerintah baru kemudian menjadi kesadaran individu. Lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan?

Akibat rasa ingin tahu saya belum juga terpenuhi, maka kemudian saya melakukan riset online sederhana mengenai apa “Siger” ini. Sekali lagi, saya mendapatkan kekecewaan, mendapati ternyata Pemerintah Lampung yang katanya sedang menggalakkan kampanye pelestarian budaya, ternyata tidak menyediakan informasi yang memadai terkait “Siger” ini di laman resmi mereka. Informasi yang lengkap malah saya dapatkan dari blog-blog pribadi mereka yang ternyata merasakan ketertarikan yang sama ketika mengunjungi Lampung.

Hasil menyarikan berbagai blog pribadi tersebut, usut punya usut, rupanya Siger ini merupakan hiasan kepala mempelai wanita dalam pernikahan adat Lampung. Pemilihan Siger sebagai lambang Provinsi Lampung menjadi semakin menarik bagi saya karena Siger cenderung merepresentasikan feminitas. Lampung merupakan satu dari sedikit –jika bukan satu-satunya, karna saya tidak berani memberikan klaim atas hal yang belum saya teliti secara seksama- wilayah di Indonesia yang memilih “benda feminim” sebagai lambang wilayahnya. Bahkan, Minangkabau yang terkenal dengan budaya matrilinealnya pun lebih akrab dengan rencong yang cenderung bersifat maskulin (karena merupakan senjata-red).

Saya sungguh ingin memahami lebih dalam latar belakang historis maupun sosio-kultural dari pemilihan Siger sebagai lambang khas wilayah Lampung. Sayangnya, ketersediaan akses bagi saya terhadap referensi-referensi lengkap yang terpercaya masih sangat terbatas. Seandainya ada pembaca yang sudi menambah terbatasnya pengetahuan saya, bahkan mengkritisi sekalipun, saya tentu akan sangat senang.

Fight Cultural Illiteracy!

Astri Agustina Sidik, mahasiswi tahun akhir jurusan Hubungan Internasional UGM ini telah memiliki ketertarikan terhadap sejarah sejak mendapatkan pelajaran sejarah di SD. Biasa mengisi waktu luang dengan menonton film, jalan-jalan, berbelanja dan menambah pengetahuan tentang kultural-historis (membaca maupun diskusi). Aktif menjadi sukarelawan di Yayasan Bina Antarbudaya -Malang dan Yogyakarta- serta freelance pelatih maupun juri debat parlementer.

 

Categories
Featured Galigoku

Detachment and Commitment: Amish Community and Another Moslem Story

Amish community, located in Lancaster, was, umm, unbelievable. I can’t promise you that I will be able to project how cute the people are, or how beautiful the area is, through words, probably not even through pictures. Amish people were originally come from Zurich, Switzerland. Their story began with a man named Simons, who had a little different opinion with Lutheran, Simon thought that baptizing should be optional, so that the people would be more absorbing the meaning of baptizing. Simon and his fellow made a new sect called Menonite.

Among this Menonite, however, there were other disagreements. A guy named Jacob Amman thought that the Menonite followers were sway with worldliness very fast. He wanted to return the faith of the people to the old time, when there were not so much distractions. He wanted the people to stay plain, to translate the bible literally, to stay pure. Surprisingly, the Amish moved to America with the same reasons like many other religious believers, to run away from prosecution. Because of its different lifestyle, there were many Amish priests who were jailed or even executed.

At first I thought it will be like Baduy people in West Java, but turned out that the Amish are more flexible. They live in a huge huge huge farming area. Unlike Baduy, they aren’t isolate themselves. They live among the people. They can have their houses side by side with other people’s. They go to the store, selling things to people and buying from them. They mingle with other people. The kids go to school, but only for 8 years. They learn basic things such as english, math, history, geography and so on. But they will not go to higher education because they avoid the children knowing too much about the other world that it makes them leaving the Amish culture. Amish people refused to get the picture taken. Stacy and Debra had different thoughts about it. Debra said that the reason they don’t want any picture is because the sense of worldliness, but Stacy said that the Amish believe their soul would be taken away along with the pictures. But during our trip in the area, we are allowed to take pictures of their animals, their buggy horse, their houses et cetera, just not the people. 

We are still a little bit confused with their technology restrictions though. Because they are not allowed to have telephones or televisions. Basically their houses arent hooked with electricity wire. But then, at one of the family’s house that we visited and we had our dinner with. The family served us with fresh bread and peanut butter, meat ball, chicken and mash potatoes, brownies and ice cream. And these meals couldnt be prepared or preserved without the helped of electricity. The meatball and chicken for example, definitely needs microwave. While ice cream needs to be kept in the fridge.

We also saw the fridge and the microwave. These equipments are apparantly ran using the diesel generator, so they are allowed to have that kind of electricity, but not having the wire connected to their houses. Saddie Mae, the Amish lady, was also telling us that she had a friend driving her to the market sometime. She is allowed to ride in the car, but not to drive it. I asked our tour guide, Jane, what was the border of what to do and not do, and she said that as long as the priest said that it is okay, then they are not in troubles. It is still confusing for me. But I guess, what is obvious in the middle of the paradox is the Amish’s detachment from the worldliness.

They might use some modern equipments, but they CAN live without it. Saddie Mae wouldnt mind if her friend cant give her a ride that day, she’ll still serve us meals withour her microwave. Amish community are basically surrounded by the modern world, you can find cafe and convinient stores nearby, and they meet tourists everyday-tourists wear fashionable clothes and show their camera and cellphones, but the Amish remain with their salad dress, strap pants, scooter and buggy horses. They are not tempted and rather to continue their simple and modest life. As Stacy said, their world might be small, but they want it that way.

We also went to the Islamic centre. I wasnt very excited at first, because we had so much about Islam since we started in Indonesia and in Michigan. But the guy we met, Pak Rizwan, was great and I liked him a lot. He came from Bahrain and just like most of the moslem who came from a country with moslem majority, he took his religion for granted. He was just like another teenager too, he was in the band and played Pink Floyd to Metalicca. And then he came to United States.

At first he said that he was pretty shy with his identity and rather not to show people about it, since he was worried that he will be treated differently. But then he decided that he wanted to learn about Islam from the very basis, and so he did, and he found that Islam is a very beautiful religion and now he dedicated himslef to be faithful. One of the very interesting parts that he mentioned was about the gender equality in Islam. What he emphasized was basically fact that men and women are created differently.

Man is physically stronger, while woman is weaker and more sensitive. But it doesnt mean that they are not equal. Each have different roles, different responsibilities and different previllages. In the Qur’an, man is responsible as the provider of the household. They have to provide foods, money, clothings and so on to her wife, her children, or even her other family members. It doesnt mean that women cant work. They can. In fact, if the women works and gets paycheck, the money is her absolute right and she doesnt need to share with anyone else including her husband. Meanwhile in husband’s money, there are included the wife’s right. This is one of the previlege that is own by women, and that to some extent, man has more responsibility. Islam does not put women as second class citizens.

So why is that we found many violations toward womens rights in Islamic country, using religious teaching as a shield? All I know is this is a major degradation in Moslem’s life. In the life of Prophet Mohammad, even in the era of 4 khalifah after he passed away, women enjoyed the chance to do what men did. They were actively involved in public. Siti Khadijah, Prophet’s wife, was a very succesful and rich merchant. In the leadership of Umar bin Khatab, a government officer who was responsible for the market conditioning also led by a women.

But after the Khalifah of Ali bin Abi Thalib, women started to be kept in the house. Some said that at the time, it was a sign of social prestige. The less likely your women to be seen in public, the more prestigious you are. Besides this odd cultural shifting, I also see that the discrimination toward women also happen because of the misconception about responsibility.

Men do have a big responsibilty to his wife and his family, it means that he needs to protect her and them and make sure that they are happy. This responsibility has absolutely different meaning with overpowering. Most people, not neccesary men, identify responsibility with previlages. Take our parliament member, for example, they feel the great importance of their role toward Indonesian society, that they used it as a vehicle to overpnd to take advantage. Greater responsibility does not justify you for being mean to people that you are responsible for. Responsibility means commitment.

Our discussion with Rizwan had to stop because we heard the adzan started to call people for prayer. I felt very touched. I went to pray. Cindhi was very happy and she hoped that I can continue to commit.

 

Anggita Paramesti, mahasiswi FISIPOL UGM yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar AFS-YES ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Pada tahun 2011 Ia berangkat ke Mindanao, Filipina Selatan untuk mengikuti Silsilah Summer Course on Moslem-Christian Dialogue  bersama komunitas lokal Zamboanga. Ketertarikannya pada isu-isu global seperti dialog antaragama, hak-hak minoritas, feminisme dan budaya membuat anak kedua dari dua bersaudara ini kritis terhadap kondisi di sekitarnya. Saat ini Gita bekerja sebagai Interpreter dan guru Bahasa Indonesia untuk pelajar asing di Realia Language and Cultural Center, Yogyakarta.