Awalnya, NBG 188 dikumpulkan oleh I Colliq Pujie Arung Pancana Toa, seorang raja perempuan dari tanah Bugis yang ditahan oleh Belanda. Atas permintaan B.F. Matthes, sang ratu mengumpulkan dan menyalin ulang episode-episode La Galigo. Hasilnya adalah 2212 halaman folio salinan naskah yang merupakan 1/3 dari seluruh naskah La Galigo yang oleh Matthes dibawa ke Belanda. Pada tahun 1987 dimulailah sebuah proyek untuk menerjemahkan dan menerbitkan NBG 188 ini.
Naskah NBG 188 yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya tersusun dalam 2851 lembar folio. Ukuran kedua belas jilid itu 21 x 34 sentimeter. Puisi kuno ini ditulis dengan alat tulis tradisional yang disebut dengan Kallang bertinta hitam dalam aksara Lontaraq dan bahasa bugis kuno. Kertas yang digunakan sebagai media tulis adalah kertas yang berasal dari Eropa. Dikarenakan panjangnya naskah yang harus disalin dan waktu yang cukup lama untuk prosesnya seiring pula penggunaan beberapa jenis kertas yang berbeda-beda baik dari segi kualitas dan kuantitas. Warna krem dan berat kertas yang tebal paling banyak digunakan namun pada bagian-bagian akhir penyalinan, kualitas kertas menurun dengan menggunakan kertas yang berwarna lebih tua dan berat kertas yang tipis sehingga membuat tinta kallang membayang bahkan telah tembus ke bagian belakang kertas tersebut. Colliq Pujie memindahkan isi La Galigo dengan rapi dan dengan tulisan yang jelas walaupun nantinya akan ditemukan beberapa kesalahan penulisan dalam beberapa bagian-bagian naskah. Kesalahan tersebut diperbaiki dengan memberikan tanda kurung siku untuk kata, huruf dan fragmen yang harusnya terdapat dalam puisi La Galigo.
Untuk memudahkan penyusunan, B.F. Matthes memberikan nomor halaman dengan pensil. Pada kebanyakan bagian pinggir naskah dan beberapa bagian kosong di atas kalimat terdapat catatan kecil yang di buat oleh Matthes . Catatan ini merupakan arti kata-kata tertentu dari fragmen puisi La Galigo dalam bahasa Belanda, Makassar dan Bugis kuno itu sendiri yang diterangkan oleh Colliq Pujie selama proses pengerjaannya. Ada juga beberapa kata yang hanya dijelaskan oleh Colliq Pujie namun oleh Matthes tidak dituliskan dalam bahasa Belanda karena kata tersebut merupakan simbol dari konsep kebudayaan Bugis. Contohnya kata : Siri’.
Penyimpanan naskah kuno Bugis La Galigo ini membutuhkan teknologi yang tinggi dengan ruang hampa udara yang bisa menjaga keawetan naskah yang telah berusia ratusan tahun. Untuk melihat langsung naskah kuno ini, silahkan mengunjungi Perpustakaan Leiden di Leiden, Belanda. Tentunya dengan membawa surat pengantar dan mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh pihak perpustakaan. Hal ini perlu diterapkan karena naskah ini adalah naskah asli satu-satunya, Colliq Pujie hanya menuliskan satu set saja dan itupun dibawa oleh Matthes. Adapun penyalinannya belum diterbitkan dan disebar luas kecuali dua jilid dari dua belas yang telah diterjemahkan oleh Alm. Muhammad Salim, dkk. Untuk mendapatkan informasi mengenai salinan ini silahkan menghubungi KITLV baik yang berada di Belanda maupun di Jakarta.
Referensi: Wawancara langsung dengan Alm. Muhammad Salim pada tahun 2010. Salim, Muhammad & Fachruddin Ambo Enre. (1995). La Galigo menurut naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa (Jilid I). Jakarta: Djambatan-KITLV. Salim, Muhammad & Fachruddin Ambo Enre. (2000). La Galigo menurut naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa (Jilid II). Makassar: Lephas. Kern, Rudolph. A. (1989). I La Galigo: Cerita Bugis Kuno, diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Catalogus I (Catalogus van de Boegineesche, tot den I La Galigo-cyclus behoorende handschriften der Leidsch Universiteitsbibliotheek, alsmede van die in andere europeesche bibliotheken) & Catalogus II (Catalogus van de Boegineesche, tot den I La Galigo-cyclus behoorende handschriften van Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara te Makassar) oleh La Side dan M. D. Sagimun. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nur Azmah Musa, dara kelahiran Maros yang juga alumni Heritage Camp 2013 oleh Lontara Project ini punya kepeduliaan yang besar terhadap budaya. Meskipun menuntut ilmu di Universitas Komputer Indonesia, Azmah aktif di kegiatan yang berhubungan dengan budaya seperti penelitiannya mengenai naskah La Galigo dan keaktifannya di Indonesian Heritage Trust (BBPI). Saat ini Azmah berdomisili di Jakarta.
Putra terduduk lunglai di matras merah. Keringatnya bercucuran, nafasnya terengah-engah, ia nampak frustasi. Di depannya berdiri seorang pria berkulit kuning langsat, berpakaian hitam-hitam, dengan ikat kepala khas Jawa, terkekeh-kekeh sambil memegangi perut besarnya yang tertutup ikatan kain putih yang berfungsi sebagai sabuk.
“He he he he… Ayo Putra… Apa kamu masih sanggup?”
Putra berdiri dengan susah payah, ia memasang kuda-kudanya.
“Ayo coba lagi Kangmas! Hup!”
Putra menyerang pria yang dipanggilnya ‘Kangmas’, yang adalah guru silatnya. Walaupun bertubuh tambun, bukan namanya seorang guru kalau memang ia tidak lihai. Badanya berkelit menghindari jurus-jurus Putra, tiba-tiba pukulan Putra dijepit oleh kedua lengan sang guru, lalu dia merendahkan kuda-kudanya membuat Putra kehilangan keseimbangan, dan sang guru memutar pinggangnya. Putra terlempar ke samping dan gubrak! Suara badan yang menghantam matras kembali terdengar untuk kesekian kalinya di malam itu.
Eeets, tunggu dulu, mungkin lebih baik kalau gua cerita kenapa gua bisa dalam situasi dan kondisi yang tertulis di atas kali ya.
Nama gua Putra, dan gua mungkin bisa masuk dalam kategori ‘not your average guy’. Gua tergila-gila dengan yang namanya Silat Tradisional, dan gua sudah berlatih silat sedari janin. Enggak kok, gua ga segila itu, tapi gua sudah latihan silat sejak gua berumur 11 tahun. Dan gua hanya belajar Silat tradisional, yang mengutamakan aspek filosofi dan ilmu-ilmu hampir terancam punah yang dipenuhi nilai-nilai luhur.
Mungkin beberapa dari kalian penasaran, apa sih bedanya Pencak Silat ‘biasa’ dan Silat Tradisional?
Well, let me clarify for you. Indonesia ini memiliki sekitar 600 aliran pencak silat berbeda. Silat di pandangan umum sekarang itu dibagi dua: Pencak Silat Olahraga, dan Silat Tradisional. Nah, Silat Tradisional inilah yang gua sangat gemari. Silat tradisional itu lebih ‘underground’. Mereka punya sistem pelatihan sendiri, teknik-teknik yang sangat khas, aspek tradisionalnya masih kental, dan hubungan guru-murid itu masih sangat pribadi, bahkan terkadang sakral. Kayak musik-musik indie aja, bukan major label, dan masing-masing punya warna yang unik yang menunjukkan identitas musikusnya. Maksud gua dari ‘aspek tradisional yang kental’ itu supaya kalian tahu aja kalau memang ada aliran-aliran silat yang ‘berbau mistis’, ‘potong ayam hitam’, ‘mandi air kembang’, dan segala macem ritualnya. Namanya tradisional, pasti ada gono-gononya.
Nah ini adalah cerita gua, cerita bagaimana gua bisa belajar silat dan apa yang gua pelajari dari silat-silat ini. Mungkin ini bisa dibilang jadi ‘jurnal keilmuan’ gua, curhatan gua akan silat, supaya Silat Tradisional itu tidak cuman “kampungan” di mata pemuda sekarang. Karena silat itu bukan hanya sekedar senggol, bacok, tangkis, tendang, pukul, atau jurus lemparan maut.
Tetapi silat itu juga termasuk seni dan cara menghidupi kehidupan kita yang sekali ini.
Perguruan Pertama: Tunggal Rasa
Bab I : Mas Ka
Semua itu berawal dari satu. Sepak terjang gua di dunia persilatan pun berawal dari satu perguruan, guru pertama gua. Dengan julukannya: “Si Jalu.” Nah di sinilah ceritanya dimulai, “Si Jalu” ini akrab dipanggil “Mas Ka”. Karena sosoknya selalu pas sebagai sosok seorang ‘big brother’, dengan keramahannya yang khas dan selera humornya yang pas. Tidak pernah lupa, ilmu silatnya yang mantap.
Mas Ka ini badannya tinggi, berdada bidang, tampak muda, dan selalu fresh. Raut wajahnya susah ditebak, karena ketika diam, beliau akan terlihat dingin. Tetapi begitu disapa, senyuman beliau bisa dari kuping ke kuping. Penampilan kesehariannya tidak akan terlihat seperti jagoan silat sama sekali, tetapi lebih seperti atlit basket. Dengan celana jeans yang agak gombrong, dan kaos tim basket kesukaan. Beliau ini gemar sekali main basket, koleksi action figures dan komik, tidak lupa berlatih silat. Mas Ka ini pendengar yang baik, beliau bisa mengerti kapan harus tegas, dan kapan bisa bercanda. Pokoknya ‘big brother’ banget deh.
Bagaimana caranya sampai gua ini bisa ketemu sama Mas Ka? Nah semua itu berawal di acara 17 Agustusan di kompleks gua. Setelah beberapa lomba yang 17 Agustusan banget, kayak panjat pinang, makan kerupuk, guling-guling di lumpur (lho?), dan lain-lain, tibalah sebuah pertunjukkan silat. Pada saat itu, gua tidak di situ. Gua lupa lagi ngapain, tapi yang jelas lagi melakukan sesuatu yang penting (sehingga gua tidak datang ke acara 17 Agustusan kompleks gua. Meh.).
Tetapi, Ayah gua ada di situ.
Dengan pengalamannya yang sudah setinggi-gunung-sedalam-lautan-seluas-pulau-Kalimantan ini, dia melihat bahwa aliran silat yang dipertontokan itu cocok buat gua.
Dengan keramahan ayah gua bak seorang begawan Jawa sakti ini, ia menghampiri Mas Ka yang sedang berjalan keluar gelanggang. Dan setelah mengenalkan dirinya, beliau memutuskan untuk ngobrol dengan Mas Ka, yang menurut versi beliau seperti ini:
Sang Ayah: “Halo Mas, wah ini aliran silat apa ya?”
Mas Ka: “Halo Mas, oh ini namanya Tunggal Rasa…”
Sang Ayah: “Wah bagus ya… Mas, kira-kira Mas Ka mau ajarin saya?”
Mas Ka: “Wah Mas, gimana kalau kita latihan sama-sama saja, jadi dua-duanya saling berbagi ilmu…”
Gua ga percaya versinya beliau pada saat itu. Gua yang masih bocah singkong bau kencur itu (dan tukang khayal) berpikir seperti ini lebih cocok versinya:
Suasana tiba-tiba hening, dan ayah gua menghampiri Mas Ka
Sang Ayah: “Fu fu fu… Ilmu silat ini lumayan juga.”
Mas Ka: “Siapakah gerangan kisanak?”
Sang Ayah: “Aku adalah adipati Kalamangga. Apa kiranya kisanak mau menunjukkan kehebatan ilmu ini?”
Mas Ka: “Silahkan.”
Tapi sayangnya, tidak begitu kenyataannya.
But anyways, I’ll get to the gist of the story.
Pada zaman itu, ketika gua berumur 11 tahun, waktu senggang masih banyak. Setiap ada waktu kosong, gua akan menggowes sepeda menuju rumah Mas Ka dan latihan sampai ditelepon Ibu disuruh pulang. Sama sekali tidak kepikiran kalau latihan silat itu akan bikin sakti atau gimana, tetapi Mas Ka dengan suksesnya menanamkan benih cinta akan silat dalam hati, jiwa, dan jasmani gua. Gimana caranya sih menanamkan cinta silat ke anak umur 11 tahun? Reward System!
Setiap gua berhasil menuntaskan satu bentuk jurus, Mas Ka akan memberikan gua waktu istirahat yang lebih lama, dan setelah latihan, Mas Ka akan meminjamkan gua sebuah komik untuk dibaca setelah latihan! Gua senang sekali setiap tamat satu jurus, gua bisa minum es teh manis sambil baca komik. Dalam benak gua pada saat 11 tahun, hidup gua lengkap sudah.
Silat Tunggal Rasa ini adalah satu aliran yang sangat menarik, karena langkahnya (note: di banyak aliran silat Betawi, ‘jurus’ biasanya disebut sebagai ‘langkah’, dan langkah – footwork- dalam setiap ‘langkah’ ini pendek-pendek dan tidak berkuda-kuda rendah) sifatnya itu pendek dan praktis. Tunggal Rasa ini unik karena ini merupakan ramuan beberapa ilmu silat Betawi lainnya, sehingga menciptakan suatu bentuk yang sangat khas, praktis, sederhana, namun sangat ampuh.
Semua pengetahuan dasar gua akan silat itu diajarkan Mas Ka. Berlatih dengan beliau itu memang merupakan pengalaman yang gua enggak akan bisa lupa. Sekarang coba, mana ada guru silat yang bakal ngerti kalau kita ngobrolin Doraemon, atau serial anime apa gitu, dan bisa langsung nimpalin obrolan nya? Belajar sama Mas Ka ini memang salah satu pengalaman paling berkesan di hidup gua.
Untuk memberi sedikit gambaran tentang apa saja yang gua pelajar dan apa saja yang Mas Ka latih itu bisa dirangkum dalam beberapa poin:
Kalau ngobrol baik-baik tidak ada gunanya, ladeni baik-baik.
Hukum sebab-akibat itu berlaku di kehidupan dan dalam bersilat
Bentuk-bentuk latihan yang Mas Ka sajikan pun sangat khusus. Setiap orang yang berlatih bersama atau belajar dari Mas Ka akan mendapatkan beberapa bentuk latihan fisik yang mendasar, lalu dia akan diberi kebebasan untuk melanjutkan ke ‘spesialisasi’ tertentu: Pencak silat, Pernapasan (Tenaga Halus), atau Tenaga Dalam (Tenaga Keras).
Sebelum hilang fokus, mungkin teman-teman yang sedang membaca penasaran: “Kenapa sih judul bab 1 nya itu ada Ayam Pop-nya?” Ayam Pop ini juga merupakan bentuk dari “Reward System” yang Mas Ka aplikasikan. Jadi setiap kita menyelesaikan beberapa rangkaian jurus, beliau akan memberi tahu kami sekitar seminggu sebelumnya bahwa kami akan diuji.
Dalam perguruan silat tradisional, setiap guru yang ditanya: “Apa yang akan diuji?” Pasti akan terkekeh-kekeh dan menjawab dengan sederhana: “Ya apa yang sudah kamu pelajari.” Mas Ka pun begitu, tetapi ekspresi beliau akan lebih datar, dan mungkin tersenyum sambil menyipitkan mata licik. Ujiannya seperti apa, akan gua ceritakan lebih lanjut nanti, tetapi setiap kita selesai ujian, Mas Ka akan menyajikan Ayam Pop masakan ibunya yang super istimewa ini. Semua sakit dan lelah setelah ujian akan hilang sekejap ketika ayam pop sudah disajikan dipiring dengan nasi panas dan sambal hijau yang membuat lidah menari kegirangan.
BERSAMBUNG…
Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.
Lasem adalah sebuah kecamatan yang terletak di Pantai Utara Pulau Jawa, lebih tepatnya di Kabupaten Rembang. Kota ini dikenal dengan sebutan “Little Tiongkok”. Hal ini dapat dilihat dari bangunan bangunan tua yang berada di daerah ini. Detail-detail pada bangunan-bangunan tersebut didominasi oleh arsitektur Cina. Selain di kenal dengan nama Little Tiongkok, Lasem ini juga di kenal dengan batiknya.
Batik lasem terkenal karena keunikan motif dan coraknya. Pada batik Lasem ini kamu dapat menyaksikan akulturasi antara kebudayaan Jawa dan Cina. Menurut sejarah, batik pertama kali dikenal di Lasem melalui seorang anak buah kapal Laksamana Cheng Ho yang bernama Bi Nang Un dengan isteri yang bernama Ibu Na Li Ni. Mereka datang ke Lasem pada tahun 1400-an. Keduanya menetap di daerah Jolotundo. Bi Nang Un adalah seorang ahli bertukang, terutama dalam membuat kerajinan dari tembaga dan ukiran. Sedangkan istrinya, ibu Na Li Ni, menularkan seni penulisan di atas kain menjadi seni tulis batik. Dahulunya seni lukis batik ini sudah ada di Jawa, jauh sebelum kedatangan kedua tokoh tersebut, namun karena sifatnya yang tidak komersil maka batik belum terlalu dikenal.
Batik di Lasem mulai kedengaran gaungnya setelah kedatangan saudagar minuman keras dari Tiongkok pada tahun 1600-an, Pengusaha dari Tiongkok ini adalah seorang ahli gambar dan ahli kaligrafi, dialah yang memberikan gambar-gambar motif China ke dalam batik Lasem.
Batik Lasem merupakan batik pesisir. Hal ini dikarenakan secara geografis letaknya berada di pesisir. Pada zaman dahulu. kota yang berada di pesisir Utara Pulau Jawa adalah kota kota pelabuhan yang besar. Di kota kota pelabuhan ini, akulturasi antara masyarakat pribumi dan para pedagang yang berasal dari negara-negara asing dengan mudahnya terjadi. Berhubung pedagang dari Cina yang mendominasi kehidupan komersil di Lasem, maka pengaruh budaya Cina dengan mudah bisa kita temui di batik Lasem ini. Hal ini bisa dilihat dari motif motif yang ada pada batik Lasem tersebut seperti: motif bambu, bunga seruni, bunga teratai, motif kelelawar (bien fu), Naga dan Burung Pheonix (Burung Hon) adalah beberapa dari sekian banyak motif batik yang ada.
Karena motif Tionghoa inilah maka batik Lasem berbeda dengan batik Forstenlanden. Fostenlanden ini adalah batik dengan motif kerajaan. Seperti batik yang berasal dari Solo, Yogyakarta ,Banyumas, dan Wonogiri. Motif batik ini bersifat geometris. Pada zaman Belanda, Lasem merupakan lima besar daerah penghasil batik. Lima besar itu antara lain Solo, Yogya, Pekalongan, Banyumas, dan Lasem. Bahkan pada zaman dahulu, batik dari Lasem ini merambah beberapa daerah di Indonesia, seperti Manado, Sumatera bahkan sampai ke Malaysia, Singapura, Brunei dan Suriname. Kepopuleran batik Lasem di Suriname ini dibawa oleh orang-orang Jawa yang bekerja untuk Belanda.
Selain pencampuran motif dari Cina, di Lasem ini terdapat motif khas lainnya yaitu motif Latoan dan Batu Pecah/Kricak.Latoan merupakan tanaman khas yang banyak terdapat di sekitar pantai yang dapat dimakan sebagai urap. Karena banyak terdapat di Lasem maka motif ini digunakan sebagai motif batik. Selain latoan, terdapat motif batu pecah, motif ini memiliki nilai sejarah. Pada zaman dahulu, pada saat Gubernur Jenderal Daendels membuat jalan dari Anyer sampai dengan Panurukan sepanjang 1000 km, para Bupati diminta menyerahkan para pemuda sebagai pekerja paksa mereka. Mereka berfungsi sebagai tenaga kerja pemecah batu. Pada zaman tersebut penyakit epidemik seperti malaria dan infulensa mewabah menyerang Rembang. Banyak korban berjatuhan di Rembang dan Lasem. Dampak peristiwa tersebut adalah kesedihan mendalam bagi masyarakat Lasem. Kesedihan ini lalu dicitrakan dalam bentuk motif batu pecah. Keindahan motif ini membuat daerah lain menirunya juga.
Warna khas dari batik Lasem ini adalah warna merah darah (getih pitik) ayam, hijau botol bir dan warna biru tua. Selain itu, batik Lasem juga dikenal dengan sebutan “Batik Tiga Negeri.” Sebutan ini didapatkan dari proses pewarnaan batik. Terdapat tiga kali proses pewarnaan dalam pembuatan Batik Lasem ini.
Proses- proses itu diawali oleh pewarnaan merah, lalu dimasukkan klorotan agar lilin nya hilang, dicampur dengan tanah, lalu dimasukkan ke dalam pewarna biru dan yang terakhir adalah warna coklat. Semua proses tersebut dilakukan dalam satu rumah. Secara istilah, Batik Tiga Negeri itu, warna merahnya dari Lasem, biru dari Pekalongan dan Coklat (soga) berasal dari Solo.
Selain motif-motif tradisional di Lasem, sekarang berkambang motif baru pada batik Lasem. Motif ini dikembangkan oleh sesepuh masyarakat Tionghoa yang bernama Sigit Wicaksono yang memiliki nama China Nyo Tjen Hian . Beliau seorang pengusaha Batik yang bermerek Batik Sekar Kencana. Beliau sekarang berumur 84 tahun.
Beliau mengembangkan motif baru yang menggunakan huruf Tionghoa. Proses penciptaan motif ini adalah pada saat malam tahun baru China. Dalam perenungannya, beliau mendapatkan semacam ilham untuk membuat motif yang baru dalam batik. Akhir dari proses perenungan ini lahirlah motif baru. Motif ini berupa kata-kata mutiara dalam aksara Cina, filosofi yang terkandung di dalam motif ini adalah empat penjuru samudera semuanya adalah sama; bakti anak terhadap orang tua murid kepada guru, dan rakyat kepada pemerintah. Agar bisa bergabung dengan filosofi Jawa, beliau menuliskan motif ini ke dalam sebuah batik yang bermotifkan Sekar Jagat. Sekar jagat itu sendiri artinya adalah Bunga Dunia.
Selain itu beliau juga menciptakan motif dengan tulisan Tinghoa Hek Sia Ping An WangSe Ruk I yang artinya “seisi rumah sentosa segala macam usaha seusai dengan apa yang dikehendaki”. Masih ada beberapa motif batik bertuliskan filosofi Tionghoa lain yang beliau ciptakan. Awalnya beliau ragu dengan motif ini. Apakah bisa di terima di masyarakat apa tidak. Namun, pada saat pameran batik di Rembang, sambutan yang sangat meriahlah yang beliau dapatkan. Sekarang batik ini laku keras.
Batik Lasem dapat dikatakan sebagai bukti akulturasi antara masyarakat Cina dan Pribumi. Proses ini sudah berlangsung ratusan tahun dan karena akulturasi nya ini lah maka batik Lasem dikatakan batik yang unik.
Bayu Amde Winata, pria kelahiran Pekanbaru, Riau ini sekarang berdomisili di Yogyakarta. Kegemaran menulisnya tersalurkan dengan menjadi kontributor di Majalah Digital infobackpacker.com dan Lontara Project. Ingin kenal lebih jauh dengan Bayu? Ia dapat dihubungi via email di winatabayu@ymail.com