Categories
101 La Galigo Featured Liputan Old Stuff Good Stuff

Datu Museng, Riwayatmu Kini…

Banyak hal menarik yang bisa dituliskan tentang Kota Makassar, dengan melihat dan mengamati hal yang kecil dan sederhana atau yang mungkin sebagian orang belum mengetahuinya. Kali ini saya akan membahas tentang Datu Museng dulu dan Datu Museng sekarang. Ada yang melekat dan tak bisa terpisahkan dari sosok ini. Nama Datu Museng terkenal melalui kesenian tradisional sinrilik. Sinrilik yang merupakan musik tradisional Sulawesi Selatan ialah sebuah tradisi lisan Makassar yang cukup digemari. Sinrilik adalah genre narasi populer orang Makassar yang biasanya berirama dengan satu tekanan bunyi untuk lima atau enam suku kata, yang di antarai dengan satu tekanan bunyi untuk delapan suku kata. Tema Sinrilik biasanya merujuk pada kejadian-kejadian yang berlangsung dimasa “Kompeni”, nama populer VOC. (Thomas Gibson “Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara”).

 
Merunut pada kisah-kisah yang disajikan dalam sinrilik, Datu Museng dikenal dimasa mudanya dengan nama Baso Mallarangang. Datu Museng adalah pelayan setia Datu Taliwang Sultan Sumbawa yang menjabat pada tahun 1761-1766. Datu Museng ialah seorang pribadi yang taat pada agamanya, pemurah dalam berderma kepada orang miskin, mengasihi orang malang serta berpaling dari larangan dan menghindari keburukan. (Thomas Gibson “Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara”). Sinrilik Datu Museng ketika pertama kali mendapat perhatian orang Eropa pada tahun 1850-an. Ketika itu para misionaris Belanda mencatat dua versi berbeda sinrilik ini. Matthes mengumpulkan sejumlah besar naskah lokal yang tertulis dalam aksara lontara. Ia juga menyewa penulis lokal untuk mencatat beragam sastra lisan, khususnya sajak-sajak pendek, kelong, dan epik-epiknya. Sajak-sajak, kelong dan epik-epik tersebut memberikan gambaran atas tradisi di Sulawesi Selatan.

 
Muncul pertanyaan: mengapa Matthes tertarik untuk mencatat sinrilik Datu Museng? Matthes tiba di Makassar pada tanggal 20 Desember 1848. Ia adalah Sekertaris Lembaga Alkitab Belanda. Pada bulan Oktober 1847 oleh Lembaga Alkitab Belanda ia bersedia diutus ke Sulawesi Selatan untuk mempelajari dan mendalami bahasa-bahasa Sulawesi Selatan dan kemudian menyalin alkitab ke dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. (Hidup dan Kehidupan B.F. MATTHES Di Sulawesi Selatan oleh: Van Ben Bri). Berawal dari ditugaskannya Matthes, Gubernur Van Clootwijk kemudian memerintahkannya untuk melakukan penyusunan kompilasi risalah hukum setempat agar dapat  digunakan oleh para pengawai VOC yang bertugas di daerah-daerah jauh. Saking cintanya ia terhadap Sulawesi Selatan. sampai-sampai Mathes pun balik ke Sulawesi Selatan serta ingin menjabat sebagai Direktur Sekolah Pendidikan Guru di Makassar.

 
Suatu hari di bulan Agustus 2014 saya bertemu dengan teman seperjuangan ketika kuliah di Ilmus Sejarah Unhas, namanya Arianto. Ada banyak hal yang kami diskusikan, salah satunya tentang beberapa tokoh-tokoh di Sulawesi Selatan dan Datu Museng. Dalam diskusi tersebut Arianto mengatakan bahwa “Dalam perdebatan masalah historiografi Indonesia, sebagian besar sejarawan lebih cenderung melihat sebuah peristiwa sejarah dengan konsep “Indonesisentris”. Pandangan ini lebih menenkankan kepada bahwa sejarah Indonesia seakan-akan adalah produk murni, dimana orang-orang Indonesia adalah pencipta sejarahnya sendiri. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah Indonesia tidak lahir dengan sendirinya tetapi banyak pengaruh dari luar yang mendorong munculnya kesadaran nasionalisme. Yang lebih fatal lagi, tulisan-tulisan sejarah yang selalu disodorkan hari ini banyak yang hanya membahas peristiwa-peristiwa besar.  Para sejarawan lebih cenderung mengangkat realitas sejarah bukan hasil dari sebuah  perdebatan akademisi. Tetapi mereka lebih meluangkan waktunya menulis sejarah hanya semata-mata hasil dari sebuah proyek. Pada akhirnya produk-produk sejarah sama-sekali tidak menghasilkan sebuah kesadaran sangat penting, malah yang tercipta hanya karya sejarah yang sifatnya dapat dijadikan sebagai legitimasi untuk mengguatkan para penguasa.”

 
Ada kesedihan tersendiri bagi penulis ketika melihat dan membaca beberapa buku baik itu sejarah kota Makassar dan tokoh atau pejuang Sulawesi Selatan. Contoh misalnya buku Profil Raja dan Pejuang Sulawesi Selatan yang diterbitkan di tahun 2004, tak sedikitpun terdapat nama Datu Museng dalam tulisan tersebut. Terkadang banyak penulis atau sejarawan baru menulis jika terdapat sebuah proyek dari pemerintah sehingga seringkali mengakibatkan terjadinya pembodohan publik. Pada tanggal 14 Agustus 2014 saya bertanya ke salah satu daeng becak yang tengah berkumpul di depan kantor kelurahan tempat dimana Datu Museng dimakamkan. Pak dimana Makam Datu Museng? Tanya saya. Salah seorang tukang becak itu kemudian menjelaskan ada lorong kecil sebelah kanan di situ ada kuburan, itulah kuburan Datu Museng. Dari tempat saya bertanya, tidak jauh berjalan kaki saya langsung mendapatkan makam tersebut.

Makam Datu Museng dari Kejauhan

Dari arah utara jalan Somba Opu di Kota Makassar sekitar 20 meter terdapat Jalan Mochtar Lubis. Tak jauh dari jalan tersebut sekitar 5 meter, terdapat Makam Datu Museng yang terletak di jalan Datu Museng. Ketika kita bepergian ke jalan Datu Museng yang terlintas dalam pikiran adalah pusat kuliner kota Makassar atau Sop Ubi Datu Museng, atau Mie Titi Datu Museng dan lainnya. Padahal Makam Datu Museng sendiri terdapat di lingkungan jalan tersebut. Berdekatan dengan gerbang selamat datang di Pusat Kuliner Kota Makassar tak jauh dari sana, di antara warung asongan dan warung nasi kuning Losari nampak sebuah kamar kecil dengan tembok berwarna oranye yang sudah pudar, dipagari dengan pagar besi berwarna hijau, serta sebuah genteng yang berwarna hijau. Terdapat papan nama kecil pas di depan pintu yang betuliskan “Makam Datu Museng” dengan warna emas berdasar papan berwarna merah. Kondisi makam Datu Museng sangatlah menyedihkan. Ketika saya berkunjung, debu yang menempel di lantai dan dinding makam sangatlah tebal, selain itu sampah berserakan di depan pagar makam Datu Museng. Terdapat beberapa kantong plastik hitam dan sampah-sampah lainnya. Lebih parahnya lagi limbah dari rumah makan yang berdekatan dengan Makan Datu Museng mengalir di beberapa bagian pagar tersebut.

Kayu nisan dan Kondisi Makam Datu Museng dari dalam

Ketika Masuk ke dalam Makam Datu Museng saya melihat sebuah tempat dupa dan terdapat sebuah kotak amal yang berwarna hijau. Di atas Makam Datu Museng juga terdapat kelambu yang berwarna putih dan besinya berwarna hijau dengan empat tiang berdiri tegak di setiap sudut makam Datu Museng. Terdapat pula karpet plastik yang berwarna hijau. Bau khas dedaunan pandan amat menusuk hidung. Melihat kondisinya yang seperti ini, tak bisa penulis membedakan yang mana batu nisan Datu Museng dan kekasihnya, Maipa anak dari kesultanan Sumbawa. Batu Nisan Datu Museng dan Maipa hanya ditandai dengaan kayu berwarna hitam dan tak adapun tanda nama yang tertulis dalam kayu tersebut.

Nisan Datu Museng

Bahwasanya di Jalan Datu Museng tersebut terdapat makam tak terawat Datu Museng, tokoh yang menginspirasi bagi para seniman dan tetua-tetua Suku Makassar lewat alunan sinrilik sungguh amat mengiris hati. Padahal kota Makassar bisa mengangkat kisah percintaan Datu Museng dan Maipa Deapati sebagai identitas kota yang menonjolkan kebudayaan lokal, jika benar-benar jargon “Makassar Kota Dunia” ingin diwujudkan. Kisah cinta keduanya yang abadi bisa mendatangkan wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mengunjungi ke Kota Makassar. Seharusnya pemerintah Kota Makassar (dan tentunya juga masyarakat sekitar) lebih mnemperhatikan situs peninggalan sejarah termasuk makam-makam yang lainnya. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi yang harus peduli terhadap kota ini?

 

Anna Asriani de Sausa, atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini   merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung dengan para Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan Old Stuff Good Stuff

Ssst… Hanya Ada Boontjes di Belanda!

Rekan kita Louie Buana yang sedang belajar di negeri Belanda punya cerita seru tentang sejenis kacang-kacangan yang merubah dunia. Penasaran? Yuk simak kisahnya!

Selama beberapa bulan pertama di Leiden, saya dan teman-teman penerima beasiswa Encompass dari Leiden University diwajibkan untuk mengikuti kelas Bahasa Belanda. Setiap hari (kecuali hari rabu dan weekend) kami berkuliah di gedung Lipsius Faculty of Humanities yang letaknya tepat berada di sebelah KITLV dan di seberang Leiden University Library yang menyimpan NBG 188. Saya pribadi merasa senang sekali rasanya bisa berada sedekat ini dengan naskah La Galigo terpanjang di dunia! Pun kami tak kalah senang karena diajar oleh Renate Overbeek, seorang docent yang pintar dan amat baik hati.

Belajar Bahasa Belanda ternyata susah-susah gampang. Susah karena background Bahasa Inggris yang kami miliki acap kali menjadi tantangan tersendiri. Kami terus-terusan menggunakan mindset Bahasa Inggris ketika belajar Bahasa Belanda, padahal bahasa yang disebut kedua ini punya aturan struktur kalimat dan gramatika yang berbeda dengan yang disebut pertama. Teman-teman kami yang berasal dari Anak Benua India bahkan lebih kewalahan lagi. Alam bawah sadar mereka yang terbiasa mengenal huruf ‘e’ dengan bunyi ‘i’ membuat mereka berulang kali melafalkan ‘nee‘ (Bahasa Belanda untuk kata ‘tidak’) sebagai ‘ni’.

Nah, Bahasa Belanda tergolong gampang karena banyaknya kemiripan kosakata yang diserap atau dibaginya dengan Bahasa Indonesia. Hubungan selama 350 tahun yang tak selamanya membahagiakan di antara kedua bangsa ini menciptakan jaringan bahasa yang cukup luas. Hal tersebut muncul sebagai jawaban untuk saling melengkapi kebutuhan zaman akan nama-nama benda atau sifat yang tak dimiliki oleh masing-masing. Ambil contoh kata keramiek dan tegels. Lalu ada cursus, hallo, kantine, koffie, bezoek, foto, korting, donker, oom, tante, opa, oma, trakteer, idee dan glas yang diadopsi sedemikian rupa ke dalam bahasa kita. Orang-orang Belanda sendiri juga mengambil banyak kosakata dari Bahasa Indonesia. Kebanyakan di antaranya berhubungan dengan makanan yang tidak mereka miliki. Ambil contoh, ada kata: kroepoek, sambal, nasi, pisang, bami, tempeh dan sate.

Di antara sekian banyak kata-kata tersebut, ada satu yang menarik perhatian saya. Kata tersebut ialah: boontjes alias buncis. Apakah buncis berasal dari Bahasa Belanda boontjes, atau justri boontjes-lah yang berasal dari Bahasa Indonesia? Hmmm… Kali ini, sepertinya buncis memang berasal dari boontjes.  Lho, kok bisa?

Lambang hieroglif dari peradaban bangsa Maya kuno yang berarti “Kacang Lima” (Lima Bean, Phaseolus lunatus). Sumber: The Term Lima Bean Vessel

Kacang buncis (Phaseolus vulgaris) aslinya berasal dari daerah sekitar Pegunungan Andes di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Bersama jagung, buncis adalah tumbuhan yang tidak dikenal oleh umat manusia sebelum era eksplorasi Columbus ke Dunia Baru. Bangsa Eropa yang mengolonialisasi Benua Amerika lalu menyebarkan tanaman buncis ini ke berbagai penjuru bumi. Zaman dahulu kala, selain dijadikan sebagai bahan makanan, buncis juga digunakan sebagai media untuk meramal lho! Ilmu ramal dengan menggunakan buncis ini disebut dengan nama favomancy. Tidak hanya itu, kacang buncis juga ternyata bertanggungjawab atas meningkatnya populasi umat manusia serta pemicu terjadinya Revolusi Industri!

Some researchers have suggested that the introduction of beans has driven dramatic population growths in many parts of the world. In fact, beans may have driven the industrial revolution as much as the increasing use of fossil fuels. As a cheap and abundant food resource, beans provided the impoverished workers with enough nutrients and energy to get through the long, grueling work days.

Canned beans appeared on the scene in the late 19th century, and provide a cheap and easy food. The original canned beans were the Boston Baked Beans, but now many different recipes have been adapted for canning purposes. A sub-culture devoted to the preparation of beans and unique bean recipes has arisen, and beans are an important part of pop culture as well.

(Source: American Indian Health and Diet Project)

Gambar kacang buncis di buku Les plantes potagères, katalog Vilmorin-Andrieux et Cie, 1891

Hari ini, Indonesia merupakan negara produsen buncis kedua terbesar di dunia setelah Cina. Meskipun demikian, bahwa sejatinya buncis lebih duluan dikenal oleh Belanda dan diperkenalkan bangsa Eropa ke tanah air adalah kenyataan yang tak terelakkan. Di Belanda sendiri saat ini tidak ada buncis, sebab mereka hanya ada boontjes!

Categories
101 La Galigo Featured I UPS! La Galigo Liputan

Masih Ada Harapan Untuk Pusaka di Indonesia

Pada bulan April, Lontara Project bekerja sama dengan berbagai institusi di tiga kota di Indonesia (Jakarta, Jogjakarta dan Makassar) merayakan World Heritage Day untuk kedua kalinya. Tahun lalu, bekerja sama dengan BPPI dan alumni Heritage Camp 2013, Lontara Project merayakan World Heritage Day di lima kota di Indonesia secara serentak. Meskipun ruang lingkupnya tak seluas tahun lalu, Lontara Project berhasil mengajak berbagai macam kalangan (utamanya generasi muda) untuk angkat bicara dan terjun langsung ke upaya-upaya pelestarian budaya melalui konservasi kreatif yang selama ini digadang-gadangkan oleh komunitas kami. Berikut liputannya.

Kembali ke Tempo Doloe di Makassar

Perayaan World Heritage Day di Makassar berlangsung meriah di halaman Museum Kota Makassar pada hari Jumat tanggal 18 April 2014. Berbagai macam jajanan tradisional hingga pernak-pernik yang seakan-akan sudah lama hilang ditelan zaman mendadak muncul kembali sore itu. Agen Lontara Project di Makassar yaitu Ran, Wulan dan Anna merangkul Museum Kota Makassar untuk bersama-sama membangkitkan kembali nostalgia masa lalu sebagai tema World Heritage Day tahun ini. Berseliweran orang-orang yang mengenakan kebaya dan berjarik batik, menaiki sepeda ontel hingga topi kompeni larut dalam alunan suasana masa lalu. Acara yang berlangsung meriah ini juga sekaligus merupakan salah satu usaha untuk menarik perhatian pemuda di kota Makassar agar mencintai sejarah serta tak segan berkunjung ke museum.

Lestarikan Tari Bali bersama BEM FIB UI

Lain di Makassar, lain pula di Jakarta. Agen Fitria bersama dengan Azmah dan rekan-rekan BEM FIB UI menyelenggarakan sebuah acara bertajuk penyelamatan Tari Ayu Bulan. Acara yang mengundang Komunitas Tari Ayu Bulan sebagai narasumber ini mengangkat tema Kenali Intangible Heritage Lebih Jauh dengan mendukung kampanye 9 Tari Tradisi Bali untuk diinskripsi UNESCO dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia 2015 yang dilakukan oleh Komunitas Tari Ayu Bulan. Acara diselenggarakan pada tanggal 23 April 2014 di Auditorium Gedung 9 FIB UI. Selain diskusi, ada pula pameran, bazar dan pertunjukan Tari Legong sebagai puncaknya. Sepanjang berlangsungnya acara, hadirin diharapkan untuk mengenakan pakaian atau aksesoris tradisional dari daerahnya masing-masing.

Obrolan Pusaka Jilid #2

Apabila tahun lalu di Makassar Agen Louie (Ahlul) merayakan World Heritage Day dengan mengadakan OBRAK (Obrolan Pusaka), maka tahun ini acara tersebut tetap berlangsung namun di lokasi yang berbeda. Bersama dengan Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa MAHKAMAH dan La Galigo Music Project, perayaan World Heritage Day berlangsung di Gedung 4 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada hari Senin, 28 April 2014 pukul 19.00. Acara yang terdiri atas pemaparan atas misi kebudayaan tim La Galigo Music Project ke Belanda tahun lalu serta pemutaran film bertema kearifan lokal “Jampi Gugat” itu diramaikan oleh berbagai peserta dari beragam universitas. Puncak kegiatan OBRAK ialah ketika peserta diskusi diberikan kesempatan untuk menunjukkan benda yang mereka anggap sebagai pusaka serta berbagi kisah tentangnya. Ada yang datang sambil membawa keris kecil berbentuk Semar, sebuah atlas dari zaman Belanda, buku terjemahan Serat Centhini, hiasan rumah kakeknya, uang Indonesia lawas, hingga kisah mengenai nama belakang keluarganya.

Presentasi La Galigo Goes to The Netherlands dan OBRAK #2 oleh kawan-kawan La Galigo Music Project di Jogja

Berkaca dari kemeriahan World Heritage Day yang dirayakan oleh Lontara Project secara kecil-kecilan, kami menangkap tingginya antusiasme generasi muda untuk mengumpulkan informasi maupun peduli terhadap sejarah bangsanya. Di tengah gempuran arus globalisasi dan invasi budaya populer Barat, seharusnya kita tak perlu ciut dan takut atas identitas kita sendiri. Kami positive thinking bahwa pelestarian pusaka di Indonesia yang kini berada di tangan generasi mudanya dapat terus berlangsung. Mungkin bentuknya tidak akan sama persis sebagaimana yang dulu pernah dipraktekkan oleh leluhur-leluhur bangsa kita, namun ini merupakan sebuah konsekuensi atas dinamika zaman yang akan selalu menuntut perubahan. Dari hati yang terdalam, Lontara Project akan terus berupaya mengawal harapan pelestarian pusaka tanah air oleh generasi muda.