Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Indonesia di Perpustakaan Universiteit Leiden

Leiden adalah kota yang unik. Tidak saja karena ia termasuk salah satu kota pelopor kemerdekaan Belanda dari tangan Kerajaan Spanyol pada tahun 1574, namun juga karena Leiden adalah tuan rumah dari Universiteit Leiden, universitas pertama di negeri kincir angin. Leiden sebagaimana halnya Jogja di Indonesia, merupakan kota pelajar. Jika luasnya dibandingkan dengan Amsterdam maupun The Hague jelas kota ini jauh lebih kecil. Leiden bukanlah tujuan utama turisme maupun kegiatan bisnis internasional, akan tetapi yang bisa membuat Leiden berbangga hati ialah fakta bahwa di dalam rahimnya bersarang material-material langka terkait kenangan maupun kekinian dari era Hindia Belanda hingga Indonesia pasca merdeka.

Tim La Galigo Music Project didampingi Sirtjo Koolhof saat mengunjungi Perpustakaan Universiteit Leiden untuk melihat langsung koleksi naskah La Galigo pada bulan Desember 2013 lalu

Universiteitbibliotheek Leiden alias Perpustakaan Universiteit Leiden berlokasi di sekitar kanal Rapenburg, jantung kota Leiden. Perpustakaan ini tepat berseberangan dengan Leidse Fakulteit der Geesteswetenschappen alias Fakultas Humaniora dan juga gedung KITLV. Dipisahkan oleh sebuah kanal yang dialiri oleh Sungai Rijn, Perpustakaan Leiden berhadapan dengan tembok belakang KITLV yang dilukisi sebuah elong berbahasa Bugis dalam aksara Lontaraq. Perpustakaan Leiden telah lama didaulat sebagai perpustakaan dengan bahan-bahan tentang Indonesia terlengkap di dunia. Di tempat ini kita bahkan dapat menemukan buku-buku, majalah-majalah, koran-koran, dan naskah-naskah yang di Indonesia sendiri sudah tidak ada. Koleksi di perpustakaan ini terbagi menjadi dua, yaitu koleksi yang dapat diakses oleh publik dan bijzondere collecties atau koleksi khusus. Koleksi khusus terdiri atas manuskrip-manuskrip maupun dokumen-dokumen tua yang dijaga dengan ketat. Untuk dapat mengakses koleksi-koleksi ini, kita hanya boleh melihatnya di sebuah ruangan khusus yang disediakan oleh pihak perpustakaan karena tidak boleh membawa bendanya keluar dari gedung. Koleksi khusus Perpustakaan Leiden apabila ditotal bisa mencapai luas dua kali lapangan sepakbola lho, Sobat Lontara! Koleksi khusus ini terdiri atas beragam dokumen seperti catatan pribadi, foto-foto, arsip pemerintah, peta dan atlas, kitab-kitab kuno, surat-surat, dan lain sebagainya. Salah satu koleksi kebanggaan Perpustakaan Leiden yang saat ini sedang hangat diperbincangkan ialah fragmen Alquran tertua di dunia yang berasal dari tahun 650-715 Masehi.

Suasana di depan gedung Universiteit Bibliotheek Leiden

Beberapa koleksi Perpustakaan Leiden lainnya yang menakjubkan dan berhubungan dengan Indonesia tentu saja ialah naskah La Galigo terpanjang di dunia, NBG 188, yang telah diakui oleh UNESCO pada tahun 2011 sebagai Memory of The World. Naskah tersebut menjadi kebanggaan perpustakaan ini. Naskah Babad Diponegoro yang asli dan, seperti halnya La Galigo, juga dianugerahi status sebagai Memory of The World pun juga bagian dari koleksi khusus. Naskah Negarakertagama yang berisi kisah kejayaan Kerajaan Majapahit awalnya disimpan di Perpustakaan Universiteit Leiden, namun pada tahun 1973 dalam rangka lawatannya ke tanah air, Ratu Juliana mengembalikan naskah tersebut kepada bangsa Indonesia. Nah, Perpustakaan Universiteit Leiden menjadi semakin kaya oleh koleksi tentang Indonesia sejak lembaga riset KITLV ditutup dan memberikan dokumen-dokumen  mereka (yang apabila dibentangkan panjangnya bisa mencapai 10 kilometer!) untuk dikelola oleh pihak Universiteit Leiden. Dengan demikian, Perpustakaan Universiteit Leiden boleh dibilang sebagai gudang harta bagi mereka yang memilih untuk belajar Indonesian Studies di negara-negara Barat.

Demi merayakan luarbiasanya koleksi tentang Indonesia, Perpustakaan Universiteit Leiden menggelar sebuah eksebisi berjudul “Investigating Indonesia” mulai tanggal 16 Oktober 2014 hingga 22 Januari 2015 (detail programnya bisa dilihat di sini). Di hall pintu masuk utama perpustakaan, sebuah ruangan khusus disediakan untuk memamerkan 7 buah hasil riset dari ahli-ahli Indonesia di Universiteit Leiden dan KITLV. Hasil-hasil riset ini amat menarik karena ditilik dari berbagai sudut pandang. Ada riset yang berhubungan dengan sosok perempuan muslim di Indonesia sejak zaman ratu-ratu Aceh hingga generasi majalah-majalah wanita. Ada yang membahas tentang tingkat keanekaragaman bahasa di Timor. Ada yang membahas perkembangan musik, utamanya dangdut. Bahkan ada yang membahas perihal implikasi sosial-legal proyek biofuel di daerah. Teman-teman yang penasaran dengan koleksi mereka dapat langsung ngecek ke website Universiteitbibliotheek Leiden atau ke KITLV. Di sana, ada banyak naskah yang sudah didigitalisasi serta koleksi foto-foto dari era kolonial yang dengan mudah dapat kita akses setelah mengikuti prosedur mereka.

Nah, teman-teman di Indonesia, daripada sibuk meratapi dan menyayangkan keberadaan naskah-naskah kuno di luar negeri (yang jelas-jelas dirawat dengan baik dengan biaya dan fasilitas yang memadai), mengapa kita tidak meneruskan tradisi baca tulis leluhur kita dulu? Mengapa kita tidak melestarikan serta menjaga tradisi-tradisi lisan maupun tulisan yang sekarang di kandangnya sendiri pun dilanda kepunahan? Apa yang kita tulis atau hasilkan hari ini juga di masa yang akan datang kelak menjadi harta karun bagi generasi-generasi berikutnya, bukan? Melihat antusiasme peneliti-peneliti di Leiden (baik yang berasal dari Indonesia maupun asing), kita bersyukur sekali karena naskah-naskah tersebut tidak sekedar disimpan, namun juga terus-menerus dikaji sehingga menghasilkan temuan-temuan baru yang memperkaya perspektif kebudayaan kita. Terus hasilkan karya demi bangsa dan tanah air kita tercinta!

Categories
101 La Galigo Featured Liputan Old Stuff Good Stuff

Para Penggerak Zaman Kota Makassar

Kita sudah sering mendengar nama-nama tokoh-tokoh Sulawesi Selatan khususnya mereka yang tumbuh besar di kota Makassar. Nama-nama seperti Andi Pangeran Pettarani, Andi Mattalatta, Jendral Yusuf dan sebagainya. Setidak-tidaknya, pemuda Kota Daeng pasti pernah melihat patung-patung pahlawan yang terletak di Jalan Penghibur (di dekat Pantai Losari). Di sana ada tokoh-tokoh seperti Syekh Yusuf, Sultan Hasanuddin dan sebagainya. Kali ini saya akan menulis tentang beberapa tokohh yang mempunyai peran penting baik itu dalam pendirian universitas, pemerintahan, politik maupun beberapa sekolah di kota Makassar.

 
Dari tahun 1930 hingga tahun 1950 kota Makassar adalah sebuah kota penuh gairah yang dihuni oleh berbagai macam etnis seperti Bugis, Ambon, Minahasa, Minangkabau, Jawa, Tionghoa dan sebagainya. Berdasarkan data yang diperoleh dari sensus penduduk (pertama kali diadakan tahun 1930) kota Makassar memiliki jumlah penduduk sebanyak 83.144 (Burhaman Djunedding, Pesta Demokrasi di Daerah Bergolak: Politik Tingkat Lokal Dan Pemilihan Umum 1955Di Sulawesi Selatan. Yogjakarta, Tesis Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Sejarah Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada, 2010, hlm. 63.) Dengan jumlah warga sebanyak itu, Makassar pastinya sangat membutuhkan banyak wadah untuk pendidikan, administrasi, dan lain sebagainya

Penduduk kota ini berasal dari berbagai daerah yang ada di Indonesia yang mempunyai semangat, keinginan untuk perkembangan kota Makassar.  Beberapa dari mereka ada yang diutus dari pemerintah pusat pada tahun 1950an sebagai pekerja, namun cinta terhadap kota Makassar lah yang membuat mereka kemudian menetap di kota ini. Mereka-mereka itulah yang mendirikan sekolah-sekolah dan universitas di Kota Makassar. Maka dari itu saya menulis tentang tokoh-tokoh tersebut. Mari simak satu per satu!

 
H. Sewang Daeng Muntu
H. Sewang Daeng Muntu dilahirkan di Makassar pada tahun 1903. Kemudian pada tahun 1905 Belanda mengasingkan beliau bersama dengan orang tuanya ke Sumatra Utara. Masa kecilnya pun dihabiskan di daerah tersebut, termasuk pendidikannya. Dalam masa pendidikan itu pula beliau belajar agama Islam, tepatnya di Sekolah Melayu. Pada tahun 1926 setelah menamatkan sekolahnya, beliau kembali ke Sulawesi dan mulai berkecimpung dalam perkumpulan Muhammadiyah. Pada tahun 1038 beliau akhirnya berhasil menjadi konsultan P.B Muhammadiyah untuk Sulawesi. pada masa pendudukan Jepang, H. Sewang Daeng Muntu pernah menjadi salah satu anggota Sukai Gi In dan Minseibu Sanjo (Badan Penasehat Minseibu). Pada masa pemerintahan N.I.T, beliau juga terpilih dan berhasil menjadi anggota parlemen dalam Fraksi Progresif yang diketuai oleh A. Mononutu. Selanjutnya, ketika Partai Politik Islam Masjumi di Sulawesi terbentuk, beliau pun tampil sebagai pemuka yang aktif di Pimpinan Wilayah dan salah satu yang memperjuangan perguruan Islam atau Universitas Muslim Indonesia Makassar, awal berdirinya pada tahun 1953 hingga diresmikannya 1954. Dalam Sumber ( Kumpulan Klipping Koran, Tokoh-Tokoh Masjumi dalam Pemilihan Umum. Jakarta. Dewan Dakwah Islam Indonesia. hal. 7)

 

 

Nazaruddin Rahmat


Naziruddin Rahmat berasal dari Sumatra Barat. Kepindahannya ke Sulawesi merupakan bagian dari penugasan Departemen Agama. Beliau merupakan kepala Jabatan Penerangan agama Provinsi Sulawesi. Perhatiannya terhadap pendidikan Islam di Sulawesi, khususnya Makassar membuatnya berfikir untuk mendirikan sebuah Universitas berbasis Islam yaitu Universitas Muslim Indonesia. Beliau pula yang memperjuangkan berdirinya Universitas Muslim Indonesia. Naziruddin Rahmat menghadap ke Gubernur Sulawesi dan walikota Kota Makassar, hingga para bupati-bupati Gowa dan Bone pada tahun 1953 untuk menyampaikan tujuannya. (dalam sumber wawancara dengan Umar Syihab pada tanggal 14-Juni-2012.)

 
Sutan Muhammad Yusuf Samah

Sutan Muhammad Yusuf Samah berasal dari Sumatra Barat. Kedatangannya ke Sulawesi bersamaan dengan Naziruddin Rahmat dan menjabat sebagai pegawai Jabatan Penerangan agama Provinsi Sulawesi di bawah pimpinan Naziruddin Rahmat. Selama perjalanan karirnya di Sulawesi, beliau aktif dalam PSII dan membuatnya terpilih menjadi ketua DPR Kota Makassar pada tahun 1952. Dalam sumber (Sidang DPR Kota Besar Golongan Minoriteit Bentuk fraksi Kerakjatan”, Pedoman Rakyat, Rabu 14 Januari 1954, hal. 1.) Tahun 1954 tercatat bahwa beliau mulai aktif dalam Yayasan Universitas Muslim Indonesia dan merupakan salah satu tokoh yang menandatangani akte Yayasan Universitas Muslim Indonesia. Beliau juga merupakan pengurus Wakaf Yayasan Universitas Muslim Indonesia.

 
Muhammad Noor

Muhammad Noor lahir di Bulukumba pada tanggal 14 April 1905. Beliau menamatkan pendidikannya di Sekolah Rakyat selama 6 tahun kemudian melanjutkannya di pesantren selama 3 tahun. Tahun 1919-1927 beliau bekerja di kantor Adatgemeenschap Gantarang. Kemudian tahun 1927-1930 bekerja di kantor Landrente Makassar sebagai Opnemer. Selain itu, beliau juga pernah menjadi guru pada standaardschool. Beliau adalah seorang mubaligh Islam dan aktivis organisasi Muhammadiyah di Sulawesi. Di masa pendudukan Jepang, organisasi ini dibekukan (1942-1944). Beliau beralih ke Kantor Dagang Mitsui Bussan Kaisha Tjabang Bulukumba dan dipercaya sebagai Kepala. Tahun 1946 pada bulan Februari, Muhammad Noor ditangkap dan dipenjarakan oleh NICA (Netherlands Indische Civil Administration) di Selayar, kemudian dipindahkan ke Makassar. Tahun 1948 beliau dibebaskan dan ikut dalam Pimpinan Partai Kedaulatan Rakyat (PKR) di Makassar. Setelah itu beliau mendirikan Partai Masyumi cabang Makassar pada tanggal 10 oktober 1949 dan menjabat sebagai ketua Umum Wilayah Masyumi Sulawesi. Tahun 1951 beliau bekerja di kantor Penerangan Agama Provinsi Sulawesi. Tahun 1952 terpilih menjadi anggota DPD dan tahun 1955 menjadi ketua DPR Kota Besar Makassar. Dalam Sumber (Kumpulan Klipping Koran, Tokoh-Tokoh Masjumi dalam Pemilihan Umum. Jakarta. Dewan Dakwah Islam Indonesia, hal. 38.)

Muhammad Noor juga merupakan pejuang pendirian Universitas Muslim Indonesia Kota Makassar.

 

Andi Patiwiri

Andi Patiwiri berasal dari Sidenreng Rappang, lahir pada tahun 1915. Ayahnya bernama A. La Inding, ibunya bernama Hj. A. Mattingara. Andi Patiwiri seorang saudagar di Kota Makassar. Aktif dalam organisasi NU bersama-sama dengan K.H Muhammad Ramly. Beliau juga merupakan seorang ulama Islam di Kota Makassar. Andi Patiwiri salah satu dari lima orang yang menghadap ke notaris Pendirian Universitas Muslim Indonesia dan mewakafkan beberapa bahan bangunan pada kampus satu UMI yang hari ini letaknya berhadapan dengan TVRI, di Jalan Kakatua. (sumber: wawancara bersama cucu Andi Patiwiri yakni Andi Kumala Djabir SE)

 

La ode Manarfa
La Ode Manarfa lahir di Kulisusu pada tanggal 22 Maret 1916. Beliau anak dari Sri Sultan Buton ke-38, yakni La Ode Muh. Falihi Qaimuddin, dan Ibunya Wa Ode Aziza. Jenjang pendidikan beliau berawal dari bersekolah di HIS Bau-bau Pada tahun 1924. Ayah La Ode Manarfa mengirim beliau ke HIS Kota Makassar dan di Makassarlah beliau tamatkan studinya. Sesudah itu beliau melanjutkan pendidikannya ke Sekolah MULO di Kota Makassar tahun 1936-1938. Lalu sekolah di Batavia Centrum tahun tahun 1938-1940. Setamatnya dari Batavia Centrum, beliau bersekolah di Den Haag Belanda pada tahun 1948. Terakhir, tahun 1953 beliau bersekolah di Vereeniging Fakultaten Universitas Leiden. Beliau pernah menjadi pegawai diperbantukan pada kementrian dalam negeri di Jakarta tahun 1955. Di Tahun 1957-1959 menjabat sebagai Bupati Sulawesi Tenggara di Bau-Bau dan anggota Konstituante Bandung, dan tahun 1960: Pendidikan Militer Angkatan Darat kodam Hasanuddin Makassar. Pada tahun 1962 menjabat Seskoad Angkatan III Bandung, lalu tahun 1959-1964 kantor Gubernur Sulawesi di Makassar, dan 1964-1967 kantor Gubernur Sulawesi Tenggara di Kendari. Pernah menjadi Ketua DPRD Kendari di tahun 1967-1971.  Sebelum wafat, di tahun 1988-2002 beliau memegang jabatan selaku Rector Universitas Dayanu di Bau-Bau. (sumber: La Ode Muhammad Sjamsul Qamar, “Drs. H. L a Ode Manarfa yang satya kenal”. Manuskrip, Juni 1992)

Masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berperan penting di Kota Makassar, tetapi semuanya butuh penelitian yang lebih dalam lagi. Yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini bahwa pada tahun 1950-an untuk mendirikan suatu universitas itu atau sekolah di kota Makassar, persaudaraan antaretnis berperan sangat erat. Meskipun berbeda partai dan organisasi mereka bisa menyatukan ide dan gagasan bersama. Sayangnya, hari ini perbedaan justru menjadi masalah di kota kita. Padahal sangat jelas bahwa di Makassar lah beragam etnis itu dulunya bisa bersatu untuk mendirikan universitas serta sekolah-sekolah.

 

Anna Asriani de Sausa, atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini   merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung dengan para Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.

 

Categories
101 La Galigo Featured Liputan Old Stuff Good Stuff

Datu Museng, Riwayatmu Kini…

Banyak hal menarik yang bisa dituliskan tentang Kota Makassar, dengan melihat dan mengamati hal yang kecil dan sederhana atau yang mungkin sebagian orang belum mengetahuinya. Kali ini saya akan membahas tentang Datu Museng dulu dan Datu Museng sekarang. Ada yang melekat dan tak bisa terpisahkan dari sosok ini. Nama Datu Museng terkenal melalui kesenian tradisional sinrilik. Sinrilik yang merupakan musik tradisional Sulawesi Selatan ialah sebuah tradisi lisan Makassar yang cukup digemari. Sinrilik adalah genre narasi populer orang Makassar yang biasanya berirama dengan satu tekanan bunyi untuk lima atau enam suku kata, yang di antarai dengan satu tekanan bunyi untuk delapan suku kata. Tema Sinrilik biasanya merujuk pada kejadian-kejadian yang berlangsung dimasa “Kompeni”, nama populer VOC. (Thomas Gibson “Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara”).

 
Merunut pada kisah-kisah yang disajikan dalam sinrilik, Datu Museng dikenal dimasa mudanya dengan nama Baso Mallarangang. Datu Museng adalah pelayan setia Datu Taliwang Sultan Sumbawa yang menjabat pada tahun 1761-1766. Datu Museng ialah seorang pribadi yang taat pada agamanya, pemurah dalam berderma kepada orang miskin, mengasihi orang malang serta berpaling dari larangan dan menghindari keburukan. (Thomas Gibson “Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara”). Sinrilik Datu Museng ketika pertama kali mendapat perhatian orang Eropa pada tahun 1850-an. Ketika itu para misionaris Belanda mencatat dua versi berbeda sinrilik ini. Matthes mengumpulkan sejumlah besar naskah lokal yang tertulis dalam aksara lontara. Ia juga menyewa penulis lokal untuk mencatat beragam sastra lisan, khususnya sajak-sajak pendek, kelong, dan epik-epiknya. Sajak-sajak, kelong dan epik-epik tersebut memberikan gambaran atas tradisi di Sulawesi Selatan.

 
Muncul pertanyaan: mengapa Matthes tertarik untuk mencatat sinrilik Datu Museng? Matthes tiba di Makassar pada tanggal 20 Desember 1848. Ia adalah Sekertaris Lembaga Alkitab Belanda. Pada bulan Oktober 1847 oleh Lembaga Alkitab Belanda ia bersedia diutus ke Sulawesi Selatan untuk mempelajari dan mendalami bahasa-bahasa Sulawesi Selatan dan kemudian menyalin alkitab ke dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. (Hidup dan Kehidupan B.F. MATTHES Di Sulawesi Selatan oleh: Van Ben Bri). Berawal dari ditugaskannya Matthes, Gubernur Van Clootwijk kemudian memerintahkannya untuk melakukan penyusunan kompilasi risalah hukum setempat agar dapat  digunakan oleh para pengawai VOC yang bertugas di daerah-daerah jauh. Saking cintanya ia terhadap Sulawesi Selatan. sampai-sampai Mathes pun balik ke Sulawesi Selatan serta ingin menjabat sebagai Direktur Sekolah Pendidikan Guru di Makassar.

 
Suatu hari di bulan Agustus 2014 saya bertemu dengan teman seperjuangan ketika kuliah di Ilmus Sejarah Unhas, namanya Arianto. Ada banyak hal yang kami diskusikan, salah satunya tentang beberapa tokoh-tokoh di Sulawesi Selatan dan Datu Museng. Dalam diskusi tersebut Arianto mengatakan bahwa “Dalam perdebatan masalah historiografi Indonesia, sebagian besar sejarawan lebih cenderung melihat sebuah peristiwa sejarah dengan konsep “Indonesisentris”. Pandangan ini lebih menenkankan kepada bahwa sejarah Indonesia seakan-akan adalah produk murni, dimana orang-orang Indonesia adalah pencipta sejarahnya sendiri. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah Indonesia tidak lahir dengan sendirinya tetapi banyak pengaruh dari luar yang mendorong munculnya kesadaran nasionalisme. Yang lebih fatal lagi, tulisan-tulisan sejarah yang selalu disodorkan hari ini banyak yang hanya membahas peristiwa-peristiwa besar.  Para sejarawan lebih cenderung mengangkat realitas sejarah bukan hasil dari sebuah  perdebatan akademisi. Tetapi mereka lebih meluangkan waktunya menulis sejarah hanya semata-mata hasil dari sebuah proyek. Pada akhirnya produk-produk sejarah sama-sekali tidak menghasilkan sebuah kesadaran sangat penting, malah yang tercipta hanya karya sejarah yang sifatnya dapat dijadikan sebagai legitimasi untuk mengguatkan para penguasa.”

 
Ada kesedihan tersendiri bagi penulis ketika melihat dan membaca beberapa buku baik itu sejarah kota Makassar dan tokoh atau pejuang Sulawesi Selatan. Contoh misalnya buku Profil Raja dan Pejuang Sulawesi Selatan yang diterbitkan di tahun 2004, tak sedikitpun terdapat nama Datu Museng dalam tulisan tersebut. Terkadang banyak penulis atau sejarawan baru menulis jika terdapat sebuah proyek dari pemerintah sehingga seringkali mengakibatkan terjadinya pembodohan publik. Pada tanggal 14 Agustus 2014 saya bertanya ke salah satu daeng becak yang tengah berkumpul di depan kantor kelurahan tempat dimana Datu Museng dimakamkan. Pak dimana Makam Datu Museng? Tanya saya. Salah seorang tukang becak itu kemudian menjelaskan ada lorong kecil sebelah kanan di situ ada kuburan, itulah kuburan Datu Museng. Dari tempat saya bertanya, tidak jauh berjalan kaki saya langsung mendapatkan makam tersebut.

Makam Datu Museng dari Kejauhan

Dari arah utara jalan Somba Opu di Kota Makassar sekitar 20 meter terdapat Jalan Mochtar Lubis. Tak jauh dari jalan tersebut sekitar 5 meter, terdapat Makam Datu Museng yang terletak di jalan Datu Museng. Ketika kita bepergian ke jalan Datu Museng yang terlintas dalam pikiran adalah pusat kuliner kota Makassar atau Sop Ubi Datu Museng, atau Mie Titi Datu Museng dan lainnya. Padahal Makam Datu Museng sendiri terdapat di lingkungan jalan tersebut. Berdekatan dengan gerbang selamat datang di Pusat Kuliner Kota Makassar tak jauh dari sana, di antara warung asongan dan warung nasi kuning Losari nampak sebuah kamar kecil dengan tembok berwarna oranye yang sudah pudar, dipagari dengan pagar besi berwarna hijau, serta sebuah genteng yang berwarna hijau. Terdapat papan nama kecil pas di depan pintu yang betuliskan “Makam Datu Museng” dengan warna emas berdasar papan berwarna merah. Kondisi makam Datu Museng sangatlah menyedihkan. Ketika saya berkunjung, debu yang menempel di lantai dan dinding makam sangatlah tebal, selain itu sampah berserakan di depan pagar makam Datu Museng. Terdapat beberapa kantong plastik hitam dan sampah-sampah lainnya. Lebih parahnya lagi limbah dari rumah makan yang berdekatan dengan Makan Datu Museng mengalir di beberapa bagian pagar tersebut.

Kayu nisan dan Kondisi Makam Datu Museng dari dalam

Ketika Masuk ke dalam Makam Datu Museng saya melihat sebuah tempat dupa dan terdapat sebuah kotak amal yang berwarna hijau. Di atas Makam Datu Museng juga terdapat kelambu yang berwarna putih dan besinya berwarna hijau dengan empat tiang berdiri tegak di setiap sudut makam Datu Museng. Terdapat pula karpet plastik yang berwarna hijau. Bau khas dedaunan pandan amat menusuk hidung. Melihat kondisinya yang seperti ini, tak bisa penulis membedakan yang mana batu nisan Datu Museng dan kekasihnya, Maipa anak dari kesultanan Sumbawa. Batu Nisan Datu Museng dan Maipa hanya ditandai dengaan kayu berwarna hitam dan tak adapun tanda nama yang tertulis dalam kayu tersebut.

Nisan Datu Museng

Bahwasanya di Jalan Datu Museng tersebut terdapat makam tak terawat Datu Museng, tokoh yang menginspirasi bagi para seniman dan tetua-tetua Suku Makassar lewat alunan sinrilik sungguh amat mengiris hati. Padahal kota Makassar bisa mengangkat kisah percintaan Datu Museng dan Maipa Deapati sebagai identitas kota yang menonjolkan kebudayaan lokal, jika benar-benar jargon “Makassar Kota Dunia” ingin diwujudkan. Kisah cinta keduanya yang abadi bisa mendatangkan wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mengunjungi ke Kota Makassar. Seharusnya pemerintah Kota Makassar (dan tentunya juga masyarakat sekitar) lebih mnemperhatikan situs peninggalan sejarah termasuk makam-makam yang lainnya. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi yang harus peduli terhadap kota ini?

 

Anna Asriani de Sausa, atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini   merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung dengan para Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.