Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba Liputan

Tentang Kamus Bugis-Inggris-Indonesia Pertama di Dunia

Senin, 11 Desember 2023 hujan turun seharian membasahi Makassar. Kemacetan lalu lintas dan genangan air di jalan-jalan berlubang kembali bermunculan, menandakan kota ini telah memasuki musim penghujan. Hari itu kawan-kawan di Kampung Buku sedang sibuk menyiapkan sesuatu yang spektakuler. Selepas maghrib, mereka akan membidani lahirnya sebuah karya yang tidak saja memperkaya khazanah literasi lokal namun juga menjembatani pemahaman lintas budaya tentang bahasa.

Andi Makkuraga nama panggilannya. Lahir di Makassar. Tinggi sekitar 2 meter. Saat ia memasuki Kampung Buku dan melepas helm merahnya, yang nampak adalah seorang pria berperawakan Kaukasia. Namun begitu ia menyalami kami yang telah menunggunya sepanjang sore itu satu per satu, dari lidahnya mengalun Bahasa Bugis berlogat Soppéng.

Pria yang punya nama lahir Douglas Laskowske ini adalah seorang peneliti bahasa dari University of North Dakota. Kecakapan Douglas berbahasa Bugis ia peroleh ketika melakukan riset lapangan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Fokus studinya memang Bahasa Bugis yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat penutur asli, sehingga mau tak mau ia pun juga harus menguasainya. Bahasa Indonesianya? Jelas ia fasih sekali. Bahasa Inggrisnya? Well, meskipun seorang native speaker berkebangsaan Amerika Serikat, ia mengaku sejak tinggal di Sulawesi Selatan selama 10 tahun ini ia lebih mahir bercakap dalam Basa Ogiq ketimbang English. Hasil penelitian selama bertahun-tahun itulah yang kemudian ia kumpulkan dan kembangkan sehingga menjadi sebuah kamus trilingual Bugis-Inggris-Indonesia pertama di dunia.

Ayahnya yang juga seorang linguist adalah orang yang bertanggung jawab dalam menularkan rasa cinta Douglas terhadap bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan. Bagaimana tidak, ayah Douglas, Thomas Laskowske, dulunya pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun di pedalaman Luwu utara untuk mempelajari Bahasa Seko Padang. Saat itu, Thomas harus berjuang dengan berjalan kaki ataupun menggunakan moda transportasi seperti kuda dan motor dari kota Masamba menuju ke pemukiman warga Seko Padang yang terpencil. Jerih payah Thomas membuahkan hasil saat akhirnya ia berhasil menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke Bahasa Seko Padang. Perjuangan sang ayah menginspirasi sang anak untuk menjadi seorang ahli bahasa di kemudian hari.

Acara launching Kamus Bugis-Inggris-Indonesia di Kampung Buku, Makassar. Menghadirkan Douglas Laskowske sebagai pencipta kamus, Azizi Aprilyah sebagai moderator, serta Anwar Jimpe Rachman mewakili penerbit Ininnawa.

Menurut Douglas, Bahasa Bugis adalah bahasa yang istimewa. Bahasa Bugis merupakan bahasa berpenutur terbanyak di kawasan Indonesia Timur. Mengapa? Sebab orang Bugis gemar merantau. Mereka banyak bermukim di luar pulau Sulawesi, terutama di Kalimantan, Nusa Tenggara dan Papua. Seiring dengan berpindahnya masyarakat Bugis ke kantong-kantong diasporanya, mengikut pula bahasanya, meskipun kebanyakan hanya dituturkan di lingkungan keluarga atau komunitasnya sendiri.

Terdapat kurang lebih 10 macam dialek dalam Bahasa Bugis yang masing-masing memiliki keunikan kosakata dan pengucapan. Dalam hal ini, Douglas memilih untuk mengeksplorasi dialek Soppeng sebab menurutnya dialek tersebut dianggap yang paling ‘netral’, sehingga dapat dipahami oleh beragam masyarakat Bugis di daerah-daerah lainnya. Hal ini tidak terlepas dari faktor geografis Soppeng yang terletak di tengah-tengah kawasan berpenutur Bahasa Bugis.

Kamus Douglas bukan lah kamus Bahasa Bugis pertama di dunia. Pada tahun 1874, B.F. Matthes yang merupakan seorang ahli bahasa dari Leiden pernah menerbitkan Boegineesche-Hollandsch woordenboek atau kamus Bahasa Bugis-Belanda. Namun sejatinya sebelum Matthes, C.H. Thomsen sudah pernah menerbitkan sebuah kamus kecil Bahasa Bugis-Inggris yang termuat dalam buku berjudul “A Code of Bugis Maritime Laws” (Mission Press: 1832) di Singapura. M. Ide Said juga pernah menerbitkan “Kamus Bahasa Bugis-Indonesia” pada tahun 1977. Douglas bahkan mengaku bahwa ia mengambil banyak inspirasi dari karya Rafiuddin Nur “Aku Bangga Berbahasa Bugis, Bahasa Bugis dari ka sampai ha” (Rumah Ide: 2008). Namun demikian, kamus Douglas ini menjadi kontribusi yang luarbiasa terutama bagi kawan-kawan pemula yang berminat untuk belajar Bahasa Bugis. Kehadiran tiga bahasa di kamus ini memperluas pengetahuan penggunanya akan keragaman kata dan makna di tiga kebudayaan yang berbeda.

Acara launching kamus trilingual Douglas pada malam hari itu berlangsung dengan penuh suka-cita dan tawa. Tidak lama setelah diskusi berakhir, selayaknya sebuah jumpa fans, Douglas dikerubungi oleh penonton yang meminta untuk menandatangani kamus karyanya tersebut atau sekedar untuk meminta foto. Bagi kawan-kawan yang berminat, Kamus Bahasa Bugis-Inggris-Indonesia ini dapat dipesan di Kampung Buku, l. Abdullah Daeng Sirua No.192 E, Pandang, Kec. Panakkukang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90231 (Nomor telepon: +6281354653603).

Referensi:

“Bupati Soppeng Menerima Cetakan Pertama Kamus Bugis-Inggris-Indonesia yang Disusun Oleh Douglas Laskowske”, Website Resmi Kabupaten Soppeng.

Wenas Kalangit, “Jangan Tinggalkan Seko, Pak Tom!”, Lembaga Alkitab Indonesia.   

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Kosmologi Bugis dalam “The Three World of Galigo”

Sobat Lontara, di masa awal pandemi tahun 2020 silam kedua kawan kita, Maharani Budi & Louie Buana, berkolaborasi menciptakan sebuah karya berjudul “The Three World of Galigo.” Karya tersebut merupakan penafsiran visual atas kosmologi masyarakat Bugis di Bumi Sulawesi sebagaimana yang tergambarkan dalam epos La Galigo.

The Three World of Galigo pernah dipamerkan secara virtual sebanyak dua kali. Pertama, dalam rangka Festival Kertas Sejagat yang diselenggarakan pada tanggal 10-20 Mei 2020. Pada kesempatan itu karya Maharani dan Louie dipajang bersama karya 47 perupa lainnya dari seantero Indonesia dan bahkan luar negeri. Sesuai judulnya, pameran tersebut menekankan penggunaan medium kertas dalam proses kreatifnya. Yang kedua, The Three World of Galigo terpilih untuk ditampilkan dalam “Proyek Indonesia” oleh Ilustrasee. Lewat pameran ini, Ilustrasee bertujuan untuk meninggalkan gambaran klise dan mengeksplor visual mengenai Nusantara dengan lebih dalam dan bermakna.

Kali ini, untuk ketiga kalinya The Three World of La Galigo mendapatkan kehormatan dari penerbit Makassar Biennale 2023 dan komunitas Kampung Buku. Karya tersebut dipercaya sebagai ilustrasi sampul buku berjudul “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Pare-Pare dan Pangkep“. Buku yang ditulis oleh 25 peneliti muda itu berisi lima narasi tentang perkembangan wilayah-wilayah yang disebutkan di atas. Cerita-ceritanya disusun berdasarkan pengalaman dan kesaksian-kesaksian tangan pertama.

Nah, untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh terkait ilustrasi “The Three World of Galigo” ini, berikut penjelasannya:

Masyarakat Bugis kuno di Sulawesi Selatan meyakini bahwa jagad raya ini sesungguhnya terdiri dari “tiga lapis dunia, tujuh susun langit dan bumi, serta semesta berbentuk segiempat belah ketupat”.

Pandangan tersebut tertuang di dalam epos La Galigo, naskah yang disakralkan oleh manusia Bugis sebelum kedatangan agama Islam. La Galigo memaparkan bagaimana dunia tercipta dan awal mula manusia hadir di muka bumi (Ale Lino). Penguasa Boting Langiq (kahyangan) dan Perettiwi (negeri di bawah samudera) bersepakat untuk menurunkan Batara Guru, putra sulung Datu Patotoé (raja Boting Langiq) serta menaikkan We Nyiliq Timoq, putri Opu Samudda (dewa yang bertakhta di dasar lautan) sebagai pasangan manusia pertama di Ale Lino. Tujuan dari pengisian Dunia Tengah yang masih kosong dengan manusia itu adalah: agar hakikat Kedewataan para penguasa adikodrati di Boting Langiq dan Perettiwi dapat dikenali mahluk lain, diakui, diagungkan serta disembah. Secara simbolik, eksistensi manusia dalam mengisi & mengelola Dunia Tengah amat bergantung kepada dua dunia lainnya, begitu pula sebaliknya.

Ketiga lapis dunia Galigo ini digambarkan berbentuk sulappa eppaq walasuji (segiempat belah ketupat). Sulappa eppaq walasuji adalah representasi dari empat elemen dasar yang menopang semesta secara makrokosmos (air, api, udara, tanah) serta empat unsur abstrak manusia sempurna sebagai mikrokosmos: kecendekiaan (ammacangeng), kekayaan (asugireng), kekuasaan (akkarungeng), dan ketampanan/kecantikan (akkesingeng).

Tiga dunia yaitu Boting Langiq – Ale Lino – Perettiwi menjadi satu dihubungkan oleh jembatan pelangi (tarawué) dan pohon kosmik Welenrengnge. Pelangi lahir karena titik-titik air dari samudera yang moksha ke angkasa ditempias mentari, sedangkan pohon tumbuh mencakar langit dari rahim bumi. Perpaduan khas Austronesia yang mendamaikan dua hal saling bertentangan (langit-bumi, laut-gunung, siang-malam, panas-dingin). Dikisahkan dalam epos La Galigo bagaimana tokoh Sawerigading dari Ale Luwu menebang pohon Welenrengnge untuk kemudian ia gunakan sebagai kapal berlayar ke negeri Ale Cina. Perubahan bentuk pohon kosmik Welenrengnge menjadi kapal melambangkan filosofi manusia Bugis yang alam semestanya dinamis dan senantiasa berubah, mencitrakan tradisi rantau lewat pepatah “malekkeq dapureng” (berpindah dapur) dimana pusat jagad raya tidak hanya berada pada satu titik namun dapat dipindahkan/digantikan sesuai konteks serta kondisinya.

Di keempat sisi semesta, di sudut-sudut khayali Sulappaq Eppaq, konstelasi kuna dalam rupa Manuk / Ayam (Canopus-Sirius-Procyon), Jonga / Rusa (Ursa Major), Mangiwang / Hiu (Scorpio selatan) & Worong Porong / Tujuh Tumpukan (Pleiades) menjaga dan menerangi dunia. Rasi bintang Bugis tersebut dikenal dengan baik di kalangan nahkoda dan digunakan sebagai petunjuk arah dalam pelayaran. Bintang-bintang tersebut juga dijadikan acuan dalam pergantian musim oleh kalangan petani Bugis. Contohnya, apabila Worong Porong terbenam sebelum waktu shalat subuh (sekitar pukul 04.00) diyakini hujan dari angin musim barat akan segera tiba (pada akhir bulan Desember).

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba Liputan

Sebuah Persembahan dari La Salaga Project – Atelier KITLV untuk Generasi Muda

Di awal tahun 2021, La Salaga Project yang diprakarsai oleh Kathryn Wellen (sejarawan di KITLV Leiden dengan fokus riset Sulawesi Selatan) dan Louie Buana (founder Lontara Project) mendapatkan sokongan dari Atelier KITLV untuk menggarap sebuah program unik yang mengombinasikan riset akademis dengan kesenian.

Proyek ini bertujuan untuk mengangkat kembali legenda La Salaga, seorang pangeran keturunan campuran Mamuju (Sulawesi Barat) dan Badung (Bali), kepada hadirin dari generasi muda. Kisahnya dituturkan dalam salinan naskah lontar berbahasa Mandar yang ditemukan di Balanipa. Berdasarkan kisah di dalam naskah tersebut, La Salaga dibesarkan di pulau Sulawesi dan Bali serta tumbuh menjadi seorang prajurit nan perkasa dan berperang dengan gagah melawan bangsa Sasak di Lombok. Prestasi La Salaga membuatnya dikagumi oleh penguasa Gowa, ia bahkan diminta oleh tetua adat Mandar untuk menjadi Mara’dia (raja) di negeri Mamuju dan Pamboang (Sulawesi Barat). La Salaga juga dikenang sebagai salah satu penguasa Mandar yang masuk Islam di bawah arahan Syekh Zakariya Al-Maghribi dari Jawa.

Sebagai upaya untuk memperkenalkan kembali kisah tanpa visual yang terekam dalam naskah kuno ini, gaya lukis tradisional Bali yang dikenal dengan nama Wayang Kamasan sengaja dipilih. Sebagaimana pernikahan antaretnis ayah dan ibu La Salaga (Sulawesi dan Bali), karya lukis ini memadukan gaya seni khas suatu daerah untuk menceritakan kisah dari belahan Nusantara lainnya. Seorang pelukis asal Bali yaitu I Made Sesangka Puja Laksana secara khusus diminta untuk mengerjakan lukisan La Salaga tersebut.

Selanjutnya, lukisan tersebut digunakan sebagai bahan ilustrasi untuk buku dongeng. Tujuan pengadaan buku dongeng ini adalah agar cerita La Salaga dapat disampaikan kembali kepada generasi muda, orang tua maupun pendidik. Dua orang ilustrator muda berbakat tanah air yakni Ghina Amalia Yuhanida dan Aditya Bayu Perdana ikut terlibat dalam proses penciptaan buku dongeng berjudul Legenda La Salaga ini. La Salaga Project juga menghadirkan dua buah film yang mengisahkan proses behind the scene lukisan La Salaga serta pembacaan cerita dongengnya. Kedua film ini digarap oleh Agit Primaswara, seorang videografer asal Yogyakarta. Lukisan La Salaga bergaya Kamasan kemudian diserahkan kepada Ridwan Alimuddin, aktifis literasi dan pegiat budaya Mandar di Perpustakaan Nusa Pustaka, Polewali Mandar.

Dengan mempertimbangkan besarnya potensi kontribusi hasil-hasil karya La Salaga Project dalam menuturkan nilai-nilai keragaman dan kebhinnekaan Indonesia, Atelier KITLV membuka akses kepada publik untuk dapat menikmati karya-karya kami secara gratis. La Salaga Project mempersembahkan cara-cara inovatif untuk menceritakan kembali sejarah melalui beragam media kreatif. Kami berharap La Salaga Project dapat menginspirasi banyak orang, terutama akademisi dan seniman muda, untuk berkolaborasi di masa depan.

Buku dongeng “Legenda La Salaga” dapat anda baca dan download DI SINI secara gratis.

Film “The Journey of La Salaga” dapat anda tonton melalui link INI.

Film “Legenda La Salaga” dapat anda tonton melalui link INI.