Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Epic Java: Mengemas Jawa dalam Sebuah Epik

“Yata matangnyan hengang henggung hikang nusa Jawa, sadala molah marayegan, hapan Tanana sang hyang Mandarparwwata, nguniweh janma manusa. Yata matangnyan mangadeg bhatara Jagatpramana, rep mayugha ta sira ring nusa Yawadipa”

Demikianlah potongan larik dari beberapa ayat pertama kitab Tantu Panggelaran. Kitab yang ditulis pada tahun 1635 Masehi tersebut memaparkan bagaimana awalnya dulu pulau Jawa terombang-ambing di tengah samudera karena ketiadaan gunung sebagai paku bumi. Para dewa yang menatap miris dari kahyangan lalu memutuskan untuk memindahkan gunung Mahameru dari India ke Pulau Jawa agar daratan itu dapat terpancang kokoh. Peristiwa tersebutlah yang kemudian menjadi titik balik yang kemudian mengawali lahirnya manusia serta peradaban Jawa di Nusantara.

Kamis, 10 Oktober 2013 gedung Taman Budaya Yogyakarta penuh sesak oleh manusia-manusia yang penasaran. Malam itu, tiga orang pemuda dari Tanah Priangan; Febian Nurrahman Saktinegara, Galih Mulya Nugraha, dan Denny Novandi Ryan mewakili tim Embara membentangkan hasil perjalanan mereka selama setahun lebih dalam menciptakan “Epic Java”. Hanya dalam waktu 15 menit sejak loket dibuka pada siang harinya, sudah tidak ada lagi tiket yang tersisa. Sebagian dari penonton itu mungkin sudah pernah mendengar atau bahkan aktif mengikuti perjalanan Epic Java. Sebagian lagi mungkin tertarik dengan judul dari film singkat itu, nama yang mengundang ekspetasi akan sebuah karya mahadahsyat. Bukan main-main, yang digambarkan adalah “Jawa” dalam sebuah “Epic”.

Epic Java, Surya-Sakral-Priangan merupakan sebuah dokumenter singkat yang menghadirkan gambar-gambar dari berbagai penjuru Pulau Jawa. Ada lebih dari 50 titik yang tersebar dari Jawa Barat hingga ke Jawa Timur yang didatangi untuk mengumpulkan gambar-gambar tersebut. Melalui perjalanan gambar-gambar tersebutlah penonton diajak untuk menyebur ke dalam arus waktu Jawa mulai dari terbitnya matahari di timur hingga tenggelamnya di barat. Surya merupakan pengejawantahan dari ufuk timur di Jawa, tempat terbitnya kehidupan. Seiring dengan pelayaran Sang Raditya ke tengah petala langit, kemunculan agama-agama serta peradaban kuno menjadi obyek tuturannya. Terakhir di bumi Priangan, tempat dimana para dewa yang bertakhta bergulat dengan modernitas, wajah Jawa hari ini ditangkap.

Dengan mengusung genre film non-narative, Epic Java berusaha untuk menyajikan sebuah perspektif baru dalam dunia perfilman di tanah air. Pesan yang mereka tangkap dari alam dan kemudian mereka sajikan kepada para penonton ternyata tidak semata-mata merekam gambar dan mencocok-cocokkannya dengan musik. Butuh waktu satu tahun lebih untuk mengumpulkan materinya, begitu pula dengan penciptaan musik pengiringnya. Dibutuhkan ketelitian serta dana yang besar untuk mengemas film berdurasi 30 menit ini agar dapat mendeskripsikan konsep “Surya-Sakral-Priangan” yang mereka usung. Hasil kerja keras tim Embara berbuah manis ketika film Epic Java menyabet beberapa penghargaan di ajang-ajang dunia seperti: Best Documentary 2nd SBM Golden Lens International Documentary Festival, Official Selection Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) 2012, Most Inspiring – Share to Inspire Video Competition PPI United Kingdom 2012, Best Trailer and Best Camera DOCDAYS 2012.

Yogyakarta bagi mereka menyimpan sebuah keistimewaan tersendiri. Dari tempat inilah ide untuk menangkap landscape Jawa pertama kali muncul. Pada screening kedua inipun mereka mendapatkan banyak sekali kritik dan saran dari diskusi film yang berlangsung kurang lebih selama 1 jam. Bersama dengan Juki “Jogja Hip-Hop Foundation” dan Riski “Summerbee” selaku pembicara pendamping, bermunculan banyak perspektif baru. Komentar penonton bervariasi, ada yang memuji dan ada pula yang “kurang puas” dengan sajian Epic Java. Ide mengenai Jawa itu sendiri sebenarnya amatlah luas, dalam dan berat. Ada yang tidak setuju jika Jawa yang telah berusia ribuan tahun hanya diabadikan dalam bentuk gambar-gambar pemandangan alam selama 30 menit saja. Ada pula yang beranggapan bahwa tampilan Epic Java cocok untuk video promosi pariwisata, namun belum mencapai titik “epik” itu sendiri.

Tafsiran yang berbeda-beda tersebut menjadi masukan berharga bagi tim Embara. Kami pribadi yang hadir pada malam hari itu menganggap bahwa Epic Java adalah sebuah pencapaian. Pencapaian akan sebuah kerja keras, keberanian serta kreatifitas yang layak untuk dihargai. Konsep yang mereka tampilkan pun amat bagus, mengundang keinginan untuk terus mencari tahu serta menghargai Jawa. Memang masih ada unsur yang “hilang” dari Epic Java, seperti nyaris absennya nuansa antropologi yang mengilutrasikan hubungan antara manusia, alam dan batin. Epic Java lebih terfokus pada alam dan peristiwa, belum mengeksplorasi unsur “Jawata” atau manusia Jawa yang menggelar tatanan peradaban di alam raya sebagaimana dijabarkan di dalam kitab Tantu Panggelaran di atas. Padahal ketika membahas Jawa, seseorang harus terlebih dahulu mengerti dunia yang ada di dalam manusia Jawa sebelum membaca alam Jawa.

Akan tetapi, seperti sebuah rumah besar yang memiliki banyak jendela, demikian pula Jawa. Sebagai insan-insan yang terlahir dan dibesarkan di dalamnya, semua orang berhak untuk melongok Jawa dari sisi jendelanya yang mana saja. Epic Java adalah sebuah perjalanan. Kami berharap agar perjalanan besar tersebut tidak berhenti sampai di sini saja. Semoga ke depannya tim Epic Java dapat terus menyempurnakan siddhayatra “mengeposkan Jawa” mereka ke persada bumi.

Categories
Featured Liputan

Gagal Diet di Singkawang

Selama dua malam berada di Singkawang, saya merasa diet saya (hampir) seluruhnya gagal. Setiap sudut kota menawarkan berbagai macam kuliner yang kesemuanya menarik dan nampak lezat untuk dicicipi. Tanpa mengurangi rasa hormat, hanya makanan halal yang bisa saya ceritakan disini.

Kuliner yang pertama saya cicipi adalah Bubur Pedas. Reni kawan saya, mengajak saya makan siang dengan kuliner ini. ‘Ah, mana kenyang. Cuma bubur gitu lho,’ pikirku. Melihat tampilannya saya sempat bertanya dan menebak bagaimana rasanya.

Bubur Pedas Singkawang

Dont judge something by its cover. Rasanya luar biasa, rempah – rempah sebagai bumbu penyedap, diramu dengan campuran daun kangkung dan daun kesum yang konon hanya terdapat di Singkawang. Sebagai pelengkap, ada Jeruk limau, Ikan teri kacang goreng, dan Sambal Kacang Pedas. Bubur Pedas ini biasa disajikan di Singkawang pada saat bulan Ramadhan tiba, sebagai menu wajib pada saat berbuka puasa. Kalau ingin mencicipinya silahkan tandang ke RM Bendahre, Singkawang di Jl. Merdeka no. 1B. Berada persis di depan Taman Burung Singkawang.

Bubur Gunting Singkawang

Sore harinya saya diajak mencicipi Bubur Gunting, Es Gado gado, Bubur Tahu. Penganan jenis ini bisa ditemui di sepanjang Jalan Yos Sudarso. Bubur Gunting terbuat dari Kacang Hijau kupas dengan kuah yang manis dinikmati dengan potongan Cakwe yang digunting.

 

Bubur Tahu secara fisik serupa dengan Bubur Kembang Tahu yang bisa kita temui di Jakarta.Cuma bedanya, di Singkawang kuahnya bukan menggunuakan Wedang jahe melainkan kuah manis dari gula tebu. Dan wajib dinikmati hangat hangat.Untuk minumannya wajib coba Es Gado Gado. Mendengar namanya saja mungkin yang akan terlintas di benak kita, minuman yang ditambahkan bumbu kacang layaknya kuliner Gado – Gado. Weits, begitu lihat penampakannya, barulah kita menyadari apa sebenarnya Es Gado Gado itu. Isi minuman ini antara lain rumput laut, selasih, potongan agar agar, buah lengkeng kupas, dan bulir jagung rebus bercampur seperti gado gado.

Puas menikmati ‘cemilan’ sore itu, saya beranjak menuju Pasar Hongkong dan Pasar Turi. Kota Singkawang yang heterogen, memungkinkan berbagai etnis masuk di kota ini. Salah satu lokasi yang kental dengan unsur kaum Tionghoa adalah Pasar Hongkong dan Pasar Turi.

Di kedua pasar ini, ada sajian kuliner yang wajib dicoba. Salah satunya Sotong Bakar dan Sotong Kangkung

Sotong Kangkung 1+1+1, nama kedai ini. Sang pemilik yaitu Phang Kin Sen dan Liu Tuy Ngo, memilki alasan kenapa nama itu yang diambil. Menurut mereka, saking enaknya hidangan disini kadang pengunjung tidak cukup hanya menikmati satu piring Sotong bakar saja, mereka juga ingin mencicipi Sotong Kangkung. Dari satu piring tambah satu piring dst. Begitu ceritanya.

Dan memang terbukti. Sepiring Sotong Kangkung habis saya lahap, kawan saya Reni yang menemani saya berjalan jalan dari sore kembali pun memesan Sotong Bakar. Hidangan ini telah menjadi primadona bagi siapapun yang mengunjungi Kota Singkawang. Kalau penasaran sama kuliner ini, datang langsung ke Pasar Turi Singkawang.

Bagaimana kalau saya sebut list kuliner diatas adalah makanan pembuka? Apaaaa, masih ada lagi?! Yap, tambahan buat main course ada Mie Kering Haji Yaman. Lokasinya cukup mudah ditemui, berada sebelum Pintu masuk menuju Kota Singkawang.

Mie Kering Haji Aman

Sebenarnya sih tampilannya menyerupai Mie Ayam, tapi orang Singkawang menamainya dengan mie kering karena kuahnya terpisah. Yang unik, untuk menikmati mie ini harus diberi perasan jeruk sayur terlebih dahulu sebelum dinikmati. Kalau tertarik kesini, jangan terlalu sore ya, nanti kehabisan. Sudah kenyang, atau malah tambah lapar? Silahkan kunjungi beberapa referensi kuliner saya tadi. Dijamin mengenyangkan. Ah, memang benar benar kuliner di Singkawang membuat diet saya gagal kali ini.

 Githa Anastasiaseorang ecotourism consultant, penikmat pasar tradisional, volunteer kegiatan sosial dan lingkungan. Predikat itu berada di perempuan ini, plus salah satu penghargaan yang baru saja ia terima sebagai salah satu Creative Tourism Ambassador dari salah satu Media Marketing terkemuika di Indonesia. Kenali Indonesia dan budayanya melalui sisi masyarakat lokal dan potensi kelompok usaha di wilayah tersebut.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Bugis of Sabah: A Story of Migration

This writing is based on the author interview with Mohd Safar Abdul Halim, the third generation of Bugis migrant in Sabah, Malaysia. The Bugis community are best known as sailors, fishermans, merchants and also paid warriors to fight against the pirates of the Sulu Sea by the Sultanate of Sulu. They once also known as “the most energetic and successful cultivator of coconuts” in Tawau. The strong nature of family relationship in Bugis culture has made them one of the most-closely-connected-to each other ethnic group in eastern part of Malaysia. This is the story of their preservation toward ancestor’s tradition, although separated thousand miles away from their original homeland in South Sulawesi, Indonesia.

The Bugis people started to migrate to Tawau, Sabah in 1880. They decided to sail and settle in Sabah because the region was rich of potentials such as fertile soil for farm, and also British Petroleum Company and Japanese lodging company that require a lot of labor. It is known that wherever the Bugis people took abode, the surrounding area will be profited by their creativity to open businesses. The Bugis then hold important place in the economic life of Sabah, they even created job field for the locals. The new generation of Bugis in Sabah has enjoyed the benefit of education by government, many of them are studying until university level. They even hold significant role in the state’s ministries. A lot of the Bugis people in Sabah nowadays are already mixed through marriages with local people such as Dusun, Murut, Iban, Kadazan, and others.

The Bugis who’s migrated to Sabah brought a set of adat law and traditions. The Bugis of Sabah really take a great care of their traditional values, which can be seen from the way they embraces the system of pangaderreng such as adeq, wari, siriq, rappang, and saraq. It is important for Bugis-Sabah that their well-educated children should be raised and adorned with those values. Although lately not so many Bugis generations undersand the philosophy of their traditions, they still perform it, out of respect, to their parents.

Some important cultural expressions related to daily life are still performed by Bugis of Sabah. Important traditional ceremony such as maccera tasiq and mendeq bola is still widely celebrated. This tradition is seen as a way to strengthen their identity. Moreover, these ceremonies become cultural attraction that invite people from different ethnic group in Sabah to come and enjoy the proceedings. Another cultural element that could still be traced from Bugis of Sabah is the preservation of traditional culinary. Dishes such as  burasa, burasa koa, burasa pulu, sokko, palopo, bilundra. ketupat pulut, tumbu, masak likku, tapai, beppa sawalla, bandang-bandang, bandang mallojo, barongko, baulu pecak, katiri salah. kuek bangkek, barobbo and others. Those dishes show uniqueness of Bugis culture, which is very much appreciated by the locals.

Bugis family in Sabah

Although not so many of them lasted with the ability to speak Bugis language anymore, they are still curious and longing to see long-distance relatives from Indonesia. They see their preserved culture as identity to strengthen brotherhood with the Indonesians, especially people of South Sulawesi.