Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

La Galigo as Memory of The World: Pengakuan UNESCO untuk Indonesia

Penasaran, mengapa La Galigo dikategorikan oleh UNESCO sebagai Memory of The World? Yuk baca tulisan Fitria Sudirman untuk lebih mengetahui seluk-beluk penghargaan terhadap kebudayaan ini!

 Suatu dokumen warisan bernilai universal memang sudah sepantasnya dihargai dan dilindungi. Kita tidak mau kan peninggalan-peninggalan sejarah suatu bangsa raib, entah kemana rimbanya. Padahal peninggalan-peninggalan tersebut bisa menjadi salah satu media untuk menelusuri jejak peradaban manusia. Untuk itu, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), salah satu badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada kerja sama antar negara melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya menghadirkan “Memory of the World”.

Apa sih Memory of the World itu? Memory of the World merupakan salah satu program UNESCO yang dimulai pada tahun 1992. Program ini adalah suatu inisiatif internasional untuk melindungi warisan dokumenter dari berbagai bahaya, seperti bahaya kerusakan akibat waktu dan kondisi iklim, kerusakan yang disengaja maupun tidak disengaja, hingga bahaya dilupakan oleh bangsanya sendiri. Ibaratnya Memory of the World ini adalah polisi yang memastikan warisan tersebut aman dan masih dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya. Nah, apa saja sih yang dapat digolongkan sebagai warisan dokumenter? Macam-macam, bisa berupa dokumen, naskah atau manuskrip, tradisi lisan, audio-visual, arsip perpustakaan, dan arsip-arsip bernilai universal lainnya. Setiap organisasi atau individu dapat menominasikan warisan dokumenter yang dianggapnya layak untuk didaftarkan dalam Memory of the World. Setiap warisan dokumenter yang didaftarkan akan diseleksi oleh suatu badan pengurus yang dikenal sebagai Komite Penasihat Internasional, atau International Advisory Committee (IAC), yang keempatbelas anggotanya ditunjuk langsung oleh Direktur Utama UNESCO. Bagi yang lulus seleksi mereka akan dimasukkan ke dalam suatu daftar yang disebut Memory of the World Register.

Lalu, apa yang menjadi standar kelayakan suatu nominasi? IAC menetapkan beberapa kriteria sebagai berikut:

  • Pengaruh – Warisan tersebut haruslah memiliki pengaruh yang besar, tidak hanya terhadap budaya nasional suatu bangsa, tetapi juga terhadap budaya dunia.
  • Waktu – Warisan tersebut harus mencerminkan suatu periode perubahan penting yang berkaitan dengan dunia atau memiliki kontribusi terhadap pemahaman dunia pada suatu poin penting dalam sejarah.
  • Tempat – Warisan tersebut harus mengandung informasi penting mengenai lokalitas atau daerah tertentu yang telah berkontribusi untuk perkembangan besar dalam dunia sejarah dan budaya.
  • Masyarakat – Dokumen tersebut harus memiliki suatu asosiasi spesial dengan kehidupan atau karya seseorang atau masyarakat yang telah membuat kontribusi luar biasa untuk sejarah dunia atau budaya.
  • Subyek – Warisan tersebut harus mendokumentasikan suatu subjek penting atau tema utama sejarah dunia atau budaya dalam cara yang luar biasa.
  • Bentuk dan Gaya – Dokumen tersebut harus mewakili bentuk atau gaya yang tidak biasa.
  • Nilai sosial – Warisan tersebut harus memiliki nilai budaya, sosial, dan spiritual yang melampaui budaya nasional tertentu.

Selain kriteria-kriteria di atas, terdapat juga dua kriteria tambahan yang bersifat meningkatkan standar penilaian, yaitu

  • Integritas – Dokumen tersebut harus memiliki tingkat integritas atau kesempurnaan yang tinggi.
  • Kelangkaan – Dokumen tersebut harus unik atau langka, hanya ada satu di dunia ini.

Saat ini, terdapat 238 warisan dokumenter yang terdaftar dalam Memory of the World Register, termasuk La Galigo. Adalah Dr. Mukhlis PaEni dari Indonesia dan Dr. Roger Tol dari Belanda yang berinisiatif untuk menominasikan La Galigo ke dalam Memory of the World pada tahun 2008. Dr. Mukhlis PaEni adalah seorang peneliti yang berasal dari Sulawesi Selatan. Beliau telah melakukan berbagai penelitian mengenai La Galigo dan membuat sebuah katalog manuskrip Sulawesi Selatan, termasuk naskah-naskah La Galigo. Dr. Roger Tol juga merupakan seorang peneliti yang telah banyak melakukan penelitian mengenai La Galigo. Beliau bekerja di  KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies dan terlibat dalam produksi edisi-edisi teks La Galigo. Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya pada tahun 2011, UNESCO mengakui La Galigo sebagai “Memory of the World” atas negara Indonesia dan Belanda. Yeay!          

Nah, pengakuan ini pasti ada dasarnya dong. Sebagai suatu karya sastra yang bisa dikategorikan the hidden cultural treasure, La Galigo memang memenuhi kriteria yang membuatnya pantas menjadi Memory of the World.

La Galigo telah ada sejak berabad-abad lalu dan menjadi tradisi oral di masyarakat Bugis Sulawesi Selatan hingga pada akhirnya ditulis di atas daun lontar setelah masyarakat Bugis mengenal huruf lontarak. Banyak pendapat mengenai kapan hal ini terjadi, namun pada umumnya berpendapat bahwa La Galigo mulai dituliskan sebelum abad ke-16 yaitu sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan mengingat kisah La Galigo yang masih bercerita tentang dewa-dewa dan tidak mengandung unsur Islam. Barulah pada abad ke-17 La Galigo mulai disalin di atas kertas ketika orang Belanda datang membawa peradabannya. Terbagi menjadi 12 volume manuskrip yang terdiri dari kurang lebih 300.000 baris teks dan 6000 halaman folio membuat La Galigo menjadi epik terpanjang di dunia mengalahkan kisah Mahabharata sekalipun. Ini belum termasuk teks-teks yang hilang dimakan zaman dan bagian-bagian episode lainnya yang tidak sempat diceritakan oleh Bissu, pemegang tradisi oral, karena telah meninggal dunia. Gaya penulisannya indah, menggunakan bahasa Bugis Kuno (yang sudah tidak digunakan lagi sekarang) dalam aksara Lontarak. Bersetting di Sulawesi Selatan pada periode pra-Islamisasi, La Galigo mengisahkan mitos penciptaan ras Austronesia yang menjadi salah satu bagian dari sejarah peradaban manusia. Nilai budaya, sosial, dan spiritual ditunjukkan secara eksplisit dan implisit melalui kejadian-kejadian dan penokohan karakter-karakternya. Lalu, apakah ada karya sastra lain yang seperti La Galigo ini? Hmm… Jawabannya tidak ada!

Ada banyak penelitian tentang La Galigo semenjak akhir abad lalu, sayangnya kebanyakan merupakan hasil peneliti asing. B.F. Matthes, misalnya, adalah seorang peneliti Belanda yang merupakan orang pertama yang melakukan penelitian sistematis terhadap La Galigo. Beliau bahkan membuat kamus Bugis-Belanda yang memuat banyak contoh bahasa yang digunakan dalam La Galigo pada tahun 1874. Kamus ini hingga sekarang dapat dikatakan sebagai sumber bahasa La Galigo yang paling penting.

Hanya segelintir orang Indonesia yang mengetahui La Galigo. Sebagian besar warga Makassar terbilang cukup familiar dengan namanya karena dipakai sebagai nama kafe dan jalan. Namun, tidak banyak yang mengetahui dan menyadari bahwa La Galigo sebenarnya adalah peninggalan sejarah yang sangat berharga. Jika ditanyakan ke-10 orang pemuda, mungkin hanya 1 orang saja yang bisa menjawab benar pertanyaan tentang La Galigo. Kita mungkin cukup sibuk dengan globalisasi hingga melupakan hal-hal lokal, padahal justru hal-hal seperti itulah yang membentuk identitas kita sebagai suatu bangsa. Begitu ada negara lain aja yang mencaplok budaya lokal kita, baru deh ketar-ketir seperti orang kebakaran jenggot. So, marilah kita pelihara budaya kita, dunia saja sudah mengakuinya sebagai Memory of The World!

Referensi:

Zon, Dato’ Habibah. UNESCO MEMORY OF THE WORLD PROGRAMME: The Asia-Pacific Strategy. April 17 1999.  11 Dec. 2011. <http://web.archive.org/web/20050228192535/http://www.geocities.com/seapavaa/whatsnew/memory.htm>

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Bule-Bule yang Kepincut La Galigo: Thomas Stamford Raffles

Thomas Stamford Raffles (6 Juli 1781 –  5 Juli 1826)

Dunia tidak akan pernah mengenal La Galigo jika tidak melalui Raffles.

Thomas Stamford Raffles

Yup, meskipun sang Gubernur Jendral Inggris untuk Hindia Belanda ini tidak pernah menulis buku khusus ataupun meneliti lebih jauh perihal La Galigo, di dalam bukunya yang berjudul  “History of Java”  untuk pertama kalinya Ia memperkenalkan epik itu ke dunia Barat. Pembahasan singkatnya tentang La Galigo membuat mata kalangan antropolog, ahli bahasa, sejarawan, dan bahkan misionaris mengarah ke Sulawesi Selatan.

Dilahirkan di atas geladak kapal Ann di perairan Jamaika dari ayah yang hanya seorang tukang masak (kemudian menjadi kapten) dan ibu rumah tangga biasa, Raffles kecil tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki kecintaan terhadap lingkungan. Di usianya yang keempat belas (1795) dengan pendidikan formal seadanya Ia bekerja sebagai seorang juru tulis di kantor British East India Company yang tersohor itu di London. Raffles dikenal sebagai pemuda yang tekun dan rajin, berkat keuletannya itu Ia dipromosikan menjadi Asisten Sekretaris untuk wilayah Kepulauan Melayu. Saat sedang menjalankan tugasnya di Penang (Malaysia), pada tahun 1805 Ia menikah dengan seorang janda bernama Olivia Mariamne Fancourt serta menjalin persahabatan dengan Thomas Otho Travers.

Kemahiran Raffles dalam berbahasa Melayu serta kecerdikan berpikirnya membuat Lord Minto (Gubernur Jendral Inggris untuk India saat itu) menjadikannya favorite. Ia dikirim ke Tanah Jawa sebagai Lieutenant Governor of Java (1811) dan mengatur ekspedisi melawan Belanda. Karir Raffles semakin melesat karena keberhasilannya mendapatkan Pulau Bangka (hasil negosiasi dengan Belanda) dan penaklukkannya terhadap beberapa pangeran lokal. Ia dianugerahi jabatan sebagai Gubernur Jendral mulai tahun 1811-1816. Pada tahun 1815 Ia sempat kembali ke London karena mengidap penyakit tropis yang cukup parah serta kesedihan mendalam atas meninggalnya sang istri di Jawa karena malaria tahun sebelumnya.

Raffles kembali pada tahun 1818 ke timur sebagai Gubernur Bengkulu. Kecintaannya pada lingkungan membuatnya amat bergairah menjelajahi hutan-hutan Sumatra dan mengumpulkan berbagai macam spesimen flora maupun fauna. Saat berada di Sumatra itulah Ia menggagas sebuah proyek bernama “Singapore’ sebagai pelampiasan rasa kecewa karena kembalinya Pulau Jawa ke tangan Belanda. Raffles bersumpah menciptakan koloni baru yang meskipun kecil, namun akan lebih maju daripada Jawa (terbukti kini Singapura menjadi negara dengan kualitas pendidikan dan ekonomi lebih baik ketimbang Indonesia pada umumnya). Buku History of Java sendiri pertama kali terbit tahun 1817, dan menjadi booming di Eropa. Raffles pernah sesumbar bahwa tidak ada orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang Ia miliki.

The History of java - Thomas Stamford Raffless

Berkaitan dengan La Galigo, Raffles menganggap penting untuk membahas mengenai suku Bugis-Makassar di dalam bukunya, mengingat kehadiran dan kekuasaan bangsa pelaut ini dihampir seluruh perairan nusantara. Di samping suku Jawa dan Melayu, Raffles menilai bahwa peranan mereka pun amat signifikan dalam usaha pihak asing menaklukkan kepulauan Indonesia. Ia menceritakan bagaimana para bangsawan di negara-negara Bugis merunutkan kisah permulaan dunia pada suatu periode yang disebut-sebut sebagai zaman Galiga (La Galigo).

Galiga ini berisi hikayat Sawera Gading, cerita rakyat Luwu atau Lawat dari Surga. Mitos yang didengarnya dari seorang Duta Besar Bugis itu dimulai dari pernikahan “makhluk gaib” berjenis kelamin perempuan yang menikah dengan Taja Rasupa, seseorang yang muncul dari tanah (to tompoq). Cerita dilanjutkan dengan kehadiran tomanurung di kala hujan badai serta peran “manusia” tersebut sebagai pembentuk dinasti raja-raja Bone. Kisah semakin berkembang dengan cerita mengenai diturunkannya Betara Guru (juga dari jenis tomanurung), putra sulung Dewata Pitutu ke muka bumi di dalam sebilah bambu. Raffles percaya bahwa kisah Sawera Gading dikarang oleh sang anak, La Galiga yang merupakan cucu dari Betara Guru. Publikasi buku History of Java yang banyak dibaca oleh kalangan akademisi saat itu membuka lubang kunci kajian mengenai La Galigo di dunia.

Referensi:
Raffles, Thomas Stamford. “The History of Java”. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008.

Categories
101 La Galigo Kareba-Kareba

Bule-Bule yang Kepincut La Galigo: B.F. Matthes

B. F. Matthes (16 Januari 1818 –  9 Oktober 1908)

Siapa sangka manuskrip La Galigo terpanjang di dunia ternyata dikumpulkan oleh seorang misionaris dari negri Van Oranje?

Benjamin Frederik Matthes
Benjamin Frederik Matthes adalah seorang lulusan Sastra Semitik dan Teologi Universitas Leiden. Ia lulus pada tahun 1836 dengan predikat cum laude, kemudian melanjutkan pendidikannya di Seminari Lutheran, Amsterdam. Setelah tiga tahun menuntut ilmu di sana, Ia diangkat sebagai Pendeta Gereja Lutheran dan kemudian bekerja sebagai wakil direktur di N.Z.G. Rotterdam. Pada tahun 1848 Ia dianugerahi gelar doctor honoris causa dari Universitas Leiden, dan pada tahun yang sama pula Ia menikah dengan nona C. N. Engelenburg.

Awal Juli 1848 (beberapa minggu setelah pernikahannya), Ia berangkat untuk memenuhi misi mempelajari dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Setelah berlayar selama 112 hari bersama sang istri, Ia mendarat di Batavia pada tanggal 28 Oktober 1848. Dia baru tiba di Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Desember 1848. Untuk menjalankan misinya sebagai utusan Nederlansch Bijbelgenootschap, Ia meninggalkan tempat kediamannya di Maros menuju Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Segeri, hingga akhirnya bertemu dengan Arung Pancana We Tenri Olle, putri Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa. Di sanalah Ia bersahabat dengan sang ratu Tanete, mempelajari adat-istiadat Bugis dengan penuh keseriusan, serta berjuang menyalin lembar demi lembar lontaraq yang dimiliki oleh masyarakat sekitar. Selain memperhatikan unggah-ungguh di kebangsawanan Bugis, Ia juga terjun langsung mempelajari masyarakat dengan cara turun ke pasar-pasar, menonton upacara-upacara tradisional, bahkan hingga menginap di rumah penduduk.

Ia merupakan orang Barat pertama yang mempelajari bahasa dan literatur Bugis secara mendalam. Ia terpesona oleh Sureq Galigo, mendengarkan dengan penuh seksama ketika galigo dilagukan dan gigih mengumpulkan bahan-bahan mengenai epik besar yang tersebar di banyak lontaraq ini. Di dalam bukunya Ia menulis bagaimana La Galigo ini meskipun tidak pernah dikumpulkan oleh masyarakat Bugis ke dalam sebuah buku yang utuh, tetap hidup dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perjuangannya nampak dari kesabarannya menyalin lontaraq yang tidak boleh dipinjam dari si pemilik. Selama berhari-hari Ia sanggup menghabiskan waktu dengan menyalin ulang lontaraq tersebut di atas kertas beralaskan koper. Selama 23 tahun Ia berkeliling Sulawesi Selatan dengan diselingi oleh dua kali cuti ke Belanda tahun 1858-1861 dan 1870-1876. Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa yang saat itu berada dalam pengasingan di Makassar menjadi editor yang menyatukan naskah-naskah La Galigo yang ia kumpulkan. Usaha Matthes dan Colliq Pujié menghasilkan kedua belas volume NBG 188 yang saat ini tersimpan di perpustakaan Leiden University. Pada tahun 1906 Ia meninggal dan dikebumikan di kota Den Haag, Belanda.

Cuplikan Bible berbahasa Bugis dalam Aksara Lontaraq (Bijbelgenootschap, 1893)

Tiga masterpiece Mathes yang hingga saat ini masih digunakan sebagai rujukan oleh sarjana-sarjana maupun para peneliti kebudayaan Sulawesi Selatan antara lain; Terjemahan Alkitab dalam Bahasa Makassar-Bugis tahun 1887 dan 1900,  Makassaarsche en Boegineesche Woordenboek (kamus bahasa Makassar-Bugis) serta tiga jilid Boegineesche chrestomathie (bunga rampai budaya Bugis). Inovasi terbesar Matthes selain “penyelamatan” La Galigo dalam bentuk naskah yang utuh adalah usahanya membakukan aksara lontaraq dengan pola dasar segi empat guna mempermudah proses percetakan. Bentuk aksara lontaraq yang mengambil sifat sulapak eppak walasuji sebagaimana yang kita kenal hari ini sejatinya merupakan hasil prakarsa kreatif Matthes. Sebelum itu (pra-abad ke-19), naskah-naskah lontaraq ditulis dalam beragam gaya khas masing-masing manuskripnya.

Referensi:
Sewang, Ahmad. “Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI-XVII)”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Rahim, Abdur Rahman. “Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis.” Yogyakarta: Ombak, 2011.

Universitas Hasanuddin. “La Galigo: Menelusuri Jejak Warisan Dunia.”  Kerjasama Pusat Studi La Galigo, Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian, Universitas Hasanuddin [dan] Pemerintah Daerah Kabupaten Barru, 2003

Rahman, Nurhayati. Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa 1812-1876: Intelektual Penggerak Zaman. Ujung PandangLa Galigo Press. 2008.