LINK FORM PENDAFTARAN di https://docs.google.com/forms/d/1Iqq0dGuzJY72n5p0xpEFkI4Q4dg3EIXluvKk7FD_thY/viewform?usp=send_form
Category: Kareba-Kareba
Kabar-kabar atau berita yang datang dari seluruh dunia tentang La Galigo dan kebudayaan Indonesia
Sore itu, mungkin jadi salah satu sore yang paling sibuk di Makassar. Padatnya arus lalu lintas di setiap ruas-ruas jalan, membuat saya harus berkonsentrasi penuh mengemudikan motor di antara berpuluh-puluh jenis kendaraan lainnya. Namun kami sudah mengatur jadwal, akan bertemu dengan Seorang Pelukis Tanah Liat, bahkan mungkin masih satu-satunya di Dunia.
Sepulang dari Fort Rotterdam, walau dehidrasi menyerang badan, memaksa bulir-bulir keringat jatuh dengan tak acuh, akhirnya saya dan Wulan, tiba di Hotel Clarion. Kebetulan memang ada pameran busana muslimah. Kami heran juga, apakah Daeng juga memiliki usaha butik selain profesinya melukis? Ya sudahlah, yang jelas kami hanya ingin bertemu dengan Zainal Beta, yang juga sekaligus membimbing beberapa komunitas Seni Rupa di Makassar. Salah satunya adalah Indonesia’s Sketcher. Kami ingin berbincang sebentar, mengundang beliau untuk menjadi pembicara Heritage Camp Agustus besok.
Karena bingung, di mana kah gerangan mencari stand Daeng Beta, walaupun sudah menelepon dan diminta mencari stand lukisan, kami yang sempat berputar-putar di area pameran, akhirnya menyerah dan bertanya pada Petugas Karcis masuk, “Oh, itu Dek. Ada ki di nomor 7, di samping panggung.”
Walahh, kami tak berpikir sejauh itu. Maklum, saat masuk, di panggung sendiri sedang diadakan bincang-bincang dengan Puput Melati, walhasil penontonnya yang mayoritas terdiri dari kaum ibu-ibu langsung memadati area sekitar panggung. Kami pun masuk lagi, lewat jalan samping, dan seketika saya berujar pada Wulan, “Itu e! Deh, sangar ya tampangnya.”
Tapi mau tak mau saya harus menyapa. Dan apa yang terjadi? Ohlala, Daeng Beta ternyata SRS. Sungguh Ramah Sekali. Di antara stand-stand busana muslimah trendi lainnya, lukisan-lukisan tanah liat milik Daeng Beta mirip sebuah gerobak es buah : menyegarkan!
Baru kali ini saya berkesempatan melihat langsung hasil lukisan tanah liat itu. Kami tak hentinya berdecak kagum, apalagi sambil ngobrol dengan Sang Maestro yang memulai karya-karyanya ini pada tahun 80-an.
Daeng Beta, hingga hari ini, masih menggunakan tanah liat asli dari Indonesia. Walau lukisan-lukisannya sudah bertaraf Internasional, bahkan sudah ditawari untuk tinggal di Amerika, beliau memutuskan untuk tetap tinggal disini. Sambil menekuni profesi dan mendidik siapa pun yang mau belajar melukis di studio miliknya di Gedung G Fort Rotterdam.
“Salah satu yang paling berkesan hingga hari ini, adalah ketika Affandy, yang kalo Presiden saja mau bertemu dengannya – pun dia tolak, mencari saya pada tahun 1986. Dia (Affandy) kaget mengetahui usia saya pada saat itu masih 26 tahun. Hingga saat ini, dia Profesor, saya masih Doktor. Hahahaha…” kenangnya dengan raut wajah gembira. Kami yang tadinya hanya ingin mengundang, entah tiba-tiba berubah penasaran. Jadi kepo. Ingin tahu ini itu tentang Daeng Beta dan karya-karyanya.
Berapa lama Daeng Beta mengerjakan sebuah lukisan? Beliau malah bertanya balik, “Mau coba tidak? Satu lukisan kecil begini dua menit saja. Kalau yang rumit, sekitar sejam dua jam.” Ia pun mengeluarkan alat-alat sederhananya.
“Tanah liat ini diolah selama 3 bulan. Ya, supaya tidak kotor lagi dan juga tidak berbau. Tapi karakter tanah liat itu sendiri sudah berbeda-beda.” Kami memang mendapati tanah liat itu masing-masing memiliki tingkat warna yang tidak sama. Ada yang cokelat, ada yang kemerah-merahan. Ada yang agak kuning. Tapi semuanya sudah lunak seperti cat poster.
“Ini apa Daeng? Bambu kah?” Saya menunjuk sebuah alat yang mirip dengan pisau cutter. “Oh iya, ini memang bambu. Nanti kamu bisa melihat kegunaan bambu-bambu ini.” Terangnya sabar.
Tanpa saya sadari, beberapa pengunjung lain berdatangan ke stand Daeng Beta, ikut menyaksikan demo lukis yang sungguh sebentar sekali itu. Mereka pun terpancing untuk ikut bertanya, “Wah, lukisan Bapak bagus sekali. Seni itu memang mahal ya…” Daeng Beta hanya menjawab, “Iya.. Kalau mau dibilang mahal, ya mahal. Kalau mau dibilang murah, ya murah juga. Semuanya relatif. Hahahaha..”
Jika melihat lukisan-lukisan Daeng
Kini keahliannya banyak turun kepada generasi yang lebih muda. Kepada anak-anaknya, kepada muridnya. Daeng Beta bertutur panjang tentang pentingnya regenerasi. “Nanti beberapa tahun lagi, akan banyak seperti ini. Variasi semakin berkembang, hanya saja, perlu untuk mencari satu hal yang bisa ditonjolkan. Budaya itu salah satunya.”
Kami menutup dialog hari itu dengan saling bertukar kartu nama. Wah, rasanya tidak sabar menggelar workshop melukis tanah liat kepada peserta-peserta Heritage Camp. Supaya semakin banyak yang tahu, bahwa melestarikan kearifan lokal itu tidak melulu membosankan.
Jumat, 20 Desember 2013
Malam itu auditorium Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, pusat pemerintahan Kerajaan Belanda, penuh. Di luar dugaan, undangan terbuka yang tadinya diperkirakan hanya akan memuat 75 – 100 orang, ternyata membludak. Udara dingin di luar sana seakan tidak menyurutkan langkah mereka yang penasaran untuk hadir dan menyaksikan pertunjukan kami. PPI Rotterdam yang menjadi host kegiatan ini membuka kantin kecil-kecilan di luar auditorium untuk makan malam para penonton. Atas kemurahan hati dari Bu Retno Marsudi selaku Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda, semua yang hadir pada malam hari itu diperbolehkan menyantap hidangan secara gratis. Penonton yang hadir pada malam hari itu merasa beruntung sekali. Kapan lagi ditraktir Bu Dubes seperti ini?
Acara dimulai pada pukul 06.00 PM. Begitu Bu Dubes memasuki ruangan, personil La Galigo Music Project yang telah siap tempur dengan kostum serta alat musik mereka langsung memenuhi ruangan dengan alunan lagu Bengawan Solo. Tentunya versi aransemen kami sendiri. Setelah Bu Dubes memberikan kata sambutan, perwakilan dari PPI Rotterdam yaitu Anasthasia Widastuti turut pula mendapat kesempatan untuk menyampaikan sepatah-dua patah kata. Dengan dipandu oleh Indhira Sembiring dari PPI Rotterdam sebagai MC, acara beralih ke talkshow mengenai Lontara Project dan La Galigo Music Project. Akan tetapi, sebelum talkshow-nya sendiri dimulai, ketua PPI Belanda Willy Sakareza tiba-tiba mengambil alih panggung untuk memberikan kejutan kepada Bu Dubes. Bu Retno Marsudi yang baru saja berulang tahun diberikan hadiah berupa sebuah foto berbingkai indah yang tersusun dari wajah-wajah anggota-anggota PPI di Belanda. Yang ini benar-benar di luar skenario kami!
Acara berlanjut dengan pemaparan terkait apakah itu La Galigo oleh Muhammad Ahlul Amri Buana, bagaimana awal berdirinya Lontara Project oleh Maharani Budi, dan mengapa menggunakan musik sebagai media konservasi kreatif oleh Muhammad Yusuf. Talkshow berjalan dengan akrab dan hangat, sempat mengundang tawa penonton pada beberapa kisah yang dilontarkan oleh ketiga pembicara. Setelah sekitar 30 menit berbincang, penonton dipersilakan untuk menikmati makan malam. Tim La Galigo Music Project mengiringi makan malam dengan sajian lagu-lagu lama Indonesia yang dulunya pernah populer di negeri Belanda. Lagu-lagu seperti “Burung Kakatua”, “Nurlela”, “Aksi Kucing” dan “Medley Indonesia Timur” berhasil memukau penonton yang tengah menyantap makanan. Beberapa orang bahkan memilih untuk meletakkan makan malamnya dan menikmati iringan musik kami sambil sesekali mengambil gambar kami.
Setelah sekitar setengah jam menikmati makanan serta iringan musik, penonton kembali ke tempat duduk masing-masing. Sebuah dokumenter singkat karya Eni Puji Utami dan kawan-kawan terkait perjalanan La Galigo Music Project yang berpusat di Yogyakarta ditayangkan. Dokumenter singkat itu disusul oleh sebuah video pendek karya Faizt Elmir yang menggambarkan kegiatan tim Lontara Project di hari pertama misi “La Galigo Goes to The Netherlands”. Video tersebut merekam momen-momen saat kami mengunjungi KITLV dan melihat langsung ke-12 jilid naskah asli La Galigo yang tersimpan di Perpustakaan Leiden University.
Setelah pemutaran kedua video tersebut, suasana mendadak hening. Tim La Galigo Music Project bersiap untuk menampilkan pagelaran sendratari “The Journey of Batara Guru” yang menjadi acara puncak pada malam itu. “The Journey of Batara Guru” merupakan sebuah penampilan artistik hasil olah cipta, rasa dan karya tim La Galigo Music Project selama sebulan belakangan ini. Sendratari tersebut mengangkat salah satu episode awal di dalam Sureq Galigo, yaitu “Mulana Tau” atau asal mula manusia.
Alkisah, Datu PatotoE Sang Penguasa Langit memutuskan untuk menurunkan putranya yang bernama Batara Guru untuk memulai kehidupan ras manusia di permukaan bumi. Batara Guru diberikan berbagai macam perlengkapan magis untuk memulai misinya itu. Dimasukkan ke dalam sebuah bambu betung, Batara Guru lalu turun ke Ale Lino (dunia tengah) dan mulai tugasnya mengisi kekosongan bumi. Ia menciptakan gunung-gemunung, sungai, lautan, hutan-hutan, burung-burung dan juga hewan-hewan lainnya. Ketika tugasnya telah selesai, Batara Guru merasakan kesepian yang amat sangat. Ia merasa dirinya takkan sanggup untuk tinggal di permukaan bumi ini seorang diri. Maka, atas kesepakatan antara Datu PatotoE bersama sepasang suami-istri dewa penguasa Toddang Toja (dunia bawah), dimunculkanlah seorang dewi yang amat cantik dari buih-buih di lautan. Ia lah We Nyiliq Timoq, namanya berarti “Kerlingan dari Timur”, seorang wanita yang akan menjadi pasangan Batara Guru di muka bumi. Pernikahan antara Batara Guru dan We Nyiliq Timoq pun dirayakan oleh penuh sukacita oleh penghuni kerajaan langit dan kerajaan bawah air.
Mungkin ekspektasi penonton ketika melihat pamflet sendratari ini adalah sebuah pertunjukan drama yang diiringi oleh pukul-pukulan gendang, tiupan seruling dan puik-puik, atau dentangan kecapi khas Bugis-Makassar. Memang unsur-unsur tersebut masih dapat kita temukan sepanjang sendratari berlangsung, akan tetapi apa yang kami tampilkan pada malam hari itu merupakan sebuah karya kontemporer yang memadukan musik tradisional Indonesia, musik klasik, dan bahkan musik Barat ke dalam sebuah kanvas cerita. Pertunjukan terdiri atas empat buah babak. Babak pertama berjudul “Turunnya Batara Guru”, menggambarkan sosok Batara Guru (diperankan oleh Fahmi Ramadiansyah) yang dititahkan oleh orang tuanya untuk turun ke Ale Lino. Di sini kami mengambil beberapa bait potongan dari naskah La Galigo yang sesuai dengan isi cerita. Hanya saja langgam massureq (irama yang dipakai ketika menyanyikan La Galigo pada ritual-ritual adat di Sulawesi Selatan) kami modifikasi dengan gaya Gregorian sehingga ketika dinyanyikan menimbulkan efek opera. Di babak kedua yang bertema “Penciptaan”, huruf-huruf dari aksara lontaraq Bugis disenandungkan dengan metode canon paduan suara, alias saling berbalasan namun dengan tempo yang berbeda. Aksara lontaraq yang merupakan bukti puncak kekreatifan manusia dalam peradaban di Nusantara sengaja dipilih untuk kami gemakan sebagai penanda bahwa pada fase ini Batara Guru yang telah turun ke dunia menggunakan energi kreatifnya demi menciptakan berbagai rupa benda. Babak ketiga merupakan babak yang menggambarkan kemunculan We Nyiliq Timoq sebagai pasangan Batara Guru. Dengan mengambil gerakan tarian Sulawesi Selatan, Ina Kurnia Savitri yang memerankan We Nyiliq Timoq muncul ke tengah panggung diiringi oleh suara bassing-mpassing yang menyayat-yayat dan bait Sureq Galigo yang dinyanyikan dengan langgam bissu Saidi. Setelah pertemuannya dengan Batara Guru, lagu Indoq Logo dan dentingan irama barasanji Bugis melalui kitoka mengiringi kedua pasangan tersebut menari. Babak keempat merupakan klimaks pertunjukan. Tari empat etnis Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja) dibawakan secara kontemporer oleh para penari, menggambarkan kemeriahan pernikahan Batara Guru dan We Nyiliq Timoq. Pertunjukan sendiri ditutup oleh medley lagu tradisional dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia. Secara spontan, banyak penonton yang ikut larut bahkan hingga terjun ke panggung untuk menari bersama para penari.
Malam itu, La Galigo Music Project sukses mengguncang KBRI Den Haag. Tawa riang para penonton membuktikan kesuksesan proses panjang yang ditempuh oleh tim kami selama ini. Batara Guru telah turun sekali lagi, kali ini ia “dihidupkan” untuk memberikan inspirasi kepada generasi muda Indonesia meskipun jauh dari tanah air. Tentunya kegiatan “La Galigo Goes to The Netherlands” ini tidak akan mungkin dapat terwujud tanpa bantuan dari sponsor-sponsor kami yaitu Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, serta Garuda Indonesia. Dari hati yang terdalam kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka yang telah mendukung “turunnya” Batara Guru pada malam hari itu.
Abadilah La Galigo, abadilah kebudayaan Nusantara!
Artikel mengenai kegiatan tim Lontara Project di KBRI Den Haag juga diliput oleh detik.com dan Andi Ahmad Yanni. Link artikelnya dapat dibuka di:
- PPI Rotterdam Ajak Peduli Budaya Bangsa http://news.detik.com/read/2014/01/01/192427/2456031/10/ppi-rotterdam-ajak-peduli-budaya-bangsa
- Menziarahi La Galigo di Belanda http://makassar.tribunnews.com/2013/12/23/menziarahi-la-galigo-di-belanda