Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan

Menemukan Persembunyian Sang Elang Bondol

Satwa Indonesia terancam! Aduh aduh… Di negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi seperti tanah air ini ternyata semakin banyak saja hewan-hewan endemik yang masuk ke dalam daftar binatang langka. Salah satunya adalah Elang Bondol. Mari simak petualangan kontributor kami Githa Anathasia dalam pencariannya menemukan persembunyian Elang Bondol…

Uhh, bau amis menyengat begitu kami memasuki kawasan Muara Angke Jakarta. Pagi itu, kami berencana mengunjungi salah satu pulau di Kep.Seribu yang bernama Pulau Kotok Besar, melalui penyeberangan dermaga Muara Angke. Rasa penasaran yang besar, membuat kami ingin mengunjungi pulau tersebut, berdasarkan info yang didapat bahwa di pulau tersebut terdapat tempat Konservasi Elang Bondol dan Elang Laut, yang keberadaanya di Indonesia khususnya sekitaran Jakarta sudah bisa dibilang hampir musnah.

Haliastur Indus atau Brahminy Kite nama spesies ini. Memiliki ukuran sedang (45 cm), berwarna putih dan coklat pirang. Elang bondol yang remaja berkarakter seluruh tubuh kecoklatan dengan coretan pada dada. Warna berubah putih keabu-abuan pada tahun kedua, dan mencapai bulu dewasa sepenuhnya pada tahun ketiga.Ujung ekor bundar.Iris coklat, paruh dan sera abu-abu kehijauan, kaki dan tungkai kuning suram.
Ketika dewasa,karakter tubuhnya adalah,kepala, leher, dada putih. Sayap, punggung, ekor, dan perut coklat terang. Kontras dengan bulu primer yang hitam. Makanannya hampir semua binatang, hidup atau mati.Di perairan, makanannya berupa kepiting, dan di daratan memakan anak ayam, seranggan dan mamalia kecil. Memiliki sarang berukuran besar, yang terbuat dari ranting pada puncak pohon. Warna telurnya putih, sedikit berbintik merah, jumlah 2-3 butir.Perkembang biakan pada bulan Januari-Agustus, dan Mei-Juli.
Sekitar tahun 1989, elang bondol dan Salak Condet dijadikan sebagai maskot kota Jakarta. Hal itu bisa dilihat di kawasan Cempaka Putih. Di sana terdapat sebuah patung tegak berdiri, yakni patung “burung bondol membawa salak condet”. Kalau di India, dianggap sebagai representasi kontemporer Garuda, burung suci dari Wisnu.

Bahkan ada sebuah fabel yang berjudul Pulau Bougenville menceritakan seorang ibu yang meninggalkan anaknya di bawah pohon pisang sambil berkebun, dan si bayi melayang ke langit sambil menangis dan berubah menjadi Kaa’nang, yaitu elang bondol, dan kalungnya berubah menjadi bulu burung

Akhirnya jam 6.30 kapal kami berangkat dari Dermaga Muara Angke menuju Dermaga Pulau Kelapa. 3 Jam berlalu, sampailah kami di Pulau Kelapa. Kami dijemput oleh guide kami, menuju Pulau Kotok yang berjarak sekitar 15-20 menit.
Sampailah kami di Pulau Kotok Besar yang bila dilihat dari luar seperti hutan, tetapi di sisi lain pulau tersebut terdapat resort yang cukup mewah bagi para honeymooners atau mereka yg ingin menginap dengan cara yang berbeda.

Dua ekor elang bondol beraksi depan kamera

Memasuki pulau ini , kami disambut dengan bunyi nyaring hewan yang ternyata selama ini kami pertanyakan keberadaanya, yakni Burung Elang Bondol. Mereka berada dalam kandang yang terbuat dari jaring jaring besar. Didalam kandang itu terdapat sebuah bak besar untuk hewan hewan tersebut minum. Tetapi hey, kenapa ada yang pincang ya trus kok bulunya ada yang hilang..?.
Akhirnya pertanyaan itu terjawab, menurut penuturan Mas Fauzi volunteer yang bekerja untuk JALAN ternyata burung burung malang ini adalah hasil sitaan mereka dari para pembeli ilegal.

Di Pulau Kotok Besar ini, burung burung tersebut di rawat dan akhirnya dikembalikan ke alam liar. Sebelum dilepaskan, ada proses adaptasi dan recovery terlebih dahulu.
Banyak sekali Elang Bondol disini, dan kondisinya memprihatinkan. Ada yang jarinya patah, sayap terbangnya patah, bahkan ada yang pincang. Dan itu bukan karena mereka berburu mangsa, tetapi karena manusia tidak bertanggung jawab yang membeli mereka yang berharap dengan memperlakukan mereka seperti itu, mereka tidak bisa terbang lagi. Ih .. jahatnya manusia.

Diluar dari Pulau Kotok terdapat jaring besar yang langsung menghubungkan Elang dengan laut, ternyata tempat itu berfungsi untuk tempat adaptasi sebelum akhirnya dilepas liarkan.

Tak hanya Elang Bondol yang ada disini, ada Oneng sang Elang Laut Perut Putih yang cantik dengan warna bulu sayapnya keabuan.
Haliaeetus leucogaster, nama latin spesies ini. Dengan tubuh sebesar (70 cm). Elang yang saya lihat berukuran dewasa dengan warna kepala, leher, bagian bawah putih serta sayap, punggung, dan ekor abu-abu. Elang ini hobi bertengger di pohon pinggir perairan atau daerah karang. Menurut Fauzi, bila burung ini menangkap ikan di permukaan laut dengan tukikan tajam, tubuhnya hampir tidak basah. Sarangnya terbuat dari dahan dan ranting berlapis daun pada pohon tinggi. Dengan telur berwarna putih, dan berkembang biak di bulan Mei dan Juni. Sayangnya, Oneng sudah tidak bisa lagi terbang seperti semula karena sayapnya sudah patah.

Melihat kondisi spesies ini yang menjadi maskot Ibukota dari Indonesia, sungguh disesalkan. Butuh kepedulian kita untuk tetap melestarikannya, jangan sampai punah. Selain karena proses perkembang biakannya yang lambat, hewan ini juga rentan menjadi incaran para kolektor memiliki daya tarik yang menawan, dan memiliki harga jual yang tinggi. Siapa yang tidak tergiur?

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika kita mengunjungi lokasi Konservasi atau rehabilitasi satwa.

Jangan datang terlalu ramai; bila jumlah kunjungan kita terlalu banyak, hewan yang ada di lokasi tersebut akan panik, selain membahayakan mereka, juga membahayakan diri kita sendiri
Jangan sekali kali memberi makan mereka dengan makanan yang kita bawa. Animal feeding itu memiliki impact yang tidak baik bagi satwa yang berada di daerah Konservasi/rehabilitasi. Gak mau kan, begitu kita tinggalkan lokasi tersebut hewan hewan itu mencari-cari makanan yang kita bawa, bukan makanan asli mereka lagi.
Dont touch anything. Kuman paling gampang menular melalui sentuhan tangan.
Use your mask, kalau misalnya kita memang sedang flu supaya tidak tertular ke mereka, begitupun sebaliknya.
Pahami, Catat, dan Bagikan. Pahami mengenai hewan tersebut, Catat hal penting yang nantinya bisa kita Bagikan ke orang lain.
Bantu teman teman volunteer, dengan turut menjaga kebersihan lokasi konservasi dan mengumpulkan donasi untuk kebutuhan pemeliharaan hewan hewan tersebut.
Yang terpenting, jangan membeli satwa langka / dilindungi dari para penjual. Tingkat kepunahan akan tinggi saat konsumen banyak yang membelinya.

Sudah seharusnya kita bangga akan hewan asli negara kita sendiri, jangan sampai menyesal ketikan hewan hewan tersebut sudah punah, atau saat diakui oleh negara lain. Di saat hewan hewan itu ada di negara kita, sebesar apa kontribusi kita untuk mereka?

 

Githa Anathasia, seorang ecotourism consultant, penikmat pasar tradisional, volunteer kegiatan sosial dan lingkungan. Predikat itu berada di perempuan ini, plus salah satu penghargaan yang baru saja ia terima sebagai salah satu Creative Tourism Ambassador dari salah satu Media Marketing terkemuika di Indonesia. Kenali Indonesia dan budayanya melalui sisi masyarakat lokal dan potensi kelompok usaha diwilayah tersebut.

Categories
Featured Galigoku

Senja Anging Mammiri

Menjelang senja kami datang. Menjengukmu  yang jauh di pengasingan. Sudah lama kau terbaring, terasing sepi di negeri daeng. Aku tahu tuan menunggu, lama menunggu.. menghadap laut bersila di serambi menanti anging mammiri bertiup dari Losari.

Menjelang senja yang hampir padam, tuan… dengan decak langkah terkayuh menuju tumpahan duka dan pilu masa lalu. Tempat kau bertempur, mengerang, dan mengubur kekalahanmu. Aku datang tuan, dalam bendungan kerinduan, menyelipkan senyum kemenangan, menutup luka pengkhianatan.. paling tidak demikian. Tuan, hampir dua ratus tahun belalu. Senja itu masih terasa pilu.. Magelang 1830, menjelang senja.. sebelum maghrib tiba di bukit Manoreh yang tua.

Menjelang senja, kumengetuk dipintumu. Haru jiwaku menatapmu yang terdiam membatu.  Sujudku hantarkan doa  kedamaian, pada tuanku. Ah tuan, akhirnya aku bisa menjengukmu, lewat langkahku, bukan lewat buku.

Ini bukan nostalgia, memoria, atau terinspirasi dari sebuah cerita. Engkau yang dulu rela menderita dalam keterasingan, patutlah kami memuja. Patriotmu bagai cambuk, bagai pemicu, bagai peluru, memaksa untuk terus bergerak maju.

Tuan.. senja ini pernah ku impikan dimasa lalu, jauh sebelum aku sanggup mengarungi lautan biru. Senja itu kini telah tiba, bersama anging mammiri melayarkanku hingga Ternate dan Tidore. KRI surabaya 591 tuan yang membawaku kemari, KRI surabaya 591 tuan, yang mengingtkanku kembali.. pada tuan yang terdiam di pengasingan buram terkubur zaman.. nyaris dilupakan.

Kini senja berhias jingga seperti sore dahulu kala. Pekatnya sama dikala tuan injakkan kaki di negeri daeng. Menjelang senja di akhir tahun 1834 tiba di Port of Makassar, tetap tuan tak terkalahkan. Di penghujung langkahku di kota Daeng, Aku datang dengan sekantung bunga yang kubeli di kampung melayu seharga 5 ribu. Seharusnya kuhaturkan juga sekantung rindu dari tanah kelahiranmu, Negeri Ngayogyakarto. Dan seharusnya tuan, kutaburkan sekantong doa dari 6 juta rakyat Indonesia di atas pusaramu. Tapi tuan, kini senja menjelang, dan 6 juta rakyat indonesia mungkin tengah asik nonton Tv sampai lupa diri.

Menjelang senja aku datang

Menjengukmu dalam sepinya kesendirian

Dalam senja aku datang

Membawa derap langkah tak berjejak

berharap mereka akan mengingat

menjengukmu dilain waktu

sama sepertiku

Satu lagi dari hati,

Makassar 20 Sepetember 2012.

 

Asyhadi Mufsi Batubara, pemuda asal Sumatera Utara ini memiliki ketertarikan yang besar terhadap dunia arkeologi dan maritim Indonesia. Pernah terpilih sebagai awak dalam Ekspedisi Kebudayaan Kapal Layar Republik Indonesia Majapahit keliling Asia, pria yang hobi scuba diving, bermain skateboard dan menulis ini kini tengah merampungkan studi S2-nya di Universitas Gadjah Mada. Baca tulisan-tulisannya di http://penjelajahbahari.wordpress.com/

 

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Membaca Sejarah Lewat Tarian: Jejak Bugis-Makassar dalam Seni Tari Jawa Klasik

Pandangan awam masyakarat di Pulau Jawa terkait Makassar umumnya tidak jauh dari “kasar”, “demo”, atau “brutal”. Betapa tidak, berita-berita yang muncul di televisi terkait daerah ini selalu berhubungan dengan bentrok mahasiswanya atau tawuran antarwarga. Penghuni jazirah Sulawesi Selatan yang mayoritas terdiri atas suku Bugis-Makassar pun mendapat label sebagai bangsa yang gemar bertindak kasar. Meskipun pada kenyataannya tidak benar demikian, stereotype tersebut terus melekat. Padahal, zaman dahulu orang-orang Bugis-Makassar memiliki reputasi yang bagus di benak penduduk Pulau Jawa. Bahkan kewibawaan, ketangkasaan, kecerdikan serta kesetiaan mereka diabadikan dalam banyak tarian klasik yang hari inipun masih dapat ditelusuri mulai dari ujung Jawa sebelah timur hingga ke ujung baratnya. Tidak percaya? Yuk simak tiga di antaranya!

 

Jawa Timur – Tari Topeng Malangan

Malang tidak hanya terkenal dengan apelnya. Bekas pusat kerajaan Singosari yang didirikan oleh Ken Arok ini juga kaya dengan rupa-rupa budaya. Salah satu di antaranya ialah Tari Topeng Malangan. Tari Topeng Malangan tergolong sebagai tari Jawa klasik yang bercerita. Tari ini mengisahkan seorang pangeran bernama Panji Asmarabangun yang tengah mencari-cari pasangan jiwanya, Galuh Candrakirana alias Dewi Sekartaji. Nah, seorang raja dari kerajaan asing bernama Prabu Klana (baca: Kelono) yang sebenarnya juga sudah mengincar Dewi Sekartaji sejak lama masuk ke tengah-tengah hubungan keduanya. Intrik-intrik pun bermunculan di tengah pengelanaan Panji Asmarabangun. Persaingan antara dua orang pria dalam merebutkan sang putrilah yang mewarnai kisah dalam tari topeng ini.

Karakter Prabu Klana ternyata memiliki ragam nama dan identitas, tergantung versi yang mana yang dianut oleh penarinya. Sebagai contoh, sosok Prabu Klana Sewandana dianggap berasal dari Kerajaan Bantarangin (Ponorogo). Kemudian ada Prabu Klana Mandra Kumara dari Kerajaan Gedhah Sinawung (Makassar), Prabu Klana Gendingpita dari Surateleng (Wengker, di versi lain disebut berasal dari Sabrang), Prabu Klana Swadana dari Bali, Prabu Klana Mandraspati dari Malaka serta Prabu Klana Tunjungseta dari Kerajaan Pajang Pengging. Dari sekian banyak varian nama dan asalnya tersebut, seorang sejarawan bernama Adrian Vickers di dalam buku berjudul “Peradaban Pesisir” memaparkan temuannya bahwa tradisi syair-syair tertulis yang menjadi patokan kisah-kisah Panji di Jawa Timur mayoritas menyebut karakter Prabu Klana sebagai seorang raja Bugis. Tradisi ini mengidentikkan Prabu Klana sebagai seorang raja dari negeri Sabrang (negeri di seberang samudera) yang disamakan dengan kerajaan Makassar.

Tari Topeng Malangan

Tokoh Prabu Klana ditarikan oleh seorang pria yang bertubuh besar, tinggi dan gagah. Gelungnya berbentuk jangkahan, warna kuning emas, hitam, merah, badan warna kuning emas, berkeris wrangka branggah. Topeng Prabu Klana sendiri berwarna merah, berkumis tebal dan berbola mata melotot, menggambarkan seorang pemimpin yang tegas, sakti dan kaya raya. Meskipun gerakan tarinya terkesan merepresentasikan angkara murka dan dominasi, topeng raja berwajah tampan ini juga menunjukkan sisi-sisi humanis seperti kesedihan dan pengharapan, yang sebenarnya merupakan cerminan diri manusia agar selalu mawas diri dari nafsu amarahnya sendiri.

Perannya yang antagonis menjadi penyeimbang karakter tokoh protagonis, Panji Asmarabangun. Uniknya, dalam perspektif kebudayaan, masyarakat tidak kemudian dengan serta-merta menempatkan tokoh Prabu Klana sebagai antagonis yang kemudian dibenci. Buktinya, varian Topeng Malangan yang ditemukan di Jawa Tengah dengan nama Tari Kelono Topeng menempatkan tokoh raja dari Makassar ini sebagai figur sentralnya. Sifat-sifat kesatriaan, perlawanan, ketegasan, rasa malu dan penjunjungan yang tinggi terhadap harga diri (yang dalam kebudayaan Bugis-Makassar disebut ‘sirri dan pesse’) melekat padanya. Tidak heran jika pada perkembangan kemudian, tokoh Prabu Klana menjadi salah satu karakter yang paling luas ditafsirkan dari kisah Panji.

 

Jawa Tengah – Tari Bugis Kembar

Tarian ini digolongkan sebagai tari gagah atau tari yang dibawakan oleh dua orang penari pria. Tari Bugis Kembar umumnya dipersembahkan sebagai tarian pembuka pada suatu acara. Tari ini memamerkan ketangkasan, kelincahan serta kekompakan dua orang prajurit Bugis yang sedang berlatih perang tanding. Dulunya tarian ini sering dibawakan oleh putra-putra kerajaan atau pangeran-pangeran muda sebagai bagian dari olah fisik mereka.

Mengapa harus Bugis (dan) kembar? Kerajaan Mataram dan kedua turunannya (Kasunanan Surakarta serta Kasultanan Yogyakarta) memiliki resimen yang terdiri atas pasukan-pasukan Bugis-Makassar nan gagah berani. Di Yogyakarta kita masih dapat menyaksikan jejak mereka; ada daerah bernama Bugisan serta Dhaengan yang dulunya merupakan tempat tinggal pasukan Bugis dan Dhaeng dari Tanah Sulawesi. Konon batalyon Patangpuluhan (Empat Puluh) yang eksklusif untuk melindungi sultan itu juga terdiri atas pejuang-pejuang Bugis. Keharmonisan antara Kasultanan Yogyakarta dan para prajurit Bugis yang setia ini tercermin dalam banyak tarian. Koreografer-koreografer tari istana, bahkan hingga sultan sendiri, kagum oleh kegagahan serta kekompakan prajurit-prajurit Bugis-Makassar ini sehingga terinspirasi untuk menciptakan tarian dari gerak tubuh mereka.

Selain Bugis Kembar, di Jawa Tengah ada juga tarian bernama Handaga Bugis Kembar. Lho, apa bedanya? Handaga Bugis Kembar merupakan tarian yang melukiskan peperangan seorang prajurit Kediri melawan dua orang prajurit Bugis. Tarian ini diperankan oleh 3 orang penari. Seorang penari berperan sebagai Handaga dan dua orang lainnya berperan sebagai prajurit Bugis. Perlengkapan yang dipergunakan berupa tongkat panjang dan trisula.

Raja Mangkunegara IV (1853-1881) dari Keraton Surakarta juga pernah menciptakan tarian bernama Wireng Panji Bugis. Sebagaimana di Keraton Yogya, idenya tidak terlepas dari kekaguman terhadap kegagahan prajurit Bugis di kalangan istananya. Tarian lain menyusul di masa pemerintahan Mangkunegara VI (1896-1916) dengan nama Wireng Bugis atau Rewantaka. Kata Wireng berasal dari Bahasa Jawa yaitu wira yang berarti prajurit dan ing atau aeng yang artinya sakti. Jadi Wireng Bugis kira-kira berarti prajurit Bugis unggul yang linuwih atau prajurit Bugis pemberani. Hmmm… Inspirasi untuk menciptakan tari ternyata bisa datang dari mana saja, termasuk dari prajurit-prajurit negeri seberang ini!

 

Tari Bugis Kembar

Jawa Barat – Tari Ronggeng Bugis

Tari yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat ini termasuk unik. Berbeda dengan tari ronggeng biasa yang umumnya dibawakan oleh perempuan, Tari Ronggeng Bugis justru dibawakan oleh beberapa orang pria gagah. Uniknya, dalam tarian ini ronggeng-ronggeng pria tersebut tidak berpakaian laksana pangeran, mereka justru mengenakan pakaian kaum Hawa. Mereka bergelung dan diberi bunga, mengenakan kebaya berwarna ngejreng, berjarik, memakai bedak pekat berwarna putih seperti hiasan wajah geisha Jepang, serta mengenakan pemerah bibir nan menor. Sambil meliuk-liuk jenaka, sesekali para ronggeng pria itu akan berinteraksi dengan cara menggoda penonton pria.

Adakah hubungan antara Tari Ronggeng Bugis dengan pandangan masyarakat Cirebon masa lalu mengenai bissu, pendeta lelaki dalam kepercayaan Bugis kuno yang mengenakan pakaian serta bertingkah laku seperti perempuan? Jika iya, berarti kisah mengenai bissu yang bahkan jumlahnya semakin menyusut di kampung halamannya sendiri itu sejak zaman dulu sudah pernah terdengar hingga ke Tatar Sunda. Berdasarkan informasi yang penulis dapat melalui internet, latar sejarah tarian rakyat ini bercerita tentang sekawanan telik sandi (mata-mata) Bugis yang tengah berkamuflase untuk mendapatkan informasi dari pihak musuh.

Konon, Sunan Gunung Jati yang memerintah di Kerajaan Cirebon sedang kebingungan. Kerajaan Islam yang ia dirikan itu baru saja memisahkan diri dari Kerajaan Pakuan Pajajaran yang masih beragama Hindu. Setiap saat dapat timbul gesekan antara Cirebon dan Pajajaran. Untuk mengetahui kekuatan serta strategi lawan, maka Sunan Gunung Jati pun mengutus duabelas hingga duapuluh orang prajurit Bugis kepercayaannya untuk menyamar menjadi perempuan dan menyusup ke istana Pajajaran. Telik sandi-telik sandi Bugis ini ternyata dipandu oleh seorang perempuan cantik jelita namun sakti mandraguna bernama Nyi Gandasari dari Aceh, murid Ki Sela Pandan (salah satu pendiri Cirebon). Mereka membentuk grup kesenian keliling, bernyanyi dan menari dari satu tempat ke tempat lain. Alhasil, mereka berhasil mendapatkan banyak informasi mengenai rahasia Pajajaran.

Pertunjukan Tari Ronggeng Bugis oleh SMKN 1 Kedawung. Sumber: http://edogawa08.blogspot.com/2012_03_01_archive.html

Interaksi masyarakat Jawa bagian barat dengan suku Bugis-Makassar bukanlah hal yang asing. Menurut tradisi lisan, kerjasama ini telah berlangsung sejak zaman Kerajaan Galuh (sejak tahun 670 hingga 1500-an). Salah satu bentuk pertalian antaretnis yang paling terkenal ialah pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Tahun 1644, sepulang dari haji, Syekh Yusuf Al-Makkassary singgah di Banten. Di sana ia menikah dengan putri Sultan Ageng Tirtayasa, kemudian menikah lagi dengan dua orang wanita dari Serang dan Giri. Syekh Yusuf di Banten mengobarkan semangat jihad untuk melawan Belanda. Pasukannya terdiri atas pengikut-pengikutnya dari Sulawesi Selatan serta pejuang-pejuang lokal. Saat itu gerakannya telah melebarkan pengaruh mulai dari Banten hingga Cirebon sehingga membuat Belanda kebat-kebit. Beliau pun disingkarkan dari Bumi Banten pada tahun 1684 ke Afrika Selatan. Nah, keturunan pengikut Syekh Yusuf dari Sulawesi Selatan ini kemudian banyak yang menikah dengan penduduk lokal dan menurunkan generasi keturunan Bugis-Makassar di Jawa Barat.

Setelah melihat jejak-jejak Bugis-Makassar di Pulau Jawa yang terabadikan dalam seni tari, tentunya kita dapat memahami bagaimana masyarakat Jawa pada masa lalu menilai bangsa pendatang dari Pulau Sulawesi. Nah, hal ini juga bisa menjadi bahan evaluasi bagi generasi Bugis-Makassar zaman sekarang, apakah mereka masih layak untuk dipandang dengan hormat dan penuh wibawa oleh masyarakat dari daerah lain? Kualitas diri seseorang tidak ditentukan oleh dari mana ia berasal, tapi berdasarkan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya. Yuk, kita kekalkan kembali persatuan dalam keragaman dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika!

 

Referensi:

Ayam Jantan Tanah Daeng, Nasaruddin Koro, Penerbit Ajuara, Jakarta: 2005.
Peradaban Pesisir, Adrian Vickers, Udayana University Press, Denpasar: 2009.
http://www.indosiar.com/fokus/tari-ronggeng-bugis-atau-tari-telik-sandi_27440.html
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/08/ronggeng-bugis.html
http://www.tembi.org/majalah-prev/2001_07_ensiklopedi.htm
http://kotamanusia.wordpress.com/2011/07/page/3/