Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Fashion Show Sulawesi Selatan di Belanda

Meskipun telah lama berhijrah ke negeri Belanda, Adella Ranggong masih tak dapat melupakan Sulawesi Selatan sebagai kampung halamannya yang tercinta. Itulah sebabnya ketika kota Goes yang terletak di Provinsi Zuid Holland, Belanda memutuskan untuk mengangkat tema “Aziejaar” alias Tahun Asia, Tante Adella pun tak segan-segan mengajukan proposal kepada pemerintah kota ini. Usahanya tersebut berbuah manis. Pada tanggal 23 September 2017 lalu, bersama dengan rombongan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan cabang Belanda, mimpi Tante Adella akhirnya terwujud. Beragam corak baju daerah Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja yang dikenakan oleh model-model (terudiri atas warga asli Sulawesi Selatan yang bermukim di Belanda maupun warga Belanda sendiri) tersebut hilir-mudik di atas catwalk membuat publik Goes terkesima. Simak wawancara Louie Buana dengan Tante Adella terkait dengan event tersebut.

Aksi dua model cilik di Aziejaar kota Goes. Sumber: goesisgoes.nl

Louie: “Tante, bisa cerita bagaimana awalnya sehingga kok kota Goes memilih untuk mengadakan acara fashion show dengan melibatkan komunitas Sulsel di Belanda?”

Tante Adella: Tahun ini tema kota Goes adalah Asia. Ini melibatkan banyak negara-negara di Asia. Pemkot di sini tahun lalu sudah meminta warganya kalau ingin memberikan ide buat event-event yg bertemakan Azie. Bulan April lalu saya sudah pernah libatkan kelompok penari Kombongan Toraja untuk acara Goes Culture. Saya lihat orang di sini kurang kenal dengan daerah kita apalagi kultur kita (Sulawesi Selatan). Makanya saya pikir ini kesempatan bagus buat memperkenalkannya. Kombongan Toraja tampil pada bulan Agustus di Goes. Pemkot Goes saat it sangat senang dan takjub melihat keunikan daerah kita. Mereka kemudian meminta kepada saya seandainya perwakilan dari Sulsel sanggup mengisi acara mode show yg akan mereka adakan di bulan September. Ini kesempatan yang saya tentunya tidak mau lewatkan begitu saja. Kesempatan untuk mempromosikan daerah Sulsel buat memperlihatkan keindahan warna warni pakaian adat kita. Makanya saya langsung semangat dan menjanjikan kalo sanggup buat fashion show yang keren buat Goes.”

Louie: “Lalu untuk persiapan acaranya bagaimana, Tante? Siapa-siapa saja yang terlibat?”

Tante Adella: Persiapannya yach.. Saya sendiri yang mondar mandir rapat dengan pemkot Goes .. Tanya sama mereka secara detail panggung berapa meter panjang lebarnya, waktu berapa menit yang dialokasikan, berapa kali model kami harus tampil, kemudian mencari model dan lagunya juga. Koleksi pakaian saya pinjam dari KKSS, dengan bantuan dari Herlina dan Sunarti. Visagist (make up artist) yang membantu saya waktu itu ada Herlina, Lisda, Andi Wally (orang sulsel yang tinggal di Goes), serta Rana dan Nesri dari Kombongan Toraja. Mereka juga membantu memakaikan baju para modelku yg org Belanda. “

Pakaian Adat Toraja. Sumber: goesigoes.nl

Louie: “Nah, konsep fashion shownya sendiri seperti apa?

Tante Adella: “Konsepnya sebenarnya berasal dari Pemkot Goes. Saya sekedar mengikuti prosedur mereka sebagai bahagian dari acara Aziejaar.”

Pakaian Adat Pengantin Bugis-Makassar. Sumber: goesisgoes.nl

Louie: “Pertanyaan terakhir, Tante. Bagaimana reaksi dari masyarakat Goes sendiri atas diadakannya fashion show ini?”

Tante Adella: “Responds masyarakat Goes sangat Antusias. Mereka kagum melihat keindahan baju-baju kita. Mereka baru mengetahui kalau Sulawesi Selatan itu juga bagian dari indonesia. Selama ini mereka hanya kenal pakaian batik, Pulau Jawa dan Bali. Lagu yang saya pakai dalam mode show ini saya mixing sendiri dari kiriman teman di Makassar. Lagu-lagunya dari De La Galigo Syndicate Jazz pimpinan Andi Mangara (Radio Mercurius). Sengaja pakai lagu ini karena enak didengar serta cukup international dengan sentuhan etnik. I am so proud to represent my fatherland here, in my second homeland. Pemkot Goes sangat puas karena shownya indah sekali dan I contribute something new to Goes.”

Bagi teman-teman yang penasaran dengan keindahan pakaian Sulawei Selatan yang diperagakan di Goes Mode Show, silakan mengunjungi websitenya di sini.

Categories
Featured Lontara Project

Perayaan World Heritage Day 2016

Makassar World Heritage Day 2016 Empat tahun Komunitas Lontara Project memperingati Perayaan World Heritage World (Hari Pusaka Dunia). Dalam tahun keempat ini, LP mempersembahkan WHD dengan mengangkat tema Warisan Budaya Takbenda dan Konservasi yang difokuskan pada warisan dalam lingkup wilayah Sulawesi Selatan. Mari kita membangun kesadaran akan warisan nenek moyang kita yang ada di sekitar. Lihat lebih dekat, karena dari akar budaya kita kembali. Ayo turut berpartisipasi dengan daftarkan diri teman-teman segera mungkin karena kuota peserta terbatas. RM. Makassar Tempo Doeloe Jl. Bonerate No 11A Makassar (Samping gedung Societeit De Harmonie 17 April 2016, 13.00 – 17.00 wita ProgramPresentasi: Sosialisasi Warisan Budaya TakBenda, Berbagi Komunitas, Studi Kasus dan Konservasinya, Pameran Barang antik, Pertunjukan Sinrilik dan Diskusi sejarah.
Categories
101 La Galigo Featured Galigoku

Senja di Desa Lemo-Lemo

Di tengah hiruk pikuk Kota Makassar sulit bagi kita untuk menemukan cerita kehidupan warga apalagi berbaur dengan mereka untuk menemukan makna dari sebuah cerita. Cerita kehidupan warga hanya ada di pelosok-pelosok negeri. Di sanalah ada berbagai ragam kehidupan yang masih tersimpan rapi dalam setiap langkah yang berdebu. Meski perjalananku kali ini ke Bulukumba bukanlah yang pertama kalinya, perjalanan ini merupakan kesempatan pertamaku untuk hidup berbaur ditengah-tengah warga pedesaan dan belajar menemukan makna dari kehidupan mereka.

Hari itu, Jumat tanggal 27 Februari 2015, kurang lebih 30 orang berpartisipasi dalam kegiatan “ Heritage Trail: Experience Of Phinisi”. Acara ini mengajak para pemuda mengenal budaya Sulawesi Selatan dengan hidup bersama warga di desa dan melakukan konservasi warisan budaya di Dusun Kajang serta Kapal Phinisi. Hari pertama, kami berkunjung ke salah satu desa di Kabupaten Bulukumba, yaitu Desa Lemo-Lemo, kurang lebih 6 jam dari Kota Makassar. Dalam perjalanan kupandangi setiap sudut Kota Makassar yang semakin hari tenggelam dalam era modernitas. Bus yang kami tumpangi semakin menjauh, menyisakan puncak gedung-gedung yang sekali-kali terlihat dari jendela.

Dalam perjalanan , kami berbagi keceriaan dan cerita. Beberapa teman mengisahkan tentang sejarah Sulawesi Selatan, yang seolah-olah mengajak kita mengarungi masa lalu. Walau perjalanan sangat melelahkan,aku tetap berusahadan terus membuka mata agar tidak ada yang terlewati dari proyeksi alam yang jauh membentang. Panoram pun mulai memanjakan mata dan di depanku terbentang-bentang jalan lurus yang disisinya dihiasi oleh hamparan padi yang menghijau. Bus yang kami tumpangi terasa sangat kecil ketika melintasi hamparan pedesaaan yang luas ini. Dari Bulukumba, kami harus menempuh satu jam perjalanan lagi untuk menuju Desa Lemo-Lemo. Sore menjelang dan sinar matahari mulai menyelinap di antara dahan-dahan pohon. Kira-kira pukul lima lewat kami pun sampai di Desa Lemo-Lemo.

Perjalanan menuju Desa Lemo-Lemo

Malam pertama kegiatan Heritage Trail dihabiskan untuk menghibur warga Desa Lemo-Lemo, yakni memutar beberapa film dokumenter yang menceritakan ekspedisi “NKRI” dan “Penyebaran Islam di Sulawesi Barat”. Warga nampak sangat antusias menikmati tayangan tersebut seolah-olah baru pertama kalinya. Ini adalah kesempatan pertama kami dengan warga setempat untuk berbaur dan merasakan dinginnya angin malam yang bersiul membelai daun di dahan pepohonan. Nyiur daun kelapa yang tumbuh di sepanjang pantai di tengah larutnya malam membuat suasana kehidupan di Desa Lemo-Lemo semakin tenang. Cahaya pelita mengintip dari celah-celah dinding dan bising kendaraan yang menabuh gendang telinga para penduduk kota tak akan terdengar sampai disini.

Badanku terlentang diatas papan untuk beristirahat melewati malam yang panjang. Meski sebagian dari teman-teman mulai mengayuh ke alam mimpi, aku masih tetap terjaga. Muncul sejuta pertanyaan : inikah rasanya hidup di pedesaan yang jauh dari keramaian? Walau ada rasa gelisah, aku tetap berusaha untuk beristirahat untuk mempersiapkan diri esok hari.

Aku bersama anak-anak di Desa Lemo-Lemo

Hari menjelang pagi, sinar matahari menyelinap di jendela dapur. Bersama keluarga Pak Said, kami mulai sibuk menyiapkan sarapan. Pagi ini kami mempunyai kesempatan untuk belajar menggunakan peralatan dapur yang tampak sederhana, salah satunya tungku yang menggunakan kayu bakar. Bagi saya, memasak dengan menggunakan kompor tradisional sangatlah berat, tetapi bagi istri Pak Said nampak mudah saja.

Istri Pak Said menggunakan tungku kayu bakar untuk memasak

Nun jauh disana, hamparan pasir putih yang terhempas oleh ombak membuatku ingin tinggal lebih lama di Desa Lemo-Lemo. Pemandangan pagi ini memberikanku pemahaman baru tentang kehidupan karena baru kali ini aku bersentuhan langsung dengan alam. Kehidupan warga di Desa Lemo-Lemo mengajarkan banyak hal tentang kesederhanaan dan ketekunan hidup yang mereka jalani meskipun sarana di pedesaan mereka belum tersentuh oleh pembangunan.

Pengalaman yang kami rasakan di Lemo-Lemo hanyalah sebuah potongan kecil dari bagian kehidupan warga desa yang utuh. Paling tidak, jika kita pahami, terdapat sejuta makna kehidupan yang sebenarnya ketika kita mampu menyatu dengan alam dan hidup dalam kesederhanaan. 

 


Anna Asriani de Sausa
atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini   merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung denganpara Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.