Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Navigasi Bugis di Mata Antropolog Amerika

Suku Bugis sedari dulu memang terkenal sebagai pelaut ulung. Dengan bermodalkan bintang-bintang di langit dan kepandaian membaca alam, mereka mengarungi samudera dan melintasi berbagai benua. Tidak heran, kemampuan ini mengundang decak kagum dari berbagai pihak. Beberapa waktu yang lalu, tim Lontara Project sempat mewawancarai Prof. Eugene E. Ammarell, seorang antropolog ramah dan rendah hati asal Amerika Serikat yang sangat tertarik akan sistem navigasi Bugis ini. Yuk, simak kisahnya!

Prof. Eugene E. Ammarell

Prof. Eugene E. Ammarell atau yang akrab disapa Pak Gene sudah bertahun-tahun meneliti tentang sistem navigasi di Indonesia. Beliau bahkan telah menelurkan sebuah buku berjudul Bugis Navigation (1999), salah satu buku dengan penjelasan terlengkap tentang sistem navigasi Bugis. Mantan direktur Southeast Asian Studies di Universitas Ohio ini pernah tinggal lama di Pulau Balo-Baloang, sebuah pulau di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang letaknya jauh di selatan hampir mendekati Madura, demi kepentingan riset kebudayaan maritim suku Bugis-Makassar. Terbiasa berkomunikasi dengan penduduk setempat membuat beliau mengerti cukup banyak bahasa Bugis. Sepanjang wawancara pun, sesekali Pak Gene melontarkan beberapa kata dalam bahasa Bugis, yang terdengar khas karena masih bercampur dengan aksen Amerika-nya. Kedatangan beliau kali ini, selain untuk mengunjungi Pulau Balo-Baloang, juga untuk memberikan kuliah umum tentang “Shared Space, Conflicting Perceptions, and the Destruction of an Indonesian Fishery” di salah satu universitas swasta di Jakarta.

Perkenalannya dengan kebudayaan maritim memiliki sejarah yang cukup panjang. Pak Gene percaya bahwa pertemuannya dengan kebudayaan ini merupakan sebuah ‘serendipity’. Pada awalnya, beliau belajar tentang astronomi Amerika dan Eropa. Suatu hari, beliau menghadiri sebuah diskusi. Di diskusi itu beliau menyadari bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari tentang astronomi di Indonesia yang bahkan belum pernah dibicarakan atau ditulis oleh orang-orang sebelumnya. Beliau kemudian mulai mencari tahu banyak hal mengenai navigasi, salah satunya adalah navigasi Polinesia. Kebetulan, beliau bertemu dua orang berbeda yang kemudian menjadi awal perkenalannnya dengan navigasi Bugis.

Pertama, kolega beliau  di Peace Corps, seorang wanita dari Malaysia, namun berdomisili di Amerika Serikat. Selama dua tahun, Pak Gene pernah tinggal di Malaysia dan mengajar sains dan matematika sebagai bagian dari program Peace Corps yang beliau ikuti. Koleganya ini pernah berlayar selama setahun dengan menggunakan perahu Bugis dalam rangka penelitian post-doctoral nya tentang studi ekonomi. Pak Gene kemudian menanyakan berbagai hal mengenai sistem navigasi. Satu kalimat yang Ia ingat dengan pasti dari mulut koleganya itu ialah“Buginese people are good navigators”. Kedua, koleganya yang sedang belajar di Kalimantan. Beliau mengambil kelas darinya dan menanyakan tentang suku Dayak yang mempelajari bintang. Dari koleganya tersebut, beliau mengetahui bahwa suku Dayak mempelajari bintang untuk pertanian. Ketiganya kemudian mengajukan hibah untuk melakukan studi kecil-kecilan tentang astronomi di Dayak dan astronomi di Bugis.

Setelah setengah bulan di Kalimantan, mereka akhirnya ke Makassar. Pelabuhan Paotere adalah tempat yang mereka tuju. Di sana mereka melihat sebuah lambo, sebuah perahu niaga jarak jauh, yang menarik perhatian. Walaupun kecil, lambo tersebut masih baru dan terlihat bagus. Mereka pun menghampiri lambo tersebut dan berbicara dengan kaptennya, seorang pria bernama Pak Razak, untuk menggali informasi. Pak Razak yang pemalu tidak banyak bercerita, namun beliau mengenalkan Pak Gene dan koleganya kepada temannya, Pak Syarifuddin, yang juga merupakan seorang kapten perahu.

Berbeda dengan Pak Razak, Pak Syarifuddin senang berbicara dan memberi tahu mereka banyak hal. Beliau juga memiliki perahu kecil, namun bermesin. Kebetulan ketika itu, Pak Syarifuddin akan berlayar ke Bima, tapi harus transit dulu di Pulau Balo-baloang. Nah, di sinilah awal perkenalan Pak Gene dengan Pulau Balo-Baloang. Pak Gene dan koleganya ingin berlayar menggunakan perahu Bugis tanpa mesin,

“We want to sail on a real Bugis ship”, katanya.

Akhirnya mereka menyasar perahu pak Razak yang memang masih menggunakan layar. Pak Razak sudah mengingatkan bahwa pelayaran akan memakan waktu yang lama dan perjalanannya belum tentu disukai oleh mereka. Namun, pak Gene dan koleganya tetap nekat untuk berlayar. Benar saja, mereka membutuhkan waktu selama tiga hari untuk sampai di Pulau Balo-Baloang. Namun, Pak Gene tidak menyesal karena pemandangan yang beliau liat selama berlayar sangat indah, It was beautiful on the boat,” ujarnya.

Pelayaran tersebut hanyalah permulaan dari banyak pelayaran yang dilakukannya. Beberapa waktu kemudian, atas permintaan beliau, Pak Syarifuddin membawanya berlayar selama lima minggu lagi. Dari perjalanan itu, Pak Gene terkesan sekaligus menyadari bahwa betapa sulit menjalani pekerjaan sebagai pelaut. Mereka bisa saja berada di lautan selama beberapa minggu dan mereka harus menemukan jalan pulangnya kembali. Menurut beliau, hal tersebut tidak mudah dilakukan, butuh keterampilan khusus.

Pak Gene bersama tim Lontara Project
Pak Gene sedang berbincang dengan koleganya

Ditanya mengenai perbedaan mendasar antara navigasi Barat dan navigasi Bugis. Pak Gene mengutarakan bahwa navigasi barat pada umumnya mekanis, sangat bergantung pada Global Positioning System (GPS), kompas magnetik, dan sebagainya. Navigasi barat sangat matematis. Jadi, begitu alat-alat tersebut tidak bekerja, para pelaut tidak bisa berbuat apapun. Sebaliknya, navigasi Bugis mengandalkan bintang, arah angin, pergerakan cuaca, dan kemampuan membaca laut.

“I’ve never studied Western navigation very much. I think I understand Bugis navigation better.” aku Pak Gene.

Keramahan dan keterbukaan masyarakat Indonesia, terutama pelaut Bugis-lah yang membuat Pak Gene selalu merasa terpanggil untuk kembali ke Indonesia. Mereka telah begitu baik kepada beliau dan telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Selain belajar banyak tentang navigasi, Pak Gene juga belajar tentang arti berbagi dari masyarakat Indonesia. Menurutnya, itulah yang menjaga keseimbangan harmoni dalam masyarakat kita.

Sebenarnya, tim Lontara Project masih ingin berbincang lebih lama dengan Pak Gene. Namun, ternyata waktu tidak memungkinkan. Pak Gene harus segera bersiap untuk kunjungan berikutnya ke Pulau Balo-Baloang. Nah, Sobat Lontara, kalau Pak Gene saja yang bukan orang Indonesia asli bisa begitu tertarik dengan keunikan tradisi kita, kenapa kita tidak? Kita bangsa yang kaya loh. Jangan malu mengkaji sistem budaya kita sendiri.

 

PS: Dua minggu setelah wawancara bersama dengan Pak Gene dilakukan, tim Lontara Project yang sedang berada di Makassar yaitu Ahlul, Maharani dan Nirwan sempat bertemu dengan Pak Gene, sebelum beliau berangkat menuju Pulau Balo-Baloang. Pada kesempatan itu kami berbincang lagi dengannya dan dijanjikan untuk diberi buku “Navigasi Bugis”, masterpiece beliau. Sekarang, buku berjumlah 326 halaman itu menjadi inspirasi bagi kami untuk terus mengkaji dan mencintai budaya Indonesia sebagaimana janji kami kepadanya. Terima kasih, Pak Gene!

Pak Gene bersama Tim Lontara Project di Makassar
Tim Lontara Project sedang berbincang dengan Pak Gene

 

Categories
Featured Galigoku

Inspirasi dari “Docplomat” Asal Bugis

Mereka (GAM) melihat ayahnya dibunuh, kakaknya ditangkap, adiknya hilang, tetntu saja mereka sakit hati. Itulah yang membuat orang bergabung dengan GAM, dan inilah yang harus dibenahi

Awal tahun 2007, seperti biasa, kala penat menyerang menjelang ujian akhir nasional, perpustakaan di sekolahku, MAN Insan Cendekia menjadi tempat favorit yang selalu kutuju. Ketika hendak menuju sofa empuk kosong yang biasanya menjadi rebutan, mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah buku tebal tergeletak di salah satu ujung rak di sudut ruangan. Tidak strategis posisinya, tapi wujudnya yang mantab, hard cover warna hitam,seperti ada magnet di dalam buku itu yang menarikku. Kutinggalkan koran yang sedianya kubaca, berjalan melintasi ruangan berlapis karpet biru, kuraih buku itu.

To See The Unseen, Di Balik Damai Di Aceh”. Judul yang sangat mengundang, batinku. Buku ini seolah meningkatkan daya magnetiknya ketika kutemukan bahwa tokoh utama yang bercerita dalam biografi kisah nyata diplomasi ini adalah seorang dokter, bahkan seorang spesialis bedah-digestive, yakni dr. Farid Husain, seorang dokter senior putra Bugis asli. Pada bagian awal untaian kisah pengalaman nyata ini, aku mendapati bahwa buku ini menjanjikan jawaban atas kegelisahanku yang memuncak dalam memilih jurusan kuliah kelak. Beberapa saat lagi ujian seleksi masuk UGM dilaksanakan. Kampus Insan Cendekia sendiri akan menjadi salah satu tuan rumah ujian untuk wilayah Banten, Lampung dan Sumatera Selatan. Perang batinku masih antara Pendidikan Kedokteran, menjadi dokter sebagaimana wasiat almarhum Bapak, atau  Hubungan Internasional passion utamaku kala itu agar bisa menjadi diplomat kelak. Sejak detik kubuka buku itu aku sudah lupa kembali duduk di sofa tadi, kubaca lembar demi lembar buku itu, sambil tetap berdiri.

Juni 2003, sebulan sejak penetapan Darurat Militer di Aceh oleh pemerintah pusat, berkat kedekatannya dengan seniornya yakni Jusuf Kalla yang menjabat Menkokesra saat itu dan juga berasal dari Sulawesi Selatan, Farid Husain diminta oleh Jusuf Kalla untuk memelihara hubungan baik dan komunikasi dengan para pimpinan GAM di Aceh, juga di luar Indonesia, dalam rangka menginisiasi perdamaian antara GAM dan Pemerintah RI. Jusuf Kalla yakin, konflik di Aceh dapat diselesaikan dengan satu hasil bulat, damai, sebagaimana inisiatifnya yang berhasil di Ambon dan Poso yang juga diamanahkan pada tangan dingin Farid Husain.

Babak selanjutnya, Farid Husain mengatur dan menjalankan berbagai strategi dengan tujuan akhir perdamaian antara GAM dan pemerintah Republik Indonesia. Berbagai jalur diplomasi di balik layar ia lakukan. Farid Husain bahkan berhasil mendapatkan dukungan dari Crisis ManagementInitiative dan Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari yang telah berpuluh tahun berpengalaman dalam perdamaian konflik melalui kontaknya di Finlandia, Juha Christensen yang dikenalnya dua puluh tahun lalu saat Juha meneliti bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan. Dalam periode yang bersamaan, tidak hanya di Jakarta dan Aceh, Farid Husain juga melakukan berbagai pertemuan hingga ke Singapura, Belanda, dan Swedia demi menemui berbagai elemen hingga pimpinan GAM. Dengan beragam tempat pertemuan mulai dari lobby hotel,restoran, hingga belantara hutan.

Pengalaman Farid Husain sebagai dokter selama hampir seperempat abad menunjang upaya diplomasi dan treatmentyang diberikannya kepada pihak GAM. Umumnya dokter yang hendak mendiagnosa, pertemuan dan pemeriksaan pasien adalah hal yang dapat dikatakan mutlak selain didukung hasil pemeriksaan lain. Untuk mendekati dan meresapi aspirasi masyarakat Aceh dan mendekati pasukan GAM yang merupakan ‘pasien’nya di lapangan, tidak jarang Farid Husain harus berhadapan langsung dengan pucuk senjata. Namun kepiawaiannya dalam berkomunikasi dan pendekatan personal justru membuatnya dapat diterima oleh para aktivis GAM di lapangan bahkan dianggap seperti saudara. Kelak pendekatan personal, prinsip yang juga diterapkannya dalam menghadapai pasien, inilah yang menurut Farid Husain merupakan kunci keberhasilan upaya perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM ini.

Seperti halnya pasien yang datang karena menderita suatu penyakit, perlawanan GAM tumbuh dari rasa sakit hati.

“Mereka (GAM) melihat ayahnya dibunuh, kakaknya ditangkap, adiknya hilang, tetntu saja mereka sakit hati. Itulah yang membuat orang bergabung dengan GAM, dan inilah yang harus dibenahi,” urai Farid Husain. Seperti yang diterapkannya kala berhadapan dengan pasien, Farid Husain aktif mendengarkan keluhan bahkan makian dari pihak GAM terhadap pemerintah RI. Mengutip pernyataannya,

“Itulah (prinsip) yang saya lakukan dalam menjalin kontak dengan orang-orang GAM. Saya coba menampung keluhan mereka sampai kemudian mereka merasa lega. Saat itulah saya masuk ke alam mereka dan menyelami perasaan mereka,”

Tidak hanya mendengarkan, Farid Husain juga menunjukkan empatinya sebagaimana ia menghadapi pasiennya. “Dok, saya pusing dan mual kenapa ya, Dok.”  Farid akan menujukkan empati dengan berkata,“Oh, saya juga sering pusing-pusing begitu,” Semua upaya itu dilakukannya agar para para petinggi GAM mau maju ke meja perundingan damai.

Upayanya yang luar biasa dalam melakukan pendekatan untuk meyakinkan para petinggi GAM dibahasakan oleh Jusuf Kalla dalam buku biografi itu, dalam perspektif manajemen dan bisnis.

“Jadi tugasnya (Farid), kalau dari sudut saya sebagai bekas pengusaha adalah menawarkan, menjual, dan melaksanakan kegiatan purnajual.Kalau dari sisi Dr Farid sebagaimana dokter ahli bedah, mulai dengan memeriksa, mengambil tindakan, dan recovery.Tugas itu selalu dilaksanakan dengan tulus, bertanggung jawab dan dengan gembira. Karena itu selalu saja dia dapat menemukan jalan yang kita tidak lihat, “

Akhirnya pada 15 Agustus 2005, ditandatanganilah MoU antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia setelah melalui lima ronde perundingan sejak 28 Januari 2005. Satu hal menarik dalam perundingan adalah dari lima delegasi Indonesia yang kesemuanya berasal dari luar Jawa, demi menjaga netralitas, tiga delegasi berasal dari Sulawesi Selatan. Selain Farid Husain, ada Menkumham saat itu Hamid Awaluddin, yang juga berasal dari Sulawesi Selatan. Dominannya juru runding asal Aceh dan Makassar dalam babak-babak perundingan sempat memunculkan gurauan bahwa perundingan ini antara GAM dengan GAM, Gerakan Aceh Merdeka dan Gerombolan Anak Makassar.

Usai membaca biografi Farid Husain yang melibatkan emosi sekaligus intelektual, seolah Tuhan mempertegas apa yang beberapa hari lalu ibuku nasehatkan “sekolah dokter dulu, kalau sudah jadi dokter mau belajar apa aja boleh (bisa)”. Inilah yang menuntunku akhirnya memilih pendidikan kedokteran. Keputusan yang sesuai dengan wasiat almarhum Bapak, dengan harapan kelak dapat menemukan jalan seperti Farid Husain mengawinkan ilmu, prinsip, dan pengalaman di dunia kedokteran dalam dunia diplomasi dan hubungan internasional.

Bagiku, bukan suatu kebetulan Tuhan mengarahkan mataku pada siang itu ke buku yang jumlahnya hanya satu eksemplar di perpustakaan Insan Cendekia itu. Enam tahun sejak aku menyelesaikan buku itu, Tuhan telah menunjukkan bahwa keputusanku kuliah di kedokteran justru mengantarkan ku menyalurkan passion-ku di dunia diplomasi dan hubungan internasional dengan menganugerahkan berbagai karunia yang kusebut “perkawinan” antara pendidikan kedokteran dengan dunia diplomasi dan hubungan internasional. Bahwa dunia kedokteran dapat ‘dikawinkan’ dengan dunia diplomasi dan hubungan internasional yang kuistilahkan sebagai ‘docplomacy’

Tahun 2010, dengan niat mengamalkan ilmu kesehatan yang kudapat, bersama kawan-kawan di FK UGM kami berhasil menjalin kerjasama dengan produsen ponsel dari Finlandia, negara asal Martti Ahtisaari, untuk menyebarkan informasi gaya hidup sehat melalui pembuatan konten kesehatan untuk pengguna di seluruh Indonesia. Tahun 2010, setelah bermodal “Diplomasi Bir” untuk mendapat stipend biaya perjalanan, aku mendapat penghargaan presentasi poster public health terbaik di CharitéUniversitätsmedizin Berlin, Jerman. Di tahun yang sama, dalam rangka partisipasi KBRI Praha pada Festival Budaya kota Plzen, aku diberi kesempatan menampilkan Tari Truno di hadapan masyarakat setempat kala mengikuti program internship mahasiswa kedokteran di Palacky University Hospital di Ceko.

Tahun 2011, harapanku memiliki pengalaman di dunia kesehatan internasional dijawab dengan kesempatan yang sangat langka, kerja magang di kantor pusat WHO Jenewa. Tahun 2011 dan 2012, berkat beasiswa kesehatan masyarakat dari Erasmus Mundus yang memberangkatkanku ke Belgia, bersama istriku dan kawan-kawan Indonesia di Belgia kami mendapat kesempatan menampilkan tari Saman di berbagai acara sosial, resepsi diplomatik, hingga promosi pariwisata tahunan di Belgia. Di Belgia pula aku mendapat kesempatan langka menjalani internship di salah satu WHO Collaboration Center dalam bidang epidemiologi bencana di Université catholique de Louvain tempatku belajar. Di tahun ini juga kami berhasil mengulang kerjasama dengan produsen ponsel asal negara tuan rumah perundingan perdamaian GAM dan RI tadi tadi. Bisa jadi ini pertanda Tuhan bagiku akan semangat keyakinan yang kudapat usai membaca biografi Farid Husain. Kedokteran dapat dikawinkan dengan diplomasi dan hubungan internasional.

Kini Farid Husain yang menduduki jabatan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan dipercaya menjadi utusan khusus (special invoice) Presiden untuk menggagas dialog damai Jakarta-Papua dengan tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan telah berjumpa dengan Panglima TPN Papua Barat, Brigadir Jenderal Richard H. Joweni. Melalui Farid Husain, BrigJen Richard Jowenitelah mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menyatakan bahwa TPN mau berunding untuk segera mengakhiri konflik. Meski berpendidikan dokter spesialis dan menajabat posisi di kementerian kesehatan kontribusi putra Bugis ini dalam diplomasi berbagai perdamaian konflik di Indonesia tak pernah surut.

Aku? Aku bersyukur di semester terakhir perkuliahanku di FK UGM Dokter Farid Husain sempat hadir sebagai pemberi kuliah pakar, aku sampaikan kekagumanku akan karyanya dan terimakasihku akan peran biografinya yang menginspirasiku untuk mendaftar ke FK UGM saat itu. Lewat berbagai media aku masih terus mengikuti sepak terjangnya, menjadikannya inspirator sekaligus “mentor” jarak jauh, sambil terus belajar agar suatu saat aku dapat berbuat karya yang setidaknya sama nyatanya dengan karyanya. Sebagai seorang ‘docplomat’.

 

Sumber:

Buku “To See The Unseen”
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=3624
http://arsip.gatra.com/2005-07-20/artikel.php?id=86475
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=3624
http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/peace/laureates/2008/ahtisaari-photo.html
http://www.acehfeature.org/index.php/site/detailartikel/616/Meretas-Jalan-ke-Helsinki
http://westpapua-arki.blogspot.be/2012/02/surat-tpnopm-kepada-presiden-ri.html
http://www.depkes.go.id

 

Mochammad Fadjar Wibowo, alumni pertukaran pelajar AFS ke Belanda yang pernah magang di World Health Organization, PBB pada tahun 2011. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Umum UGM, sosok murah senyum yang gemar berbisnis kecil-kecilan ini menikah dan langsung melanjutkan pendidikannya di Universite Catholique de Louvain, Belgia. Amat mengidolakan B.J. Habibie, pria yang doyan kebab dan jago menari ini sekarang tengah bekerja sebagai intern di Center for Research Epidemotology of Disasters, Belgia.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to Malaysia #3

Ahlul in action dihadapan civitas akademika Akademi Pengkajian Melayu University of Malaya

Hari Senin tanggal 28 Mei 2012 adalah hari terpenting dalam agenda LONTARA PROJECT di Malaysia. Hal ini dikarenakan, saat ini adalah momen dimana kami akan menjalankan diplomasi kebudayaan. Dimana kami akan mengadakan presentasi dan diskusi dengan mahasiswa serta para pensyarah atau dosen di University of Malaya. Berangkat penuh semangat dari apartement Bunda Nurhayati selaku pembimbing LONTARA PROJECT, kami menuju Akademi Pengkajian Melayu (APM) di University of Malaya.

Setibanya di sana, kami langsung diarahkan menuju ruang kantor Bunda Nurhayati untuk melakukan persiapan sebelum masuk ke ruangan presentasi. Saat itu, ada beberapa orang yang mendampingi kami selain Bunda Nurhayati; ada Bapak Muhammadiyah Yunus dan Bapak Adi Sadi yang sedang melanjutkan sekolah di Malaysia. Sekitar jam 09.00 waktu lokal, kami diarahkan menuju ruang pertemuan. Di sana kami disambut oleh wakil dekan bidang kemahasiswaan dan para pensyarah Akademi Pengkajian Melayu (APM) University of Malaya. Sebelum memulai presentasi, mereka sempat bertanya-tanya tentang LONTARA PROJECT, tujuannya, dan kegiatannya. Ternyata para pengajar dan wakil dekan APM terkagum-kagum dengan kegiatan-kegiatan yang telah kami laksanakan.

Ulil, Rahmat dan Fitria pun juga beraksi memaparkan program-program LONTARA PROJECT

Kami berdiskusi sebentar sambil menunggu dekan APM dan beberapa mahasiswa datang. Tidak berselang lama setelah kami duduk, kami disajikan makanan. Waktunya pas sekali, karena kebetulan perut kami sedari tadi telah menyanyikan lagu-lagu keroncong. Akhirnya sekitar jam 09.30, diskusi antara LONTARA PROJECT dengan pihak University of Malaya pun dimulai.

Kesempatan untuk presentasi pertama diberikan kepada LONTARA PROJECT, dalam kesempatan ini, yang mempresentasikannya adalah Ahlul, Fitria, Ulil dan Rahmat. Kami berempat membawakan materi yang berbeda. Ahlul menjelaskan tentang konservasi kreatif La Galigo dan budaya-budaya nusantara yang terancam punah sebagai garis besar misi yang dibawa oleh LONTARA PROJECT, sementara Fitria menjelaskan tentang seluk beluk program kami. Ulil dan Rahmat mempunyai peran untuk menjelaskan La Galigo Music Project sebagai bagian dari kegiatan nyata LONTARA PROJECT dalam melestarikan budaya. Rahmat khusus membahas tentang makna lagu-lagu dan personilnya, sementara Ulil membahas La Galigo Music Project secara garis besar.

            Pada kesempatan tersebut, kami mengkampanyekan tentang fakta bahwa Indonesia dan Malaysia adalah satu nusantara, satu bangsa, yaitu bangsa melayu. Segala hal tentang perselisihan budaya yang pernah terjadi biarkan saja terjadi kemarin, tetapi tidak untuk hari ini dan yang akan datang. Generasi muda nusantara harus bisa memperbaiki kondisi budaya nusantara yng semakin lama semakin tergerus oleh budaya-budaya asing. Kami pun mengajak mahasiswa Malaysia untuk ikut membantu melestarikan budaya nusantara dan mengumandangkan ke seluruh dunia tentang budaya Alam Melayu yang bersinonim dengan istilah “nusantara”.

Kami percaya apabila usaha ini dilakukan dengan bersama-sama, maka tujuan LONTARA PROJECT akan segera tercapai. Mahasiswa dan pensyarah di APM menyambut niat dan kampanye kami dengan sangat baik dan antusias. Mereka sangat mendukung kegiatan kami dan ingin berpartisipasi lebih di setiap kegiatan LONTARA PROJECT. Bahkan, ada wacana untuk mengadakan Cultural Exchange (Pertukaran Budaya) di masa mendatang. Mari kita bersama-sama mendoakan agar niat ini dapat diwujudkan secepatnya! [END]

Membina persahabatan serumpun…

            Selepas kami mempresentasikan materi yang kami bawa, dua orang mahasiswa University of Malaya juga melakukan hal yang sama. Adam dan Yunus menceritakan tentang kondisi university of Malaya, baik kegiatan akademisnya dan non-akademisnya. Kedua mahasiswa jurusan linguistik APM ini juga mengungkapkan beberapa permasalahan budaya yang ada di lingkungan sekitar.

Acara kemudian dilanjutkan dengan berjalan-jalan disekitar kampus atau pengembaraan, begitu kata Adam. Kami diajak melihat-lihat museum kecil yang terdapat di dalam Akademi Pengkajian Melayu. Sebagai orang awam, akan ada banyak hal yang mengejutkan kita disana. Hampir 80% isi dari museum itu merupakan artefak-artefak yang juga ada di Indonesia juga. Hal ini dikarenakan, Malaysia dan Indonesia adalah satu nusantara, serumpun, yaitu rumpun Melayu yang punya budaya luhur nan beraneka. Jadi, ketika ada persamaan dalam benda-benda peninggalan dan kebuayaan, harusnya disikapi dengan wajar. Inilah uniknya hubungan Indonesia dengan Malaysia, dimana kultur budayanya hampir sama tetapi dibedakan oleh garis geografis politik.

Dengan perjalanan LONTARA PROJECT di sana, kami belajar banyak mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia yang jarang diberitakan di TV. Kami optimis, dengan dirintisnya cultural diplomacy informal oleh LONTARA PROJECT dan APM, hubungan antarnegara ini pasti dapat disatukan dengan penuh kerukunan, karena kita semua berasal dari satu rumpun, satu nusantara dan satu bangsa, yaitu Melayu.

 Rahmat Dwi Putranto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Alumni Boarding  School Dwi Warna ini kini menjabat sebagai ketua Divisi Musik di Sanggar APAKAH. Aktif di berbagai kegiatan seperti basketball dan International Moot Court Competition tidak membuat penggebuk jimbe dan cajon di La Galigo Music Project ini kehilangan semangatnya untuk membuat berbagai macam event seni. Follow twitternya @rahmatdepe untuk kenal lebih jauh.