Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Hikayat Aceh, Ratu Keturunan Bugis dan UNESCO Memory of the World

Sobat Lontara, pada tanggal 18 Mei 2023, UNESCO menganugerahi karya sastra Hikayat Aceh yang tersimpan di koleksi Leiden University Library dan Perpustakaan Nasional Indonesia sebagai “Memory of the World”. Hikayat Aceh berisikan kisah mengenai kehidupan dan gambaran adat-istiadat di istana Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Ternyata ada hubungan istimewa antara karya sastra adiluhung ini dengan para perantau Bugis asal Sulawesi Selatan. Kira-kira seperti apa kaitannya, mari kita simak ceritanya berikut ini!

Sultan Iskandar Muda yang dikenal pula dengan nama Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636) adalah seorang penguasa yang mengantarkan Kesultanan Aceh menuju masa kejayaannya di abad ke-17. Terlahir sebagai putra dari pasangan Mansyur Syah dan Putri Raja Indra Bangsa, Iskandar Muda merupakan keturunan dari Dinasti Meukuta Alam, wangsa pendiri Kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Muda mashyur karena prestasi militernya. Seorang admiral asal Perancis bernama Beaulieu pernah mencatat kedahsyatan pasukan Sultan Iskandar Muda yang tidak hanya terdiri dari prajurit infantri dan gajah-gajah perang, namun juga armada kapal yang berpusat di tiga titik: Aceh, Daya dan Pidie. Sang sultan melakukan serangkaian ekspedisi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitar Selat Malaka seperti Deli, Johor, Pahang, Kedah dan bahkan hingga ke Pulau Nias. Tercatat, kekuatan armada laut Sultan Iskandar Muda juga pernah mengalahkan armada kapal Portugis dalam sebuah pertempuran di dekat Baning.

Selain membangun kekuatan militer Aceh, Sultan Iskandar Muda juga melakukan banyak pembaharuan di bidang hukum dan tatanegara. Tercatat, pada masa pemerintahannya disusun sebuah teks berjudul Adat Meukuta Alam atau dikenal pula dengan nama Adat Qanun. Beberapa ketentuan yang diatur oleh Adat Meukuta Alam antara lain seperti peraturan mengenai struktur kerajaan, Balai Furdah atau pusat perdagangan dalam dan luar negeri, penggunaan cap stempel kerajaan, dan lain sebagainya. Di bawah panduan ulama besar Syamsuddin as-Sumatrani dari Pasai, kebudayaan Aceh yang bercorak adat-istiadat lokal dan Islam berkembang pesat. Sultan Iskandar Muda juga membina hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, bahkan hingga ke benua Eropa lho. Naskah Lontaraq Bilang atau catatan raja-raja Gowa menyebutkan bahwa Sang Meukuta Alam memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan I Mangerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumamenang ri Gaukanna. Pada tahun 1615, Sultan Iskandar Muda pernah mengirim sepucuk surat panjang nan indah untuk King James I of England. Surat tersebut saat ini masih tersimpan di Bodleian Library di Oxford.

Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, takhta kerajaan diwariskan ke menantunya yang bernama Iskandar Thani dari Pahang. Iskandar Thani tidak lama memerintah, ia kemudian digantikan oleh istrinya yang merupakan putri sulung Sultan Iskandar Muda, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam (1641-1675). Selama memerintah, Ratu Safiatuddin melakukan beberapa perubahan penting. Salah satunya seperti mendaur ulang koin-koin emas Aceh yang dikenal dengan nama deureuham dari era-era sebelumnya dengan cara dilebur menjadi deureuham baru. Selain itu ia juga memerintahkan mufti kerajaan yaitu Abdurrauf as-Singkily (Tengku Syiah Kuala) untuk menyusun sebuah kitab pedoman bagi para qadhi (hakim) di wilayah kerajaan berjudul Mir’atul Thullab.

Pada masa pemerintahannya, kesusastraan Aceh berkembang dengan pesat. Tidak hanya dikenal sebagai seorang ratu yang gemar akan sajak dan menulis cerita, ia juga menjadi penyokong bagi para sastrawan dan kalangan terpelajar untuk menciptakan kitab-kitab yang jejaknya masih dapat kita saksikan hari ini. Salah satu karya sastra yang ia patroni penulisannya adalah Hikayat Aceh.

Naskah Or. 1954 Hikayat Aceh yang tersimpan di Perpustakaan Leiden University, Belanda. Sumber: Leiden University Library

Hikayat Aceh adalah suatu naskah berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab (Jawi) dan bercerita mengenai kehidupan serta memuat puji-pujian terhadap Sultan Iskandar Muda, ayah Ratu Safiatuddin. Teks ini juga memuat hubungan Aceh dengan bangsa-bangsa lain seperti Portugis, Turki dan Cina. Tidak hanya itu, Hikayat Aceh menampilkan pengaruh Persia yang cukup menonjol, membuat karya sastra ini sangat kosmopolitan. Hikayat Aceh menjadi sumber penting bagi siapa pun yang tertarik dengan Islam, hubungan internasional dan sejarah Aceh. Meskipun penulisnya sendiri tidak diketahui jati dirinya, namun dipercaya bahwa Ratu Safiatuddin adalah sosok yang memainkan peran besar dalam penulisan hikayat tersebut. Saat ini terdapat tiga salinan Hikayat Aceh. Dua di antaranya tersimpan di koleksi Leiden University Library di Belanda, sedangkan satu salinan lagi tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta. Dengan hanya tiga naskah yang masih ada, Hikayat Aceh tergolong sebagai karya sastra yang sangat langka.

Nah, tahukah kamu bahwa Ratu Safiatuddin merupakan keturunan seorang diaspora Bugis? Ya, beliau adalah buah hati Sultan Iskandar Muda dengan Putroe Tsani atau Puteri Suni, anak perempuan Teungku di Bugéh Reubee Daeng Mansur, seorang ulama asal Sulawesi Selatan yang bermukim di Pidie. Menurut Hamka, Daeng Mansur adalah seorang bangsawan Bugis yang merantau ke Aceh untuk menuntut ilmu agama. Di sana, ia menjadi seorang ulama kerajaan yang digelari Syekh Abdullah al-Malikul Amin. Sultan Iskandar Muda yang saat itu masih remaja pernah berguru kepada Daeng Mansur. Setelah dewasa, ia kemudian menikahi putri sang guru. Makam ibunda Ratu Safiatuddin sampai saat ini pun masih dapat dikunjungi di daerah Gampong Reuntoh, Pidie. Sayangnya, kondisi makam tersebut sudah tidak lagi terawat dengan baik.

Orang-orang Bugis, utamanya yang berasal dari daerah Wajo, diduga telah berlayar ke tanah Kluet (Kabupaten Aceh Selatan) sejak abad ke-17 dan 18. Mereka melalui muara Sungai Asahan masuk ke Gampong Pasie Kuala Asahan. Jejak keberadaan pendatang Bugis ini dapat dilihat dari penamaan ‘Gampong Suak Bugeh’ di Aceh Selatan. Sejarah mencatat bahwa seorang Bugis bernama dokter Farid Husain pernah pula berkontribusi dalam menjembatani dialog perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia di tahun 2005 (Baca kisahnya di artikel kami: Inspirasi dari “Docplomat” Asal Bugis).

Hubungan kekerabatan antara Aceh dan Bugis dalam diri Ratu Safiatuddin merupakan cerminan persatuan dan persaudaraan lintas etnis yang menarik untuk dikaji. Melalui jaringan-jaringan perdagangan, diplomasi dan intelektual, perbedaan bahasa maupun sukubangsa tidak menjadi persoalan utama. Hiruk-pikuk isu-isu SARA yang belakangan ini marak di tanah air seakan-akan melupakan narasi-narasi kebhinnekaan yang telah terjalin jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Justru lewat seorang Sultanah yang berdarah campuran Aceh-Bugis lahir sebuah karya sastra yang hari ini diakui mancanegara sebagai ‘Ingatan Dunia’.

Referensi:

R. Michael Feener, Patrick Daly, Anthony Reid, Mapping the Acehnese Past (2011).

Ahmad Ubaidillah, Ekonomi Islam Nusantara (2023).

Su Fang Ng, Alexander the Great from Britain to Southeast Asia: Peripheral Empires in the Global Renaissance (2019).

Universiteit Leiden, UNESCO Recognizes Manuscripts First Voyage Around the Globe and Hikayat Aceh as World Heritage (2023).

Sher Banu Khan, Sovereign Women in a Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641−1699 (2017).

Syahrizal Abbas, Hakim Perempuan dalam Mir’atuth Thullab Karya Shaykh Abdurrauf As-Singkily (2018).

Sudirman, Deureuham Aceh: Mata Uang Tertua di Nusantara (2018).

Hamka, Sejarah Umat Islam: Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara (2020).

Firdaus, Putroe Tsani di sudut Gampong Reuntoh, https://sinarpidie.co/news/putroe-tsani-di-sudut-gampong-reuntoh/index.html

Marzuki, Jejak Suku Bugis di Tanah Kluet, https://aceh.tribunnews.com/2012/10/28/jejak-suku-bugis-di-tanah-kluet.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Perang Gerilya Kita yang Nomer Satu?

Pagi ini di kelas Hukum Pidana Khusus saya mendapat informasi menarik tentang betapa hebatnya Indonesia “di masa lalu”. Seperti biasa, bahasan-bahasan mengenai local wisdom maupun fakta-fakta mengagumkan yang menjadi prestasi bangsa ini di era yang telah lampau selalu dapat menstimulus saya dengan berbagai inspirasi maupun optimisme akan masa yang akan datang, meskipun pada saat yang bersamaan juga membuat saya miris dengan keadaan di masa sekarang. Kali ini, kisah yang Ia tuturkan merefresh memori saya akan sejarah dan tokoh nusantara yang mewarnai dunia secara global hingga ke zaman modern ini.

Di sela-sela bahasan beliau mengenai Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, dan Kejahatan Perang, dosen saya memberikan intermezzo. Alkisah, jagoannya pertempuran laut di dunia ini pasca WWII adalah Inggris dan Uni Soviet. Negara lain hampir tidak ada yang bisa memenangkan pertempuran jika berhadapan dengan mereka. Adapun jagoan pertempuran udara ialah Amerika Serikat dan Prancis. Jangan ditanya, Paman Sam memang memegang teknologi udara militer yang paling canggih di abad ini. Pesawat Siluman merupakan salah satu inovasi mereka yang dapat masuk ke area musuh tanpa terbaca radar. Yang terakhir inilah yang mengejutkan. Siapakah jagoan perang di darat? Jawabannya ialah Jerman dan Indonesia.

Jerman dengan teknologi tempur, strategi militer yang kuat, dan otot-otot pasukan bangsa Arya yang terlatih memang pantas berulang kali memenangi pertempuran darat di benua Eropa. Satu per satu daerah terbuka maupun kota takluk di hadapan bala tentara Hitler. Tapi, Indonesia? Benarkah negara yang sekarang ini tengah dilanda krisis sosial, korupsi yang mengakar di pemerintahannya, serta pesawat militer maupun komersil yang terus menerus jatuh layak menjadi jagoan pertempuran darat? Sekali lagi, kita bicara dalam konteks “masa lalu.”

Jerman, mempelajari banyak literatur kuno dari berbagai bangsa di Eropa demi menyempurnakan strategi perang mereka. Salah satu yang mereka perhatikan dengan seksama ialah dokumentasi perang kerajaan Belanda dengan golongan pemberontak pribumi di Dutch East Indies alias Hindia Belanda. Bagi bangsa Belanda, menjajah Indonesia selama 300 tahun lebih itu bukannya tanpa biaya. Bangsa timur yang barbar itu dalam pandangan mereka merupakan budak sekaligus musuh yang paling berbahaya. Ambil contoh De Java Orloog atau Perang Diponegoro yang terjadi selama 5 tahun (1825-1830). Perang tersebut menurut sumber Belanda menjadi perang termahal yang pernah dihadapi oleh pemerintah kolonial Eropa di wilayah jajahannya.

Perang mengambil tempat di seluruh daratan, di daerah kota maupun desa-desa yang jarang penduduknya. Belanda mengandalkan formasi pasukan ala Napoleon Bonaparte yang saat itu sedang ngetrend si Eropa. Ada barisan infanteri, kavaleri, dan artileri, pasukan dipecah menjadi 3 unit dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Perang tersebut berlangsung sengit dan sempat membuat pihak Belanda frustasi. Bayangkan saja, daerah yang telah mati-matian mereka taklukkan pada siang hari, di malam hari sudah berhasil direbut kembali oleh pasukan pribumi melalui aksi gerilya mereka. Masyarakat pribumi yang dipimpin oleh para senopati dengan pendidikan mereka yang tradisional mampu memanfaatkan medan pertempuran dan keadaan cuaca sehingga dapat berulang kali membuat kondisi tentara Belanda terpuruk, tidak hanya oleh serangan fisik namun juga oleh serangan hujan tropis maupun penyakit musiman.

Kondisi pertempuran menjadi benar-benar mengerikan ketika untuk pertama kalinya di pulau kecil seperti Jawa, Belanda menurunkan 23.000 orang personil. Inilah perang pertama yang dicatat dalam sejarah sebagai perang modern, karena menggunakan segala taktik kemiliteran yang kita ketahui di masa sekarang ini. Usaha-usaha seperti perang terbuka maupun serangan gerilya hingga telik sandi dilakukan dalam perang ini, menjadi cikal bakal unsur-unsur perang modern. Dunia menyaksikan bahwa setelah ribuan penduduk sipil meninggal dan ribuan tentara Belanda tewas di medan laga, akhirnya Pangeran Diponegoro dapat ditaklukkan. Namun sejak hari itu, dunia melihat nusantara dengan perspektif yang berbeda. Nusantara menjadi daerah yang ditakuti karena kegigihan rakyat pribumi serta kemahiran mereka menjalankan serangan darat yang diam-diam, cepat, dan mematikan.

Tidak hanya di Jawa, namun perang yang terjadi di daerah Indonesia Timur seperti Makassar pun membuat Belanda kecut. Sebuah catatan mengenai peristiwa yang terjadi pada tanggal 8 Agustus 1668 menjadi rekaman pahit Belanda ketika berhadapan dengan Kerajaan Gowa. Ketika itu, pasukan Belanda memasuki pelabuhan dan mendekati daerah Somba Opu yang terletak di pinggir pantai. Masyarakat yang tinggal di sekitar situ pun berteriak-teriak siap menyambut kedatangan para penjajah. Mereka menantang dengan gagah berani, sehingga membuat pasukan Belanda yang membawa mesiu dan senjata api gentar menyaksikan semangat pribumi Makassar. Catatan tersebut kemudian bercerita bahwa pertempuran berlangsung amat dahsyat dan mengerikan, bahkan konon “als crijgers van hoogen ouderdom mischien in Europa selve niet dickwiljs gehoort hebben”  (prajurit-prajurit yang sudah lanjut usianya di Eropa sekalipun tidak pernah mendengarkannya).

Cornelis Speelman yang saat itu menjabat sebagai panglima tinggi Belanda pun mengakui bahwa perlawanan tersebut merupakan yang paling hebat yang pernah Ia temui selama menjalankan misi di nusantara. Saking mengerikannya pertempuran tersebut, sampai-sampai pihak Belanda memberikan salutation kepada pemimpin kerajaan Gowa saat itu, Sultan Hasanuddin, dengan gelar“Haantje van het Oosten” alias Si Ayam Jantan dari Timur. Menurut Nasarudin Koro, seorang mantan diplomat sekaligus penulis buku sejarah Makassar, salah satu pendukung kuatnya barisan Makassar saat itu adalah keberadaan para putra Wajo yang jago bertempur di laut, pasukan Melayu, serta putra-putra Mandar yang punya reputasi sebagai penembak meriam nan jitu. Pada masa itu memang kerajaan Gowa bersekutu dengan kerajaan Wajo dan federasi Mandar di utara. Salah satu penembak meriam yang disegani Belanda dari Mandar ialah Daenna Dollah. Kehebatan Daenna Dollah membuat Ia juga dipanggil oleh Sultan Ternate untuk menghadapi Belanda. Saking terkenalnya, tentara Belanda sambil berdecak kagum berkata: “Hij is een goed kanonneer”.

Selain di Makassar, pertempuran habis-habisan rakyat Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dien juga mengilhami pasukan Jerman saat Perang Dunia II. Taktik bumi hangus yang Jerman lakukan sebenarnya  mereka tiru dari catatan Belanda ketika berhadapan dengan rakyat Aceh ini. Saat itu Belanda menganggap rakyat Aceh sebagai momok, mereka ketakutan dengan kekuatan armada laut Aceh yang mereka sebut sebagai “bajak laut nan beringas.” Semangat tempur rakyat Aceh dalam perang habis-habisan membela bangsa dan agama ini terekam abadi dalam nyanyian pengantar tidur berjudul “Dodaidi” yang iramanya mendayu-dayu namun liriknya begitu tajam.

Terakhir, dosen saya menutup ceritanya dengan kutipan dari pidato salah satu petinggi militer Amerika Serikat untuk Perang Vietnam:

“apabila yang kita hadapi di Vietnam adalah para pasukan guerilla Indonesia, maka nasib kita tidak akan sebaik sebagaimana yang kita alami pada hari ini.” Nama Abdul Haris Nasution pun Ia sebutkan sebagai seorang pria asal Republik Indonesia yang telah memberikan sumbangsih bagi dunia pertempuran militer di darat. Buku Jendral Nasution yang berjudul Fundamentals of Guerilla Warfare (terbit tahun 1965 di New York) would become one of the most studied books on guerrilla warfare along with Mao Zedong’s works on the same subject matter (Emmet McElhatton: 2008).

Tidak hanya mengulas hingga menciptakan metode perang gerilya, beliau juga bahkan membuat ‘anti-virus’ atau tangkisan bagi pihak yang menghadapi perang gerilya. Ia menjadi seorang ahli strategi perang dari Indonesia serta peletak dasar atas perang gerilya.

Itu cerita dulu, kawan-kawan, dan prestasi dari bapak-bapak kita yang telah meninggal. Terlepas dari benar tidaknya cerita beliau, fakta punya versinya sendiri. Yang jadi soalan sekarang, masih sanggupkah kita meneruskan jejak mereka dan menomorsatu-kan kembali Indonesia di mata dunia?

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Fashion of Keraton Nusantara – Part I

Zaman sekarang, dunia fashion tanah air kebanyakan berkiblat ke Barat.  Sebelum booming K-Pop, Jepang dengan style Harajuku-nya juga sempat mewabahi generasi muda. Di tengah pertempuran ide dan kreatifitas untuk membuat diri terlihat indah hari ini, sayangnya fashion nusantara belum mendapatkan perhatian yang besar dari pemuda-pemudi bangsa (malah acapkali dilabeli “kampungan”). Padahal, fashion nenek moyang kita dulu bisa jadi inspirasi yang oke punya lho. Keluarga kerajaan di nusantara ini ternyata punya selera yang tinggi dalam mix and match budaya Timur dengan unsur-unsur estetika Barat, tentunya tanpa kehilangan filosofi di balik pakaian yang mereka kenakan. Penasaran seperti apa? Yuk kita lihat satu-satu!

I. Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin dari Kesultanan Aceh Darussalam

Ialah salah seorang wanita yang pernah memegang tampuk pemerintahan tertinggi di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai anak perempuan Sultan Iskandar Muda, tidak heran jika bakat kepemimpinan mengalir di darah wanita yang menjadi patron ulama besar Abdurrauf Singkil. Untuk ukuran wanita pada zamannya pun, track record-nya lumayan mengagumkan: ia punya hobi menulis sajak dan cerita serta mendukung proyek pembangunan perpustakaan di istana. Sosoknya sebagai seorang perempuan yang tegas dan cinta ilmu pengetahuan jauh dari stigma masyarakat Eropa terhadap kaum Hawa pada masa itu. Satu hal lagi yang perlu disaluti dari sang ratu, Ia menjadi penguasa Aceh pertama yang mengizinkan biarawan Fransiskan dari Eropa untuk membangun gereja di wilayah kekuasaannya.

Berdasarkan ilustrasi karya Sayyid Dahlan Al-Habsyi di atas, busana yang ia kenakan jelas mencerminkan pengaruh Timur Tengah dengan adanya kain penutup kepala  serta gamis bermodel Turki. Warna emas dan hijau yang mencirikan keagungan serta agama Islam mendominasi pakaiannya. Aksesoris dari permata seperti kalung, anting-anting, dan hiasan kepala bercorak-ukir menandakan kemajuan peradaban Aceh masa itu. Ada fakta menarik terkait aksesoris emas yang beliau gunakan. Penggunaan emas sebagai perhiasan utama di istana Aceh Darussalam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dimana menurut laporan Augustin de Beaulieu dari Prancis setiap penari istana mengenakan 20 kg emas di badannya! Trend emas ini dibuktikan dengan koleksi benda-benda peninggalan Kesultanan Aceh di Museum Nasional Kopenhagen yang terdiri atas selendang dan celana berbenang emas, kain kepala, topi dan kalung, anting-anting dan ikat pinggang dari perak. Wow, beliau adalah seorang ratu nan pintar, baik hati, terbuka dan kaya raya!

II. Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X dari Kasunanan Surakarta

Susuhunan Pakubuwono X – Kasunanan Surakarta (1893-1939)

Inilah raja terkaya dalam sejarah kerajaan Mataram (keraton Yoyakarta-Surakarta). Raja yang bergelar Sinuhun Wicaksana ini amat istimewa. Ia melakukan revolusi di bidang sosial dengan cara memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Setiap malam Jumat ia akan naik ke atas mobil Mercedes Benz 1905-nya (jangan lupa kalau ia juga raja pertama yang memiliki mobil pribadi di seluruh penjuru Jawa) dan membagi-bagikan uang kepada rakyat yang kurang mampu. Paku Buwono X mendapatkan bintang kehormatan dari Sri Maharaja Puteri Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam bahasa Belanda Zijne Vorstelijke Hoogheid. Permaisurinya, Gusti Bandara Raden Ajeng Mur Sudarsinah merupakan putri Sultan Yogyakarta. Penikahan mereka menjadi sejarah karena setelah kerajaan Mataram pecah di tahun 1755 baru kali ini keraton Surakarta dan Yogyakarta kembali menjalin hubungan akrab.

Dalam lukisan ini Ia mengenakan jas hitam atau yang biasa disebut beskap berhiaskan banyak sekali lencana kehormatan. Warna beskap yang hitam menandakan bahwa busana ini tergolong sanes padinetenan atau pakaian yang hanya dikenakan pada upacara adat saja. Sunan Pakubuwono mengenakan kemeja sepinggang serta jarik yang dikencangkan oleh ikat pinggang. Beliau juga mengenakan sepatu atau sloop, yang dari namanya saja sudah jelas berasal dari pengaruh Belanda. Beliau mengenakan kuluk (topi/kopiah kebesaran) yang biasanya juga dikenakan oleh pengantin laki-laki Jawa. Sang istri tampil lebih tradisional dengan baju lengan panjang berbahan velvet atau beludru dengan hiasan benang emas yang hanya boleh dikenakan oleh kaum bangsawan. Jarik dan rambut disanggul. Aksesoris yang ia kenakan ialah tiga susun bros (penanda bahwa beliau merupakan seorang permaisuri), kalung emas, anting-anting, lencana kehormatan, cincin (di kelingking, jari manis dan telunjuk), dan gelang (di kedua pergelangan tangan). Baik raja maupun ratu sama-sama memegang sehelai sapu tangan dengan kunci yang tergantung di bawahnya. Kunci tersebut merupakan kunci ruang pusaka kerajaan.

III. I Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng

I Gusti Ketut Jelantik – Patih Raja Buleleng, Bali (1849)

Patih muda yan terkenal gigih menentang penjajahan Belanda ini sejatinya berasal dari Karangasem. Ia terkenal karena kekerasan hatinya dalam mempertahankan martabat kerajaan dan menolak tunduk pada Belanda. Beliau menyerukan puputan alias perang hingga titik darah penghabisan kepada seluruh warga Buleleng. Meskipun terpaksa mundur hingga ke Gunung Batur, Kintamani dan gugur di sana, nama Gusti Ketut Jelantik tetap hidup sebagai penyemangat warga Bali dalam menentang kekuasaan Belanda di Pulau Dewata. 

I Gusti Jelantik nampak begitu gagah pada foto yang diambil di Batavia tersebut. Pakaian yang dikenakan oleh beliau terdiri atas kemeja berkerah dan jas (?) lengan panjang bermotif, kain yang diikat setinggi ulu hati serta celana panjang corak Bali. Beliau juga mengenakan kain sebagai penutup kepala. Perhiasan yang dipakai hanyalah cincin pada jari kelingking dan telunjuk. Pengaruh Barat hampir tidak terlihat, pakaian Gusti Jelantik dapat digolongkan nyaris 100%  busana Bali asli. Berbeda dengan kraton Jawa, di Bali tidak ada motif-motif pakaian yang dikhususkan untuk bangsawan semata. Akan tetapi rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan untuk mengenakan kain tenun yang berhiaskan benang emas dan perak atau prada (ragam hias goresan cat emas). Selain hiasan prada, tenunan songket juga menjadi penanda pakaian bangsawan kelas atas. Ciri khas kain Bali yang biasanya berwarna-warni sayangnya tidak dapat kita nikmati dengan jelas pada foto hitam-putih I Gusti Jelantik.

IV. Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa MatinroE ri TucaE dari Kerajaan Tanete

Retna Kencana Colliq Pujie – Arung Pancana Toa (1812-1876)

Sosok perempuan inspiratif yang telah menyusun naskah La Galigo terpanjang di dunia ini adalah seorang sejarawan, budayawan dan novelis pada zamannya. Tidak hanya sampai di situ, kejeniusan beliau juga nampak dengan terciptanya aksara Bilang-Bilang yang idenya diambil dari bentuk aksara Lontaraq dan Arab. Wanita keturunan Johor-Bugis ini terkenal gigih dalam menghadapi Belanda yang bercokol di negeri Tanete (Kab. Barru, Sulawesi Selatan). Meskipun diasingkan selama bertahun-tahun dan tidak mendapatkan perlakuan selayaknya seorang ratu, Colliq Pujie tetap bertahan dengan prinsipnya untuk tidak tunduk pada penjajahan Belanda.

Pada foto di atas, beliau mengenakan baju model Melayu lengan panjang dengan motif geometris. Baju ini tergolong unik, coba saja perhatikan sambungan diagonal yang melintang dari pundak sebelah kiri beliau hingga perut sebelah kanan. Aksesoris yang ia gunakan antara lain dua cincin emas pada jari telunjuk dan jari manis, kalung, serta semacam sisir kecil yang disisipkan di rambut bagian atas serta sapu tangan. Nah, rambutnya mengkilap di foto ini hampir bisa dipastikan diolesi oleh minyak kelapa, tradisi yang hingga saat ini pun masih hidup di kalangan orang tua Bugis. Sarung yang beliau kenakan merupakan sarung dengan motif flora (pengaruh Melayu-Cina?), sayangnya keindahan sarung tersebut tidak kelihatan karena warnanya hitam-putih. Yang paling membuat penulis terkesima ialah sepatu bergaya India (Jutti) yang beliau gunakan! Sepatu dengan ujung melengkung ke atas seperti itu menandakan bahwa beliau tergolong up to date dengan dunia fashion pada zamannya.  Dikutip dari situs The Bata Shoes Museum:

In Northern India, the curled toe and open back is a common feature of footwear, as is the beautiful, intricate metallic embroidery, which today is still executed completely by hand.

Konon sepatu tipe Jutti atau Mojari ini pertama diciptakan pada masa Dinasti Mughal di India Utara, tepatnya di sekitar wilayah Punjab dan Rajasthan sekarang. Hanya kalangan orang kaya dan bangsawan yang dapat memakai sepatu berbentuk unik dengan motif-motifnya yang cantik ini karena biaya pembuatanya yang lumayan mahal. Sepatu tipe seperti ini digandrungi Barat ketika Eropa terserang oleh demam “Gila India” sekitar abad ke-17. Wah, ternyata Colliq Pujie tidak hanya seorang jenius secara intelektual, referensi fashion beliau pada masa itu pun telah berkelas internasional!

 

Berlanjut ke Fashion Keraton Nusantara – Part II

Referensi Gambar: 

http://sejarah.kompasiana.com/2010/06/22/sultanah-safiatuddin-memimpin-berapa-lama-174008.html
http://www.bridgemanartondemand.com/image/646807/-pakubuwono-x
http://devry.wordpress.com/2010/10/27/a7789ef88d599b8df86bbee632b2994d/
http://www.balifornian.com/blog/2012/7/30/our-family-and-balis-royal-family-of-karangasem.html
http://indonesiaproud.wordpress.com/2011/12/22/colliq-pujie-perempuan-bugis-intelektual-yang-diakui-dunia/
http://sergapntt.wordpress.com/category/manggarai/