Categories
Featured Lontara Project

Grand Launching Lontara Project 21.02.12

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Kerja Sunyi Para Pejuang La Galigo

Jumat (10/02/11) lalu, Ahlul dan Ran – dua anggota tim Lontara Project, ditemani Eka, berkesempatan untuk menemui salah satu narasumber utama dalam proyek budaya kami, Prof. Nurhayati Rahman.

Memasuki gedung Pusat Studi La Galigo (PSLG) PKP Unhas, Ahlul dan Eka tercengang. PSLG tidaklah seperti yang ada di dalam benak mereka selama ini. Gedung berlantai lima yang sunyi dan tidak terawat, serta fasilitas yang membuat kening mereka berkerut, seakan menjadi saksi bisu diabaikannya La Galigo di tempat asalnya sendiri. Ratusan “ornamen alam” berupa sarang laba-laba, toilet yang tidak layak, dan plafon yang bocor menjadikan lift sebagai satu-satunya prasarana abad 20 yang kami temui di gedung tersebut.

Ketika datang, Prof. Nurhayati langsung mengajak kami masuk ke ruang tamu PSLG. Hanya ruangan itu yang memenuhi kelayakan untuk menerima para pendatang yang tertarik untuk mengetahui informasi tentang La Galigo. Kondisi Ruang Dokumentasi maupun Ruang Kerja Prof. Nurhayati sendiri begitu miris: kebocoran akibat air hujan menggerus langit-langitnya sehingga hampir jebol. Tentu saja hal ini begitu mengkhawatirkan, karena temperatur lembab jelas mempercepat tingkat kerusakan arsip-arsip La Galigo yang begitu langka dan beratus-ratus tahun usianya.

Kami memasuki Ruang Perpustakaan yang kosong dan hambar karena tiadanya aktifitas yang berarti lazimnya perpustakaan yang biasa kita jumpai. Selain dua orang karyawan Prof. Nurhayati yang bahkan digaji dari koceknya sendiri, tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Koridor panjang yang senyap, lebih mirip suasana film horor. Sungguh tempat ini kehilangan daya tariknya, padahal kata Prof. Nurhayati, dulu PSLG penuh dengan orang yang berbondong-bondong, bahkan rela mengantri, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sekarang, lorong PSLG seolah mati. Disinilah kerja sunyi para pejuang La Galigo dilakukan, kerja sunyi yang mulia.

Kami ngeri mendengar latar belakang PSLG yang penuh intrik. Rupanya birokrasi kotor tak luput ikut campur dalam struktur PSLG yang awalnya diketuai oleh Prof. Nurhayati, namun seolah tak kasat mata, jabatan itu tiba-tiba berpindah tangan. Bukanlah sebuah rahasia, oknum-oknum berseragam gerah jika rekening mereka kosong. Mungkin PSLG dinilai terlalu dini untuk menelurkan keuntungan materi sehingga keberadaannya begitu terlantar. Belum lagi intervensi kaum kapitalis yang juga berusaha mengeruk rupiah dari kebesaran nama La Galigo di mata dunia, namun “membuang” orang-orang yang telah berjasa memperkenalkan warisan ini kepada mereka.

Bersama Prof. Nurhayati (duduk) dan Ibu Basiah (kiri)

Namun Prof. Nurhayati bersikeras pada pendiriannya untuk tetap idealis mempertahankan La Galigo agar tak tercemar kepentingan-kepentingan bisnis yang tidak sah. La Galigo selalu ada untuk mereka yang haus ilmu, bukan monster-monster bermata hijau dan silau karena uang. Ia selalu berharap, hal ini bisa diteruskan pada generasi muda yang sadar bahwa saatnya bangkit dan melawan doktrinisasi yang melanda bangsa pemilik jamrud khatulistiwa.

***

Bersama mahasiswa Sastra Daerah Angkatan 2010

Setelah waktu makan siang, kami diajak berkeliling melihat proses belajar mahasiswa Ilmu Budaya Unhas, khususnya angkatan 2010 yang bertempat di Laboratorium Naskah Fakultas Sastra Daerah Unhas. Setelah dijelaskan oleh Prof. Nurhayati, mereka tampak antusias mendengar pemaparan mendadak kami tentang Lontara Project. Apa yang mendasari terbentuknya gerakan ini dan apa saja yang dapat mereka lakukan sebagai bentuk konstribusi menyelamatkan La Galigo dari ambang kepunahan. Tentu dari pertemuan itu kami berharap Lontara Project menginspirasi para remaja untuk melakukan hal serupa. Toh, masih banyak potensi budaya yang perlu mereka angkat ke permukaan global, selain bangga dengan identitas mereka terlahir sebagai anak Indonesia.

They UPS! La Galigo! Bagaimana dengan kamu?

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Menyambut Tamu dengan Piper Betle

Teman-teman punya kakek atau nenek yang hobi nyirih? Atau masih ada keluarga di kampung halaman kalian yang demen mengunyah tanaman unik ini? Jika iya, berarti kalian adalah sedikit dari mereka yang beruntung dapat menyaksikan tradisi berumur ribuan tahun asli bangsa Asia Tenggara!

Eh? Serius nyirih udah berlangsung selama ribuan tahun?

Daun Sirih

Tanaman sirih (Piper betle) dan tradisi mengunyah sirih diperkirakan berasal dari Asia Selatan serta Asia Tenggara. Ada juga yang mengatakan bahwa tradisi ini berawal dari Cina dan India lalu menyebar ke daerah Asia lainnya. Penemuan kotak sirih bersama benda-benda prasejarah seperti pisau besi, mata kail perunggu, gelang, anting-anting berbentuk hewan dan arca di Sulawesi Selatan menandakan bahwa sirih telah dikonsumsi oleh penghuni nusantara sejak Zaman Logam. Saat ini belum ada penemuan resmi yang membuka tabir asal-mula diolahnya sirih dalam peradaban manusia. Akan tetapi, dengan memperhatikan kebudayaan-kebudayaan yang berada di sekitar wilayah penyebaran daun sirih, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini telah hidup setua masyarakat itu sendiri.

Di Vietnam, aktifitas mengunyah sirih merupakan “pembuka” dalam setiap forum resmi. Demikian pula di dalam lingkungan adat Melayu. Umumnya sirih dikunyah dengan pinang, kapur, kapulaga ataupun gambir. Di daerah Bengali (India) daun sirih malah biasanya dicampur dengan tobacco atau rempah-rempah lainnya. Istilah sekapur sirih yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia sebagai kata pengantar atau sambutan pun lahir dari kebiasaan menyuguhkan daun sirih dan kapur untuk para tetamu.

Daun sirih yang dapat dengan mudah tumbuh di pekarangan rumah, kebun, hutan, atau bahkan di pinggir jalan membuat tanaman ini kosmopolitan bagi masyarakat Asia Tenggara. Dalam film berjudul Yamada The Samurai of Ayutthaya (2010) kita mengetahui bahwa bangsa Thai pun menganggap nyirih sebagai bagian dari kebudayaan klasik mereka. Berlatar zaman Kerajaan Ayuthayya, samurai Jepang bernama Yamada yang terluka ditolong oleh seorang gadis Thailand di sebuah desa kecil. Sambil menunggu lukanya sembuh, Ia diperkenalkan cara untuk mengonsumsi daun sirih (yang disebut sebagai ‘tradisi khas kami’) oleh seorang anak kecil lokal. Kontan saja karena perbedaan kebudayaan antara Jepang dan Thailand Ia merasa tidak nyaman ketika mengunyah sirih untuk pertama kalinya (dan menjadi bahan guyonan anak kecil tadi). Oleh bangsa-bangsa di Asia Tenggara, daun sirih dipercaya memiliki banyak khasiat; mulai dari  menyegarkan napas, membersihkan kotoran di tubuh, hingga sebagai obat perangsang.