ONCE UPON A TIME… adalah komik parodi yang ceritanya terinpirasi dari kisah-kisah di dalam La Galigo. Ada banyak cerita jenaka yang menarik dan menghibur pada epos ini, menggelitik kita untuk menampilkan tradisi agar tidak kaku dan lebih terbuka kepada generasi muda. Masih pada rambu-rambu yang dapat diterima, kami menghadirkan komik seri 6 panel ini untuk teman-teman agar dapat mengenal episode-episode menarik La Galigo. Selamat membaca!
Category: Featured
Featured post goes here!
Zaman sekarang ini, menyelamatkan budaya dengan cara yang konvensional udah bukan musimnya lagi. Apa saja bisa dimanfaatkan sebagai media berkreasi. Cupcake sekalipun bisa jadi salah satunya. Yuk, simak kisahnya berikut ini.
Berawal dari keisengan, Winarni K Suprimardini atau yang akrab disapa Inart ini berhasil membuka usaha kue yang Ia namai Doubleyou Cakes. Meskipun menyandang gelar Sarjana Teknik Arsitektur, Inart tidak ragu untuk terjun ke bisnis kue ini. Inart yang memang senang bikin kue, pada awalnya hanya iseng mencoba berbagai resep untuk mengisi waktu luangnya. Bersama sang kakak, Ia rajin mempraktekkan resep-resep baru hingga akhirnya kepikiran untuk membuka sebuah usaha. Akhirnya, dengan modal Rp 50.000, Ia membuka Doubleyou Cakes pada tahun 2010. Jangan salah, walau terbilang baru, usaha Inart ternyata sudah menjangkau Balikpapan dan Surabaya lho.
Ide untuk membuat cupcake huruf Lontaraq dan Baju Bodo (baju adat Sulawesi Selatan) muncul ketika Inart terpilih untuk mewakili Makassar sebagai finalis kompetisi wirausaha yang diselenggarakan oleh salah satu bank nasional di Jakarta pada awal tahun 2012. Di ajang tersebut Inart menyaksikan bagaimana sebagian besar peserta datang dengan ciri khas daerahnya masing-masing, sekalipun yang berasal dari kategori industri. Tidak ingin menjadi biasa, Inart kemudian memutar otak agar dapat menampilkan ciri khas Makassar di dalam kuenya. Singkat cerita, muncul ide untuk membuat cupcake huruf Lontaraq. Ternyata, kreasi tersebut menarik perhatian banyak pengunjung dan peserta lainnya. “Mereka tertarik karena baru pertama kali melihat ada cupcake yang diatasnya ada bentuk seperti itu.” aku Inart.
Seiring dengan berjalannya waktu, ide lain pun muncul untuk membuat cupcake baju adat. Inart yang juga pernah menulis buku “Makassar dari Jendela Pete-Pete” berpikir bahwa selama ini panganan khas Makassar, seperti kacang disko atau otak-otak, terlalu umum dan kurang bervariasi. Turis lokal maupun internasional cenderung hanya membeli panganan itu-itu saja padahal sebenarnya Makassar masih mempunyai banyak cemilan yang dapat dijadikan oleh-oleh. Inilah yang menjadi target Inart selanjutnya,
“Kita mau menjadi salah satu ikon oleh-oleh khas Makassar yang diingat dan akan dibawa pulang jika berkunjung ke Makassar. Ingat Makassar, ingat Doubleyou Cakes”.
Inart yang juga aktif di berbagai komunitas berharap dengan modal kreativitas, Makassar bisa jauh lebih berkembang.
“Kalau kita punya potensi tunjukkan. La Galigo saja bisa terkenal sampai seluruh dunia, berarti kita punya sesuatu yang positif. Kita harus tunjukkan bahwa Makassar tidak seperti yang banyak diberitakan media massa dengan berbagai citra negatifnya.”
Nah, tidak sulit kan untuk melestarikan budaya? Berbagai jalan bisa ditempuh. Tinggal kombinasikan hobi dan bakatmu, campur dengan sejumput kreativitas, lalu voila! Terciptalah beraneka cara pelestarian budaya ala kamu sendiri. Sejauh ini, pemasaran Doubleyou Cakes masih melalui media online. Bagi yang berminat mencoba, silakan kunjungi http://www.doubleyoucakes.com/.
Pelaut-pelaut Sulawesi Selatan ternyata tidak hanya jago merambah nusantara! Kemampuan lintas-budaya mereka bukan hanya mitos, melainkan sudah teruji sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Baca pengalaman penulis yang menyaksikan langsung jejak para pasompeq ini di tiga negara…
Negara yang dulunya merupakan provinsi ke-27 Republik Indonesia ini tidak familiar sebagai destinasi turisme internasional. Padahal, ada banyak hal menarik lho dari Timor Leste. Teman-teman tidak perlu jauh-jauh pergi ke Brazil untuk mandi sinar matahari di Rio de Janeiro atau menziarahi patung raksasa Yesus. Pantai pasir putih yang indah dan patung Christo Rei di Timor Leste tidak kalah cantiknya, bahkan cuma dua jam saja via pesawat dari wilayah NKRI. Eksotisme budaya dan Bahasa Tetun yang banyak dipengaruhi oleh unsur Portugis pun selintas mengingatkan kita akan Pidgin atau Bahasa Inggris campuran yang banyak digunakan penduduk keturunan Afrika (mullato) di Kepulauan Karibia dan Jamaica. Bagi penulis yang lahir dan menghabiskan enam tahun pertama dalam kehidupannya di Timor Leste, yang paling menarik ialah keberadaan daerah bernama Pante Macassar di pesisir sebelah barat negara ini.
Pante Macassar terletak di distrik Ambeno. Lokasinya tidak begitu jauh dari Dili, ibukota Timor Leste. Daerahnya tergolong subur untuk pertanian dibanding wilayah lain di Timor-Timur yang kering. Namanya pasti mengundang tanda tanya; kok bisa sih sebuah pulau nan jauh di timur nusantara mencatut nama daerah di Sulawesi Selatan? Rupanya pendatang dari Makassar sudah akrab dengan pesisir Timor sebagai jalur transit mereka menuju Marege. Marege adalah julukan orang Makassar untuk Australia Utara yang merupakan pusat perburuan teripang. Laut Timor menjadi gerbang mereka menuju perairan Marege. Para pemburu teripang dari Makassar ini kemudian membangun pemukiman-pemukiman sementara di pesisir pulau, menunggu angin dan musim yang cocok untuk menangkap hewan laut itu.
Kehadiran mereka sudah tercatat sejak zaman Portugis berkuasa atas Timor –Makassar memiliki hubungan yang jauh lebih akrab dengan pedagang Portugis ketimbang terhadap orang-orang Belanda– dan terus berlanjut hingga proses integrasi Timor-Timur ke dalam Republik Indonesia (1976-1999). Di periode kedua, kebanyakan para pendatang dari Sulawesi Selatan (suku Makassar, Bugis, dan Mandar) bekerja sebagai pegawai negri maupun pedagang.
Para pendatang ini sejak abad ke-17 telah berasimilasi dengan penduduk lokal. Beberapa kata dalam Bahasa Tetun dapat dijadikan bukti linguistik akan simbiosis para pasompeq (perantau) Sulawesi Selatan dengan masyarakat lokal di Bumi Lorosae. Ambil contoh, lipaq dalam Bahasa Tetun yang berarti sarung konon diambil dari Bahasa Bugis. Pisang Raja yang manis rasanya disebut dengan nama Pisang Mandar, bisa jadi karena dulu komoditas ini banyak diperdagangkan oleh para pelaut Mandar. Tidak hanya itu, secara kultural orang Timor dan orang Makassar pun terikat. Sebuah cerita rakyat lokal menyebutkan bahwa Pulau Timor muncul dari seekor buaya dan manusia pertama yang meninggalinya ialah seorang pemuda dari Makassar.
Alkisah, zaman dahulu Makassar mengalami kekeringan yang luarbiasa selama bertahun-tahun. Bencana alam ini diikuti pula oleh bencana sosial, dimana norma-norma adat mulai dilanggar oleh masyarakatnya sendiri. Suatu ketika, seorang pemuda di tengah perjalanannya mengambil air ke sungai yang nyaris kering melihat seekor buaya kecil tergelepar. Dengan penuh rasa kasihan, pemuda Makassar itu pelan-pelan mengangkat buaya malang tersebut menuju sungai.
Sebagai balas jasa atas kebaikan hati pemuda itu, sang buaya berjanji untuk mengantarnya ke sebuah tempat baru yang lebih baik untuk keturunannya. Sang pemuda Makassar setuju, Ia lalu naik ke atas buaya dan diantar menuju laut.
Di tengah-tengah lautan, sang buaya mendadak merubah dirinya sendiri menjadi sebuah pulau besar. Seorang gadis muncul dari dalam pulau tersebut, dan atas petunjuk gaib sang pemuda Makassar lalu menikahinya. Tempat si pemuda tadi pertama kali mendarat disebut dengan nama Pante Macassar. Pemuda tersebut dipercaya sebagai leluhur orang Timor. Hingga hari ini, masyarakat Timor juga masih menghormati buaya dan memanggil binatang tersebut dengan sebutan “abo feto” alias nenek. Pengultusan terhadap buaya ini mungkin memiliki hubungan dengan kebudayaan serupa di Sulawesi Selatan. Epos La Galigo sebagai tradisi lisan dan tulis tertua masyarakat Bugis mengisahkan, apabila para penghuni dunia bawah (Buriq Liu) hendak menampakkan diri ke dunia tengah (Alelino) mereka akan mengenakan larukkodo-nya (topeng gaib untuk penyamaran) dan mengambil bentuk sebagai buaya. Buaya disebut sebagai Punnae Wae alias pemilik air yang berkuasa atas sungai, ombak dan gelombang di lautan. Buaya dihormati sebagai penjaga alam dan penyeimbang kehidupan antara lingkungan dan manusia.
Sekarang, Pante Macassar tidak ramai dihuni orang. Perantau dari Sulawesi Selatan pun mungkin sudah tak ada lagi. Penggunaan listrik di wilayah tersebut dibatasi hanya 5 jam setiap malamnya, plus tidak ada siaran televisi maupun bank. Meski demikian, jejak para pasompeq Sulawesi Selatan tetap abadi bersama namanya. Mungkin suatu hari nanti Sulawesi Selatan dan Timor Leste dapat menciptakan kerjasama “twin beach” antara Losari dan Pante Macassar seperti proyek twin city yang sedang marak. Sejarah dan budaya terbukti dapat melintasi batas-batas geografi politik yang diciptakan oleh manusia. Jika dulu nenek moyang kita menorehkan harmonisasi lewat budaya, kenapa kita tidak?