Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Menggambar Kenangan Lewat Lukisan

Sore itu, mungkin jadi salah satu sore yang paling sibuk di Makassar. Padatnya arus lalu lintas di setiap ruas-ruas jalan, membuat saya harus berkonsentrasi penuh mengemudikan motor di antara berpuluh-puluh jenis kendaraan lainnya. Namun kami sudah mengatur jadwal, akan bertemu dengan Seorang Pelukis Tanah Liat, bahkan mungkin masih satu-satunya di Dunia.

Salah satu Lukisan Kilat Daeng Beta

Sepulang dari Fort Rotterdam, walau dehidrasi menyerang badan, memaksa bulir-bulir keringat jatuh dengan tak acuh, akhirnya saya dan Wulan, tiba di Hotel Clarion. Kebetulan memang ada pameran busana muslimah. Kami heran juga, apakah Daeng juga memiliki usaha butik selain profesinya melukis? Ya sudahlah, yang jelas kami hanya ingin bertemu dengan Zainal Beta, yang juga sekaligus membimbing beberapa komunitas Seni Rupa di Makassar. Salah satunya adalah Indonesia’s Sketcher. Kami ingin berbincang sebentar, mengundang beliau untuk menjadi pembicara Heritage Camp Agustus besok.

Karena bingung, di mana kah gerangan mencari stand Daeng Beta, walaupun sudah menelepon dan diminta mencari stand lukisan, kami yang sempat berputar-putar di area pameran, akhirnya menyerah dan bertanya pada Petugas Karcis masuk, “Oh, itu Dek. Ada ki di nomor 7, di samping panggung.”

Walahh, kami tak berpikir sejauh itu. Maklum, saat masuk, di panggung sendiri sedang diadakan bincang-bincang dengan Puput Melati, walhasil penontonnya yang mayoritas terdiri dari kaum ibu-ibu langsung memadati area sekitar panggung. Kami pun masuk lagi, lewat jalan samping, dan seketika saya berujar pada Wulan, “Itu e! Deh, sangar ya tampangnya.”

Tapi mau tak mau saya harus menyapa. Dan apa yang terjadi? Ohlala, Daeng Beta ternyata SRS. Sungguh Ramah Sekali. Di antara stand-stand busana muslimah trendi lainnya, lukisan-lukisan tanah liat milik Daeng Beta mirip sebuah gerobak es buah : menyegarkan!

Baru kali ini saya berkesempatan melihat langsung hasil lukisan tanah liat itu. Kami tak hentinya berdecak kagum, apalagi sambil ngobrol dengan Sang Maestro yang memulai karya-karyanya ini pada tahun 80-an.

Daeng Beta, hingga hari ini, masih menggunakan tanah liat asli dari Indonesia. Walau lukisan-lukisannya sudah bertaraf Internasional, bahkan sudah ditawari untuk tinggal di Amerika, beliau memutuskan untuk tetap tinggal disini. Sambil menekuni profesi dan mendidik siapa pun yang mau belajar melukis di studio miliknya di  Gedung G Fort Rotterdam.

“Salah satu yang paling berkesan hingga hari ini, adalah ketika Affandy, yang kalo Presiden saja mau bertemu dengannya – pun dia tolak, mencari saya pada tahun 1986. Dia (Affandy) kaget mengetahui usia saya pada saat itu masih 26 tahun. Hingga saat ini, dia Profesor, saya masih Doktor. Hahahaha…” kenangnya dengan raut wajah gembira. Kami yang tadinya hanya ingin mengundang, entah tiba-tiba berubah penasaran. Jadi kepo. Ingin tahu ini itu tentang Daeng Beta dan karya-karyanya.

Berapa lama Daeng Beta mengerjakan sebuah lukisan? Beliau malah bertanya balik, “Mau coba tidak? Satu lukisan kecil begini dua menit saja. Kalau yang rumit, sekitar sejam dua jam.” Ia pun mengeluarkan alat-alat sederhananya.

Peralatan sederhana Daeng Beta

“Tanah liat ini diolah selama 3 bulan. Ya, supaya tidak kotor lagi dan juga tidak berbau. Tapi karakter tanah liat itu sendiri sudah berbeda-beda.” Kami memang mendapati tanah liat itu masing-masing memiliki tingkat warna yang tidak sama. Ada yang cokelat, ada yang kemerah-merahan. Ada yang agak kuning. Tapi semuanya sudah lunak seperti cat poster.

“Ini apa Daeng? Bambu kah?” Saya menunjuk sebuah alat yang mirip dengan pisau cutter. “Oh iya, ini memang bambu. Nanti kamu bisa melihat kegunaan bambu-bambu ini.” Terangnya sabar.

Tanpa saya sadari, beberapa pengunjung lain berdatangan ke stand Daeng Beta, ikut menyaksikan demo lukis yang sungguh sebentar sekali itu. Mereka pun terpancing untuk ikut bertanya, “Wah, lukisan Bapak bagus sekali. Seni itu memang mahal ya…” Daeng Beta hanya menjawab, “Iya.. Kalau mau dibilang mahal, ya mahal. Kalau mau dibilang murah, ya murah juga. Semuanya relatif. Hahahaha..”

Jika melihat lukisan-lukisan Daeng yang memang bernuansakan pedesaan dan kehidupan nelayan di laut, memang itulah salah satu gaya andalan Pelukis berperawakan kecil tapi lincah ini. “Ya, dulu kan banyak sawah. Bahkan tanah yang kita injak ini dulunya sawah. Ada kerbau, anak-anak bermain, perahu-perahu tradisional. Tapi semuanya digantikan sama gedung-gedung tinggi. Saya memang suka menggambar pemandangan, kalau susah itu seperti menggambar wajah. Bisa makan waktu 3 hari karena bukan mirip lagi, tapi memang harus mirip! Hahaha…” Daeng Beta memang gemar tertawa. Hahaha…

Kini keahliannya banyak turun kepada generasi yang lebih muda. Kepada anak-anaknya, kepada muridnya. Daeng Beta bertutur panjang tentang pentingnya regenerasi. “Nanti beberapa tahun lagi, akan banyak seperti ini. Variasi semakin berkembang, hanya saja, perlu untuk mencari satu hal yang bisa ditonjolkan. Budaya itu salah satunya.”

Kami menutup dialog hari itu dengan saling bertukar kartu nama. Wah, rasanya tidak sabar menggelar workshop melukis tanah liat kepada peserta-peserta Heritage Camp. Supaya semakin banyak yang tahu, bahwa melestarikan kearifan lokal itu tidak melulu membosankan.

Categories
Featured Galigoku Old Stuff Good Stuff

Dari Masa Lalu untuk Masa Depan Indonesia

Sejak ratusan tahun lalu, suku-suku di Nusantara telah bersinggungan dengan bangsa Belanda, yang telah memberi mereka sentuhan dengan perkembangan modern. Dampak revolusi industri, Perang Dunia I dan Perang Dunia II juga telah ikut mempengaruhi suku-suku bangsa di Nusantara berkat hubungan dengan bangsa Belanda.

Namun kemudian revolusi terjadi, darah tertumpah dan abad pun telah berubah, baik dari sisi politik maupun ekonomi. Hubungan dengan Belanda tak lagi seperti zaman silam itu, dimana nasib bangsa kita ditentukan di Den Haag, hasil ekspor kita dikumpulkan di Pelabuhan Rotterdam, dan berbincang dalam bahasa Belanda dipandang eliter. Kini semua bebas ditentukan oleh kita sendiri di Jakarta, produk ekspor dapat kita kirim ke pelabuhan mana saja kita suka. Dapat dikatakan kini pengaruh Belanda telah tertelan zaman.

Kendati pengaruh Belanda dalam kehidupan sehari-hari telah diminimalisir, bahkan nyaris hilang dibandingkan dengan zaman silam itu, namun kita tak boleh melupakan hubungan dengan mereka. Pikirkanlah, Indonesia dijajah oleh Belanda selama berabad-abad. Akankah dalam kurun waktu 68 tahun, yang digonjang-ganjing oleh instabilitas politik,  terdapat suatu penelitian rinci mengenai dampak penjajahan dalam kurun waktu selama itu?

Gedung KITLV, lembaga riset kerajaan Belanda yang telah berdiri sejak tahun 1851 di Leiden. Fokusnya adalah kajian mengenai budaya dan sejarah Indonesia. Di depan KITLV terdapat tulisan berupa syair (elong) dengan aksara Lontaraq Bugis.

Di tengah perkembangan modern dimana haluan RI lebih tertuju ke arah Asia-Pasifik dan mencari pasar-pasar baru hingga persada bumi demi pembangunan nasional, bangsa Indonesia justru apatis dengan sejarah. Kenapa? Memang, sebenarnya sikap ini tidak berlaku eksklusif di Indonesia saja. Setelah Belanda meraih kemerdekaan dari Nazi Jerman lalu memasuki tahun 50-60an dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, orang Belanda juga lebih sibuk dengan masa kini dan masa depan, yang lebih memberi berkah. Sedangkan masa lalu dipandang hanya memberi memori buruk. Demikian pula halnya dengan Indonesia. Setelah reformasi Indonesia sekali lagi mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat. Apa gunanya untuk Kang Marhaen memikirkan masa lalu, jika setiap hari ia masih hidup Senin-Kamis alias kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya? Syarat agar suatu bangsa menghargai masa lalu ialah dia harus meraih kesejahteraan dulu.

Di situlah terletak hebatnya La Galigo for Nusantara Project. Telah bangkit generasi baru yang sudah meraih tingkat kesejahteraan itu, sehingga bisa fokus peduli pada sejarah bangsanya, Nusantara. Mereka adalah hasil dan bukti perjuangan keras membanting tulang dari generasi-generasi sebelumnya. Para pahlawan Indonesia akan bangga atas kepedulian mereka!

Azzam Santosa, lahir dan besar di kota Delft, Belanda. Pemuda asli keturunan Pekalongan, Jawa Tengah, ini kini tengah belajar Ekonomi dan Hukum di Erasmus University, Rotterdam. Di samping berkuliah, ia juga menjabat sebagai Sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to The Netherlands Part III – Berziarah ke Makam Matthes

Sabtu, 21 Desember 2013

Agenda tim Lontara Project pada hari kelima adalah berziarah ke makam Benjamin Franklin Matthes di Den Haag. Hari itu pukul 11.00 pagi tim Lontara Project ditemani dengan Prof. Sirtjo Koolhof, ibu Betty Litamahuputty (peneliti berdarah Belanda-Mamasa-Jawa-Maluku), dan Sunarti Tutu (seorang warga Indonesia asal Maros yang telah menetap di Belanda) menziarahi sebuah pemakaman bernama Oud Eik en Duinen.

Rombongan Lontara Project di hadapan makam Matthes

Kala itu hujan gerimis turun membasahi bumi. Langit Den Haag kelabu, seakan tahu bahwa hari ini kami akan menghaturkan sebuket kembang di pusara salah seorang putra terbaiknya. Matthes merupakan seorang ahli bahasa penerjemah kitab Injil dari Belanda. Dalam mengemban tugasnya di Sulawesi Selatan, Matthes memerlukan bantuan orang lain untuk menerjemahan Injil yang berbahasa Latin ke Bahasa Bugis. Ditemuinya seorang Colliq Pujie, negarawan wanita asal Bugis yang intelek dan terasing di Makassar akibat pemberontakannya terhadap kolonialisme Belanda. Berawal dari situlah B. F. Matthes dan Colliq Pujie memprakarsai dan memulai sebuah proyek besar: penyalinan naskah La Galigo yang tersebar luas di berbagai wilayah di Sulawesi Selatan selama sekitar 20 tahun. Atas ide Matthes dan kerjasamanya dengan Arung Pancana Toa Retna Kencana Colliq Pujie itulah lahir naskah epik tulis terpanjang di dunia yang diakui UNESCO dan tersimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Makam Matthes, putri beserta saudarinya

Makam B. F. Matthes di Den Haag terletak di kompleks pemakaman tua. Di dalamnya juga terdapat beberapa makam penyair dan orang-orang Indo (campuran Belanda-Indonesia) yang tersohor pada zaman Hindia Belanda. Sekedar informasi, Den Haag dulu dikenal dengan nama julukan “Janda Hindia Timur”. Den Haag menjadi tempat bermukim pejabat-pejabat Belanda yang dulu pernah ditempatkan di Hindia Timur serta menjadi tempat suaka bagi banyak warga keturunan Indo pasca merdekanya Hindia Timur. Den Haag selalu punya ikatan yang erat dengan kepulauan Nusantara di seberang samudera sana. Ziarah ini mengingatkan kita kepada kematian serta mengingatkan kita tentang nilai perjuangan orang-orang yang dinikmati hasil karyanya saat ini. Melalui kegiatan ziarah ini diharapkan tim Lontara Project dan pemuda umumnya dapat meningkatkan optimismenya dalam melestarikan budaya nusantara.

 Tulisan Lontara Project tentang B.F. Matthes juga dapat dibaca di –> “Bule-Bule yang Kepincut La Galigo: B.F. Matthes”

 

 Muhammad Ulil Ahsan Arif, mantan Ketua Perhimpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI). Pemuda asal Sengkang ini punya cita-cita yang mulia untuk melestarikan budaya sekaligus mengkampanyekan semangat kesadaran atas isu-isu ketahanan pangan nasional. Dirinya yang lulusan Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini amat multitalenta; Ia dapat memainkan beragam alat musik daerah mulai dari kitoka, suling, hingga puik-puik. Kenali Ulil lebih lanjut dengan mengunjungi blog pribadinya di http://ulilahsan.wordpress.com/