Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Fashion of Keraton Nusantara – Part I

Zaman sekarang, dunia fashion tanah air kebanyakan berkiblat ke Barat.  Sebelum booming K-Pop, Jepang dengan style Harajuku-nya juga sempat mewabahi generasi muda. Di tengah pertempuran ide dan kreatifitas untuk membuat diri terlihat indah hari ini, sayangnya fashion nusantara belum mendapatkan perhatian yang besar dari pemuda-pemudi bangsa (malah acapkali dilabeli “kampungan”). Padahal, fashion nenek moyang kita dulu bisa jadi inspirasi yang oke punya lho. Keluarga kerajaan di nusantara ini ternyata punya selera yang tinggi dalam mix and match budaya Timur dengan unsur-unsur estetika Barat, tentunya tanpa kehilangan filosofi di balik pakaian yang mereka kenakan. Penasaran seperti apa? Yuk kita lihat satu-satu!

I. Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin dari Kesultanan Aceh Darussalam

Ialah salah seorang wanita yang pernah memegang tampuk pemerintahan tertinggi di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai anak perempuan Sultan Iskandar Muda, tidak heran jika bakat kepemimpinan mengalir di darah wanita yang menjadi patron ulama besar Abdurrauf Singkil. Untuk ukuran wanita pada zamannya pun, track record-nya lumayan mengagumkan: ia punya hobi menulis sajak dan cerita serta mendukung proyek pembangunan perpustakaan di istana. Sosoknya sebagai seorang perempuan yang tegas dan cinta ilmu pengetahuan jauh dari stigma masyarakat Eropa terhadap kaum Hawa pada masa itu. Satu hal lagi yang perlu disaluti dari sang ratu, Ia menjadi penguasa Aceh pertama yang mengizinkan biarawan Fransiskan dari Eropa untuk membangun gereja di wilayah kekuasaannya.

Berdasarkan ilustrasi karya Sayyid Dahlan Al-Habsyi di atas, busana yang ia kenakan jelas mencerminkan pengaruh Timur Tengah dengan adanya kain penutup kepala  serta gamis bermodel Turki. Warna emas dan hijau yang mencirikan keagungan serta agama Islam mendominasi pakaiannya. Aksesoris dari permata seperti kalung, anting-anting, dan hiasan kepala bercorak-ukir menandakan kemajuan peradaban Aceh masa itu. Ada fakta menarik terkait aksesoris emas yang beliau gunakan. Penggunaan emas sebagai perhiasan utama di istana Aceh Darussalam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dimana menurut laporan Augustin de Beaulieu dari Prancis setiap penari istana mengenakan 20 kg emas di badannya! Trend emas ini dibuktikan dengan koleksi benda-benda peninggalan Kesultanan Aceh di Museum Nasional Kopenhagen yang terdiri atas selendang dan celana berbenang emas, kain kepala, topi dan kalung, anting-anting dan ikat pinggang dari perak. Wow, beliau adalah seorang ratu nan pintar, baik hati, terbuka dan kaya raya!

II. Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X dari Kasunanan Surakarta

Susuhunan Pakubuwono X – Kasunanan Surakarta (1893-1939)

Inilah raja terkaya dalam sejarah kerajaan Mataram (keraton Yoyakarta-Surakarta). Raja yang bergelar Sinuhun Wicaksana ini amat istimewa. Ia melakukan revolusi di bidang sosial dengan cara memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Setiap malam Jumat ia akan naik ke atas mobil Mercedes Benz 1905-nya (jangan lupa kalau ia juga raja pertama yang memiliki mobil pribadi di seluruh penjuru Jawa) dan membagi-bagikan uang kepada rakyat yang kurang mampu. Paku Buwono X mendapatkan bintang kehormatan dari Sri Maharaja Puteri Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam bahasa Belanda Zijne Vorstelijke Hoogheid. Permaisurinya, Gusti Bandara Raden Ajeng Mur Sudarsinah merupakan putri Sultan Yogyakarta. Penikahan mereka menjadi sejarah karena setelah kerajaan Mataram pecah di tahun 1755 baru kali ini keraton Surakarta dan Yogyakarta kembali menjalin hubungan akrab.

Dalam lukisan ini Ia mengenakan jas hitam atau yang biasa disebut beskap berhiaskan banyak sekali lencana kehormatan. Warna beskap yang hitam menandakan bahwa busana ini tergolong sanes padinetenan atau pakaian yang hanya dikenakan pada upacara adat saja. Sunan Pakubuwono mengenakan kemeja sepinggang serta jarik yang dikencangkan oleh ikat pinggang. Beliau juga mengenakan sepatu atau sloop, yang dari namanya saja sudah jelas berasal dari pengaruh Belanda. Beliau mengenakan kuluk (topi/kopiah kebesaran) yang biasanya juga dikenakan oleh pengantin laki-laki Jawa. Sang istri tampil lebih tradisional dengan baju lengan panjang berbahan velvet atau beludru dengan hiasan benang emas yang hanya boleh dikenakan oleh kaum bangsawan. Jarik dan rambut disanggul. Aksesoris yang ia kenakan ialah tiga susun bros (penanda bahwa beliau merupakan seorang permaisuri), kalung emas, anting-anting, lencana kehormatan, cincin (di kelingking, jari manis dan telunjuk), dan gelang (di kedua pergelangan tangan). Baik raja maupun ratu sama-sama memegang sehelai sapu tangan dengan kunci yang tergantung di bawahnya. Kunci tersebut merupakan kunci ruang pusaka kerajaan.

III. I Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng

I Gusti Ketut Jelantik – Patih Raja Buleleng, Bali (1849)

Patih muda yan terkenal gigih menentang penjajahan Belanda ini sejatinya berasal dari Karangasem. Ia terkenal karena kekerasan hatinya dalam mempertahankan martabat kerajaan dan menolak tunduk pada Belanda. Beliau menyerukan puputan alias perang hingga titik darah penghabisan kepada seluruh warga Buleleng. Meskipun terpaksa mundur hingga ke Gunung Batur, Kintamani dan gugur di sana, nama Gusti Ketut Jelantik tetap hidup sebagai penyemangat warga Bali dalam menentang kekuasaan Belanda di Pulau Dewata. 

I Gusti Jelantik nampak begitu gagah pada foto yang diambil di Batavia tersebut. Pakaian yang dikenakan oleh beliau terdiri atas kemeja berkerah dan jas (?) lengan panjang bermotif, kain yang diikat setinggi ulu hati serta celana panjang corak Bali. Beliau juga mengenakan kain sebagai penutup kepala. Perhiasan yang dipakai hanyalah cincin pada jari kelingking dan telunjuk. Pengaruh Barat hampir tidak terlihat, pakaian Gusti Jelantik dapat digolongkan nyaris 100%  busana Bali asli. Berbeda dengan kraton Jawa, di Bali tidak ada motif-motif pakaian yang dikhususkan untuk bangsawan semata. Akan tetapi rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan untuk mengenakan kain tenun yang berhiaskan benang emas dan perak atau prada (ragam hias goresan cat emas). Selain hiasan prada, tenunan songket juga menjadi penanda pakaian bangsawan kelas atas. Ciri khas kain Bali yang biasanya berwarna-warni sayangnya tidak dapat kita nikmati dengan jelas pada foto hitam-putih I Gusti Jelantik.

IV. Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa MatinroE ri TucaE dari Kerajaan Tanete

Retna Kencana Colliq Pujie – Arung Pancana Toa (1812-1876)

Sosok perempuan inspiratif yang telah menyusun naskah La Galigo terpanjang di dunia ini adalah seorang sejarawan, budayawan dan novelis pada zamannya. Tidak hanya sampai di situ, kejeniusan beliau juga nampak dengan terciptanya aksara Bilang-Bilang yang idenya diambil dari bentuk aksara Lontaraq dan Arab. Wanita keturunan Johor-Bugis ini terkenal gigih dalam menghadapi Belanda yang bercokol di negeri Tanete (Kab. Barru, Sulawesi Selatan). Meskipun diasingkan selama bertahun-tahun dan tidak mendapatkan perlakuan selayaknya seorang ratu, Colliq Pujie tetap bertahan dengan prinsipnya untuk tidak tunduk pada penjajahan Belanda.

Pada foto di atas, beliau mengenakan baju model Melayu lengan panjang dengan motif geometris. Baju ini tergolong unik, coba saja perhatikan sambungan diagonal yang melintang dari pundak sebelah kiri beliau hingga perut sebelah kanan. Aksesoris yang ia gunakan antara lain dua cincin emas pada jari telunjuk dan jari manis, kalung, serta semacam sisir kecil yang disisipkan di rambut bagian atas serta sapu tangan. Nah, rambutnya mengkilap di foto ini hampir bisa dipastikan diolesi oleh minyak kelapa, tradisi yang hingga saat ini pun masih hidup di kalangan orang tua Bugis. Sarung yang beliau kenakan merupakan sarung dengan motif flora (pengaruh Melayu-Cina?), sayangnya keindahan sarung tersebut tidak kelihatan karena warnanya hitam-putih. Yang paling membuat penulis terkesima ialah sepatu bergaya India (Jutti) yang beliau gunakan! Sepatu dengan ujung melengkung ke atas seperti itu menandakan bahwa beliau tergolong up to date dengan dunia fashion pada zamannya.  Dikutip dari situs The Bata Shoes Museum:

In Northern India, the curled toe and open back is a common feature of footwear, as is the beautiful, intricate metallic embroidery, which today is still executed completely by hand.

Konon sepatu tipe Jutti atau Mojari ini pertama diciptakan pada masa Dinasti Mughal di India Utara, tepatnya di sekitar wilayah Punjab dan Rajasthan sekarang. Hanya kalangan orang kaya dan bangsawan yang dapat memakai sepatu berbentuk unik dengan motif-motifnya yang cantik ini karena biaya pembuatanya yang lumayan mahal. Sepatu tipe seperti ini digandrungi Barat ketika Eropa terserang oleh demam “Gila India” sekitar abad ke-17. Wah, ternyata Colliq Pujie tidak hanya seorang jenius secara intelektual, referensi fashion beliau pada masa itu pun telah berkelas internasional!

 

Berlanjut ke Fashion Keraton Nusantara – Part II

Referensi Gambar: 

http://sejarah.kompasiana.com/2010/06/22/sultanah-safiatuddin-memimpin-berapa-lama-174008.html
http://www.bridgemanartondemand.com/image/646807/-pakubuwono-x
http://devry.wordpress.com/2010/10/27/a7789ef88d599b8df86bbee632b2994d/
http://www.balifornian.com/blog/2012/7/30/our-family-and-balis-royal-family-of-karangasem.html
http://indonesiaproud.wordpress.com/2011/12/22/colliq-pujie-perempuan-bugis-intelektual-yang-diakui-dunia/
http://sergapntt.wordpress.com/category/manggarai/

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Indonesia: Pusat Wisata Megalitikum Dunia

Zaman Megalitikum

Ketika berbincang perkara monumen bersejarah, apa yang kira-kira terlintas di pikiranmu? Candi Borobudur, Tugu Yogyakarta, Patung Jenderal Sudirman atau benteng-benteng zaman Belanda? Pernah terlintas nggak sih keinginan untuk mengunjungi monumen-monumen dari batu-batu besar yang berasal dari zaman Megalitikum?

Selama ini masih banyak yang tidak menaruh perhatian terhadap tinggalan-tinggalan leluhur nusantara dari zaman purba. Dibandingkan candi-candi atau gedung-gedung masa kolonial, obyek wisata bertajuk kebudayaan pra-sejarah masih kurang dipromosikan. Batu-batu besar seperti menhir, meja batu, sarkofagus, dan punden berundak-undak kurang menarik untuk dikunjungi karena bagi sebagian besar masyarakat kita dipandang sebagai tinggalan sejarah yang tidak beradab dan jauh dari teknologi. Malah kadang-kadang tercipta kesan yang seram dan angker ketika berbicara tentang artefak-artefak zaman Megalitikum ini. 

Menhir dengan ukiran di Mahat, Sumatera Barat. Sumber: http://www.whatsnextnaomi.com/2008/08/searching-for-menhirs-in-mahat.html

Era Megalitikum ialah suatu periode waktu dalam sejarah Indonesia dimana masyarakat purba membangun struktur atau monumen dari batu-batu besar (megalit). Batu-batu tersebut memiliki fungsi dan artinya masing-masing. Kebanyakan batu-batu besar tersebut digunakan untuk menghormati arwah nenek moyang ataupun sebagai tempat untuk menaruh sesaji. Nah, Era Megalitikum ini sendiri sejatinya terbagi dua. Yang pertama ialah Era Megalith Tua, dimana sekitar tahun 2500-1500 SM suku-suku Melayu Tua (Proto Melayu) membangun menhir, punden berundak-undak serta arca-arca tetap. Era Megalith Muda terjadi sekitar tahun 1000-100 SM ditandai oleh kedatangan bangsa Melayu Muda (Deutro Melayu) yang mendirikan peti kubur batu (sarkofagus), dolmen, dan arca-arca dinamis. Apa istimewanya sih batu-batu ini? Zaman Megalitikum merupakan suatu periode yang di kalangan sejarawan dianggap sebagai titik balik kreatifitas manusia untuk mulai membuat monumen atas kejadian-kejadian dalam kehidupan mereka. Gampangnya, zaman Megalitikum ini adalah saat dimana nenek moyang kita dulu mulai memahami filosofi atau makna atas berbagai fenomena kehidupan, yang kemudian oleh mereka disimbolkan melalui batu-batu tersebut. Kalau zaman sekarang kita biasanya memajang foto kakek-nenek kita di pigura, kira-kira yang dilakukan oleh orang-orang zaman Megalitikum ini ialah mendirikan menhir atau batu-batu besar demi mengenang orang tua-orang tua mereka dulu.

Menhir

Ada banyak sekali suku-suku pedalaman di nusantara yang tidak tersentuh oleh pengaruh budaya “Negeri-Negeri Atas Angin” seperti India, Cina maupun Arab. Suku-suku ini dengan setia terus merawat peninggalan Megalitikum serta menjadikan benda-benda tersebut sebagai bagian dari kehidupan religio-magis mereka. Nah, salah satu artefak primadona dari zaman Megalitikum ialah menhir. Menhir berasal dari dua kata dalam Bahasa Keltik, yaitu men (batu) dan hir (panjang). Batu tegak yang tertancap di atas tanah seperti tugu peringatan ini menurut para ahli berfungsi untuk memuja atau menghormati roh nenek moyang. Di Indonesia, menhir banyak ditemukan di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Bentuk dan ukuran menhir pun bermacam-macam, tidak mengenal pakem tertentu. Di Sumatera Barat bahkan ada menhir yang bagian dasarnya berhiaskan ukiran berbentuk ornamen bunga dan seorang gadis yang tengah menari. Konon jika bapak pemilik tanah tempat menhir itu ditemukan tidak iseng untuk menggali bahagian dasarnya, kita tidak akan pernah tahu bahwa menhir tersebut  ternyata menyimpan ukir-ukiran misterius yang sangat indah!

Situs Gunung Padang.

Masih ingat bagaimana media sempat dihebohkan dengan isu mengenai “piramida” yang konon masih tersembunyi di balik Gunung Padang? Nah, sejatinya situs tersebut telah sejak tahun 1914 diidentifikasi sebagai situs Megalitik. Situs yang unik karena terdiri atas serakan batu-batu besar serta punden berundak ini menurut penelitian Rolan Mauludy dan Hokky Sitongkir dulunya merupakan tempat domisili leluhur nusantara yang suka bermain musik. Beberapa batu ternyata mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda ketika dipukul.  Pada kelompok batu-batu tertentu, bahkan ketinggian frekuensinya membentuk notasi yang mirip dengan standar notasi musik Barat!  Temuan-temuan menhir di Indonesia menjadi semakin menarik ketika teman-teman mencari tahu lebih dalam lagi.

Beberapa waktu yang lalu di daerah Purbalingga pernah ditemukan dua menhir yang terbujur dengan simetris ke arah Utara-Selatan dan Timur-Barat. Menhir ini ditengarai sebagai temuan menhir terbesar di Indonesia. Di Sumatera Barat, Nagari Mahat Kabupaten Lima Puluah Koto dijuluki sebagai “Negeri Seribu Menhir” karena jumlah menhir yang ditemukan di daerah ini mencapai lebih dari 500 buah!  Ada pula Kampung Bena di Flores yang dikenal dengan sebutan “Kampung Megalitikum”. Masyarakat di Kampung Bena selain mewarisi banyak menhir dan peninggalan nenek moyang Megalitikum juga masih hidup dengan amat sederhana, sehingga atmosfer “purba” yang didapatkan ketika berkunjung ke sana pun terasa amat kental. Seakan tak ingin kalah, situs Batu Tumonga di Toraja pun menyimpan pesona menhir yang misterius. Pemandangan alam yang indah serta cuacanya yang sejak (karena terletak di atas gunung) membuat teman-teman tidak akan menyesal mengunjungi tempat ini. Di Batu Tumonga teman-teman bisa menyaksikan sekitar 56 menhir (dalam Bahasa Toraja disebut Batu Simbuang) yang ditemukan dalam keadaan melingkar dengan empat batang pohon di tengahnya.

Kampung Bena, Bajawa, Flores. Sumber: http://www.k-travel.info/2012/02/23/bena-kemegahan-warisan-budaya-zaman-batu-di-flores/kampung-bena-di-bajawa-flores-ntt-1/
Situs Menhir di Batu Tumonga

Melihat contoh-contoh di atas, seharusnya Indonesia dapat menjadi pusat wisata Megalitikum terbesar di dunia lho! Sayangnya wisata budaya dengan tema “Megalitikum” belum terlalu populer bahkan di kalangan turis domestik sekalipun. Padahal, konsep wisatanya bisa dikemas tidak sekedar untuk melihat-lihat benda-benda peninggalan pra-sejarah, namun juga dapat menginspirasi pengunjung agar dapat mengungkap misteri yang masih terselubung di dalamnya. Dijamin nggak bakal rugi kok, tempat wisata seperti ini justru akan membawa kita untuk merasakan bagaimana sih rasanya hidup dengan kondisi zaman seperti itu. Siapa bilang periode pra-sejarah itu nggak seru? The Flintstones aja hidup di zaman itu kok! 🙂

Pesan Bung Karno dulu:

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”

Referensi dan Sumber Gambar:
http://epri-wismark.blogspot.com/
http://sambelpedas.wordpress.com/galeri/galeri-megalitikum/
http://www.sulsel.go.id/wisata/Kabupaten%20Tana%20Toraja
http://www.limapuluhkota.go.id/index.php?mod=objek_wisata&act=show&id=40

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Dari Rangkong Hingga Hieroglyph Toraja

Indonesia tak cuma kaya budaya. Alamnya menyimpan berjuta potensi luarbiasa. Kedekatan antara manusia dan alam membentuk suatu simbiosis yang oleh nenek moyang kita zaman dahulu kala diramu dalam ragam bentuk tradisi. Salah satunya adalah melalui tarian dan sistem tulisan. Penasaran bagaimana hewan seperti burung dapat mempengaruhi peradaban suku-suku di Indonesia? Yuk kita simak kisah serunya berikut ini!

Rangkong dan Panglima Burung

Burung rangkong atau enggang (Latin: Bucerus) merupakan fauna bangsa aves yang menjadi ciri khas Pulau Kalimantan. Satwa ini tergolong unik karena tubuhnya yang besar, bulunya yang berwarna-warni, corak ekornya nan anggun dan “tanduk” yang menarik perhatian di atas paruhnya. Indonesia termasuk beruntung karena dari sekian banyak spesies rangkong yang ada di dunia ini, sekitar 13 di antaranya berasal dari negera kita. Totalnya ada sembilan spesies rangkong di Sumatera, delapan spesies di Kalimantan (hampir sama dengan yang ada di Sumatera minus Rangkong Papan), serta empat spesies endemik lainnya di Sulawesi, Sumba dan Papua.

Keanekaragaman rangkong yang cukup tinggi di negara kita serta masih minimnya informasi mengenai kebiasaan hidupnya menjadikan burung ini sebagai satwa yang dilindungi. Sayangnya, belakangan ini cerita-cerita menyedihkan tentang perburuan rangkong marak terdengar. Konon per ekornya burung langka ini dihargai 2,5 juta rupiah! Apabila diperdagangkan di luar negeri, harganya bisa melejit hingga tiga kali lipatnya.

Kehadiran burung rangkong di hutan-hutan Kalimantan tidak hanya penting sebagai penyeimbang rantai makanan dan ekosistem hutan. Bagi masyarakat tradisional Dayak, rangkong ialah simbol kesucian, kekuatan dan juga kekuasaan. Burung ini tidak boleh diburu, apalagi dimakan. Komunikasi dengan arwah leluhur terjadi melalui perantaraan burung-burung ini. Bulu rangkong juga berarti keindahan dan keanggunan. Coba teman-teman perhatikan tari-tarian khas Suku Dayak. Pakaian penarinya yang indah berwarna-warni itu pasti dihiasi oleh ornamen bulu rangkong. Di tataran stratifikasi sosial, kepala rangkong hanya boleh dijadikan hiasan oleh para petinggi Dayak, orang biasa tidak boleh sembarangan mengenakannya.

Penulis berfoto bersama rangkong di Taman Safari Indonesia II

Misteri kultus rangkong tidak berhenti sampai di situ saja. Konon, roh alam yang menjadi pelindung Pulau Kalimantan dan masyarakat Dayak sering menampakkan diri dalam wujud seekor rangkong raksasa. Sosok yang oleh komunitas lokal dikenal sebagai Panglima Burung ini hanya menampakkan dirinya pada momen-momen tertentu saja, seperti saat keadaan genting atau terjadi peperangan. Panglima Burung dipercaya memiliki kekuatan gaib yang luarbiasa besar. Menurut cerita yang pernah penulis dengar, pada masa pemerintahan Presiden Megawati dulu sosok ini pernah memunculkan dirinya.

Saat sedang memberikan pidato pada kunjungannya di suatu tempat di tengah Kalimantan, tiba-tiba seekor burung rangkong raksasa terbang berputar-putar di atas ibu presiden. Burung rangkong raksasa itu lalu turun, mendarat persis di hadapan ibu Megawati, lalu berubah wujud menjadi seorang pria dengan pakaian prajurit Dayak lengkap. Ia memberikan salam kepada beliau selaku pemegang amanah pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kembali berubah wujud menjadi rangkong raksasa, lalu terbang menghilang. Terlepas dari benar tidaknya peristiwa tersebut, yang jelas sosok rangkong diidentikkan dengan simbol kekuatan magis yang dimiliki oleh Sang Panglima Burung.

Aksara Burung-Burungan dari Makassar

Masih bicara tentang burung, kali ini kita menyeberang dari daratan Kalimantan ke tanah Sulawesi. Saya teringat akan sebuah sistem tulisan hasil kejeniusan masyarakat Makassar yang dikenal dengan nama “Jangngang-Jangngang” (dalam Bahasa Bugis: “Uki Manuk-Manuk”) alias “Burung-Burung”. Burung? Ya, bentuk aksara yang meliuk-liuk ini memang mirip dengan ragam gerakan burung ketika sedang mengangkasa. Apa sebenarnya yang menjadi motivasi bagi orang-orang Makassar zaman kuno untuk menciptakan sistem tulisan serupa gerak kepakan sayap burung ini?

Aksara Jangngang-Jangngang menurut Fachruddin Ambo Enre diperkirakan muncul sekitar abad ke-8 hingga ke-14 Masehi. Pada saat yang bersamaan, aksara Kawi masih digunakan pula di daerah Jawa. Seorang pakar sejarah bernama Cense mengungkapkan bahwa sepertinya antara Sulawesi Selatan dan Jawa bagian timur (era itu ditandai dengan eksistensi kerajaan Hindu terkenal seperti Kediri dan Singosari) telah terbina hubungan yang lumayan intens. Buktinya ialah kemiripan yang nampak antara aksara Jangngang-Jangngang dan aksara Kawi. Bahkan sebahagian peneliti ada yang beranggapan bahwa sejatinya aksara Jangngang-Jangngang merupakan turunan dari aksara Kawi. Selain aksara Kawi, aksara Jangngang-Jangngang juga memiliki banyak kemiripan dengan aksara Kamboja. Hal ini tidak mengherankan sebab kerajaan orang-orang Makassar (Gowa) menjelang abad ke-16 telah membangun kekuatan maritim dan perdagangan internasional yang kuat, sehingga hubungan dengan negara-negara tersebut pun memungkinkan pula timbulnya pertukaran budaya.

Aksara Jangngang-Jangngang atau Huruf Burung-Burungan (kiri) di Kraton Tamalate, Gowa

Aksara Jangngang-Jangngang masih digunakan setidaknya hingga beberapa saat setelah Perjanjian Bongaya. Perjanjian yang menandai penguasaan VOC atas Kerajaan Gowa itu disalin dalam beberapa bahasa, termasuk salah satunya dengan Bahasa Makassar yang menggunakan aksara Jangngang-Jangngang. Aksara ini kehilangan popularitasnya di kalangan kerajaan dan penulisan sastra setelah Arung Palakka meluaskan penggunaan aksara Bugis atau yang hari ini kita kenal sebagai huruf Lontaraq Sulappaq Eppaq. Sebenarnya ada yang menarik ketika fitur burunglah yang dipilih sebagai inspirasi untuk menjadi sebuah model aksara. Mengapa bangsa pelaut seperti Makassar tidak mengambil bentuk ikan, gerakan ombak atau layar sebagai aksaranya?

Epos La Galigo mungkin bisa sedikit memberikan gambaran. Meskipun belum pernah ditemukan ada naskah La Galigo yang disalin dengan menggunakan aksara Jangngang-Jangngang, akan tetapi ruh dan memori atas cerita-ceritanya menjadi pondasi dalam kultur masyarakat Bugis-Makassar. La Galigo dalam berbagai episodenya kerap memunculkan tokoh bernama La Dunrung Sereng yang sejatinya merupakan seekor burung peliharaan Sawerigading. Nah, La Dunrung Sereng ini memiliki peran vital sebagai penghimpun informasi, dan pengirim kabar bagi tuannya. Tokoh lain dalam La Galigo seperti si bijaksana We Tenri Abeng juga dikisahkan memiliki beragam jenis burung yang biasa ia jadikan suruhan. Budaya menggunakan jasa burung sebagai sarana komunikasi sudah hidup di benak masyarakat Bugis-Makassar sejak zaman La Galigo. Aksara Jangngang-Jangngang bisa jadi merupakan pengejawentahan dari peran burung sebagai penyedia informasi itu sendiri: media transfer ilmu pengetahuan dalam bentuk aksara atau tulisan kepada umat manusia.

Pasuraq: Menulis dengan Gambar

Dari rangkaian formasi beburungan yang terbang di atas lembaran lontar atau kertas untuk menyebar ilmu pengetahuan, kita singgah ke daerah pegunungan di jantung Sulawesi, tempat suku tua Toraja berada. Suku Toraja, salah satu dari tiga etnis penghuni jazirah Sulawesi bagian selatan merupakan salah satu suku penuh eksotisme dan esoterisme. Keindahan alam maupun misteri kebudayaannya sungguh tak dapat diuraikan dengan kata-kata; nenek moyang Toraja bahkan tidak menciptakan tulisan untuk merekam kearifan lokal adiluhung mereka. Tidak seperti orang Makassar yang menciptakan aksara Jangngang-Jangngang, orang Bugis yang menggunakan aksara Sulappaq Eppaq, atau orang Mandar yang mengadopsi sistem tulis Bugis, orang Toraja bercerita dengan gambar.

Di dunia ini, mungkin hanya orang Mesir Kuno dan Toraja yang mengenal sistem tulisan berupa hieroglyph. Hieroglyph merupakan sistem tulisan yang menggunakan simbol gambar alih-alih huruf sebagai sarana untuk bercerita. Tentunya teman-teman pernah melihat bagaimana dinding-dinding piramida dan kuil-kuil Fir’aun dipenuhi oleh beragam gambar-gambar indah yang menceritakan sejarah bangsa mereka, bukan? Kira-kira seperti itulah yang dulu juga dilakukan oleh nenek moyang orang Toraja. Hanya saja “tulisan” itu memenuhi dinding-dinding Tongkonan sebagai rumah adat mereka.

Salah satu bentuk pasuraq pada dinding Tongkonan. Sumber: toraja.net

Masih belum begitu banyak referensi yang ditulis berkaitan dengan pasuraq –nama sistem tulisan dalam bentuk gambar ini– akan tetapi berdasarkan informasi yang pernah penulis baca, secara etimologis  suraq berarti berita, tulisan atau gambaran. Mengapa? Sebab tradisi lisan amat kental dalam budaya Toraja, sehingga mereka sebenarnya tidak membutuhkan sistem tulisan seperti peradaban lain. Untuk mengekspresikan konsep agama, menceritakan sejarah nenek moyang serta kehidupan sosial maka diciptakanlah tradisi mengukir cerita di atas kayu ini.

Setiap ukiran memiliki nama dan maknanya sendiri. Sebagai contoh, tanaman dan hewan dari elemen air seperti kepiting dan kecebong biasanya menyimbolkan kesuburan. Kerbau melambangkan kekayaan, kebahagiaan dan kesejahteraan, sedangkan ikan biasanya mengindikasikan kerja keras serta kelincahan. Di samping ornamen-ornamen suraq yang berbentuk binatang, terdapat pula jenis-jenis suraq yang berbentuk pola-pola geometris dan motif-motif abstrak. Keseluruhan pola tersebut memiliki maknanya masing-masing. Sebuah tongkonan dapat berisi kisah siklus kehidupan seorang manusia mulai dari hidup hingga matinya atau sejarah suatu klan.

Masih ada banyak sekali teka-teki yang belum terpecahkan dalam pasuraq Suku Toraja. Demikian pula halnya dengan misteri kultus rangkong oleh masyarakat Dayak atau awal mula terciptanya aksara Jangngang-Jangngang pada Suku Makassar. Nah, sekarang giliran kita yang muda-muda untuk memecahkan itu semua. Bagaimana caranya? Tentunya dengan jalan mencari tahu tentang budaya kita sendiri. Jangan sampai generasi muda mendatang hanya akan mengenal rangkong dari gambaran di televisi (karena sudah punah), tidak tahu tentang aksara Jangngang-Jangngang atau bahkan tidak dapat lagi membaca makna-makna yang tertulis pada ukir-ukiran pasuraq di dinding Tongkonan. Budaya bangsa adalah jati diri kita. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi?

 

Makassar, 27 Desember 2012
Pukul 23:27

 

Referensi:

Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrenge, Yayasan Obor.
http://omkicau.com/2012/12/19/pesona-rangkong-asli-indonesia-kenali-cintai-dan-hindari-sanksi/
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/08/14/mengenal-burung-enggang-khas-kalimantan-486065.html
http://punyannyuh.blogspot.com/2011/06/habitat-burung-rangkong-indonesia.html