Categories
Featured Kareba-Kareba

Invitation: Pelatihan masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Yogyakarta, 2012)

Bagi teman-teman yang peduli dengan budaya… Yuk manfaatkan waktu liburan kalian dengan ikut pelatihan ini! Silakan check postingan berikut bagi yang berminat 🙂 Dua pendaftar pertama melalui Lontara Project bakal free-charge lho!

MADYA merupakan singkatan dari Masyarakat Advokasi Warisan Budaya, didirikan pada tanggal 9 Januari 2009 di Yogyakarta, oleh para generasi muda yang prihatin dengan perlakuan diskriminatif bangsa ini terhadap warisan budaya bangsanya sendiri. Berawal dari aktifitas pengrusakan situs Trowulan oleh oknum-oknum yang bernaung dalam Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dengan dalih penyelamatan situs dan membangun Museum Pusat Informasi Majapahit (PIM). Ditambah bahwa persoalan-persoalan pengrusakan, pencurian, penghancuran situs, termasuk Harta Karun Bawah Laut, bukanlah merupakan kasus yang pertama kali terjadi. Tetapi kejadian ini telah berlangsung sejak lama dan terjadi di berbagai penjuru tanah air Indonesia tanpa ada keseriusan dan komitmen untuk menanganinya. Bahkan, karya budaya yang nyata-nyata merupakan hasil karya dari nenek moyang, yang secara geografis hidup di bumi Indonesia ini, diklaim milik negara lain, dibiarkan begitu saja. Keprihatinan-keprihatinan inilah yang kemudian menguatkan tekad untuk dibentuk sebuah wadah sebagai wahana mengkonsolidasikan diri untuk kegiatan-kegiatan advokasi terhadap warisan budaya.

Disadari bahwa dunia advokasi dalam upaya penyelamatan dan pelestarian warisan budaya merupakan hal yang baru. Untuk itulah dibutuhkan satu langkah strategis dan nyata mewujudkan hal tersebut melalui upaya pengembangan kapasitas dimulai dengan kegiatan PELATIHAN ADVOKASI WARISAN BUDAYA.

Diharapkan, dengan adanya pelatihan ini, peserta dapat memahami advokasi dan teknik atau strategi kerjanya serta manfaatnya bagi kebijakan maupun penyadaran publik.

Adapun kegiatan akan dilangsungkan pada:
Hari : Jumat – Sabtu
Tanggal: 10 – 11 Februari 2012
Tempat: Wism Yakes Kaliurang – Yogyakarta
TERBUKA UNTUK UMUM

Pendaftaran dapat dilakukan melalui
Sekretariat MADYA:
Jl. Adisucipto, Ambarrukmo RT.07 RW.03 No. 377 (Kampung di depan Ambarrukmo Plasa), Catur Tunggal, Depok, Sleman – D.I. Yogyakarta 55281

atau email:
madyaindonesia@yahoo.com; advokasiwarisanbudaya@gmail.com dan di cc ke: ika.junita.kartikasari@gmail.com

Pendaftaran paling lambat tanggal 7 Februari 2012.
dengan biaya sebesar: Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah)

Bagi yang tidak dapat membayar full, Panitia menyediakan Subsidi dalam 3 Kategori yaitu:
1. Membayar 75 % atau Rp 75.000,-
2. Membayar 50 % atau Rp 50.000,-
3. Membayar 30 % atau Rp 30.000,-
Peluang subsidi dapat diakses dengan mengirimkan permohonan mendapatkan subsidi atau keringanan biaya termasuk besaran yang diharapkan. Keputusan diterima atau tidaknya akan disampaikan oleh panitia melalui email berdasarkan pertimbangan yang rasional.

Fasilitas:
1. Makan dan Snack
2. Materi Pelatihan
3. Penginapan
4. Sertifikat

Jadwal Acara:
1. Perkenalan dan Membangun Komitmen Bersama Peserta
2. Pengertian Advokasi
3. Langkah dan Strategi Advokasi
4. Peraturan dan Kebijakan Pelestarian Warisan Budaya
5. Studi Kasus
6. Praktek Simulasi Advokasi Warisan Budaya
7. Sharing Permasalahan
8. Evaluasi dan Penutup

PS: TERBATAS HANYA UNTUK 25 ORANG
Demikian informasi yang dapat kami sampaikan. ditunggu kehadirannya.
Terimakasih.

Salam Budaya

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

La Galigo, Now and Then

There are so many things that could happen as the time goes by, and changes can’t be avoided. As an ancient manuscript, La Galigo has experienced a lot of different things through ages. Then and now, what happened to La Galigo?

Then

  • Hundreds of years ago, many Buginese people considered La Galigo as a sacred literature. The manuscripts were even wrapped in a clean piece of white cloth and placed in an appropriate place. Putting it on the floor or in a dirty room is a big NO. People at that time highly respected it. They would burn incense before holding or reading it.
  • Lines from the manuscripts were read and sung in many traditional occasions such as wedding. The wedding couple would feel really blessed when it was sung in their wedding. If it is compared to a nowadays wedding, the lines sung would be those songs sung in a reception to present a solemn atmosphere.
  • La Galigo was believed as a bad luck repellent. People would read it when they move to a new house. In Buginese tradition, there is a traditional ceremony held when a family enters a new house. The purpose is to avoid bad luck so the family will have a good time living in it.
  • When a person was sick, La Galigo was read with a hope that he would recover soon. This is probably due to the story of La Galigo that tells about a character named Opunna Luwuq who had a kind of shade which if it is spread to the whole country, diseases would disappear.
  • Not to mention, La Galigo also contains a lot of knowledge essential to royal family that it was used as a reference before a traditional ceremony was held. The royal family would search for information regarding the preparations and make sure that they were doing it in a right way. La Galigo contains a story about kingdoms and provides detail explanations about certain traditional ceremonies conducted by the royal family as the story developed.
  • Apart from its serious functions in Buginese community, La Galigo was also an entertainment for them. When people are sad, they would read or sing it.

 

La Galigo Theatre in Italy by Robert Wilson. Source: Bali Purnati

Now

  • Buginese people almost completely forget about La Galigo. So sad it is. The whole nation probably completely does not know or even never have heard about it. La Galigo manuscripts are now kept in Makassar, Jakarta, and Leiden. Leiden Univeristy Library, Netherlands, owns the most complete collection. Manuscripts are placed in a special place with a certain temperature to keep them from decaying. It is such an irony, though. Its own homeland does not even have its complete manuscripts.
  • UNESCO has acknowledged La Galigo as Memory of the World under the name of Indonesia and The Netherlands in 2011. It was because the effort of Dr. Mukhlis PaEni from Indonesia and Dr. Roger Tol from The Netherlands who nominate La Galigo to be registered as Memory of The World in 2008. Three years has been passed, and finally La Galigo is in the list.
  • La Galigo has been adapted into theatrical performance by Robert Wilson, an American director and playwright. He has been interested in experimental and innovative cultural works since he began working. On his cold hands, La Galigo has become such an inspiration and performed in international stage since 2004. World admit it as one of the best theatrical performances. Its world premiere took place in Singapore, and received a round of applause. After performing in Asia, Europe, Australia, and the United States, La Galigo was finally shown in Fort Rotterdam, Makassar, for three consecutive days, April 22-24 2011.

Despite to what happened then and now to La Galigo, it is still remain the same. It is still the world hidden cultural treasure that is long for discovery and preservation.

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

La Galigo as Memory of The World: Pengakuan UNESCO untuk Indonesia

Penasaran, mengapa La Galigo dikategorikan oleh UNESCO sebagai Memory of The World? Yuk baca tulisan Fitria Sudirman untuk lebih mengetahui seluk-beluk penghargaan terhadap kebudayaan ini!

 Suatu dokumen warisan bernilai universal memang sudah sepantasnya dihargai dan dilindungi. Kita tidak mau kan peninggalan-peninggalan sejarah suatu bangsa raib, entah kemana rimbanya. Padahal peninggalan-peninggalan tersebut bisa menjadi salah satu media untuk menelusuri jejak peradaban manusia. Untuk itu, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), salah satu badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada kerja sama antar negara melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya menghadirkan “Memory of the World”.

Apa sih Memory of the World itu? Memory of the World merupakan salah satu program UNESCO yang dimulai pada tahun 1992. Program ini adalah suatu inisiatif internasional untuk melindungi warisan dokumenter dari berbagai bahaya, seperti bahaya kerusakan akibat waktu dan kondisi iklim, kerusakan yang disengaja maupun tidak disengaja, hingga bahaya dilupakan oleh bangsanya sendiri. Ibaratnya Memory of the World ini adalah polisi yang memastikan warisan tersebut aman dan masih dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya. Nah, apa saja sih yang dapat digolongkan sebagai warisan dokumenter? Macam-macam, bisa berupa dokumen, naskah atau manuskrip, tradisi lisan, audio-visual, arsip perpustakaan, dan arsip-arsip bernilai universal lainnya. Setiap organisasi atau individu dapat menominasikan warisan dokumenter yang dianggapnya layak untuk didaftarkan dalam Memory of the World. Setiap warisan dokumenter yang didaftarkan akan diseleksi oleh suatu badan pengurus yang dikenal sebagai Komite Penasihat Internasional, atau International Advisory Committee (IAC), yang keempatbelas anggotanya ditunjuk langsung oleh Direktur Utama UNESCO. Bagi yang lulus seleksi mereka akan dimasukkan ke dalam suatu daftar yang disebut Memory of the World Register.

Lalu, apa yang menjadi standar kelayakan suatu nominasi? IAC menetapkan beberapa kriteria sebagai berikut:

  • Pengaruh – Warisan tersebut haruslah memiliki pengaruh yang besar, tidak hanya terhadap budaya nasional suatu bangsa, tetapi juga terhadap budaya dunia.
  • Waktu – Warisan tersebut harus mencerminkan suatu periode perubahan penting yang berkaitan dengan dunia atau memiliki kontribusi terhadap pemahaman dunia pada suatu poin penting dalam sejarah.
  • Tempat – Warisan tersebut harus mengandung informasi penting mengenai lokalitas atau daerah tertentu yang telah berkontribusi untuk perkembangan besar dalam dunia sejarah dan budaya.
  • Masyarakat – Dokumen tersebut harus memiliki suatu asosiasi spesial dengan kehidupan atau karya seseorang atau masyarakat yang telah membuat kontribusi luar biasa untuk sejarah dunia atau budaya.
  • Subyek – Warisan tersebut harus mendokumentasikan suatu subjek penting atau tema utama sejarah dunia atau budaya dalam cara yang luar biasa.
  • Bentuk dan Gaya – Dokumen tersebut harus mewakili bentuk atau gaya yang tidak biasa.
  • Nilai sosial – Warisan tersebut harus memiliki nilai budaya, sosial, dan spiritual yang melampaui budaya nasional tertentu.

Selain kriteria-kriteria di atas, terdapat juga dua kriteria tambahan yang bersifat meningkatkan standar penilaian, yaitu

  • Integritas – Dokumen tersebut harus memiliki tingkat integritas atau kesempurnaan yang tinggi.
  • Kelangkaan – Dokumen tersebut harus unik atau langka, hanya ada satu di dunia ini.

Saat ini, terdapat 238 warisan dokumenter yang terdaftar dalam Memory of the World Register, termasuk La Galigo. Adalah Dr. Mukhlis PaEni dari Indonesia dan Dr. Roger Tol dari Belanda yang berinisiatif untuk menominasikan La Galigo ke dalam Memory of the World pada tahun 2008. Dr. Mukhlis PaEni adalah seorang peneliti yang berasal dari Sulawesi Selatan. Beliau telah melakukan berbagai penelitian mengenai La Galigo dan membuat sebuah katalog manuskrip Sulawesi Selatan, termasuk naskah-naskah La Galigo. Dr. Roger Tol juga merupakan seorang peneliti yang telah banyak melakukan penelitian mengenai La Galigo. Beliau bekerja di  KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies dan terlibat dalam produksi edisi-edisi teks La Galigo. Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya pada tahun 2011, UNESCO mengakui La Galigo sebagai “Memory of the World” atas negara Indonesia dan Belanda. Yeay!          

Nah, pengakuan ini pasti ada dasarnya dong. Sebagai suatu karya sastra yang bisa dikategorikan the hidden cultural treasure, La Galigo memang memenuhi kriteria yang membuatnya pantas menjadi Memory of the World.

La Galigo telah ada sejak berabad-abad lalu dan menjadi tradisi oral di masyarakat Bugis Sulawesi Selatan hingga pada akhirnya ditulis di atas daun lontar setelah masyarakat Bugis mengenal huruf lontarak. Banyak pendapat mengenai kapan hal ini terjadi, namun pada umumnya berpendapat bahwa La Galigo mulai dituliskan sebelum abad ke-16 yaitu sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan mengingat kisah La Galigo yang masih bercerita tentang dewa-dewa dan tidak mengandung unsur Islam. Barulah pada abad ke-17 La Galigo mulai disalin di atas kertas ketika orang Belanda datang membawa peradabannya. Terbagi menjadi 12 volume manuskrip yang terdiri dari kurang lebih 300.000 baris teks dan 6000 halaman folio membuat La Galigo menjadi epik terpanjang di dunia mengalahkan kisah Mahabharata sekalipun. Ini belum termasuk teks-teks yang hilang dimakan zaman dan bagian-bagian episode lainnya yang tidak sempat diceritakan oleh Bissu, pemegang tradisi oral, karena telah meninggal dunia. Gaya penulisannya indah, menggunakan bahasa Bugis Kuno (yang sudah tidak digunakan lagi sekarang) dalam aksara Lontarak. Bersetting di Sulawesi Selatan pada periode pra-Islamisasi, La Galigo mengisahkan mitos penciptaan ras Austronesia yang menjadi salah satu bagian dari sejarah peradaban manusia. Nilai budaya, sosial, dan spiritual ditunjukkan secara eksplisit dan implisit melalui kejadian-kejadian dan penokohan karakter-karakternya. Lalu, apakah ada karya sastra lain yang seperti La Galigo ini? Hmm… Jawabannya tidak ada!

Ada banyak penelitian tentang La Galigo semenjak akhir abad lalu, sayangnya kebanyakan merupakan hasil peneliti asing. B.F. Matthes, misalnya, adalah seorang peneliti Belanda yang merupakan orang pertama yang melakukan penelitian sistematis terhadap La Galigo. Beliau bahkan membuat kamus Bugis-Belanda yang memuat banyak contoh bahasa yang digunakan dalam La Galigo pada tahun 1874. Kamus ini hingga sekarang dapat dikatakan sebagai sumber bahasa La Galigo yang paling penting.

Hanya segelintir orang Indonesia yang mengetahui La Galigo. Sebagian besar warga Makassar terbilang cukup familiar dengan namanya karena dipakai sebagai nama kafe dan jalan. Namun, tidak banyak yang mengetahui dan menyadari bahwa La Galigo sebenarnya adalah peninggalan sejarah yang sangat berharga. Jika ditanyakan ke-10 orang pemuda, mungkin hanya 1 orang saja yang bisa menjawab benar pertanyaan tentang La Galigo. Kita mungkin cukup sibuk dengan globalisasi hingga melupakan hal-hal lokal, padahal justru hal-hal seperti itulah yang membentuk identitas kita sebagai suatu bangsa. Begitu ada negara lain aja yang mencaplok budaya lokal kita, baru deh ketar-ketir seperti orang kebakaran jenggot. So, marilah kita pelihara budaya kita, dunia saja sudah mengakuinya sebagai Memory of The World!

Referensi:

Zon, Dato’ Habibah. UNESCO MEMORY OF THE WORLD PROGRAMME: The Asia-Pacific Strategy. April 17 1999.  11 Dec. 2011. <http://web.archive.org/web/20050228192535/http://www.geocities.com/seapavaa/whatsnew/memory.htm>