Categories
Featured Galigoku

Tanahku Yang Kulupakan

Malam itu posisi saya berada di tengah sebuah diskusi santai mengenai Sulawesi Selatan, dimana semua peserta dalam forum itu bercerita tentang apa saja kebudayaan dan fenomena sosial di daerah masing-masing, dilihat dari sudut pandang sejarah maupun pandangan kekinian kami.

Dimulai dari Tanah Luwu sebagai kerajaan pertama yang menerima masuknya pengaruh Islam di Sulawesi. Selanjutnya ke Tanah Gowa, mengorek andil pertahanan kerajaan Gowa terhadap serangan pasukan Belanda pada saat itu, ditandai oleh keperkasaan Sultan Hasanuddin yang sampai sekarang bisa kita lihat dan rasakan keabadiannya melalui penyebutan nama Sang Raja baik dari bandara hingga kampus sebuah universitas terbesar di kota Makassar.

(Foto Wawan 2014, Pembuat perahu Phinisi , Tanah Lemo)

Cerita sempat terhenti ketika teman yang lain berusaha mengetahui tentang bagaimana andil Tanah Bugis yakni Bulukumba dalam hal sejarah perahu phinisi. Saat itu saya merasakan malu yang teramat sangat. Berbicara mengenai hal tersebut, saya yang asli dari Bulukumba hanya sebatas mengetahui bahwa daerah ini memiliki julukan Butta Panrita Lopi alias negerinya para pengrajin perahu. Bahkan anehnya teman dari Luwu justru lebih banyak tahu tentang sejarah kebudayaan perahu phinisi. Kejadian itu kemudian membuat saya terinspirasi untuk mencari dan mengorek rahasia perahu ini lebih dalam. Di dalam hati saya berkata bodohnya diri ini karena telah banyak melupakan sejarah atas tanahku berpijak.

Setelah beberapa usaha saya lakukan untuk mencari tahu tentang perahu phinisi baik melalui bacaan serta banyak bertanya kepada orang, termasuk salah satunya ialah pada saat saya melakukan perjalanan ala backpackers dari Gowa ke Bulukumba. Dari situ saya banyak tahu mengenai sejarah dan berusaha untuk mengaitkan dan membandingkannya satu sama lain. Pada saat akhirnya saya berhenti di Butta Panrita Lopi, dengan bermodalkan kemampuan berkomunikasi dan lebih banyak mendengarkan petuah adat lokal, saya menyerap informasi tentang phinisi di tanahku ini.

(Foto Wawan 2014 , Batas Bulukumba)

Tanahku terletak sekitar 129 km dari kota Makassar,  butuh waktu 3-4 jam untuk sampai ke sana. Berdasarkan kisah yang saya ketahui dari sejarah, tanah ini konon merupakan tempat bersandarnya bongkahan perahu Sawerigading yang dahulu hendak kembali ke Luwu. Perahu Sawerigading terpecah menjadi tiga, dan tiap-tiap bongkahan terjatuh di daerah Ara, Tana Lemo, dan Bira (semuanya masuk ke dalam wilayah kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan). Akan tetapi fokus pembuatan perahu yang dipraktekkan oleh masyarakat lokal berada di Tana Lemo. Sekitar sebulan yang lalu saya menyisir daerah tersebut karena rasa ingin tahu yang sangat kuat. Setelah mengumpulkan beragam referensi akhirnya saya mendapatkan sebuah tempat yakni Monte yang menurut cerita rakyat merupakan desa tertua, dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah berupa bom dan meriam peninggalan Belanda. Artefak-artefak ini menjadi ikon kebersamaan mereka karena mereka yakin barang tersebut yang nantinya menjadi bukti sejarah. Selain peninggalan Belanda, juga banyak terdapat kuburan tua dengan menhir tinggi, serta bekas benteng pertahanan kerajaan kuno. Di sini juga banyak terdapat gua, bahkan ada gua yang menjadi sumber mata air (menurut cerita lokal gua tersebut terhubung dengan laut dan merupakan tempat berlindungnya warga kerajaan dulunya).

(Foto Abdul 2014 Rumah warga Monte dan meriam peninggalan sejarah)

Para pembuat perahu dulunya terlahir di daerah ini, tetapi karena akses jalan yang sulit dan terkendala efisiensi waktu akhirnya banyak pandai-pandai tersebut hijrah dari Monte ke Tana Lemo, walau masih dalam lingkup kelurahan yang sama. Bibir Pantai yang terbentang asri dan keindahan hutan yang masih terjaga ini bisa dibuktikan dengan banyaknya hewan yang kadang melintas seperti kera atau monyet. Akan tetapi daerah ini masih kurang perhatian dari pemerintah setempat yakni dengan banyaknya sampah yang berserakan. Entah alasan apa tempat ini bukan menjadi fokus kelestarian pemerintah padahal potensi yang dimiliki di sini sangat besar. Ini bisa dilihat dari sudut pandang tiga dimensi: yakni cerita sejarah yang kuat dibuktikan oleh banyaknya peninggalan, keasrian alamnya yang masih kental, serta masyarakatnya yang masih memegang teguh kebersamaan dan kekompakan. Sungguh ini menjadi dilema bagi pemerintah setempat yang mempunyai otoritas untuk mengembangkan daerah tersebut. Tetapi apa daya semua tinggal kenangan, di kala semua orang sudah tidak acuh terhadap daerahnya sendiri.

(Foto Meriska 2014, Bibir Pantai Tanah Lemo Kampung Monte)

Bagi saya, ketika  kita berada pada suatu zaman, saat itu pula kita sedang membuat sejarah. Segala sesuatu yang terjadi sekarang itu sejatinya merupakan setitik cerita untuk masa yang akan datang.  Semuanya adalah permainan waktu.

Kurniawan alias Wawan, putra asli Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pernah menikmati masa kecilnya di kabupaten Tana Toraja. Wawan yang saat ini kuliah Teknologi Informatika punya hobi fotografi. Bersama dengan Try Juandha ia mendirikan komunitas bernama Warani yang punya tujuan untuk mendokumentasikan keunikan kekayaan alam Indonesia. Yang ingin kenal lebih lanjut dengan Wawan, bisa kunjungi facebooknya di Chapoendu.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Sepupu Sawerigading dari Filipina

Agen kita, Louie Buana menemukan banyaknya bukti yang mengindikasikan kedekatan hubungan masa lalu antara Sulawesi dengan negara asal penyanyi pop Christian Bautista ini. Filipina ternyata menyimpan sejarah persahabatan dengan Indonesia yang terentang sejak zaman La Galigo (pra-14 Masehi) hingga ke era Kesultanan Makassar.

Selama ini, ketika berbincang mengenai negara jiran acapkali pikiran kita langsung tertuju kepada Malaysia, Singapura maupun Brunei Darussalam saja. Negara-negara tetangga tersebut, karena adanya keterikatan ekonomi yang cukup kuat, juga karena sejarah masa lalu yang saling kait-mengait dengan Indonesia membuat kita merasa akrab dan hangat dengan mereka. Prof Emeritus Dato` Dr Moh Yusoff bin Haji Hasyim, President Kolej Teknologi Islam Antarbangsa Melaka pernah berkata bahwa dari segi silsilah, kesembilan sultan yang memerintah di Malaysia berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau. Kata “Melayu” bahkan telah sejak lama disebut-sebut dalam naskah La Galigo yang merupakan karya sastra sekaligus ensiklopedia masa lalu manusia Bugis sebelum kedatangan agama Islam di abad XVII. Di dalam salah satu episode La Galigo yang berjudul Mula Jajareng We Cimpau Nariabbeyang I La Galigo ri We Cudai, terdapat istilah Dangkang Malaju dan Dangkang Patani yang berarti pedagang dari negeri Minangkabau atau Melayu yang membawa bermacam-macam jenis barang.

Namun, tahukah Sobat Lontara bahwa ternyata Filipina yang jarang sekali terlintas di benak kita sebagai negara tetangga di masa lalu memiliki peran yang signifikan, bahkan menjadi bagian dari sejarah tanah air? Sebenarnya sudah sejak era kerajaan Sriwijaya dan Mataram Kuno terbina hubungan langsung antara Indonesia dan Filipina. Tidak hanya dengan Sumatera dan Jawa, salah satu hubungan antara Filipina dan Indonesia yang paling intens juga terungkap di Pulau Sulawesi. Sulawesi Utara yang letaknya tepat berada di selatan Mindanao dan di sebelah rantai Kepulauan Sulu jelas sudah tidak asing lagi dalam interaksinya dengan negeri jiran yang satu itu. Pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan keterkaitan antara jazirah Sulawesi bahagian selatan dengan Filipina.

Tausug, Taugiq dan Orang Bajo
Di “Provinsi” Wilayah Otonomi Muslim Mindanao, tepatnya di Sulu terdapat sebuah daerah yang bernama Luuk. Nama ini sekilas mengingatkan kita akan Luwu yang berada di Sulawesi Selatan, sebuah kerajaan kuno yang menjadi sentra kisah La Galigo. Tidak hanya itu, penduduk lokal Sulu bahkan menyebut diri mereka dengan nama Tausug alias orang-orang Sug. Nah, sekali lagi, hal ini mengingatkan kita dengan Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis menyebut diri mereka sendiri sebagai Tau Ugiq atau Taugiq, julukan yang konon diambil dari nama La Sattumpugiq, Datu ri Cina ayah mertua Sawerigading (tokoh utama dalam epos La Galigo). Selain nama yang mirip, baik orang-orang Tausug maupun Taugiq sama-sama memiliki reputasi sebagai penjelajah samudera dan bajak laut yang disegani di Nusantara.

Alkisah, orang-orang Tausug ini telah menjalankan perdagangan mutiara hingga ke Jambi dan Laut Cina Selatan sejak zaman dulu kala. Menurut beberapa catatan, orang-orang Bajau Laut juga telah hadir di Pulau Taguima (Pulau Basilan) dan bekerjasama dengan Orang Taguimaha sebagai penyelam mutiara. Orang-orang Bajo terkenal memiliki hubungan yang amat dekat dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, sebagaimana tercantum dalam naskah La Galigo dan lontaraq (kronik sejarah) kerajaan Gowa. Bahkan konon salah satu Karaeng Gowa dikabarkan pernah menikah dengan seorang gadis Bajo sehingga di garis keturunan raja-raja Makassar pun juga terdapat darah Bajo. Menurut almarhum Prof. Mattulada, masyarakat di Sulu banyak pula yang bergelar Opu (gelar kebangsawanan Bugis yang berasal dari Luwu) dan mengakui nenek moyangnya berasal dari Sung. Sung ini diperkirakan ialah Ussuq, tempat kerajaan pertama Bugis dinasti Sawerigading. Salah satu di antara tokoh Filipina dengan gelar ini adalah Opu Mastura, seorang pejabat setingkat Menteri yang menjabat di era 1980-an.

Pusaka Gowa Asal Filipina
Perdagangan mutiara menyebabkan orang-orang Tausug melebarkan sayap mereka untuk menaklukkan Pulau Panay, Manila dan Luzon, Cebu (kata asalnya Sug Bu), Butuan, Kalamianes, Visaya (naungan Sriwijaya) hingga Mindanao. Pada tahun 1368 Tausug pernah menyerang Raja Brunei yang bernama Awang Alak Betatar karena telah mencuri dua biji mutiara Sulu. Tumbuhnya Sulu sebagai sebuah kekuatan politik kemudian mengundang pula perhatian dari orang-orang Bugis untuk berlayar ke sana.

Orang-orang Bugis ini disebut kaum Baklaya dalam Bahasa Tausug. Hubungan baik terbina di antara kedua bangsa, salah satu buktinya ialah melalui perkawinan antara Sultan Badaruddin I dari Sulu dengan seorang wanita Bugis asal Soppeng. Konon, pakaian perang atau baju zirah milik Raja Bugis asal Wajo, Sulawesi Selatan yaitu La Salewangeng To Tenriruwa (1715–1736) tersimpan di Filipina. Baju perang kuno ini dapat teman-teman lihat di National Museum Of The Philippines, Rizal Park Avenue Manila, Filipina. Alkisah, setelah membantu Sultan Kudarat melawan invasi penjajah Spanyol tahun 1728, La Salewangeng To Tenriruwa kemudian menikah dengan seorang putri bernama Dayang Maharleka Sari dan kemudian menetap di Cagayan De Oro, di sebuah istana yang sekarang telah menjadi Balai Polisi Republik Filipina. source

Kebangkitan Makassar sebagai sebuah kerajaan maritim yang kekuasaanya meliputi sebagian besar kawasan Indonesia Timur pada abad ke-17 bersamaan pula dengan berseminya kekuatan Kesultanan Sulu. Di kala itu, Kesultanan Sulu dan Makassar memiliki reputasi sebagai pusat perdagangan budak terbesar di Nusantara hingga tahun 1800. Hubungan dekat antara kedua kerajaan ini ditandai oleh kehadiran sebuah benda pusaka yang perannya amat vital bagi status raja yang akan dilantik. Kerajaan Gowa (yang disebut dengan Makassar sejatinya adalah kombinasi antara dua kerajaan kembar yaitu Gowa dan Tallo) memiliki kalompoang (regalia) yang salah satunya berupa sebuah kalung emas bernama Kolara atau Rante Manila. Menurut situs web resmi Warisan Budaya Indonesia, Rante Manila adalah kalung pemberian dari kerajaan Sulu pada abad ke XVI di masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntung Tumappa’risi Kalonna, sekitar tahun 1510-1546.

Rante Manila, Pusaka Kerajaan Gowa saat akan dimandikan di upacara Accera Kalompoang. Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2012/06/11/setelah-sriwijaya-dan-majapahit-ada-kerajaan-gowa-469993.html

Benda dengan berat 270 gram ini merupakan benda pusaka kerajaan Gowa yang terpelihara dengan baik dan senantiasa dijunjung tinggi sebagai perlambang kejayaan kerajaan Gowa di masa lampau. Benda ini juga selalu diikut sertakan dalam upacara membersihkan regalia yang biasa disebut dengan nama accera kalompoang. Bentuk Kolara telah menjadi inspirasi para pengrajin tradisional Makassar untuk meniru bentuk dan fungsi benda tersebut, sebagai perhiasaan yang digunakan pengantin tradisional Makassar. Kehadiran Kolara sebagai salah satu kalompoang kerajaan Gowa sebenarnya menurut penulis pribadi tergolong unik. Perhiasan ini dihormati sedemikian rupa, seperti halnya penghormatan terhadap Mahkota Salokoa yang konon diturunkan dari langit oleh Dewi Tumanurunga ri Tamalate dan Pedang Sudanga milik Karaeng Bayo yang konon berasal dari dasar samudera.
Profesor Mattulada pernah menulis artikel menarik terkait fenomena kalompoang Gowa yang berasal dari Filipina ini untuk kepentingan acara Second Workshop on Malay Sultanates and Malay Culture di Makassar pada tahun 1978. Artikel tersebut berjudul The Significance of Kalompoang in The Existence of The Bugis-Makassar Sultanates. Pada salah satu bagian artikel tersebut beliau menulis bahwa ada beberapa macam tipe dan fungsi kalompoang, salah satunya:

The kalompoang was considered as symbol of strength, unity and friendship. They are flags, creese, sword, spear, shield and other war equipments; ornaments like ring, bracelets, necklace etc; and clothes like dress, songkok, sarong and so on.
This kalompoang shows the friendship between one country and the others.
In Gowa, the kalompoang collection shows the relation of friendship between the kingdom of Gowa and foreign countries, for example The Philippines with its rante manilaya (manila-chain), the British kingdom with its written golden plate, and different kingdoms in Indonesia like the Javanese and some others.

 

Filipina dalam La Galigo
Kurang afdhol rasanya jika kita tidak membongkar keterkaitan antara Filipina dan Indonesia dalam La Galigo. Lho, memangnya ada? Yup, sekurang-kurangnya ada dua nama tempat berlokasi di Filipina yang digambarkan memiliki hubungan dengan Sawerigading, Sang Putra Mahkota dari Kerajaan Luwu.

Dalam penjelajahan Sawerigading berlayar menuju ke negeri Cina untuk melamar Putri We Cudai, ia harus berhadapan dengan tujuh perompak ganas yang berasal dari Mancapaiq (Majapahit), Wulio (Buton), Jawa ri Aja (Jawa bahagian barat), Jawa ri Lauq (Jawa bahagian timur), Malaka, dan Apung. Setelah itu, ia melanjutkan pelayaran hingga kemudian bertemu dengan Tejjoq Risompa, pamannya yang menjadi penguasa negeri teluk besar Wewang Nriwuq di Selat Makassar. Menyusuri Selat Makassar, perahu Sawerigading terus naik mencari arah menuju Cina hingga kemudian bertemu dengan To Palinrungi I La Pewajo, Datuna Pao (penguasa negeri bernama Pao). I La Pewajo yang terhitung masih sepupu dua kali Sawerigading ini menyambutnya dengan ramah di tengah laut dan menunjukkannya arah ke negeri Cina.

Pada episode Pelayaran Sawerigading ke Negeri Maloku, diceritakan pula tentang sebuah negeri bernama Matasoloq yang dilewati Sawerigading dalam rangka menuju Maluku. Sawerigading tidak singgah di sana, namun ia melihat di bandar Matasoloq saat itu ramai oleh pedagang yang datang dari Patani dan Dammaq (Demak?). Di episode yang sama letak Matasoloq, Mallatunrung, Marasangi dan Maloku digambarkan saling berdekatan. Almarhum Fachruddin Ambo Enre di dalam disertasinya yang terkenal yaitu pembahasan naskah La Galigo episode Ritumpanna Welenrengnge meyakini bahwa Matasoloq (kadang-kadang juga sering ditulis ‘Soloq’ saja) yang dimaksud di sini ialah Sulu sedangkan Pao adalah Davao di Filipina Selatan. Adapun yang disebut Mallatunrung ialah Sulawesi Utara dan Marasangi ialah Sangir.

Filipina, ternyata tidak seasing yang kita kira. Tidak hanya mereka dahulu telah menjalin persahabatan yang diagungkan oleh pendahulu-pendahulu bangsa, namun bahkan diakui pula sebagai bahagian dari sebuah keluarga besar rumpun Nusantara. Indonesia dan Filipina yang sama-sama berupa negara kepulauan menyimpan banyak kemiripan yang menakjubkan, baik dari segi bahasa maupun keanekaragaman budaya. Sawerigading telah menegaskan makna kekeluargaan yang dimiliki oleh kedua bangsa dan bahkan dengan penuh kehangatan memanggil I La Pewajo dari Davao dengan seruan “kaka”, yang dituakan, sejak ratusan tahun yang lalu.

Taro aq ri tu ri nawa-nawa kaka Pewajo/ kupaccokong ri paricitta/ sompa makkeda I La Pewajo/ keruq jiwamu To Marajae/ cabbeng sumangeq to ri Langiqmu/ na i o kenneng ri tu maeloq/ le ri patudang ri nawa-nawa/ nasekkoqe pajung mpulaweng/ nalaleng iaq ga le temmaeloq/ le patudakko ri nawa-nawa
Berkata Sawerigading: “Simpanlah aku di hatimu kakak Pewajo/ biar mekar hati sanubariku”/ menyembah sembari berkata I La Pewajo/ “Kur semangat jiwamu wahai orang besar/ kemarilah semangat langitmu/ engkau sendiri yang menginginkan/ kusimpan dalam hati/ yang dinaungi payung emas/ apakah pantas jika saya tak mau/ menyimpanmu di dalam hatiku?”

 

Sumber:
All About Money: Maritime Trade in Makassar and West Java, Around 1775, Gerrit Knaap, http://end-of-empires-south-east-asia.wikispaces.com/file/view/All+about+Money-+Maritime+Trade+in+Makassar+and+West+Java,+around+1775.pdf 
Ayam Jantan Tana Daeng, Nasaruddin Daeng Koro, Ajuara: 2005
Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo, Nurhayati Rahman, La Galigo Press: 2006
Kesultanan Sulu, http://www.tausug-global.blogspot.com/
Raja-Raja di Malaysia Berdarah Bugis, Antara News, http://www.antaranews.com/berita/67980/raja-raja-di-malaysia-berdarah-bugis
Ritumpanna Welenrengnge, Fachruddin Ambo Enre, Yayasan Obor Indonesia: 1999

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Anak Kampung Makassar Era Hindia Belanda

Salah satu kontributor tulisan di web Lontara Project berandai-andai bagaimana rasanya jika ia hidup di daerah perkampungan tepi Makassar era Hindia Belanda. Mahasiswa sejarah ini berusaha menangkap atmosfer kehidupan di kala itu melalui cerita singkatnya. Mari simak tuturan kisah-kisah nostalgia yang mengalir dari imajinasi Arianto ini!

Aku bingung harus mulai dari mana untuk menceritakan kisah kehidupanku yang sudah berlalu puluhan tahun silam. Kepalaku sudah sulit untuk mengingat kembali beberapa kejadian penting di Kota Makassar, karena faktor usia yang semakin bertambah tua. Hanya sebagian kecil yang aku mampu ceritakan tentang kisah kehidupanku, sebagai warga perkampungan yang hidup di masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Aku tidak tahu dengan jelas sejak kapan bangsa kulit putih mulai berdatangan dan tinggal di Kota Makassar. Kami, anak penduduk perkampungan tidak tahu apa itu “kota”, yang kami tahu hanyalah tempat tinggal kami. Orang-orang tua menyebut tempat dimana kami tinggal dengan nama “kampong”.

Jalanan Kota Makassar zaman Hindia Belanda. Sumber: Koleksi KITLV

Kerap kali ku bertanya kepada orang-orang tua kami, apa itu kota? Orang tua kami sulit untuk menjelaskan seperti apa itu kota, bahkan mereka baru pertama kali mendengar yang namanya “kota”. Orang tua kami mulai mengenal nama “kota” sejak kedatangan orang-orang kulit putih dan pada saat itu orang-orang asing ini mulai menyebut Makassar sebagai Kota Makassar. Nama ini sungguh sangat asing bagi kami yang tinggal di perkampungan. Pengetahuan kami terhadap dunia luar sangat terbatas bahkan bisa dibilang sama sekali tidak ada, karena orang tua kami selalu mendidik untuk selalu menghormati adat-istiadat kami sebagai orang-orang Makassar.

Selain harus menjaga adat-istiadat Makassar, orang tua kami juga sering melarang kami bergaul dengan bangsa kulit putih. Entah apa alasan orang tua kami melarang hal tersebut. Pada malam hari, para penduduk kampung memilih untuk tinggal di rumah masing-masing. Kami berdiam diri di dalam rumah yang sederhana ini, menikmati angin malam yang menembus dinding rumah kami yang terbuat dari anyaman bambu. Banyak pula rumah-rumah peduduk yang terletak di antara pepohonan, dipagari oleh bambu yang mengelilingi rumah mereka.

Melewati malam yang panjang, di dalam rumah penduduk kampung hanya ada pelita minyak yang menjadi alat penerangan. Jauh di sebelah selatan perkampungan penduduk, sorotan cahaya terlihat di antara rumpun-rumpun bambu. Kami menikmati kerlap-kerlip sorotan cahaya lampu itu di sela-sela dinding rumah. Cahaya lampu tersebut berasal dari sekitar benteng di antara rumah-rumah penduduk  Eropa. Sebelum kami tertidur para orang tua kami biasanya akan bercerita tentang orang-orang kulit putih yang tinggal di sekitar benteng. Mereka adalah orang-orang yang kejam. Mereka berperang melawan orang-orang Makassar dan kemudian merebut istana-istana penguasa kerajaan bapak-bapak kami.

Sungai Tello, Makassar. Sumber: Koleksi KITLV

Kisah-kisah peperangan antara orang-orang Makassar dengan bangsa kulit putih sering kali diperdengarkan di perkampungan melalui alunan musik tradisional orang-orang Makassar yang disebut sinrilik. Ketika alunan musik ini memecah kebisuan malam, orang-orang tua mulai duduk melingkar menikmati untaian nadanya, tenggelam dalam pengisahan akan peperangan beberapa abad yang lalu. Tidak sedikit dari orang-orang tua yang larut dalam pengisahan ini, seakan-akan mereka hadir di masa lalu itu, di tengah-tengah medan peperangan. Raut muka mereka menunjukkan kesedihan dan dendam lama mulai terbakar di dada mereka. Seolah-olah kabut peperangan mulai menyelimuti perkampungan kami dan mungkin inilah alasan orang tua kami melarang bergaul dengan orang-orang kulit waktu itu.

Roda waktu terus berjalan dari tahun ke tahun, wajah Makassar meninggalkan masa lalunya dari masa kerajaan ke masa modern. Bangsa  Eropa kini mulai membangun berbagai gedung yang mengagumkan bagi kami penduduk kampung. Jalan-jalan yang berada di sekitar benteng Rotterdam mulai diperbaiki, deretan bangunan rumah-rumah orang-orang Eropa berderet-deret rapi berwarna putih di antara pepohonan. Susunan rumah mereka sangat rapi berjejer dari arah barat Kota Makassar sampai ke sebelah timur kota. Tempat orang-orang Eropa ini dikenal dengan Kampung Belanda.

Kehidupan kami dengan orang-orang ini sangat jauh berbeda, mereka dapat mengubah segalanya dan menciptakan peradaban baru di Makassar. Meskipun leluhur kami mengutuk orang-orang asing ini atas kekejaman peperangan pada waktu itu, akan tetapi kami sebagai generasi yang terlahir di zaman ini penuh kekaguman atas apa yang mereka ciptakan. Dari kejauhan kami terus memandangi bangunan-bangunan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada pohon-pohan yang tumbuh di sekitar perkampungan penduduk. Pertanyaan-pertanyaan sering muncul di kepala kami, salah satunya: bagaimana cara orang-orang ini dapat membangun gedung-gedung setinggi itu?

Gedung Pengadilan Belanda di Kota Makassar. Sumber: Koleksi KITLV

Di perkampungan kami tidak  ada satupun di antara orang-orang tua yang mampu melakukan hal tersebut. Kehidupan penduduk kampung hanya berputar di situ-situ saja. Gubuk-gubuk yang reyot di antara pohon-pohon kelapa dipagari bambu. Jalan-jalan yang menghubungkan dengan rumah penduduk lainnya bertebaran debu, terkadang berlumpur di saat musim hujan. Kami sebagai warga kampung tidak menyadari akan pentingnya kebersihan, anak-anak kecil tanpa busana dibiarkan bermain-main ke sana-sini di sekitar halaman rumah.

Di akhir abad ke-19 Kota Makassar berkembang dengan pesat dan sudah dilengkapi berbagai fasiltas kota. Alat transportasi seperti mobil mulai didatangkan dari Eropa sana. Kapal-kapal dagang terus berdatangan dari segala penjuru di pelabuhan Juliana Cade dan Wilhelmina Cade (sekarang Pelabuhan Soekarno-Hatta). Di sepanjang garis pantai berdiri deretan kios-kios saudagar Arab. Perkembangan Kota Makassar yang pesat menembus sekat kehidupan di perkampungan, warga kampung pun mulai bergaul dengan orang-orang Eropa. Sekolah-sekolah untuk penduduk kampung didirikan, yang dikenal dengan nama “Sekolah Rakyat”, anak-anak kecil pun mulai diajar bahasa Indo. Pengetahuan kami mulai terbuka dan bahkan sebagian dari penduduk kampung mulai mengenal budaya orang-orang Eropa. Tidak segan-segan sebagian orang-orang mulai mengikuti cara berpakain orang-orang Eropa tersebut.

Anak kecil pribumi di upacara penyambutan Gubernur Jenderal de Graeff. Sumber: Koleksi KITLV

Cerita kehidupan kami sebagai warga kampung adalah kesan bagiku, yang pernah hidup di fajar kemunculan peradaban Eropa yang mutakhir. Seingatku, Kota Makassar di masa Pemerintah Hindia-Belanda adalah kota terindah yang pernah berdiri kokoh di kawasan timur Nusantara. Fantasi Kota Makassar di masa lalu tidak kalah canggih dengan wajah Kota Makassar pada hari ini. Orang-orang Eropa dari berbagai belahan dunia kagum atas pernak-pernik Kota Makassar yang dilengkapi berbagai fasiltas yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda. Mereka bahkan  memberikan julukan kepada Kota Makassar sebagai Kota Paris yang berdiri dikawasan timur Hindia-Belanda. Lalu, anakku, bagaimana dengan Kota Makassar-mu pada hari ini?

 Arianto, alumni program studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar angkatan 2014. Punya kegemaran membaca. Bisa dijumpai lewat akun facebooknya Antho Imagined.