Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Perbandingan Mitos Todipanurung di Mandar dan Kisah Tomanurung Batara Guru dalam La Galigo

Mandar ialah suatu kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya, sebelum terjadi pemekaran wilayah, Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja mewarnai keberagaman di Sulawesi Selatan. Meskipun secara politis Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diberi sekat, secara historis dan kultural Mandar tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi Selatan. Istilah Mandar merupakan ikatan persatuan antara tujuh kerajaan di pesisir (Pitu Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan di gunung (Pitu Ulunna Salu). Secara etnis Pitu Ulunna Salu atau yang biasa dikenal sebagai Kondosapata tergolong ke dalam grup Toraja (Mamasa dan sebagian Mamuju), sedangkan di Pitu Ba’ba’na Binanga sendiri terdapat ragam dialek serta bahasa yang berlainan. Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.  

Lontara Pattodioloang Mandar

Berbeda dengan sepupu-sepupunya seperti Bugis-Makassar dan Toraja, informasi seputar kebudayaan Mandar di internet maupun lewat buku-buku amatlah terbatas. Saya sendiri yang berdarah setengah Mandar dan seumur-umur hidup di perantauan mengetahui Mandar hanya dari cerita-cerita singkat ayah saya saja. Menyedihkannya, kosakata Bahasa Inggris dan Spanyol saya  jauh lebih kaya daripada pemahaman akan Bahasa Mandar. Yang melekat di kepala saya tentang Mandar ialah jejeran pohon kelapa di kebun keluarga di Polewali, bau peappi, perahu Sandeq, dan ilmu hitam.

Suatu hari di bulan April yang kadang basah kadang cerah, saya menikmati liburan semester dengan pulang ke Makassar dan mengunjungi Museum La Galigo di Fort Rotterdam pasca renovasi. Setelah puas berkeliling, saya dan adik Rafika Ramli memutuskan untuk iseng ke perpustakaan di pojok belakang benteng ini. Perpustakaannya bagus, sayang kurang terawat dan koleksi bukunya pun tidak begitu banyak. Ada meja tua Belanda yang masih kuat serta buku-buku sejarah dan budaya yang tergolong langka di sana.  Rak-rak bukunya di tata mengelilingi ruangan. Mata saya yang sedari tadi menelusuri judul-judul buku di rak tua nan berdebu itu seketika membelalak ketika membaca “LONTARA PATTODILOANG DI MANDAR”.

Terus terang, buat saya sebagai seorang pecinta budaya dan pendalam La Galigo, hal-hal yang berbau lontar itu fascinating. Apalagi ini lontar yang berasal dari Mandar, daerah dimana ekspresi budayanya kurang terekspos di panggung nasional. Setelah memutuskan untuk memfoto-kopi naskahnya, saya pun pulang. Salinan naskah tersebut ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Drs. M. T. Azis Syah pada masa almarhum Prof. DR. H. A. Amiruddin masih menjabat sebagai gubernur. Naskah asli lontaraq ini ditemukan pertama kali pada tahun 1982 dalam keadaan menyedihkan karena kumal dan robek-robek sehingga banyak bagiannya yang hilang. Bentuknya bergulung, dan apabila dibentangkan panjangnya bisa sampai 30 meter! Almarhum Drs. Muhammad Salim (penerjemah dua naskah pertama La Galigo di Leiden) merupakan tokoh penting yang memiliki andil dalam menyelamatkan naskah ini. Beliau membantu memperbaiki dan mengopi naskahnya sedemikian rupa sehingga bentuknya yang tadi memanjang dapat menjadi lembaran dan diberi nomer halaman.

Lontaraq ini kemudian dilengkapi bagian-bagiannya yang hilang oleh Bapak Muhammad Salim dengan menggunakan lontaraq-lontaraq sejenis yang diolah dari kepingan lontar yang juga mulai hancur. Wah, tragis sekali ya kondisi harta karun budaya di negara kita. Dengan sabar dan telaten Bapak Muhammad Salim menyusun kembali lontaraq ini sehingga dapat dibaca (meskipun pada beberapa bagian terdapat sobekan-sobekan yang hilang dan sudah tidak dapat ditolong lagi). Usia naskah ini telah berumur lebih dari 200 tahun. Ditulis pada abad ke-18 Masehi, sebagaimana tertera dalam halaman 71 naskah: ri 26 Nopember 1800, ri 15 September 1801 dan seterusnya. Bahan tulisannya berasal dari naskah lontaraq dan tradisi lisan yang berumur jauh lebih tua lagi. Naskah ini berbahasa Mandar Pantai dan Pegunungan kuno dengan campuran Bahasa Bugis dan Makassar. Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum dengan naskah ini ialah ditemukannya berlembar-lembar halaman berisi ilustrasi yang –bagi saya– untuk ukuran zaman itu tergolong rapi, cantik, dan luarbiasa unik! Ilustrasi-ilustrasi ini tidak hanya terletak di pinggiran atau sela-sela naskah, namun menghiasi kertas dengan penuh. Ilustrasi-ilustrasinya berhubungan dengan cerita yang dituliskan di halaman sebelum atau sesudahnya.

Ruang Perpustakaan Benteng Fort Rotterdam, Makassar

Mitos Todipanurung di Mandar

Ketika membaca foto-kopi naskah ini, khususnya pada bagian asal-muasal penghuni Mandar Pesisir dan Kondosapata, saya menemukan banyak hal menarik yang mengingatkan saya akan epos besar La Galigo. Di Passaleng Ma’duaE (Pasal Dua), dikisahkan tentang Tomanurung (lontar ini menggunakan terminologi “Todipanurung”, namun dalam terjemahan istilah yang dipakai Bapak Azis ialah Tomanurung) atau orang yang turun dari langit di daerah hulu Sungai Saddang yang menjadi nenek moyang mereka. Tomanurung ini ada dua orang; To Kombong di Bura yang berjenis kelamin laki-laki dan To Bisse di Tallang yang berjenis kelamin perempuan. Mereka menikah dan kemudian melahirkan seorang putra bernama To Banua Pong (“Orang Kampung Tua”). To Banua Pong bermukim di Rattebulawang atau Rantebulahan lalu menikah dengan sepupu sekalinya (?) dan menurunkan lima orang anak.

Kelima anak To Banua Pong ini antara lain; I Landoq Beluaq sebagai anak perempuan sulung, I Laso Keppang, I Landoq Guttuq, Usuqsabambang, dan I Paqdorang. I Landoq Beluaq secara harfiah berarti “Si Rambut Panjang”. Ia dikisahkan menikah dengan seorang bangsawan dari daerah Bone yang menelusuri sehelai rambutnya yang lepas di sungai ketika mandi. Mirip dengan dongeng Rapunzel si Putri Berambut Panjang dari Jerman, ya. Hanya saja di versi ini I Landoq Beluaq tidak dikurung oleh seorang ibu tiri yang jahat, Ia justru dibebaskan untuk menikah dengan sang pangeran lalu pergi menuju ke selatan, menjadi leluhur bangsa Makassar. Anak kedua, I Laso Keppang, berangkat ke Belawa di Luwu. I Landoq Guttuq anak perempuan lainnya pergi ke Ulu Saddang. Usuqsabambang bermukim di Karonnangan, dan yang terakhir Paqdroang tinggal di Bittuang.

Paqdorang memperisterikan seorang wanita bernama Rattebiang. Dari pasangan ini lahir empat bersaudara: I Tasudidi, Sibannangang yang menjadi leluhur orang Mamasa, anak ketiga tidak diketahui namanya namun menjadi leluhur orang Masuppu, dan anak keempat bernama I Pongkapadang yang tinggal di Gunung Mambuliling. Pongkapadang menikah dengan seorang wanita dari Sanrabone (Gowa) di Buttu Bulu. Dahulu laut hanya sampai di situ, sehingga di situlah perahu Pongkapadang berlabuh. Dalam versi Kondosapata, Pongkapadang mengembara hingga tiba di pesisir pantai Ulu Manda’, Mamuju yg kemudian menjadi wilayah kekuasaannya. Di tepi laut Ia menemukan seorang wanita asal Bugis Makassar. Wanita itu Ia angkat sebagai isteri dan Ia beri nama Torije’ne’ (Bahasa Makassar: to=manusia, ri=dari, je’ne’=air). Torije’ne’ ini kemungkinan besar adalah wanita yang dalam versi Lontara Pattodioloang disebut sebagai I Sanrabone. Dari hasil perkawinannya dengan Torije’ne’, Pongkapadang mendapat tujuh orang anak dan sebelas orang cucu, sehingga timbul ungkapan dalam Bahasa Kondosapata; Dadi Tau Pitu, Tau Sapulo Mesa. Sosok Pongkapadang inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur bangsa-bangsa di Sulawesi Barat, Tengah dan Selatan.

Putri-Putri Bangsawan Mandar dalam pakaian Tari Pattuduq. Sumber: Wikipedia

Todipanurung di Mandar dan Tomanurung di Bugis

Kisah di dalam Lontar Pattodioloang Mandar maupun epos besar La Galigo sama-sama berawal dari tradisi lisan yang telah ratusan tahun berkembang sebelum dituliskan. Entah, kisah mana yang terlebih dahulu muncul di tengah masyarakat. Meskipun keduanya tampak berbeda, terdapat kesamaan-kesamaan unsur yang berkembang sesuai dengan karakter kebudayaan masing-masing. Kedua kisah mengenai asal mula manusia di bumi diawali oleh kemunculan manusia-manusia supranatural dari atas langit atau dari bawah bumi (lautan).

Karakter Todipanurung yang merintis kehidupan umat manusia dalam kebudayaan Mandar ialah To Kombong Di Wura dan To Bisse di Tallang. To Kombong di Wura secara harfiah berarti “manusia yang muncul meniti buih” sedangkan To Bisse di Tallang “manusia yang keluar dari bambu”. Dari namanya, kedua karakter ini identik dengan tokoh Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, Tomanurung dan Totompoq dalam La Galigo. Batara Guru diturunkan dari langit melalui sebilah bambu betung, sehingga kelak cucunya dinamai Sawe ri Gading (lahir dari bambu). We Nyiliq Timoq yang dimunculkan dari dalam samudera memiliki julukan To TompoE ri Busa Empong alias orang yang dimunculkan dari buih-buih lautan. Perbedaan antara kedua mitos ini terletak pada jenis kelamin karakternya. Apabila di dalam La Galigo tokoh laki-laki ialah Ia yang menetas dari bambu betung, maka di dalam versi Lontara Pattodioloang Ia justru seorang perempuan. Demikian pula ketika di dalam La Galigo tokoh yang keluar dari samudera dengan meniti buih ialah seorang perempuan, di versi Lontara Pattodioloang Ia justru berjenis kelamin laki-laki. Perlu dicatat, pada sumber naskah sejarah Mandar lainnya seperti Lontaraq Pattappingan karakter To Kombong di Wura ialah seorang laki-laki dan To Bisse di Tallang ialah seorang perempuan. Demikian pula dalam versi silsilah Mandar oleh Andi Syaiful Sinrang.

Sebagian sumber sejarah Mandar, sebagaimana yang disarikan oleh Drs. Anwar Sewang, konon menyebut sosok Pongkapadang yang dianggap sebagai leluhur orang Mandar dan Kondosapata itu bersaudara dengan Sawerigading dan We Tenri Abeng. Sureq Galigo tidak menyebutkan nama Pongkapadang sebagai saudara keduanya sepanjang cerita, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa saudara yang dimaksud di sini bisa berarti putra Batara Lattuq dari perempuan lain selain permaisurinya, We Datu Sengngeng. Bisa jadi Pongkapadang disebut dengan nama lain sesuai karakter penamaan Bugis. Melalui trah “manusia yang menetas dari bambu betung” dan “manusia yang muncul dari busa-busa di lautan” inilah generasi maddara-takku menyemarakkan bumi dengan peradaban dan sistem-sistem nilai.

Hal yang menarik dari mitos Todipanurung ialah; pasca masa-masa chaotic yang dikenal dengan periode sianre bale tauwwe, bermunculan banyak Tomanurung di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada Mata Si LompoE di Bone, Putri Tammalate dan Karaeng Bajo di Gowa, Guru ri Selleng di Enrekang, dan lain sebagainya. Akan tetapi, di daerah Mandar sepanjang sejarahnya hanya ada Tomanurung yang mengikat seluruh etnis di Pitu Ba’ba’na Binanga dan Pitu Ulunna Salu; To Kombong di Wura dan To Bisse di Tallang. Tomanurung ini mampir ke muka bumi hanya untuk memulai kehidupan dan membuka jalan menuju peradaban. Sisanya, keturunan mereka yang dibekali leadership dan kemampuan luar biasa lah yang menjadi pemimpin (tomakaka, maraqdia) di tengah masyarakat. Contohnya seperti Pongkapadang, To Lombeng Susu, Maraqdia Todilaling, Tomepayung, dan lain sebagainya.

Siti KDI dalam balutan Baju Pokkoq, busana khas Mandar

Sebenarnya ada sosok Tomanurung lain dalam kebudayaan Mandar, seperti Putri Tonisesse di Tingalor. Akan tetapi, Ia tidak dapat digolongkan ke dalam kategori Tomanurung yang sengaja turun untuk membina umat manusia. Tonisesse di Tingalor merupakan putri seorang dewa yang jatuh terpeleset dari tangga langit ketika tengah berlatih menari untuk upacara kahyangan. Ia terjatuh ke bumi dan turun menuju lautan, namun diselamatkan oleh seekor ikan hiu besar (Bahasa Mandar: Tingalor) dengan cara ditelan. Seorang nelayan di daerah Pamboang berhasil menangkap ikan hiu tersebut dan mendengar ada suara perempuan yang sedang bernyanyi dari dalam perut ikan.

Ketika dibelah, Ia menemukan sang putri yang sedang duduk dalam pakaian kahyangan lengkap. Hingga saat ini bangsawan di Pamboang masih menyimpan bakkar (anting-anting) dan kuku-kuku hias yang berasal dari sang putri sebagai pusaka. Sang putri di bawa kepada raja Pamboang lalu dinikahkan dengan putra mahkota. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra. Sebagai seorang penghuni kahyangan, Tonisesse di Tingalor memiliki pantangan untuk bernyanyi dihadapan manusia biasa. Suatu hari Ia tengah bernyanyi untuk bayinya, sang suami datang dan meminta sang putri bernyanyi pula untuk dirinya. Meskipun telah ditolak, sang suami tetap memaksa. Dengan berat hati, Tonisesse di Tingalor lalu bernyanyi dari dalam sarung yang ujung-ujungnya terikat karena takut akan dijemput pulang ke Boting Langiq. Ternyata benar, setelah Ia mulai bernyanyi untuk suaminya, celah kecil di atap rumah mereka membuka dan tiba-tiba Tonisesse di Tingalor melayang ke angkasa. Dengan penuh tangis Ia terbang kembali ke kahyangan. Gerakan Tonisesse di Tingalor ketika terbang kembali ke kahyangan itulah yang menjadi asal mula Tari Pattuduq Mandar.

Kesamaan budaya antara Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja memang amat menarik untuk dikaji. Tidak hanya dari segi mitos, namun juga dari bahasa, pakaian, motif-motif lokal, serta adat-istiadat. Perbedaan yang ada antara keempat etnis serumpun ini janganlah dijadikan sebagai penghalang untuk saling mengerti, menghargai, dan belajar. Keunikan budaya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dapat menjadi aset besar demi kemajuan Indonesia di masa mendatang. Saya bangga sebagai seorang putra daerah dengan campuran darah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, bahkan Jawa dan Melayu. Karena dengan mengakui, menjaga serta mengkaji semuanya tanpa membeda-bedakan, saya dapat menjadi orang Indonesia sesungguhnya.

Malilu sipakaingaq, raqbaq sipatokkong, tuppang sipakalewa, manus siparappe (lupa sama mengingatkan, runtuh sama membangunkan, tenggelam sama mengapungkan, hanyut sama mendaratkan)!

 

Referensi:
Andi Syaiful Sinrang, 1980, Mengenal Mandar Sekilas Lintas, Penerbit Tipalayo Polemaju.
Drs. M. T. Azis Syah, 1993, Lontarak Pattodioloang di Mandar Jilid I, Taruna Remaja, Ujung Pandang.
Muhammad Ridwan Alimuddin, http://www.radar-sulbar.com/feature/lombeng-susu-dan-banua-batang/, diakses pada tanggal 3 Juli 2012.
http://mamasa-online.blogspot.com/
http://mustarimula.blogspot.com/2010/10/entografi-budaya-masyarakat-mandar.html
http://putra-mandar.web.id/artikel/sejarah-lahirnya-kondosapata-3.html

Categories
Featured Galigoku

Cerpen: Dan Mereka pun Terculik

Tergelitik oleh realita semakin jauhnya generasi muda dari budayanya sendiri, seorang Sobat Lontara bernama Hanif Juneidy merangkai kalimat menjadi cerita pendek ini. Anugerah Tuhan berupa 800 ragam budaya Indonesia, jika bukan generasi muda bangsa lalu siapa yang jaga? Selamat membaca!

Matahari masih malu-malu mengintai di ufuk timur sana ketika kulangkahkan kaki di jalanan ini. Sinar hangatnya menelusup dahan-dahan pohon mangga di kanan kiri jalan, kemudian jatuh membelai permukaan jalan yang dilapisi aspal.

Aku tersenyum menatap permukaan jalan yang kuinjak . Dulu jalan ini masih berupa tanah bercampur kerikil-kerikil kecil, beberapa tahun yang lalu. Aku merasai kedua telapak kakiku. Ah, rasanya baru kemarin telapak kaki telanjangku menjejak jalanan tanah. Telapak kaki ini masih ingat betul rasa lembut tanah dan cubitan-cubitan kerikil-kerikil kecil saat aku berlarian di jalanan ini, bertahun-tahun yang lalu. Kini tanah dan kerukil-kerikil itu tidak ada.

Aku terus menyusuri jalan. Sambil menghirup udara pagi pertama di tanah lahirku ini setelah beberapa tahun meninggalkannya. Ya, kemarin sore aku kembali menginjakkan kaki di desa tempatku lahir dan menghabiskan masa kecilku ini. Kembali dari tanah rantau di pulau seberang tempat menuntut ilmu.

Cukup lama aku meninggalkan desa kecil ini, dan sekarang keadaannya tidak sepenuhnya sama seperti dulu. Ketika aku meninggalkannya empat tahun yang lalu, belum ada toko-toko yang menjual aneka barang berdiri kokoh di beberapa titik di kanan kiri jalan. Waktu itu hanya ada beberapa warung sederhana dengan bangunan yang sederhana pula. Waktu itu, di pinggir jalanan ini tak ada tiang-tiang besi yang berdiri dengan angkuhnya. Dan sekarang, di sepanjang jalan beberapa tiang listrik telah dipasang untuk kebutuhan listrik yang merata bagi seluruh warga desa ini. Aku bersyukur di dalam hati, pembangunan infrastruktur desaku ini cukup baik.

Oh, aku hampir lupa. Aku menyusuri jalanan ini bukan tanpa tujuan. Selain untuk menyesap udara segar pagi aku juga ingin pergi ke suatu tempat. Tempat yang tak bisa aku datangi empat tahun terakhir ini. Tempat dimana aku menghabiskan hampir seperempat waktuku dalam sehari, beberapa tahun yang lalu. Ah, aku begitu merindukan tempat itu. Semoga tempat itu masih ada, semoga.

Aku membelok. Memasuki gang sempit yang diapit dua rumah. Tentu aku masih ingat siapa pemilik dua rumah ini. Pak Kordi dan Mbok Jannah. Aku masih ingat betul, Mbok Jannah selalu berteriak-teriak kesal begitu aku dan kawan-kawanku melewati gang ini sambil bersenda-gurau, tertawa dengan berisiknya dan menurut Mbok Jannah itu mengganggu tidur cucunya yang masih bayi. Tapi bukannya lantas diam, kami malah mengencangkan tawa kami sambil berlarian. Meninggalkan wajah kesal Mbok Jannah di jendela samping rumahnya.Dan kami tak pernah kapok melewati gang itu, meski harus mendengar ocehan Mbok Jannah. Aku tersenyum mengingat ulah usilku itu.

Aku terus berjalan hingga  tiba  di ujung gang. Aku berhenti, menarik nafas dan menghembuskannya pelan. Aku kembali melangkah dan mataku menatap lurus ke depan, penuh harap. Kurasakan tubuhku merinding. Rasa bahagia dan rindu menyeruak begitu menyadari tempat itu masih ada.

Ya, tempat itu. Sepetak lapangan tak terlalu luas yang berada di tengah desa ini. Mungkin bukan tempat yang istimewa bagi orang lain. Tapi bagiku dan teman-teman masa kecilku, tempat ini lebih istimewa dari taman mini indonesia indah di Jakarta sana. Tempat ini menyenangkan. Tempat kami melepas segala penat, menumpahkan gelak-tawa, tempat berbagi kesenagan dan kadang perseteruan-perseteruan kecil. Dulu tempat ini begitu istimewa bagi kami. Bahkan sampai sekarang aku masih menganggapnya istimewa. Karena tempat ini merekam begitu banyak kenangan.

Aku berdiri di tengah lapangan. Mengedarkan pandangan. Tempat ini masih sama. Di sisi kanan sana masih berdiri kokoh beberapa pohon jati yang meneduhkan lapangan. Kemudian dua pohon jambu itu masih berada di tempatnya seperti dulu, di pojok lapangan. Mereka tampak lebih kokoh sekarang, dan sedang memamerkan kuncup bunga-bunganya, bakal calon buah jambu. Dulu aku yang paling semangat berburu buah jambu di pohon itu.

Aku menghela nafas lega. Syukurlah, aku masih bisa menemukan tempat ini. Tapi, sebentar… Ada yang aneh dengan tempat ini sekarang. Kuedarkan pandanganku sekali lagi, memastikan.

Sepi. Tempat ini begitu sepi. Hanya ada aku. Bagaimana bisa? Ini aneh.

Bentuk fisik tempat ini memang tak banyak berubah seperti yang terakhir kulihat empat tahun lalu. Tapi bagaimana bisa tempat ini sesepi ini? Aku masih ingat betul setiap pagi dan sore hari tempat ini tak pernah sepi dari bocah-bocah kecil sampai para remaja. Mereka, termasuk aku dan kawan-kawanku selalu bermain dan meramaikan tempat ini, dulu. DI ujung sana adalah tempat para bocah bermain gobak sodor, egrang, lompat tali. Di sisi pohon-pohon jati itu biasanya anak-anak bermain benteng atau petak umpet. Dan di sebelah sana adalah tempat para remaja desa ini bermain sepak bola.

Tapi sekarang? Semua sisi lapangan ini sepi. Tak ada anak-anak yang bermain gobak sodor, lompat tali , benteng, petak umpet. Tak ada para remaja yang bermain bola. Dan aku juga baru sadar pohon jambu yang biasa dijadikan arena memanjat pun kini sepi. Kemana mereka?  Oh, apalagi di hari minggu pagi. Hari libur sekolah. Tempat ini pasti ramai, dulu.

Ah, apakah aku salah menyangka hari? Apakah ini bukan hari minggu? Apakah anak-anak dan para remaja itu telah pergi ke sekolah sepagi ini? Aku membuka ponsel memastikan ini hari apa. Dan ternyata aku tak salah, ini memang hari minggu. Tapi kemana mereka?

Apakah tempat ini sudah tak menarik lagi bagi anak-anak dan remaja desaku ini? Atau ada sesuatu yang membuat mereka tidak bisa datang kesini hari ini? Entahlah, kebingunganku tak terjawab.

Ah, tempat ini begitu istimewa bagiku dan kawan-kawan masa kecilku. Kami begitu akrab dengan tempat ini. Dari kecil hingga kami menginjak bangku sekolah SD, SMP, dan SMA kami anak-anak desa selalu bermain bersama di tempat ini. Tempat ini menyatukan kami. Tempat ini yang memberikan ruang kebahagiaan pada masa kecil kami. Tempat ini yang mengajarkan bagaimana indahnya kebersamaan, bagaimana perbedaan tidak menghalangi kami untuk bermain dan tertawa bersama…

Ah, begitu banyak kisah yang bisa diceritakan di tempat ini. Bagiku, tempat ini istimewa, dulu, sekarang, dan selamnya. Dan seharusnya sekarang tempat ini juga istimewa bagi anak-anak dan remaja desaku ini.

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja. Ada kekecewaan mengganjal dalam dada. Ketika hendak berangkat ke tempat ini tadi, aku membayangkan betapa serunya anak-anak serta remaja desa sedang berkumpul dan bermain di tempat ini. Seperti yang aku dan kawan-kawanku lakukan dulu. Aku ingin melihat suka-cita itu. Aku ingin bernostalgia. Tapi nyatanya tempat ini sepi.

Kulangkahkan kakiku meninggalkan tempat ini dengan lesu. Aku berniat kembali ke rumah. Tapi, setengah perjalanan lagi menuju rumah, aku berhenti dan berbalik arah. Tidak, aku tidak berniat kembali ke lapangan itu. Aku ingin ke tempat lain. Rumah Riana dan Robi. Rumah mereka tak jauh dari lapangan itu.

Riana dan Robi, dua bersaudara. Mereka anak dari adik bungsu ibuku. Terakhir bertemu, mereka berusia delapan dan enam tahun. Dan aku ingat betul mereka berdua termasuk dari sekian bocah-bocah yang selalu bermain di lapangan itu. Ya, Riana paling gemar bermain petak umpet dan lompat tali. Sedangkan Robi, dia paling semangat ketika menyelinap dan membuat rusuh permaianan sepak bolaku dan kawan-kawanku.

Riana dan Robi pasti tahu sesuatu. Mereka pasti tahu mengapa pagi ini lapangan itu begitu sepi. Aku sampai di depan rumah mereka. Setelah mengucap salam dan mengetuk pintu, aku langsung membuka pintu dan masuk. Aku menuju ruang tengah.

“Wah, mas Edho? Mas Edho pulang kampung. Jadi bener apa yang ibu bilang tadi,” ucap Riana setengah berteriak. Gadis itu kemudian beranjak dari kursinya dan menyalamiku.

“Iya. Kemarin sore nyampe rumah. Eh mana paman sama bibi?” Aku bertanya sambil duduk di sofa.

“Ayah sama Ibu pergi kerumah Nenek pagi-pagi tadi,” jawab Riana. Gadis itu kini kembali ke tempat duduknya tadi. Kemudian mengambil sebuah netbook dan memangkunya. “Oia, si Robi juga ada di rumah kok. Dia ada di kamar. Robiiii… Ada mas Edho nih. Dia udah pulang dari Sumatra loooh!” Riana berteriak memanggil adiknya.

“Wah, Mas Edho…! Oleh-olehnya dong mas. Hehehe…” Robi keluar kamar menujuku sambil cengengesan.

“Wah, kau sudah besar Robi. Sayang sekali aku tadi kesini ga bawa sesuatu. Tapi di rumah ada oleh-oleh buat kalian berdua kok.” Aku mengacak-acak rambut Robi.

“Asiiik!” Robi berteriak senang dan duduk di sebelahku.

“Eh, hari minggu gini kok kalian di rumah aja? Nggak maen ke luar?” aku mulai mencari keterangan.

“Ah, males Mas. Mending di rumah aja. Berpetualang di dunia maya, seru!” jawab Riana masih sambil memangku netbook-nya. Kedua matanya tak lepas dari layar netbook itu.

Keningku berkerut. Aku coba melongok ke arah layar netbook Riana. Ah, kukira dia sedang mengerjakan tugas sekolah, ternyata dia sedang asyik dengan situs-situs online shop.

“Iya, Mas. Daripada capek-capek maen di luar mending di rumah aja. Maen game, nonton video, internetan. Asik lah pokoknya. Hehe.” Robi menambahkan sambil cengengesan.

Lidahku kelu. Entah apa yang harus kukatakan kepada mereka.

“Oh ya Mas, aku ke kamar dulu ya. Mau maen game online lagi. Mas, mau ikut?” Robi menawarkan sambil beranjak dari sofa. Aku hanya menggeleng dan dia langsung meluncur ke kamarnya.

“Ehm, Riana… Aku pulang dulu ya. Ntar salam ke paman dan bibi.” Aku pamit pulang. Rasanya campur aduk dan aku tak bisa berkata lebih dari ini.

Riana menoleh. “Kok cepet Mas? Nggak sarapan atau minum dulu?”

Aku menggeleng.

Keluar dari rumah Riana, bukannya pulang ke rumah, langkah kakiku malah membawaku menuju lapangan itu lagi. Antara rumah Riana dan lapangan itu hanya terpisah beberapa rumah saja.

Kuedarkan pandanganku ke arah rumah-rumah di sepanjang jalan menuju lapangan. Kupelankan langkahku. Pandangan mataku masuk menyelinap ke dalam rumah-rumah itu melalui jendela atau pintu yang terbuka. Kuamati.

Dari celah jendela atau pintu yang terbuka bisa kulihat dua atau tiga anak-anak dan remaja sedang asik melakukan sesuatu. Mereka duduk menghadap sesuatu, saling diam seperti sibuk sendiri-sendiri. Sesekali terdengar teriakan mereka. Terkadang teriakan kemenangan dan juga teriakan kekecewaan. Kemudian hening lagi, mereka sibuk sendiri-sendiri lagi.

Sedang apa mereka? Kuhentikan langkahku. Kuamati lebih cermat. Terlihat mereka masing-masing duduk menghadap sebuah layar, terpampang gambar gerak warna-warni di layar itu. Ah, aku  sadar. Mereka sedang asyik bermain game, ada juga yang sedang menjelajah berbagai situs hiburan.

Aku menghela nafas dan melanjutkan langkah. Ya, mereka anak-anak dan para remaja itu sedang asyik bermain di rumah masing-masing. Bermain dengan layar ajaib di depan mereka. Entah sudah sejauh mana mereka telah tersedot ke dalam dunia ‘asing’ itu.

Langkah kakiku sudah membawa diriku di lapangan itu lagi. Kemudian aku berjalan menuju pojok lapangan, tempat dua pohon jambu. Aku duduk bersandar pada salah satu pohon. Perasaanku campur aduk.

Kuhela sebuah nafas berat. Mataku menatap lekat-lekat ke depan. Dari posisi ini aku bisa melihat setiap sisi lapangan. Setiap sisi lapangan yang selalu penuh dengan keceriaan anak-anak dan remaja desa ini. Setiap sisi lapangan yang selalu dipenuhi canda tawa  menggema. Itu dulu. Dan kenyataannya, kini hanya sepi lah yang sudi menemani lapangan ini.

Ah, andai lapangan ini bisa berbicara, pasti kini ia sedang menangis. Meratapi anak-anak dan remaja desa ini yang telah diculik. Terculik oleh dunia ‘asing’ itu. (*)

 

Hanif Juneidi Ady Putra, putra asli Mojokerto, Jawa Timur yang tengah menghadapi tantangan hidup sebagai mahasiswa rantau di kota Yogyakarta. Aktifis PMII UGM ini adalah pecinta sastra yang tak pernah bosan membaca buku. Penggenggam moto “menyukai perbedaan & keberagaman. Karena perbedaan adalah berkat dari Tuhan”, ini mengagumi Gus Dur hingga J.K. Rowling sebagai inspirasinya.

Categories
Featured Galigoku

Mengimbangi Sang Professor

Awalnya saya jengkel. Persiapan acara tidak seperti rencana sebelumnya.

Sabtu, 23 Juni 2012, pukul 19.30 WIB. Sudah lewat setengah jam dari jadwal seharusnya, andai semua tepat waktu seharusnya acara “Tudang Sipulung/Diskusi Budaya” ini sudah berlansung dari tadi. Terlebih semenit lalu, sang pembicara sudah berada di lokasi acara. Dialah Prof. Nurhayati Rahman, seorang filolog juga budayawan asal Sulawesi Selatan, yang saat ini mengabdikan ilmunya di Akademi Pengajian Melayu di University Malaya Kuala  Lumpur, Malaysia. Sebagai orang yang turut mengundangnya sebagai pembicara, saya merasa dipermalukan saat ruangan seluas 135 meter persegi itu hanya terisi 5 orang peserta diskusi, itupun adalah para tuan rumah, pelaksana acara dan putri semata wayangnya Mutia Nurul Fariza.

30 menit kemudian tanda-tanda acara akan dimulai tampak, lega rasanya. Sebelum mengambil posisi tempat duduk yang pas, saya bertanya kepada panitia siapa moderator diskusi ini. Bukan jawaban yang saya dapatkan tapi tatapan gamang dari mereka yang disebut namanya saat itu, ada yang tidak siap, adapula yang belum datang. Inilah muasal rasa jengkel saya yang lainnya. Daripada mengulur waktu akhirnya saya pilih untuk mengambil alih tugas tersebut, memandu acara diskusi. Sebuah diskusi budaya yang secara rutin diselenggarakan oleh Forum Kajian Budaya Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat yang kali ini bekerja sama dengan Keluarga Pelajar Mahasiswa Wajo Yogyakarta dan Lontara Project. Meski para peserta telat datang, tapi jumlah peserta malam itu memecahkan rekor peserta pada edisi-edisi diskusi sebelumya, jika sebelumnya hanya 20-40 peserta maka pada edisi ke-6 ini peserta mencapai 72 orang peserta.

Karena tanpa persiapan, maka di awal memandu diskusi saya terbata-bata, semua perbendaharaan kata saya tiba-tiba hilang, penggalan-penggalan kalimat puitis dan maknawi saya tiba-tiba raib. Tak mau terlihat dan berbuat lebih konyol lagi, kesempatan segera saya sodorkan ke Prof. Nurhayati Rahman untuk memberi pengantar diskusi yang bertema “Konsep Manusia dalam Naskah La Galigo” itu. Sayapun akhirnya beringsut, duduk mendekati Bunda, sapaan akrab kami untuk pembicara. Seorang dengan segudang prestasi akademik dan praktis yang selalu tampil bersahaja. Lebih memilih menginap di kamar Asrama Mahasiswa dibandingkan di kamar hotel. Seseorang yang bersahaja rela makan nasi dan lotek bungkus bersama kami, para anak-anaknya.

Duduk mendampingi seorang Bunda seperti malam itu adalah tantangan sendiri bagi saya, terlebih Bunda sangat bersemangat dalam membagi rerimbunan data, fakta, wacana dan gagasannya malam itu. Saya yang lebih muda tentu tak ingin kalah. Jika sebelumnya saya jengkel menjadi moderator dadakan maka perlahan saya menikmatinya, tentu setelah saya menyimak semua detail fakta yang disampaikan oleh salah satu Putri dari pembesar Pondok Pesantren DDI Mangkoso ini.

Pada setiap jeda istirahat, setiap membuka sesi tanya jawab. Saya selipi dengan berbagai spontanitas yang mendukung paparan Bunda sebelumnya. Seperti pada sesi tanya jawab pertama, saya mencoba membacakan beberapa bait La Galigo (Massureq), karena sebelumnya Bunda sempat menyitir teks tersebut saat menceritakan tentang betapa humanisnya sosok To Palanroe (Dewata Bugis) dalam naskah tersebut. Pada sesi kedua, setelah Bunda mengurut nama-nama besar para sastrawan asal Sul-Sel maka saya berimprovisasi membacakan karya Ram Prapanca “Sukmaku di Tanah Makassar”, lalu disesi berikutnya saya tampilkan kehadapan peserta sebuah naskah tua karya B.F Matthes berupa Injil bertuliskan aksara dan berbahasa Bugis. Terakhir pada sesi penutup diskusi saya bacakan sebuah puisi dari Bunda sendiri, seperti berikut ini :

 

Oh malam, berikanlah aku

kesunyianmu yang sejuk

bukan kepekatanmu yang mengerikan 

 

Oh siang, berikanlah aku

cahayamu yang menyilaukan

bukan panasmu yang menyobek kulitku 

 

Dengan kesunyianmu

aku bisa menyorot seluruh nafas asamu

dengan cahayamu

aku dapat menemukan seluruh denyut sajakmu 

 

Semoga upaya saya mengimbangi sang Professor dengan apa yang saya lakukan malam itu, tidaklah bernilai lancang. Makkarodda atau tennia tudangengna dalam bahasa Bugis. Tabe!

Buat panitia, terima kasih atas “paksaannya”, memaksaku jadi moderator. Terima kasih juga atas bette lame (ubi goreng) dan sarabbaq-nya.

 

Suryadin Laoddang, aktifis budaya asal Sulawesi Selatan yang telah lama bermukim di Yogyakarta ini  meyakini budaya harus dibumikan tidak hanya lewat pementasan, ceritera, atau rekaman video, juga harus dibumikan dengan tulisan. Ia memilih untuk terus menulis hal-hal kecil tentang budaya Bugis. Saat ini Ia telah melakukan reinterpretasi terhadap lebih dari 100 elong-kelong (galigo) Bugis dan aktif sebagai narasumber kajian-kajian naskah La Galigo itu sendiri.