Categories
Featured Galigoku

Senja Anging Mammiri

Menjelang senja kami datang. Menjengukmu  yang jauh di pengasingan. Sudah lama kau terbaring, terasing sepi di negeri daeng. Aku tahu tuan menunggu, lama menunggu.. menghadap laut bersila di serambi menanti anging mammiri bertiup dari Losari.

Menjelang senja yang hampir padam, tuan… dengan decak langkah terkayuh menuju tumpahan duka dan pilu masa lalu. Tempat kau bertempur, mengerang, dan mengubur kekalahanmu. Aku datang tuan, dalam bendungan kerinduan, menyelipkan senyum kemenangan, menutup luka pengkhianatan.. paling tidak demikian. Tuan, hampir dua ratus tahun belalu. Senja itu masih terasa pilu.. Magelang 1830, menjelang senja.. sebelum maghrib tiba di bukit Manoreh yang tua.

Menjelang senja, kumengetuk dipintumu. Haru jiwaku menatapmu yang terdiam membatu.  Sujudku hantarkan doa  kedamaian, pada tuanku. Ah tuan, akhirnya aku bisa menjengukmu, lewat langkahku, bukan lewat buku.

Ini bukan nostalgia, memoria, atau terinspirasi dari sebuah cerita. Engkau yang dulu rela menderita dalam keterasingan, patutlah kami memuja. Patriotmu bagai cambuk, bagai pemicu, bagai peluru, memaksa untuk terus bergerak maju.

Tuan.. senja ini pernah ku impikan dimasa lalu, jauh sebelum aku sanggup mengarungi lautan biru. Senja itu kini telah tiba, bersama anging mammiri melayarkanku hingga Ternate dan Tidore. KRI surabaya 591 tuan yang membawaku kemari, KRI surabaya 591 tuan, yang mengingtkanku kembali.. pada tuan yang terdiam di pengasingan buram terkubur zaman.. nyaris dilupakan.

Kini senja berhias jingga seperti sore dahulu kala. Pekatnya sama dikala tuan injakkan kaki di negeri daeng. Menjelang senja di akhir tahun 1834 tiba di Port of Makassar, tetap tuan tak terkalahkan. Di penghujung langkahku di kota Daeng, Aku datang dengan sekantung bunga yang kubeli di kampung melayu seharga 5 ribu. Seharusnya kuhaturkan juga sekantung rindu dari tanah kelahiranmu, Negeri Ngayogyakarto. Dan seharusnya tuan, kutaburkan sekantong doa dari 6 juta rakyat Indonesia di atas pusaramu. Tapi tuan, kini senja menjelang, dan 6 juta rakyat indonesia mungkin tengah asik nonton Tv sampai lupa diri.

Menjelang senja aku datang

Menjengukmu dalam sepinya kesendirian

Dalam senja aku datang

Membawa derap langkah tak berjejak

berharap mereka akan mengingat

menjengukmu dilain waktu

sama sepertiku

Satu lagi dari hati,

Makassar 20 Sepetember 2012.

 

Asyhadi Mufsi Batubara, pemuda asal Sumatera Utara ini memiliki ketertarikan yang besar terhadap dunia arkeologi dan maritim Indonesia. Pernah terpilih sebagai awak dalam Ekspedisi Kebudayaan Kapal Layar Republik Indonesia Majapahit keliling Asia, pria yang hobi scuba diving, bermain skateboard dan menulis ini kini tengah merampungkan studi S2-nya di Universitas Gadjah Mada. Baca tulisan-tulisannya di http://penjelajahbahari.wordpress.com/

 

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Membaca Sejarah Lewat Tarian: Jejak Bugis-Makassar dalam Seni Tari Jawa Klasik

Pandangan awam masyakarat di Pulau Jawa terkait Makassar umumnya tidak jauh dari “kasar”, “demo”, atau “brutal”. Betapa tidak, berita-berita yang muncul di televisi terkait daerah ini selalu berhubungan dengan bentrok mahasiswanya atau tawuran antarwarga. Penghuni jazirah Sulawesi Selatan yang mayoritas terdiri atas suku Bugis-Makassar pun mendapat label sebagai bangsa yang gemar bertindak kasar. Meskipun pada kenyataannya tidak benar demikian, stereotype tersebut terus melekat. Padahal, zaman dahulu orang-orang Bugis-Makassar memiliki reputasi yang bagus di benak penduduk Pulau Jawa. Bahkan kewibawaan, ketangkasaan, kecerdikan serta kesetiaan mereka diabadikan dalam banyak tarian klasik yang hari inipun masih dapat ditelusuri mulai dari ujung Jawa sebelah timur hingga ke ujung baratnya. Tidak percaya? Yuk simak tiga di antaranya!

 

Jawa Timur – Tari Topeng Malangan

Malang tidak hanya terkenal dengan apelnya. Bekas pusat kerajaan Singosari yang didirikan oleh Ken Arok ini juga kaya dengan rupa-rupa budaya. Salah satu di antaranya ialah Tari Topeng Malangan. Tari Topeng Malangan tergolong sebagai tari Jawa klasik yang bercerita. Tari ini mengisahkan seorang pangeran bernama Panji Asmarabangun yang tengah mencari-cari pasangan jiwanya, Galuh Candrakirana alias Dewi Sekartaji. Nah, seorang raja dari kerajaan asing bernama Prabu Klana (baca: Kelono) yang sebenarnya juga sudah mengincar Dewi Sekartaji sejak lama masuk ke tengah-tengah hubungan keduanya. Intrik-intrik pun bermunculan di tengah pengelanaan Panji Asmarabangun. Persaingan antara dua orang pria dalam merebutkan sang putrilah yang mewarnai kisah dalam tari topeng ini.

Karakter Prabu Klana ternyata memiliki ragam nama dan identitas, tergantung versi yang mana yang dianut oleh penarinya. Sebagai contoh, sosok Prabu Klana Sewandana dianggap berasal dari Kerajaan Bantarangin (Ponorogo). Kemudian ada Prabu Klana Mandra Kumara dari Kerajaan Gedhah Sinawung (Makassar), Prabu Klana Gendingpita dari Surateleng (Wengker, di versi lain disebut berasal dari Sabrang), Prabu Klana Swadana dari Bali, Prabu Klana Mandraspati dari Malaka serta Prabu Klana Tunjungseta dari Kerajaan Pajang Pengging. Dari sekian banyak varian nama dan asalnya tersebut, seorang sejarawan bernama Adrian Vickers di dalam buku berjudul “Peradaban Pesisir” memaparkan temuannya bahwa tradisi syair-syair tertulis yang menjadi patokan kisah-kisah Panji di Jawa Timur mayoritas menyebut karakter Prabu Klana sebagai seorang raja Bugis. Tradisi ini mengidentikkan Prabu Klana sebagai seorang raja dari negeri Sabrang (negeri di seberang samudera) yang disamakan dengan kerajaan Makassar.

Tari Topeng Malangan

Tokoh Prabu Klana ditarikan oleh seorang pria yang bertubuh besar, tinggi dan gagah. Gelungnya berbentuk jangkahan, warna kuning emas, hitam, merah, badan warna kuning emas, berkeris wrangka branggah. Topeng Prabu Klana sendiri berwarna merah, berkumis tebal dan berbola mata melotot, menggambarkan seorang pemimpin yang tegas, sakti dan kaya raya. Meskipun gerakan tarinya terkesan merepresentasikan angkara murka dan dominasi, topeng raja berwajah tampan ini juga menunjukkan sisi-sisi humanis seperti kesedihan dan pengharapan, yang sebenarnya merupakan cerminan diri manusia agar selalu mawas diri dari nafsu amarahnya sendiri.

Perannya yang antagonis menjadi penyeimbang karakter tokoh protagonis, Panji Asmarabangun. Uniknya, dalam perspektif kebudayaan, masyarakat tidak kemudian dengan serta-merta menempatkan tokoh Prabu Klana sebagai antagonis yang kemudian dibenci. Buktinya, varian Topeng Malangan yang ditemukan di Jawa Tengah dengan nama Tari Kelono Topeng menempatkan tokoh raja dari Makassar ini sebagai figur sentralnya. Sifat-sifat kesatriaan, perlawanan, ketegasan, rasa malu dan penjunjungan yang tinggi terhadap harga diri (yang dalam kebudayaan Bugis-Makassar disebut ‘sirri dan pesse’) melekat padanya. Tidak heran jika pada perkembangan kemudian, tokoh Prabu Klana menjadi salah satu karakter yang paling luas ditafsirkan dari kisah Panji.

 

Jawa Tengah – Tari Bugis Kembar

Tarian ini digolongkan sebagai tari gagah atau tari yang dibawakan oleh dua orang penari pria. Tari Bugis Kembar umumnya dipersembahkan sebagai tarian pembuka pada suatu acara. Tari ini memamerkan ketangkasan, kelincahan serta kekompakan dua orang prajurit Bugis yang sedang berlatih perang tanding. Dulunya tarian ini sering dibawakan oleh putra-putra kerajaan atau pangeran-pangeran muda sebagai bagian dari olah fisik mereka.

Mengapa harus Bugis (dan) kembar? Kerajaan Mataram dan kedua turunannya (Kasunanan Surakarta serta Kasultanan Yogyakarta) memiliki resimen yang terdiri atas pasukan-pasukan Bugis-Makassar nan gagah berani. Di Yogyakarta kita masih dapat menyaksikan jejak mereka; ada daerah bernama Bugisan serta Dhaengan yang dulunya merupakan tempat tinggal pasukan Bugis dan Dhaeng dari Tanah Sulawesi. Konon batalyon Patangpuluhan (Empat Puluh) yang eksklusif untuk melindungi sultan itu juga terdiri atas pejuang-pejuang Bugis. Keharmonisan antara Kasultanan Yogyakarta dan para prajurit Bugis yang setia ini tercermin dalam banyak tarian. Koreografer-koreografer tari istana, bahkan hingga sultan sendiri, kagum oleh kegagahan serta kekompakan prajurit-prajurit Bugis-Makassar ini sehingga terinspirasi untuk menciptakan tarian dari gerak tubuh mereka.

Selain Bugis Kembar, di Jawa Tengah ada juga tarian bernama Handaga Bugis Kembar. Lho, apa bedanya? Handaga Bugis Kembar merupakan tarian yang melukiskan peperangan seorang prajurit Kediri melawan dua orang prajurit Bugis. Tarian ini diperankan oleh 3 orang penari. Seorang penari berperan sebagai Handaga dan dua orang lainnya berperan sebagai prajurit Bugis. Perlengkapan yang dipergunakan berupa tongkat panjang dan trisula.

Raja Mangkunegara IV (1853-1881) dari Keraton Surakarta juga pernah menciptakan tarian bernama Wireng Panji Bugis. Sebagaimana di Keraton Yogya, idenya tidak terlepas dari kekaguman terhadap kegagahan prajurit Bugis di kalangan istananya. Tarian lain menyusul di masa pemerintahan Mangkunegara VI (1896-1916) dengan nama Wireng Bugis atau Rewantaka. Kata Wireng berasal dari Bahasa Jawa yaitu wira yang berarti prajurit dan ing atau aeng yang artinya sakti. Jadi Wireng Bugis kira-kira berarti prajurit Bugis unggul yang linuwih atau prajurit Bugis pemberani. Hmmm… Inspirasi untuk menciptakan tari ternyata bisa datang dari mana saja, termasuk dari prajurit-prajurit negeri seberang ini!

 

Tari Bugis Kembar

Jawa Barat – Tari Ronggeng Bugis

Tari yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat ini termasuk unik. Berbeda dengan tari ronggeng biasa yang umumnya dibawakan oleh perempuan, Tari Ronggeng Bugis justru dibawakan oleh beberapa orang pria gagah. Uniknya, dalam tarian ini ronggeng-ronggeng pria tersebut tidak berpakaian laksana pangeran, mereka justru mengenakan pakaian kaum Hawa. Mereka bergelung dan diberi bunga, mengenakan kebaya berwarna ngejreng, berjarik, memakai bedak pekat berwarna putih seperti hiasan wajah geisha Jepang, serta mengenakan pemerah bibir nan menor. Sambil meliuk-liuk jenaka, sesekali para ronggeng pria itu akan berinteraksi dengan cara menggoda penonton pria.

Adakah hubungan antara Tari Ronggeng Bugis dengan pandangan masyarakat Cirebon masa lalu mengenai bissu, pendeta lelaki dalam kepercayaan Bugis kuno yang mengenakan pakaian serta bertingkah laku seperti perempuan? Jika iya, berarti kisah mengenai bissu yang bahkan jumlahnya semakin menyusut di kampung halamannya sendiri itu sejak zaman dulu sudah pernah terdengar hingga ke Tatar Sunda. Berdasarkan informasi yang penulis dapat melalui internet, latar sejarah tarian rakyat ini bercerita tentang sekawanan telik sandi (mata-mata) Bugis yang tengah berkamuflase untuk mendapatkan informasi dari pihak musuh.

Konon, Sunan Gunung Jati yang memerintah di Kerajaan Cirebon sedang kebingungan. Kerajaan Islam yang ia dirikan itu baru saja memisahkan diri dari Kerajaan Pakuan Pajajaran yang masih beragama Hindu. Setiap saat dapat timbul gesekan antara Cirebon dan Pajajaran. Untuk mengetahui kekuatan serta strategi lawan, maka Sunan Gunung Jati pun mengutus duabelas hingga duapuluh orang prajurit Bugis kepercayaannya untuk menyamar menjadi perempuan dan menyusup ke istana Pajajaran. Telik sandi-telik sandi Bugis ini ternyata dipandu oleh seorang perempuan cantik jelita namun sakti mandraguna bernama Nyi Gandasari dari Aceh, murid Ki Sela Pandan (salah satu pendiri Cirebon). Mereka membentuk grup kesenian keliling, bernyanyi dan menari dari satu tempat ke tempat lain. Alhasil, mereka berhasil mendapatkan banyak informasi mengenai rahasia Pajajaran.

Pertunjukan Tari Ronggeng Bugis oleh SMKN 1 Kedawung. Sumber: http://edogawa08.blogspot.com/2012_03_01_archive.html

Interaksi masyarakat Jawa bagian barat dengan suku Bugis-Makassar bukanlah hal yang asing. Menurut tradisi lisan, kerjasama ini telah berlangsung sejak zaman Kerajaan Galuh (sejak tahun 670 hingga 1500-an). Salah satu bentuk pertalian antaretnis yang paling terkenal ialah pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Tahun 1644, sepulang dari haji, Syekh Yusuf Al-Makkassary singgah di Banten. Di sana ia menikah dengan putri Sultan Ageng Tirtayasa, kemudian menikah lagi dengan dua orang wanita dari Serang dan Giri. Syekh Yusuf di Banten mengobarkan semangat jihad untuk melawan Belanda. Pasukannya terdiri atas pengikut-pengikutnya dari Sulawesi Selatan serta pejuang-pejuang lokal. Saat itu gerakannya telah melebarkan pengaruh mulai dari Banten hingga Cirebon sehingga membuat Belanda kebat-kebit. Beliau pun disingkarkan dari Bumi Banten pada tahun 1684 ke Afrika Selatan. Nah, keturunan pengikut Syekh Yusuf dari Sulawesi Selatan ini kemudian banyak yang menikah dengan penduduk lokal dan menurunkan generasi keturunan Bugis-Makassar di Jawa Barat.

Setelah melihat jejak-jejak Bugis-Makassar di Pulau Jawa yang terabadikan dalam seni tari, tentunya kita dapat memahami bagaimana masyarakat Jawa pada masa lalu menilai bangsa pendatang dari Pulau Sulawesi. Nah, hal ini juga bisa menjadi bahan evaluasi bagi generasi Bugis-Makassar zaman sekarang, apakah mereka masih layak untuk dipandang dengan hormat dan penuh wibawa oleh masyarakat dari daerah lain? Kualitas diri seseorang tidak ditentukan oleh dari mana ia berasal, tapi berdasarkan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya. Yuk, kita kekalkan kembali persatuan dalam keragaman dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika!

 

Referensi:

Ayam Jantan Tanah Daeng, Nasaruddin Koro, Penerbit Ajuara, Jakarta: 2005.
Peradaban Pesisir, Adrian Vickers, Udayana University Press, Denpasar: 2009.
http://www.indosiar.com/fokus/tari-ronggeng-bugis-atau-tari-telik-sandi_27440.html
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/08/ronggeng-bugis.html
http://www.tembi.org/majalah-prev/2001_07_ensiklopedi.htm
http://kotamanusia.wordpress.com/2011/07/page/3/

 

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Fashion of Keraton Nusantara Part – II

Lanjutan dari Fashion of Keraton Nusantara Part – I

Apa jadinya ketika putri-putri yang hidup dalam dongeng dan cerita rakyat tiba-tiba muncul ke dunia nyata dan berlenggak-lenggok di atas catwalk bak supermodel? Bagaimana jika Roro Ireng dari era pewarangan, Roro Jonggrang dari zaman Mataram Hindu bertemu dengan Nyi Blorong dan Nyi Roro Kidul dari era kerajaan Jawa Pertengahan? Itulah yang terjadi di Jogja Fashion Week 2010. Kreatifitas berpadu selera seni yang tinggi telah berhasil menghidupkan kembali putri-putri dari negeri dongeng ini kehadapan kita semua! Penasaran? Yuk, simak ceritanya berikut ini!

RORO IRENG

Sobat Lontara tentunya kenal dengan tokoh dalam pewayangan Purwa yang bernama Wara Sumbadra kan? Istri Arjuna, Sang Panengah Pandawa ini konon kecantikannya merupakan setengah dari kecantikan kaum Hawa itu sendiri! Saking cantiknya, tak heran ia menjadi rebutan banyak ksatria dan bangsa raksasa, seperti Burisrawa. Konon, sebelum menjadi luarbiasa cantik, Sumbadra terlahir dengan kulit hitam legam dan rambut ikal. Ia sering diejek dengan sebutan Roro Ireng alias “The Black Lady“. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Roro Ireng tumbuh menjadi wanita yang cantik, anggun dan elegan. Kesantunan, kelemah-lembutan serta kesetiaannya lah yang membuat lelaki playboy setaraf Arjuna jatuh cinta!

Kali ini Roro Ireng tampil dengan busana hitam nan megah. Gaunnya yang luarbiasa besar itu (harus diangkat oleh dua orang setiap kali dia berjalan!) dibuat bergelombang-gelombang kecil, selintas mengingatkan kita akan “wedhus gembel” gunung Merapi. Meskipun di wajahnya banyak diberi hiasan kehitam-hitaman (face painting) seperti jelaga akan tetapi kesan elegan serta menawan tidak jauh darinya. Kulit modelnya yang sawo matang pun menambah keeksotisan sosok yang ia bawakan ini. Siapa bilang item itu kurang menarik? Kalau kata Malcolm X dulu sih black is beautiful!

NYI RORO KIDUL

Nyi Roro Kidul adalah sosok perempuan yang paling misterius dalam dunia gaib tanah air. Ia ditakuti sekaligus dicintai oleh masyarakat yang tinggal di pesisir selatan Pulau Jawa. Konon dulunya ia adalah seorang wanita yang gemar bertapa dan mendapatkan kesaktian luarbiasa. Ia tidak ingin menikah dengan pangeran-pangeran yang melamarnya, maka demi menghindari keramaian dunia, ia memutuskan untuk pergi ke pantai selatan dan bertapa di sana. Di pesisir itulah ia menjadi penguasa segala jenis lelembut dan makhluk-makhluk halus lainnya.

Nyi Roro Kidul berperan penting dalam suksesi kepemimpinan di Tanah Jawa. Tanpa restu darinya, niscaya Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram yang berarti merupakan kakek moyang dari bangsawan-bangsawan Yogya dan Solo pada hari ini) tidak akan dapat mendirikan kerajaannya sendiri. Bantuan oleh makhluk gaib sebagai restu atas kedaulatan seorang raja banyak ditemukan di dalam mitos-mitos Jawa klasik.

Di pagelaran fashion ini, Nyi Roro Kidul tampil dengan busana Jawa tradisional yang dimodifikasi. Tentu saja, warnanya hijau. Konon menurut mitos masyarakat yang tinggal di pesisir selatan, warna hijau merupakan warna milik sang ratu. Hijau ini kadang-kadang dihubung-hubungkan pula dengan warna ular gadung  (ular berwarna hijau yang merupakan salah satu endemik Pulau Jawa), warna zamrud lautan, dan bahkan hingga warna pakaian Retno Dumilah, istri Panembahan Senopati yang konon membuat cemburu sang penguasa laut selatan. Hiasan rambutnya selintas mengingatkan kita akan hiasan rambut yang biasa dipakai oleh penari-penari Bali dalam Tari Pendet. Kalung bros bersusun tiga yang ia kenakan di dada biasanya dipakai juga oleh permaisuri-permaisuri dari keraton Yogya dan Solo sebagai lambang ketinggian derajat mereka. Cantik ya!

 

NYI BLORONG

Dalam kepercayaan Jawa, Nyi Blorong adalah seorang panglima bangsa lelembut yang berkuasa di Pantai Selatan. Nyi Blorong digambarkan berwujud seperti seorang perempuan cantik namun tubuh bagian bawahnya (dari pinggang hingga kaki) menyerupai ekor ular. Di kalangan pencari pesugihan, Nyi Blorong menjadi idola bagi kaum Adam. Konon setiap penyembahnya akan diberikan emas yang berasal dari sisik-sisik tubuhnya pasca mereka bercinta. Hiii… Ngeri juga ya! Nyi Blorong biasa mewujudkan diri dalam bentuk seorang wanita yang mengenakan perhiasan dan kebaya bersulam emas. Kecantikan Nyi Blorong akan semakin bertambah seiring dengan sempurnanya cahaya bulan purnama.

Sang desainer memilih warna emas kecoklatan sebagai perwujudan dari Nyi Blorong yang diperankan oleh gadis remaja untuk event ini. Mungkinkah inspirasinya datang dari warna sisik ular emas? Hmmm… bisa jadi. Pada rambut model yang disasak terdapat hiasan kepala berbentuk ular kobra bermata merah yang di atasnya terpancang dua batang dupa. Dua sayapnya (yang mungkin terinspirasi dari kepala kobra) terbuka lebar, memamerkan keanggunan. Di bagian belakang Sobat Lontara dapat menyaksikan ekor buatan yang terbuat dari kapuk dengan motif batik yang seakan-akan membentuk sisik ular. Pokoknya totalitas banget deh sang desainer!  Yang jelas Nyi Blorong yang satu ini jauh sekali dari kesan horor karena ia terus-menerus menabur senyum pada para penonton!

 

RORO JONGGRANG

Dikutuk menjadi batu tidak dapat menghentikan langkah putri dari kerajaan Ratu Boko ini untuk mengikuti Jogja Fashion Week! Yup, inilah dia Roro Jonggrang, sang putri cantik yang dikutuk menjadi batu pelengkap candi keseribu oleh Pangerang Bandung Bondowoso. Konon patung Dewi Durga yang berada di Candi Prambanan hari ini merupakan perwujudan dari sang putri yang dengan licik menolak lamaran sang pangeran dengan jalan membunyikan alu dan lesung demi mengusir makhluk-makhluk halus yang membantu pembangunan candi pada malam hari.

Roro Jonggrang tampil dengan hiasan rambut berwarna oranye yang luarbiasa tinggi! Kuku-kukunya yang panjang selintas mengingatkan kita akan hiasan kuku pada penari Lampung. Kulit modelnya dibuat hitam kusan, dengan beberapa aksen putih sehingga menimbulkan kesan seakan-akan dirinya terbuat dari batu. Pakaian yang ia kenakan terinspirasi dari desain pakaian Batari Durga, pakaian zaman Mataram Hindu (abad ke-8 Masehi). Nah, sang desainer berimprovisasi dengan menyematkan hiasan berbentuk seperti payung terkembang di punggung Roro Jonggrang. Hiasan tersebut kelihatannya menyimbolkan sayap, karena pola batik yang digunakan bercorak Mega Mendung atau awan-awanan. Kreatif!

 

Itulah tadi empat putri dalam dongeng-dongeng Jawa klasik yang dihidupkan kembali oleh kreatifitas desainer-desainer lokal Daerah  Istimewa Yogyakarta. Inspirasi bisa datang dari mana saja, bahkan dari cerita rakyat untuk anak-anak sekalipun! Apakah Sobat Lontara dari daerah lain mungkin termotivasi untuk melakukan hal yang sama? Melestarikan budaya itu amat menyenangkan lho!