Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Ternyata ada Planet Tamalate di Jagad Raya!

Di suatu sudut galaksi yang jauh, tersembunyi sebuah planet bernama Tamalate. Planet dalam legenda, planet asing yang ternyata menyimpan sebuah harta karun rahasia. Di sanalah dua pemburu hadiah paling aneh di jagat raya—Kancil dan Tarub—memulai petualangan terbesar mereka.

Begitulah alur utama dari Jagad Raya, komik fantasi-sains yang mengangkat cerita rakyat Indonesia ke semesta kosmik. Bayangkan saja, dunia di mana tokoh-tokoh seperti Si Kancil, Jaka Tarub dan bahkan Situ Bagendit hidup dalam satu alam semesta, melintasi planet, berburu rahasia kuno, dan menantang takdir di antara bintang-bintang. Komik yang volume pertamanya rilis di akhir tahun 2024 silam ini membawa hawa baru yang menyegarkan bagi para pecinta legenda tanah air, termasuk bagi para penggemar epos La Galigo!

Dalam komik ini, Kancil dan Tarub dikisahkan sebagai sahabat sekaligus bounty hunter yang nekat. Misi mereka sederhana—mencuri susu (ya, kamu tidak salah baca: susu alias milk alias léché!) dari makhluk misterius bernama Ratu Pok-Ame di planet Tamalate. Tapi ternyata, susu itu bukan sekedar susu biasa karena menyimpan sesuatu yang lebih besar dari yang mereka bayangkan: rahasia yang bisa mengguncang seluruh jagat raya.

Yang menarik, nama Tamalate bukan hasil karangan semata. Buat kamu yang berasal dari Sulawesi Selatan, nama Tamalate tidak terdengar asing lagi, bukan? Selain dikenal sebagai nama salah satu jalan di kecamatan Rappocini kota Makassar, nama Tamalate sebenarnya berakar kuat dalam sejarah Kerajaan Gowa. Pada masa awal berdirinya Kerajaan Gowa sekitar tahun 1300-an Masehi, ibu kotanya berada di Tamalate, yang dikenal dengan sebutan Kale Gowa. Konon, di tempat itulah dulunya sesosok perempuan yang turun dari langit pertama kali menjejakkan kakinya di Dunia Tengah. Ia dikenal dengan sebutan Tumanurunga ri Tamalate. Disebabkan oleh kharismanya, para pemimpin dari Baté Salapang (Sembilan Bendera) atau sembilan komunitas utama yang menjadi cikal-bakal dari Kerajaan Gowa kemudian memintanya untuk menjadi ratu mereka. Beliau kemudian memimpin bersama dengan suaminya, Karaéng Bayo yang muncul dari dasar lautan, sebagai penguasa Kerajaan Gowa yang pertama.

Tamalate kala itu berdiri di atas bukit setinggi tiga puluh meter di atas permukaan laut, dikelilingi hamparan tanah pertanian yang subur. Dari tanah itulah orang-orang Gowa tumbuh menjadi pengekspor beras utama di kawasan timur Nusantara pada abad ke-16 dan 17. Kini, bukit Tamalate dikenal sebagai kompleks pemakaman raja-raja Gowa-Tallo—tempat sejarah, adat, dan spiritualitas berpadu.

Di tangan para kreator Jagad Raya—Shani Budi, Ahmad Fadly, Anggaditya Putra, dan Sonny Hermawan—nama bersejarah itu dihidupkan kembali sebagai sebuah planet. Mereka tidak sekadar menciptakan dunia baru, tapi juga menanamkan akar budaya Nusantara di tengah semesta sains dan imajinasi. Di planet Tamalate versi kosmik ini, penduduknya menulis dengan Aksara Rikai, sistem tulisan futuristik yang terinspirasi oleh keindahan Aksara Lontara dari Sulawesi Selatan. Bentuk hurufnya yang melengkung dan bersinar di udara mengingatkan kita pada lontar kuno yang dulu menjadi media tulis para pujangga Bugis-Makassar.

Dalam komik Jagad Raya, puncak kekuasaan tertinggi di Planet Tamalate berada di tangan Ratu Pok-Ame, sosok anggun sekaligus kejam. Di Jagad Raya ia adalah seorang menjadi penjaga zat kuno—penyimpan rahasia asal-usul semesta. Saat Kancil dan Tarub berusaha melawan kekuasaannya, keberanian mereka diuji, dan bahkan Kancil sendiri mulai meragukan misinya. Ada sesuatu di planet ini yang ia lihat, sesuatu yang mengubah segalanya. Di Planet Tamalate, mereka juga bertemu dengan Rengganis, pemimpin pasukan yang tangkas dan juga berani. Sosok Rengganis ini ternyata terinspirasi dari karakter Dewi Rengganis, seorang putri Majapahit dalam cerita rakyat Jawa Timur lho!

Lewat Jagad Raya, Tamalate bukan hanya sebuah tempat di peta bintang. Ia adalah simbol: bahwa cerita rakyat dan sejarah kita bisa menjelma jadi semesta baru yang tak kalah megah dari anime, manga ataupun karya-karya luar negeri lainnya. Bahwa di antara gemerlap kosmos, masih ada gema nama-nama lokal yang hidup kembali—dari bukit Tamalate di Gowa hingga planet Tamalate di galaksi jauh sana.

Di sinilah kekuatan komik ini terasa: ia bukan hanya fantasi, tapi juga bentuk penghormatan terhadap budaya Indonesia nan beragam. Di tangan generasi baru, kisah-kisah Nusantara menemukan orbitnya sendiri di jagad raya! Bagi kamu yang tertarik untuk membaca petualangan Kancil dan Tarub, buruan gih mampir ke akun Instagram Cerita Jagad Raya!

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan

Kebangkitan kedua I La Galigo di Kampung Buku, Makassar

Penulis: Muhammad Ulil Ahsan (Peneliti Pangan dan Budaya)

Membicarakan I La Galigo memang tidak pernah ada habisnya. Epos terpanjang di dunia yang telah diakui UNESCO sebagai Memory of the World ini selalu menyimpan daya tarik, penuh intrik, dan inspirasi. Namun, di balik kemunculannya, ada sosok-sosok cendekiawanyang merawat ingatan tersebut, mencatat dan mendokumentasikan 120.000 baris puisi yang begitu indah. Mereka adalah Benjamin Franklin Matthes dan Colliq Pujie.

Matthes adalah seorang ahli bahasa yang diutus ke Sulawesi Selatan dengan misi memahamibudaya setempat dan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa mereka. Dalam perjalanannya, iabertemu dengan seorang putri Tanete yang diasingkan ke Makassar, Colliq Pujie. Matthes kemudian menawarkan kerja sama kepada Colliq Pujie, seorang tahanan politik, untukmembantunya mengumpulkan potongan-potongan cerita rakyat yang tersebar luas di masyarakat Sulawesi Selatan. Selama dua dekade, mereka bekerja sama hingga lahirlahmanuskrip megah yang tak kalah agung dari Mahabharata di India dan sajak-sajak Homerus dari Yunani.

Selama ini, ketika berbicara tentang I La Galigo, kita lebih sering terpukau dengan kisahturunnya Batara Guru atau perjalanan Sawerigading dalam mencari cinta. Namun, sedikityang mengetahui bagaimana kisah ini pertama kali dicatat dan bagaimana dua cendekiawanini memastikan warisan budaya ini tetap hidup hingga sekarang.

Senin, 24 Maret 2005, kami beruntung menghadiri diskusi novel “Matthes” karya Alan TH di Kampung Buku, Makassar. Novel ini mengisahkan perjalanan hidupBenjamin Franklin Matthes, penerjemah Injil yang bertemu dengan Putri Tanete. Sebuahkisah yang membawa kita lebih dekat ke balik layar lahirnya I La Galigo.

Masyarakat Bugis-Makassar patut berbahagia dengan lahirnya novel Matthes, karya Alan TH—sosok yang bisa jadi lebih Bugis dari orang Bugis sendiri. Menurut Anwar Jimpe Rahman,tuan rumah sekaligus pembahas dalam acara ini, novel ini menandai kebangkitan kedua I La Galigo, setelah kebangkitan pertamanya melalui Seminar dan Festival Internasional I La Galigo di Kabupaten Barru di tahun 2002. Sejak saat itu, epos ini menjadi perbincangan, tidak hanya di ruang-ruang akademis, tetapi juga di berbagai dokumenter, warung kopi, hingga pementasan internasional.

Bagi Alan, “Buku akan menemukan takdirnya sendiri, dan seringkali antara penulis dan karyanya memiliki takdir yang berbeda.” Ia mencontohkan Pramoedya Ananta Toer, yang memiliki nasib tragis, sementara karyanya tetap menyala. Alan tidak berekspektasi lebih; iamembiarkan novelnya menemukan pembaca yang akan menjadikannya bagian dari sejarah. Baginya, karya yang bagus itu tidak disiapkan untuk merebut ruang, tapi yang tahanmenghadapi ujian waktu. Karya yang bagus mungkin tidak banyak dibaca hari ini, bisa jadidi lima, sepuluh, atau dua puluh tahun kemudian baru akan ramai dibaca.

Tim La Galigo Music Project didampingi Sirtjo Koolhof saat mengunjungi Perpustakaan Universiteit Leiden untuk melihat langsung koleksi naskah La Galigo pada bulan Desember 2013

Novel Matthes: Kepingan Puzzle Sejarah

Novel Matthes mengungkap siapa sebenarnya Benjamin Franklin Matthes, bagaimana latarbelakangnya, serta apa yang membawanya jauh ke Hindia kala itu, tepatnya di Celebes Selatan. Dengan ketekunan dan pergolakan batinnya, ia akhirnya bertemu Colliq Pujie, rekanintelektualnya dalam perantauan. Kisah mereka yang pelik dan penuh perjuangan menjadiinti dari novel ini.

Teringat pada Desember 2013, 12 tahun silam, tim Lontara Project ditemani Sirtjo Koolhof, seorang peneliti kebudayaan Bugis di Leiden, mengunjungi makam Matthes di pemakamanumum di Den Haag. Saat itu, tak banyak yang kami ketahui tentang sosok di balik nisanhitam bertinta keemasan tersebut. Bagaimana mungkin seorang Belanda yang namanyajarang terdengar justru menjadi sosok paling penting dalam menghidupkan “kitab suci” masyarakat Bugis-Makassar ini melalui pencatatan Panjang kisah I La Galigo hingga dikenaldunia saat ini?

Novel ini seperti kepingan puzzle yang melengkapi cerita tentang Matthes dan bagaimana iamenyalin epos besar ini. Novel Matthes akan menjadi bagian dari sebuah trilogi, ataumungkin lebih. Alan bahkan telah menyelesaikan sekuel keduanya, Colliq Pujie, yang akansegera hadir di rak-rak buku bulan depan. Jika novel Matthes berfokus pada konteks dan pergolakan kehidupan Matthes, maka Novel Colliq Pujie akan mengupas perjalananpencatatan I La Galigo dari perspektif sang putri Tanete. Sekuel ketiga pun sedang digarap, semakin menambah rasa penasaran kita akan kisah-kisah penting ini.

Pada acara diskusi tersebut, Rezky Ramadhani (Dosen Sastra Inggris Unhas) menilai novel ini menggugah semangatnya untuk lebih memahami I La Galigo dan kesusasteraan Sulawesi Selatan yang selama ini lebih banyak menggeluti sastra Inggris seperti cerita Yunani, Shakespeare, dan kisah-kisah lainnya. Kisah I La Galigo tidak kalah menariknya, tercermin dari novel Matthes ini.

Rahmat Komaruddin, moderator sekaligus seorang aktivis muda pengurus pusat TIDAR yang konsen pada isu-isu kebudayaan, ikut pula memberikan pandangan bahwa para politisi harusnya mampu lebih banyak membaca, belajar, dan memahami kebudayaan-kebudayaan local untuk mendapatkan hikmah, pembelajaran, dan kebijaksanaan di dalamnya. Termasuk I La Galigo ini.

Alan TH mungkin besar sebagai orang Sunda, tetapi dalam pencariannya terhadap sejarah, iatelah menjadi orang dari Bugis. Dengan riset mendalam dan ketekunan luar biasa, ia melahirkan karya monumental yang menandai kebangkitan kedua I La Galigo. Semoga novel-novel ini mampu menembus batas waktu, menemukan pembaca-pembacanya, dan menginspirasi kebangkitan-kebangkitan I La Galigo berikutnya sehingga dapat memahatsebuah peradaban yang besar di masa depan.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Kosmologi Bugis dalam “The Three World of Galigo”

Sobat Lontara, di masa awal pandemi tahun 2020 silam kedua kawan kita, Maharani Budi & Louie Buana, berkolaborasi menciptakan sebuah karya berjudul “The Three World of Galigo.” Karya tersebut merupakan penafsiran visual atas kosmologi masyarakat Bugis di Bumi Sulawesi sebagaimana yang tergambarkan dalam epos La Galigo.

The Three World of Galigo pernah dipamerkan secara virtual sebanyak dua kali. Pertama, dalam rangka Festival Kertas Sejagat yang diselenggarakan pada tanggal 10-20 Mei 2020. Pada kesempatan itu karya Maharani dan Louie dipajang bersama karya 47 perupa lainnya dari seantero Indonesia dan bahkan luar negeri. Sesuai judulnya, pameran tersebut menekankan penggunaan medium kertas dalam proses kreatifnya. Yang kedua, The Three World of Galigo terpilih untuk ditampilkan dalam “Proyek Indonesia” oleh Ilustrasee. Lewat pameran ini, Ilustrasee bertujuan untuk meninggalkan gambaran klise dan mengeksplor visual mengenai Nusantara dengan lebih dalam dan bermakna.

Kali ini, untuk ketiga kalinya The Three World of La Galigo mendapatkan kehormatan dari penerbit Makassar Biennale 2023 dan komunitas Kampung Buku. Karya tersebut dipercaya sebagai ilustrasi sampul buku berjudul “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Pare-Pare dan Pangkep“. Buku yang ditulis oleh 25 peneliti muda itu berisi lima narasi tentang perkembangan wilayah-wilayah yang disebutkan di atas. Cerita-ceritanya disusun berdasarkan pengalaman dan kesaksian-kesaksian tangan pertama.

Nah, untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh terkait ilustrasi “The Three World of Galigo” ini, berikut penjelasannya:

Masyarakat Bugis kuno di Sulawesi Selatan meyakini bahwa jagad raya ini sesungguhnya terdiri dari “tiga lapis dunia, tujuh susun langit dan bumi, serta semesta berbentuk segiempat belah ketupat”.

Pandangan tersebut tertuang di dalam epos La Galigo, naskah yang disakralkan oleh manusia Bugis sebelum kedatangan agama Islam. La Galigo memaparkan bagaimana dunia tercipta dan awal mula manusia hadir di muka bumi (Ale Lino). Penguasa Boting Langiq (kahyangan) dan Perettiwi (negeri di bawah samudera) bersepakat untuk menurunkan Batara Guru, putra sulung Datu Patotoé (raja Boting Langiq) serta menaikkan We Nyiliq Timoq, putri Opu Samudda (dewa yang bertakhta di dasar lautan) sebagai pasangan manusia pertama di Ale Lino. Tujuan dari pengisian Dunia Tengah yang masih kosong dengan manusia itu adalah: agar hakikat Kedewataan para penguasa adikodrati di Boting Langiq dan Perettiwi dapat dikenali mahluk lain, diakui, diagungkan serta disembah. Secara simbolik, eksistensi manusia dalam mengisi & mengelola Dunia Tengah amat bergantung kepada dua dunia lainnya, begitu pula sebaliknya.

Ketiga lapis dunia Galigo ini digambarkan berbentuk sulappa eppaq walasuji (segiempat belah ketupat). Sulappa eppaq walasuji adalah representasi dari empat elemen dasar yang menopang semesta secara makrokosmos (air, api, udara, tanah) serta empat unsur abstrak manusia sempurna sebagai mikrokosmos: kecendekiaan (ammacangeng), kekayaan (asugireng), kekuasaan (akkarungeng), dan ketampanan/kecantikan (akkesingeng).

Tiga dunia yaitu Boting Langiq – Ale Lino – Perettiwi menjadi satu dihubungkan oleh jembatan pelangi (tarawué) dan pohon kosmik Welenrengnge. Pelangi lahir karena titik-titik air dari samudera yang moksha ke angkasa ditempias mentari, sedangkan pohon tumbuh mencakar langit dari rahim bumi. Perpaduan khas Austronesia yang mendamaikan dua hal saling bertentangan (langit-bumi, laut-gunung, siang-malam, panas-dingin). Dikisahkan dalam epos La Galigo bagaimana tokoh Sawerigading dari Ale Luwu menebang pohon Welenrengnge untuk kemudian ia gunakan sebagai kapal berlayar ke negeri Ale Cina. Perubahan bentuk pohon kosmik Welenrengnge menjadi kapal melambangkan filosofi manusia Bugis yang alam semestanya dinamis dan senantiasa berubah, mencitrakan tradisi rantau lewat pepatah “malekkeq dapureng” (berpindah dapur) dimana pusat jagad raya tidak hanya berada pada satu titik namun dapat dipindahkan/digantikan sesuai konteks serta kondisinya.

Di keempat sisi semesta, di sudut-sudut khayali Sulappaq Eppaq, konstelasi kuna dalam rupa Manuk / Ayam (Canopus-Sirius-Procyon), Jonga / Rusa (Ursa Major), Mangiwang / Hiu (Scorpio selatan) & Worong Porong / Tujuh Tumpukan (Pleiades) menjaga dan menerangi dunia. Rasi bintang Bugis tersebut dikenal dengan baik di kalangan nahkoda dan digunakan sebagai petunjuk arah dalam pelayaran. Bintang-bintang tersebut juga dijadikan acuan dalam pergantian musim oleh kalangan petani Bugis. Contohnya, apabila Worong Porong terbenam sebelum waktu shalat subuh (sekitar pukul 04.00) diyakini hujan dari angin musim barat akan segera tiba (pada akhir bulan Desember).