Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode V – “Titik Zen”

Bab VI: Titik Zen

“Tadi Mas Ka ngajarin aku aplikasi gerakan-gerakan yang waktu itu aku tunjukkin Papa.” Gua menjawab (masih sembari mengunyah).

“Hmmm, Oke. Nanti habis makan Papa mau lihat.” Ayah gua melanjutkan makannya.

Beberapa menit kemudian, setelah gua dan adik gua membereskan meja makan, Ayah gua memanggil gua ke ruang tengah. “Put! Sini sini!”

Dengan menyeret badan gua, gua datang menjawab panggilan beliau.

“Tunjukkin Papa dong tadi latihan apa.”

Gua pun menjelaskan satu per satu, bagaimana menyikapi serangan, tata krama menghadapi lawan di gelanggang, bahkan mempraktikkan jurus-jurus yang dilatih tadi. Ayah gua nampak makin penasaran, sehingga pada suatu titik beliau berkata, “Coba Papa serang ya.”

Gua yang lunglai pun terbelalak mendadak. “Papa kan pelan-pelan nyerangnya haha, tenang aja lah.” Dan beliau menyodorkan kepalannya. Gua mencoba merambet tangan beliau, dan menarik beliau seperti yang dipraktekkan Mas Ka. Ayah gua mengikuti alur gerakan gua, dan beliau pun nampak cukup terkesan.

“Hmmm, boleh juga ya yang Mas Ka ajarin kamu. Oke, coba Papa serang beneran ya kali ini.”

“Pa, akunya capek, coba besok aja deh ya, atau minggu depan deh pas sudah latihan lagi sama Mas Ka.” Gua menggerutu

Tiba-tiba, Ayah gua melontarkan tinju kearah muka gua. Tetapi entah kenapa, gerakan beliau melamban ketika tinju itu sudah dua jengkal dari wajah gua. Gua sadar gerakan tubuh beliau pun tampak melamban… Seakan-akan menjadi slow-motion. Gua berkelit perlahan, menghindari tinju beliau, gua menepis kepalannya keatas, dan gua melacarkan pukulan kearah rusuk beliau yang terbuka. Deb! Pukulan gua mendarat perlahan tanpa tenaga, dan ayah gua nampak terkejut.

“Gerakan kamu kok cepat sekali tadi?!” Ayah gua heran.

“Papa yang lambat banget tadi mukulnya.” Jawab gua singkat.

“Wah… Good.” Bokap gua tersenyum.

Seminggu berlalu dan gua bercerita tentang apa yang terjadi kepada Mas Ka. Mas Ka tersenyum lebar dan merespon cerita gua:

“Put, kamu itu mengalami yang disebut ‘Titik Zen’. Titik ‘Zen’ itu adalah titik dimana kamu sadar akan segala hal yang terjadi, tetapi kamu sudah mencapai titik ketenangan tersendiri dimana kamu siap menghadapi apa yang terjadi kepada kamu. Titik Zen ini hanya bisa dicapai ketika kamu sudah memiliki cukup pengalaman, atau ketika kamu mencapai titik kelelahan fisik yang luar biasa, sehingga mental kamu menjadi sangat tajam. Disitulah ungkapan ‘mind over matter’ benar teraplikasi, soalnya badan kamu sudah sangat capek, dan disitu intuisi dan refleks naluri kamu yang bereaksi pada keadaan. Untung kamu kontrol pukulannya ya, kalau enggak, bisa kamu pukul beneran rusuk Papa.”

Titik Zen. Wow.

BERSAMBUNG…

 

Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.

 

Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode IV – “Penantian Sambut”

Bab V: Penantian Sambut

 

Setelah 9 bulan berlatih, gua merasa bisa banyak. Langkah 1 sudah lancar, jurus-jurus sudah hapal dan gerakan mulai terlihat bagus. Arahan-arahan dari Mas Ka sudah mulai bisa diikuti dengan baik, dan set latihan mulai bisa dikuasai

Suatu saat selesai latihan, gua pulang kerumah. Setelah menikmati makan malam bersama keluarga, orangtua gua bertanya: “Jadi, kamu sudah belajar apa saja sama Mas Ka?” Gua menjelaskan panjang lebar tentang latihan, apa saja yang dilakukan pada saat latihan, langkah apa saja yang sudah dipelajari, nama-nama gerakan, gedik, rambet, semuanya.

Ayah gua yang sepak terjangnya di dunia persilatan sudah lama melegenda ini meminta gua untuk menunjukkan langkah silat yang sudah dipelajari. Dengan penuh percaya diri, gua segera menunjukkan apa yang sudah gua latih selama ini. Setelah beberapa detik bergerak, ayah berdiri dari sofa.

“Bagus tuh gerakanmu,”bBeliau berkata sembari melihat gerakan gua. “Oke, Papa mau tanya deh, gerakan itu tadi buat apa ya?”

Dan gua pun terdiam. Kepala kosong, selama ini yang gua pelajari adalah gerakkan yang kosong. “Belum dikasih tahu Pa, gerakannya untuk apa.”

Ayah gua tersenyum, “Besok tanya deh ke Mas Ka, Papa jadi pengen tahu juga hehe.”

“Aduh, masih hari Jumat depan latihannya” gua ngedumel dalam benak gua, dan gua harus menghadapi sekolah selama seminggu kedepan. Baiklah, tidak apa, gua harus sabar menunggu, karena beberapa penantian itu memang nikmat.

Seminggu itu sekolah berlalu SANGAT lambat. Banyak sekali PS (bagi teman-teman yang membaca dan kelahiran 1990 – 1993 pasti tahu kalau PS itu bukan “Plaza Senayan”, atau “Playstation”, melainkan “Pekerjaan Sekolah”), PR (yang ini tahu kan kalau “Pekerjaan Rumah”?) dan tugas-tugas kelompok yang harus dikerjakan. Ditambah badan dan kaki yang pegal-pegal, gua pun berjalan seperti kakek-kakek yang lututnya goyang.

Dikarenakan gua mengendarai mobil antar-jemput ketika SMP, tidak banyak hal yang bisa gua lakukan setelah sekolah. Gua harus langsung lari ke parkiran antar jemput ketika bel sekolah berbunyi, dan ketika sampai rumah, gua mengerjakan PR dan… berlatih silat.

Suatu saat, sahabat-sahabat gua di SMP memperhatikan kenapa cara jalan gua aneh dan jari-jemari gua gemetar ketika menulis.

“Put, lu kenapa sih? Kok jalannya aneh?”

“Iya nih… Gua lagi sering latihan silat”

Didalam benak seorang bocah yang menghabiskan masa kecilnya dibacakan cerita wayang, didongengi cerita-cerita silat, dan menonton serial-serial seperti “Wiro Sableng” dan atau “Si Buta Dari Gua Hantu”, gua merasa gagah bisa cerita kalau gua pegal-pegal habis latihan silat.

Lain ceritanya ketika anak-anak Jakarta masa kini (pada jaman itu) yang menghabiskan waktunya menonton acara-acara MTV, beli barang-barang dari toko-toko macam Point Break atau Surfer Girl (kalau gua belanja, Ibu tercinta akan membawa gua ke department store lokal macam “Matahari” atau mungkin “Aneka Busana”), dan membaca novel-novel ‘teenlit’ (dimana gua akan disajikan TJERITA WAYANG oleh ayah gua yang digambar dan ditulis oleh mendiang R.A. Kosasih). Gua adalah orang aneh dimata mereka. Dan seperti yang mungkin teman-teman bayangkan, gua jadi bahan ketawaan.

“HUAHAHAHAHAH Latihan silat??? Lu bisa keluarin sinar ungu dong dari tangan lu, terus nembak batu nanti batunya pecah? HAHAHAHAHA” ~ ini mungkin mereka membuat sebuah referensi dari film-film silat yang dimata mereka itu norak.

“Ehm… Enggak sih… Tapi ya ini silat tradisional…” tukas gua dengan nada pelan tetapi pasti.

“Terus kenapa sih lu mau belajar silat gitu? Emang lu bisa apa sekarang?” ledek mereka

“Iya namanya kan juga proses latihan, enggak langsung lah hasilnya, sakitnya sekarang, tapi sehatnya nanti kedepan.” Jawab gua sambil tersenyum percaya diri.

“Tapi lu jalan sekarang kayak kakek-kakek! HAHAHAHAH”

Yap,  itulah silat dimata mereka.

Seminggu itu akhirnya berlalu, dan gua sudah sampai di akhir pekan. “Akhirnya, gua bisa latihan.” Gumam gua di dalam benak gua. Sepulang sekolah pada hari Jumat, gua langsung menggowes sepeda gua kerumah Mas Ka.

“Mas Ka!” Gua lompat dari sepeda gua, dan langsung lari masuk ke garasi Mas Ka

“Yop! Masuk Put!” Suara Mas Ka terdengar menyahut dari dalam rumah. Gua langsung stretching dan pemanasan sendiri, Mas Ka pun keluar dari rumah dan tersenyum lebar.

“Put, hari ini kita latihan sambut ya.”

“Sambut itu apaan mas? Latihan hormat gitu?” Tanya gua dengan dungu dan polos

“Haha enggak lah Put, ‘Sambut’ itu kalau di Silat Betawi, artinya sparring. Kalau kamu lagi di acara silat gitu, dan ada yang bilang ‘Mas, boleh saya sambut?’ itu artinya nantang kamu sparring. Jadi kamu ‘disambut’ sama jurus-jurusnya dia, dan kamu harus tau cara ‘menyambut’ yang baik, dan yang sopan.” Mas Ka menjelaskan dengan kalem.

“Sopan? Kok kita ditantang harus sopan mas? Orang yang nantang saja udah enggak sopan.” Gua mendadak sewot.

“Put, kalau di Silat Betawi itu, ada yang namanya ‘Lu Jual, Gua beli’. Memang kita enggak mau dan enggak boleh cari gara-gara, tapi kalau di gelanggang, itu memang sudah tempatnya kita unjuk ilmu dan cobain ilmu lain. Selain itu, Silat itu juga ada tata kramanya! Kan kamu sudah aku ajarin, kalau misalnya kuda-kuda aku merendah, kamu ikut merendah juga. Ini tuh gesture-gesture kecil yang menunjukkan kalau kamu itu pesilat yang mengerti tata krama dan orang yang santun.”

“Oh gitu ya mas. Hmm… contohnya gimana mas?”

Mas Ka pun mendekat, dia memasang kuda-kuda siap,

“Ini Put, posisiku kalau siap sambut. Kalau di silat Betawi yang ‘main’nya jarak dekat, kamu tempel tangan kamu sama tanganku.”

Gua mengerjakan apa yang Mas Ka diktekan, dan gua mencoba untuk bersikap dan memasang kuda-kuda yang sama dengan Mas ka. Kepalan Mas Ka gua tempelkan dengan kepalan kanan gua.

“Nah, ini kamu mau adu keras kalau gaya kamu kayak gini Put.” Mas Ka terkekeh.

Gua bingung, “Maksudnya gimana Mas?”

“Kamu nyodorin kepalan pas aku nyodorin kepalan. Itu artinya kamu siap melawan aku dengan keras. Kecuali kalau kamu begini…”

Mas Ka membuka kepalan tangannya, dan menyodorkan tangan terbuka dengan telapak menghadap keatas,  beliau pun mengubah posisi tubuhnya. Dada mengahadap kedepan, tangan kiri tetap menyilang dada dengan mengepalkan tangan, seakan “mempersilahkan” gua untuk memulai.

“Put, kamu coba serang aku ya, aku isi sambut dari kamu pakai langkah yang udah kita latih selama ini.” Raut Mas Ka mendadak berubah menjadi serius.

Gua deg-degan, Mas Ka seakan-akan mengubah atmosfer yang biasanya dipenuhi penuh pembelajaran dan canda tawa menjadi tenang tetapi menegangkan.

“Mas Ka, aku mesti nyerang gimana nih?” Suara gua mendadak parau dan menunjukkan betapa bingung akan apa yang harus gua lakukan. Mendengar pertanyaan gua, kuda-kuda Mas Ka merendah, beliau tidak bergeming.

Akhirnya gua melakukan apa yang Mas Ka instruksikan, gua memasang kuda-kuda siap, dan gua melontarkan sebuah pukulan ke arah dada Mas Ka. Bet! Pergelangan tangan gua dirambet, dan sikut Mas Ka sudah di depan muka gua (ya karena Mas Ka itu tinggi, dan gua pada saat itu masih setinggi pohon singkong), secara reflek, gua menepis sikutan Mas Ka, dan tiba-tiba tangan Mas Ka merambet telapak gua dan mendorong pundak gua kesamping, dan bruk! Gua kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

“Hyeh hyeeeh Putra… kaget ya? He he he he” Mas Ka terkekeh sembari membantu gua berdiri,

“Katanya mau pakai langkah yang Mas Ka latih aku, kok aku belum apa-apa jatuh duluan coba.” Gua menggerutu sambil mengusap-usap pundak.

“Nah, Put, namannya juga lagi sparring, berarti harus bereaksi dong sama sambutan yang kamu kasih. Kan setiap orang enggak pasti memukul kearah perut, ada nanti yang tiba-tiba nendang, ada yang bisa ngerambet tangan kamu duluan. Intinya, kamu harus siap dengan apa yang orang mau kasih kamu.”

Mas Ka bersiap lagi, dan gua pun memasang kuda-kuda. “Put, sekarang kamu aku serang, nah, kamu harus bisa ‘ngisi’ pakai semua yang kita udah latih ya.” Sembari berbicara, Mas Ka melancarkan pukulan dengan pelan, “Ayo, dirambet tanganku.”

Instruksi beliau gua ikuti perlahan-lahan, setiap pukulan, egosan, kuncian, berhasil gua tangani dengan langkah-langkah yang Mas Ka sudah latih gua. Tiba di suatu gerakan, dimana Mas Ka menyerukan “Tendang!” dan karena gua dulu sempat ikut olahraga Korea yang diminati anak-anak karena banyak tendangan, gua reflek menendang tinggi.

“Put! Kalau Silat Betawi jangan nendang tinggi-tinggi! Bahaya!” Mas Ka menegur gua,

“Lho, kan Mas Ka yang bilang nendang. Ya aku tendang.” Dengan lugunya gua menjawab.

“Oke, coba deh kamu tendang lagi.” Mas Ka mendadak memicikkan mata dan memberikan senyuman yang licik dan khas.

Gua tidak ragu, gua lancarkan tendangan tinggi, dan Wut! Tiba-tiba badan gua sudah terbalik! Kaki diatas, kepala dibawah, dan pinggang gua sudah dipegangi Mas ka. Posisi yang sangat ajaib ini diiringi kekeh Mas Ka yang khas. “Keh keh keeeh Puuut… kamu udah aku bilangin jangan nendang tinggi-tinggi.. Hyeh hyeeeh.”

“MAS!! INI AKU DIAPAIIIN” Suara cempreng belum pecah itu keluar lagi dari mulut gua.

Hari itu kami menghabiskan berjam-jam (sungguh!) untuk berlatih sambut, sampai di satu titik, gua sudah sangat lelah, berdiri pun goyah. Mas Ka menyuruh gua pulang untuk beristirahat, dan gua menggowes sepeda gua dengan lunglai sampai di rumah.

Sesampainya gua dirumah, pas waktunya makan malam. Ibu pun bertanya setelah melihat tampang gua yang amburadul dan kemleh-kemleh (maksud gua, lemas), “Kamu habis latihan apa tadi? Kok lemes banget?”

Gua menjawab singkat sembari berusaha mengangkat sendok nasi, “Latihan sparring Ma.”

Ayah gua tersenyum sembari mengunyah, “Oh ya? Jadi kamu sekarang udah bisa apa?”

BERSAMBUNG…

 Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.

Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode III – “Gedik” dan “Sambut Isi”

Bab IV:  Gedik!

Tak terasa gua sudah 8 bulan berlatih bersama Mas Ka. Setiap latihan set latihan berubah, mereka menjadi lebih menantang, dan lebih banyak yang harus gua lakukan. Tetapi memang Mas Ka yang luar biasa, setiap latihan walaupun mungkin mengulang hal yang sama lagi dan lagi, gua tidak pernah bosan. Beliau selalu berhasil memancing rasa penasaran gua dan menantang gua untuk bisa lebih.

Gerakan demi gerakan diperbaiki,  tetapi dari cara Mas Ka melatih, beliau akan memberikan satu rangkaian gerakan terlebih dahulu, lalu aspek dari satu rangkaian itu akan dibedah dan dipertajam satu per satu.  Suatu kali kita berlatih, beliau sudah menambahkan lebih lagi variasi langkah silatnya. Rambet, sikut, lepas, dilanjutkan rambet, gepruk gentus, rambet patah sodok, GEDIK lancar.

Nama-namanya lucu, tetapi memang mereka dirancang sederhana dan mudah diingat. Zaman dahulu memang gerakan ini diperuntukkan untuk tarung jarak dekat yang praktis dan cepat, maka si pesilat pun harus cepat bisa. Sebutan-sebutannya pun “Betawi Banget”, gepruk gentus contohnya, sebenarnya pukulan yang dilancarkan ketika lengan lawan sudah dirambet, dan pukulan dilancarkan untuk mematahkan sendi sikut lawan dari dalam. Sederhananya, lengan lawan di’gepruk’ dan setelah itu dihantam dengan punggung kepalan kearah muka, sehingga muka lawan di’gentus’. Rambet – patah – sodok, dari rangkaian itu sudah jelas, setelah lengan lawan terkunci (diputar rambet), sikut dipatahkan dari bawah, dan titik dibawah ketiak lawan disodol (ini sakit banget lho).

Gedik. Nah, kita sudah masuk ke bagian paling penting dari Silat Tunggal Rasa. Setiap Mas Ka menggedikkan kakinya, bunyinya seperti kalau kita melemparkan atau menjatuhkan barang yang padat ke lantai: “Dug” atau “Dhum”. Sementara gedik gua bunyinya cemen, sama dengan suara kecipak air atau tepuk tangan yang keras: “Plek”.

Jengkelnya bukan main, sudah latihan hampir 9 bulan, tetapi suara gedik masih payah. “Mas, sebenarnya gedik tuh buat apa sih? Kenapa harus keras?” Mas Ka tersenyum, dan gua pun ditunjukkan sembari beliau menjelaskan.

Mas Ka mendekat,

“Gedik itu penting dan harus keras. Karena fungsinya itu begini, coba kamu deketan sini…”

Gua mendekat, dia memasang posisi siap, gua pun secara reflek begitu, dan tiba-tiba pisau kakinya sudah menekan jari-jemari kaki gua “… Coba kamu bayangin kalau aku gediknya keras, nanti bunyinya kamu ‘WUUAADOOW’ hahahahhaha.”

Gua tercengang. Gedik, begitu sederhana, begitu efektif. Menginjak kaki lawan.

“Tapi bukan itu doang, kalau nginjek kaki orang, semua juga bisa kan? Filosofinya begini…”

Mas Ka sembari menuang air minum, “Kita ini hidup dari bumi, dan nanti pada saatnya, akan kembali ke bumi untuk mengembalikan apa yang kita sudah ambil dari bumi. Gedik ini untuk mengingatkan kita kalau kita hidup di bumi ini, dan satu bentuk pernyataan diri kalau kita tetap harus menjejak bumi. Intinya, menjaga diri untuk tetap rendah hati. Selain itu, ini juga merupakan self-statement kalau kita lagi di gelanggang atau kalangan pendekar silat lain.”

Gua terdiam, sambil minum air dingin, gua berpikir. Seperti biasa, Mas Ka membaca pikiran gua lagi, “Mungkin kamu bingung kenapa gedikmu bunyinya kayak kaki bebek ya? Haha, itu sih gampang, masalah teknik saja kok. Kamu gedik jangan pakai telapak kaki lah, orang kalau diinjek pakai telapak kaki juga enggak sakit kan.” Gua mengangguk, dan Mas Ka menambahkan, “Kamu kalau mau gediknya mantep, gedik pakai pisau kakimu nih…” Beliau menunjukkan sisi pisau kaki yang digunakan.

“AHA!” Gua mendadak bersemangat, dan langsung mencoba gedik dengan teknik yang disarankan… dan bunyi yang terdengar adalah ‘duk’ pelan. Mas Ka tersenyum lebar, “Nah, itu udah mulai bagus suaranya! Tapi masih mendem yah? Hahahaha.” Gua ikut tertawa.

Latihan hari itu selesai, dan Mas Ka menutup dengan pesan yang pada saat itu gua tolak, tetapi sekarang gua terus ingat: “Kamu jangan latihan terus ya dirumah. Badan dan pikiran kamu juga perlu istirahat. Main lah sama teman-teman kamu, jalan ke mall kek, nonton anime baru kek, baca komik kek, yang penting istirahat dan enggak mikirin latihan dulu. Harus seimbang ya.” Tetapi ya begitulah anak umur 11 tahun yang keras kepala, gua cuman “Iya Mas.” Dimulut, tetapi bersikeras latihan di rumah.

Setelah minum es teh manis yang menyegarkan dan ganti baju, Mas Ka melemparkan handuk kearah muka gua dan Set! Secara reflek gua berhasil mencengkram handuk itu, menangkapnya dan menariknya dengan cepat kearah badan gua. “Hiyah! Rambetmu udah jadi tuh! Hyeheheheheh.” Mas Ka berseru sambil tertawa girang, Rambet gua sudah matang! Ternyata banyak sekali yang gua pelajari hari ini. Bersama Mas Ka pun kita berseru: “TOS!

 

Bab V: Sambut Isi

 

Setelah 9 bulan berlatih, gua merasa bisa banyak. Langkah 1 sudah lancar, jurus-jurus sudah hapal dan gerakan mulai terlihat bagus. Arahan-arahan dari Mas Ka sudah mulai bisa diikuti dengan baik, dan set latihan mulai bisa dikuasai.

Suatu saat selesai latihan, gua pulang kerumah. Setelah menikmati makan malam bersama keluarga, orangtua gua bertanya: “Jadi, kamu sudah belajar apa saja sama Mas Ka?” Gua menjelaskan panjang lebar tentang latihan, apa saja yang dilakukan pada saat latihan, langkah apa saja yang sudah dipelajari, nama-nama gerakan, gedik, rambet, semuanya.

Ayah gua yang sepak terjangnya di dunia persilatan sudah lama melegenda ini meminta gua untuk menunjukkan langkah silat yang sudah dipelajari. Dengan penuh percaya diri, gua segera menunjukkan apa yang sudah gua latih selama ini. Setelah beberapa detik bergerak, ayah berdiri dari sofa.

“Bagus tuh gerakanmu” Beliau berkata sembari melihat gerakan gua.

“Oke, Papa mau tanya deh, gerakan itu tadi buat apa ya?”

Dan gua pun terdiam. Kepala kosong, selama ini yang gua pelajari adalah gerakkan yang kosong. “Belum dikasihtahu Pa, gerakannya untuk apa.”

Ayah gua tersenyum, “Besok tanya deh ke Mas Ka, Papa jadi pengen tahu juga hehe.”

Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.