Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Sepupu Sawerigading dari Filipina

Agen kita, Louie Buana menemukan banyaknya bukti yang mengindikasikan kedekatan hubungan masa lalu antara Sulawesi dengan negara asal penyanyi pop Christian Bautista ini. Filipina ternyata menyimpan sejarah persahabatan dengan Indonesia yang terentang sejak zaman La Galigo (pra-14 Masehi) hingga ke era Kesultanan Makassar.

Selama ini, ketika berbincang mengenai negara jiran acapkali pikiran kita langsung tertuju kepada Malaysia, Singapura maupun Brunei Darussalam saja. Negara-negara tetangga tersebut, karena adanya keterikatan ekonomi yang cukup kuat, juga karena sejarah masa lalu yang saling kait-mengait dengan Indonesia membuat kita merasa akrab dan hangat dengan mereka. Prof Emeritus Dato` Dr Moh Yusoff bin Haji Hasyim, President Kolej Teknologi Islam Antarbangsa Melaka pernah berkata bahwa dari segi silsilah, kesembilan sultan yang memerintah di Malaysia berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau. Kata “Melayu” bahkan telah sejak lama disebut-sebut dalam naskah La Galigo yang merupakan karya sastra sekaligus ensiklopedia masa lalu manusia Bugis sebelum kedatangan agama Islam di abad XVII. Di dalam salah satu episode La Galigo yang berjudul Mula Jajareng We Cimpau Nariabbeyang I La Galigo ri We Cudai, terdapat istilah Dangkang Malaju dan Dangkang Patani yang berarti pedagang dari negeri Minangkabau atau Melayu yang membawa bermacam-macam jenis barang.

Namun, tahukah Sobat Lontara bahwa ternyata Filipina yang jarang sekali terlintas di benak kita sebagai negara tetangga di masa lalu memiliki peran yang signifikan, bahkan menjadi bagian dari sejarah tanah air? Sebenarnya sudah sejak era kerajaan Sriwijaya dan Mataram Kuno terbina hubungan langsung antara Indonesia dan Filipina. Tidak hanya dengan Sumatera dan Jawa, salah satu hubungan antara Filipina dan Indonesia yang paling intens juga terungkap di Pulau Sulawesi. Sulawesi Utara yang letaknya tepat berada di selatan Mindanao dan di sebelah rantai Kepulauan Sulu jelas sudah tidak asing lagi dalam interaksinya dengan negeri jiran yang satu itu. Pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan keterkaitan antara jazirah Sulawesi bahagian selatan dengan Filipina.

Tausug, Taugiq dan Orang Bajo
Di “Provinsi” Wilayah Otonomi Muslim Mindanao, tepatnya di Sulu terdapat sebuah daerah yang bernama Luuk. Nama ini sekilas mengingatkan kita akan Luwu yang berada di Sulawesi Selatan, sebuah kerajaan kuno yang menjadi sentra kisah La Galigo. Tidak hanya itu, penduduk lokal Sulu bahkan menyebut diri mereka dengan nama Tausug alias orang-orang Sug. Nah, sekali lagi, hal ini mengingatkan kita dengan Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis menyebut diri mereka sendiri sebagai Tau Ugiq atau Taugiq, julukan yang konon diambil dari nama La Sattumpugiq, Datu ri Cina ayah mertua Sawerigading (tokoh utama dalam epos La Galigo). Selain nama yang mirip, baik orang-orang Tausug maupun Taugiq sama-sama memiliki reputasi sebagai penjelajah samudera dan bajak laut yang disegani di Nusantara.

Alkisah, orang-orang Tausug ini telah menjalankan perdagangan mutiara hingga ke Jambi dan Laut Cina Selatan sejak zaman dulu kala. Menurut beberapa catatan, orang-orang Bajau Laut juga telah hadir di Pulau Taguima (Pulau Basilan) dan bekerjasama dengan Orang Taguimaha sebagai penyelam mutiara. Orang-orang Bajo terkenal memiliki hubungan yang amat dekat dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, sebagaimana tercantum dalam naskah La Galigo dan lontaraq (kronik sejarah) kerajaan Gowa. Bahkan konon salah satu Karaeng Gowa dikabarkan pernah menikah dengan seorang gadis Bajo sehingga di garis keturunan raja-raja Makassar pun juga terdapat darah Bajo. Menurut almarhum Prof. Mattulada, masyarakat di Sulu banyak pula yang bergelar Opu (gelar kebangsawanan Bugis yang berasal dari Luwu) dan mengakui nenek moyangnya berasal dari Sung. Sung ini diperkirakan ialah Ussuq, tempat kerajaan pertama Bugis dinasti Sawerigading. Salah satu di antara tokoh Filipina dengan gelar ini adalah Opu Mastura, seorang pejabat setingkat Menteri yang menjabat di era 1980-an.

Pusaka Gowa Asal Filipina
Perdagangan mutiara menyebabkan orang-orang Tausug melebarkan sayap mereka untuk menaklukkan Pulau Panay, Manila dan Luzon, Cebu (kata asalnya Sug Bu), Butuan, Kalamianes, Visaya (naungan Sriwijaya) hingga Mindanao. Pada tahun 1368 Tausug pernah menyerang Raja Brunei yang bernama Awang Alak Betatar karena telah mencuri dua biji mutiara Sulu. Tumbuhnya Sulu sebagai sebuah kekuatan politik kemudian mengundang pula perhatian dari orang-orang Bugis untuk berlayar ke sana.

Orang-orang Bugis ini disebut kaum Baklaya dalam Bahasa Tausug. Hubungan baik terbina di antara kedua bangsa, salah satu buktinya ialah melalui perkawinan antara Sultan Badaruddin I dari Sulu dengan seorang wanita Bugis asal Soppeng. Konon, pakaian perang atau baju zirah milik Raja Bugis asal Wajo, Sulawesi Selatan yaitu La Salewangeng To Tenriruwa (1715–1736) tersimpan di Filipina. Baju perang kuno ini dapat teman-teman lihat di National Museum Of The Philippines, Rizal Park Avenue Manila, Filipina. Alkisah, setelah membantu Sultan Kudarat melawan invasi penjajah Spanyol tahun 1728, La Salewangeng To Tenriruwa kemudian menikah dengan seorang putri bernama Dayang Maharleka Sari dan kemudian menetap di Cagayan De Oro, di sebuah istana yang sekarang telah menjadi Balai Polisi Republik Filipina. source

Kebangkitan Makassar sebagai sebuah kerajaan maritim yang kekuasaanya meliputi sebagian besar kawasan Indonesia Timur pada abad ke-17 bersamaan pula dengan berseminya kekuatan Kesultanan Sulu. Di kala itu, Kesultanan Sulu dan Makassar memiliki reputasi sebagai pusat perdagangan budak terbesar di Nusantara hingga tahun 1800. Hubungan dekat antara kedua kerajaan ini ditandai oleh kehadiran sebuah benda pusaka yang perannya amat vital bagi status raja yang akan dilantik. Kerajaan Gowa (yang disebut dengan Makassar sejatinya adalah kombinasi antara dua kerajaan kembar yaitu Gowa dan Tallo) memiliki kalompoang (regalia) yang salah satunya berupa sebuah kalung emas bernama Kolara atau Rante Manila. Menurut situs web resmi Warisan Budaya Indonesia, Rante Manila adalah kalung pemberian dari kerajaan Sulu pada abad ke XVI di masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntung Tumappa’risi Kalonna, sekitar tahun 1510-1546.

Rante Manila, Pusaka Kerajaan Gowa saat akan dimandikan di upacara Accera Kalompoang. Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2012/06/11/setelah-sriwijaya-dan-majapahit-ada-kerajaan-gowa-469993.html

Benda dengan berat 270 gram ini merupakan benda pusaka kerajaan Gowa yang terpelihara dengan baik dan senantiasa dijunjung tinggi sebagai perlambang kejayaan kerajaan Gowa di masa lampau. Benda ini juga selalu diikut sertakan dalam upacara membersihkan regalia yang biasa disebut dengan nama accera kalompoang. Bentuk Kolara telah menjadi inspirasi para pengrajin tradisional Makassar untuk meniru bentuk dan fungsi benda tersebut, sebagai perhiasaan yang digunakan pengantin tradisional Makassar. Kehadiran Kolara sebagai salah satu kalompoang kerajaan Gowa sebenarnya menurut penulis pribadi tergolong unik. Perhiasan ini dihormati sedemikian rupa, seperti halnya penghormatan terhadap Mahkota Salokoa yang konon diturunkan dari langit oleh Dewi Tumanurunga ri Tamalate dan Pedang Sudanga milik Karaeng Bayo yang konon berasal dari dasar samudera.
Profesor Mattulada pernah menulis artikel menarik terkait fenomena kalompoang Gowa yang berasal dari Filipina ini untuk kepentingan acara Second Workshop on Malay Sultanates and Malay Culture di Makassar pada tahun 1978. Artikel tersebut berjudul The Significance of Kalompoang in The Existence of The Bugis-Makassar Sultanates. Pada salah satu bagian artikel tersebut beliau menulis bahwa ada beberapa macam tipe dan fungsi kalompoang, salah satunya:

The kalompoang was considered as symbol of strength, unity and friendship. They are flags, creese, sword, spear, shield and other war equipments; ornaments like ring, bracelets, necklace etc; and clothes like dress, songkok, sarong and so on.
This kalompoang shows the friendship between one country and the others.
In Gowa, the kalompoang collection shows the relation of friendship between the kingdom of Gowa and foreign countries, for example The Philippines with its rante manilaya (manila-chain), the British kingdom with its written golden plate, and different kingdoms in Indonesia like the Javanese and some others.

 

Filipina dalam La Galigo
Kurang afdhol rasanya jika kita tidak membongkar keterkaitan antara Filipina dan Indonesia dalam La Galigo. Lho, memangnya ada? Yup, sekurang-kurangnya ada dua nama tempat berlokasi di Filipina yang digambarkan memiliki hubungan dengan Sawerigading, Sang Putra Mahkota dari Kerajaan Luwu.

Dalam penjelajahan Sawerigading berlayar menuju ke negeri Cina untuk melamar Putri We Cudai, ia harus berhadapan dengan tujuh perompak ganas yang berasal dari Mancapaiq (Majapahit), Wulio (Buton), Jawa ri Aja (Jawa bahagian barat), Jawa ri Lauq (Jawa bahagian timur), Malaka, dan Apung. Setelah itu, ia melanjutkan pelayaran hingga kemudian bertemu dengan Tejjoq Risompa, pamannya yang menjadi penguasa negeri teluk besar Wewang Nriwuq di Selat Makassar. Menyusuri Selat Makassar, perahu Sawerigading terus naik mencari arah menuju Cina hingga kemudian bertemu dengan To Palinrungi I La Pewajo, Datuna Pao (penguasa negeri bernama Pao). I La Pewajo yang terhitung masih sepupu dua kali Sawerigading ini menyambutnya dengan ramah di tengah laut dan menunjukkannya arah ke negeri Cina.

Pada episode Pelayaran Sawerigading ke Negeri Maloku, diceritakan pula tentang sebuah negeri bernama Matasoloq yang dilewati Sawerigading dalam rangka menuju Maluku. Sawerigading tidak singgah di sana, namun ia melihat di bandar Matasoloq saat itu ramai oleh pedagang yang datang dari Patani dan Dammaq (Demak?). Di episode yang sama letak Matasoloq, Mallatunrung, Marasangi dan Maloku digambarkan saling berdekatan. Almarhum Fachruddin Ambo Enre di dalam disertasinya yang terkenal yaitu pembahasan naskah La Galigo episode Ritumpanna Welenrengnge meyakini bahwa Matasoloq (kadang-kadang juga sering ditulis ‘Soloq’ saja) yang dimaksud di sini ialah Sulu sedangkan Pao adalah Davao di Filipina Selatan. Adapun yang disebut Mallatunrung ialah Sulawesi Utara dan Marasangi ialah Sangir.

Filipina, ternyata tidak seasing yang kita kira. Tidak hanya mereka dahulu telah menjalin persahabatan yang diagungkan oleh pendahulu-pendahulu bangsa, namun bahkan diakui pula sebagai bahagian dari sebuah keluarga besar rumpun Nusantara. Indonesia dan Filipina yang sama-sama berupa negara kepulauan menyimpan banyak kemiripan yang menakjubkan, baik dari segi bahasa maupun keanekaragaman budaya. Sawerigading telah menegaskan makna kekeluargaan yang dimiliki oleh kedua bangsa dan bahkan dengan penuh kehangatan memanggil I La Pewajo dari Davao dengan seruan “kaka”, yang dituakan, sejak ratusan tahun yang lalu.

Taro aq ri tu ri nawa-nawa kaka Pewajo/ kupaccokong ri paricitta/ sompa makkeda I La Pewajo/ keruq jiwamu To Marajae/ cabbeng sumangeq to ri Langiqmu/ na i o kenneng ri tu maeloq/ le ri patudang ri nawa-nawa/ nasekkoqe pajung mpulaweng/ nalaleng iaq ga le temmaeloq/ le patudakko ri nawa-nawa
Berkata Sawerigading: “Simpanlah aku di hatimu kakak Pewajo/ biar mekar hati sanubariku”/ menyembah sembari berkata I La Pewajo/ “Kur semangat jiwamu wahai orang besar/ kemarilah semangat langitmu/ engkau sendiri yang menginginkan/ kusimpan dalam hati/ yang dinaungi payung emas/ apakah pantas jika saya tak mau/ menyimpanmu di dalam hatiku?”

 

Sumber:
All About Money: Maritime Trade in Makassar and West Java, Around 1775, Gerrit Knaap, http://end-of-empires-south-east-asia.wikispaces.com/file/view/All+about+Money-+Maritime+Trade+in+Makassar+and+West+Java,+around+1775.pdf 
Ayam Jantan Tana Daeng, Nasaruddin Daeng Koro, Ajuara: 2005
Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo, Nurhayati Rahman, La Galigo Press: 2006
Kesultanan Sulu, http://www.tausug-global.blogspot.com/
Raja-Raja di Malaysia Berdarah Bugis, Antara News, http://www.antaranews.com/berita/67980/raja-raja-di-malaysia-berdarah-bugis
Ritumpanna Welenrengnge, Fachruddin Ambo Enre, Yayasan Obor Indonesia: 1999

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Anak Kampung Makassar Era Hindia Belanda

Salah satu kontributor tulisan di web Lontara Project berandai-andai bagaimana rasanya jika ia hidup di daerah perkampungan tepi Makassar era Hindia Belanda. Mahasiswa sejarah ini berusaha menangkap atmosfer kehidupan di kala itu melalui cerita singkatnya. Mari simak tuturan kisah-kisah nostalgia yang mengalir dari imajinasi Arianto ini!

Aku bingung harus mulai dari mana untuk menceritakan kisah kehidupanku yang sudah berlalu puluhan tahun silam. Kepalaku sudah sulit untuk mengingat kembali beberapa kejadian penting di Kota Makassar, karena faktor usia yang semakin bertambah tua. Hanya sebagian kecil yang aku mampu ceritakan tentang kisah kehidupanku, sebagai warga perkampungan yang hidup di masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Aku tidak tahu dengan jelas sejak kapan bangsa kulit putih mulai berdatangan dan tinggal di Kota Makassar. Kami, anak penduduk perkampungan tidak tahu apa itu “kota”, yang kami tahu hanyalah tempat tinggal kami. Orang-orang tua menyebut tempat dimana kami tinggal dengan nama “kampong”.

Jalanan Kota Makassar zaman Hindia Belanda. Sumber: Koleksi KITLV

Kerap kali ku bertanya kepada orang-orang tua kami, apa itu kota? Orang tua kami sulit untuk menjelaskan seperti apa itu kota, bahkan mereka baru pertama kali mendengar yang namanya “kota”. Orang tua kami mulai mengenal nama “kota” sejak kedatangan orang-orang kulit putih dan pada saat itu orang-orang asing ini mulai menyebut Makassar sebagai Kota Makassar. Nama ini sungguh sangat asing bagi kami yang tinggal di perkampungan. Pengetahuan kami terhadap dunia luar sangat terbatas bahkan bisa dibilang sama sekali tidak ada, karena orang tua kami selalu mendidik untuk selalu menghormati adat-istiadat kami sebagai orang-orang Makassar.

Selain harus menjaga adat-istiadat Makassar, orang tua kami juga sering melarang kami bergaul dengan bangsa kulit putih. Entah apa alasan orang tua kami melarang hal tersebut. Pada malam hari, para penduduk kampung memilih untuk tinggal di rumah masing-masing. Kami berdiam diri di dalam rumah yang sederhana ini, menikmati angin malam yang menembus dinding rumah kami yang terbuat dari anyaman bambu. Banyak pula rumah-rumah peduduk yang terletak di antara pepohonan, dipagari oleh bambu yang mengelilingi rumah mereka.

Melewati malam yang panjang, di dalam rumah penduduk kampung hanya ada pelita minyak yang menjadi alat penerangan. Jauh di sebelah selatan perkampungan penduduk, sorotan cahaya terlihat di antara rumpun-rumpun bambu. Kami menikmati kerlap-kerlip sorotan cahaya lampu itu di sela-sela dinding rumah. Cahaya lampu tersebut berasal dari sekitar benteng di antara rumah-rumah penduduk  Eropa. Sebelum kami tertidur para orang tua kami biasanya akan bercerita tentang orang-orang kulit putih yang tinggal di sekitar benteng. Mereka adalah orang-orang yang kejam. Mereka berperang melawan orang-orang Makassar dan kemudian merebut istana-istana penguasa kerajaan bapak-bapak kami.

Sungai Tello, Makassar. Sumber: Koleksi KITLV

Kisah-kisah peperangan antara orang-orang Makassar dengan bangsa kulit putih sering kali diperdengarkan di perkampungan melalui alunan musik tradisional orang-orang Makassar yang disebut sinrilik. Ketika alunan musik ini memecah kebisuan malam, orang-orang tua mulai duduk melingkar menikmati untaian nadanya, tenggelam dalam pengisahan akan peperangan beberapa abad yang lalu. Tidak sedikit dari orang-orang tua yang larut dalam pengisahan ini, seakan-akan mereka hadir di masa lalu itu, di tengah-tengah medan peperangan. Raut muka mereka menunjukkan kesedihan dan dendam lama mulai terbakar di dada mereka. Seolah-olah kabut peperangan mulai menyelimuti perkampungan kami dan mungkin inilah alasan orang tua kami melarang bergaul dengan orang-orang kulit waktu itu.

Roda waktu terus berjalan dari tahun ke tahun, wajah Makassar meninggalkan masa lalunya dari masa kerajaan ke masa modern. Bangsa  Eropa kini mulai membangun berbagai gedung yang mengagumkan bagi kami penduduk kampung. Jalan-jalan yang berada di sekitar benteng Rotterdam mulai diperbaiki, deretan bangunan rumah-rumah orang-orang Eropa berderet-deret rapi berwarna putih di antara pepohonan. Susunan rumah mereka sangat rapi berjejer dari arah barat Kota Makassar sampai ke sebelah timur kota. Tempat orang-orang Eropa ini dikenal dengan Kampung Belanda.

Kehidupan kami dengan orang-orang ini sangat jauh berbeda, mereka dapat mengubah segalanya dan menciptakan peradaban baru di Makassar. Meskipun leluhur kami mengutuk orang-orang asing ini atas kekejaman peperangan pada waktu itu, akan tetapi kami sebagai generasi yang terlahir di zaman ini penuh kekaguman atas apa yang mereka ciptakan. Dari kejauhan kami terus memandangi bangunan-bangunan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada pohon-pohan yang tumbuh di sekitar perkampungan penduduk. Pertanyaan-pertanyaan sering muncul di kepala kami, salah satunya: bagaimana cara orang-orang ini dapat membangun gedung-gedung setinggi itu?

Gedung Pengadilan Belanda di Kota Makassar. Sumber: Koleksi KITLV

Di perkampungan kami tidak  ada satupun di antara orang-orang tua yang mampu melakukan hal tersebut. Kehidupan penduduk kampung hanya berputar di situ-situ saja. Gubuk-gubuk yang reyot di antara pohon-pohon kelapa dipagari bambu. Jalan-jalan yang menghubungkan dengan rumah penduduk lainnya bertebaran debu, terkadang berlumpur di saat musim hujan. Kami sebagai warga kampung tidak menyadari akan pentingnya kebersihan, anak-anak kecil tanpa busana dibiarkan bermain-main ke sana-sini di sekitar halaman rumah.

Di akhir abad ke-19 Kota Makassar berkembang dengan pesat dan sudah dilengkapi berbagai fasiltas kota. Alat transportasi seperti mobil mulai didatangkan dari Eropa sana. Kapal-kapal dagang terus berdatangan dari segala penjuru di pelabuhan Juliana Cade dan Wilhelmina Cade (sekarang Pelabuhan Soekarno-Hatta). Di sepanjang garis pantai berdiri deretan kios-kios saudagar Arab. Perkembangan Kota Makassar yang pesat menembus sekat kehidupan di perkampungan, warga kampung pun mulai bergaul dengan orang-orang Eropa. Sekolah-sekolah untuk penduduk kampung didirikan, yang dikenal dengan nama “Sekolah Rakyat”, anak-anak kecil pun mulai diajar bahasa Indo. Pengetahuan kami mulai terbuka dan bahkan sebagian dari penduduk kampung mulai mengenal budaya orang-orang Eropa. Tidak segan-segan sebagian orang-orang mulai mengikuti cara berpakain orang-orang Eropa tersebut.

Anak kecil pribumi di upacara penyambutan Gubernur Jenderal de Graeff. Sumber: Koleksi KITLV

Cerita kehidupan kami sebagai warga kampung adalah kesan bagiku, yang pernah hidup di fajar kemunculan peradaban Eropa yang mutakhir. Seingatku, Kota Makassar di masa Pemerintah Hindia-Belanda adalah kota terindah yang pernah berdiri kokoh di kawasan timur Nusantara. Fantasi Kota Makassar di masa lalu tidak kalah canggih dengan wajah Kota Makassar pada hari ini. Orang-orang Eropa dari berbagai belahan dunia kagum atas pernak-pernik Kota Makassar yang dilengkapi berbagai fasiltas yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda. Mereka bahkan  memberikan julukan kepada Kota Makassar sebagai Kota Paris yang berdiri dikawasan timur Hindia-Belanda. Lalu, anakku, bagaimana dengan Kota Makassar-mu pada hari ini?

 Arianto, alumni program studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar angkatan 2014. Punya kegemaran membaca. Bisa dijumpai lewat akun facebooknya Antho Imagined.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan Old Stuff Good Stuff

Datu Museng, Riwayatmu Kini…

Banyak hal menarik yang bisa dituliskan tentang Kota Makassar, dengan melihat dan mengamati hal yang kecil dan sederhana atau yang mungkin sebagian orang belum mengetahuinya. Kali ini saya akan membahas tentang Datu Museng dulu dan Datu Museng sekarang. Ada yang melekat dan tak bisa terpisahkan dari sosok ini. Nama Datu Museng terkenal melalui kesenian tradisional sinrilik. Sinrilik yang merupakan musik tradisional Sulawesi Selatan ialah sebuah tradisi lisan Makassar yang cukup digemari. Sinrilik adalah genre narasi populer orang Makassar yang biasanya berirama dengan satu tekanan bunyi untuk lima atau enam suku kata, yang di antarai dengan satu tekanan bunyi untuk delapan suku kata. Tema Sinrilik biasanya merujuk pada kejadian-kejadian yang berlangsung dimasa “Kompeni”, nama populer VOC. (Thomas Gibson “Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara”).

 
Merunut pada kisah-kisah yang disajikan dalam sinrilik, Datu Museng dikenal dimasa mudanya dengan nama Baso Mallarangang. Datu Museng adalah pelayan setia Datu Taliwang Sultan Sumbawa yang menjabat pada tahun 1761-1766. Datu Museng ialah seorang pribadi yang taat pada agamanya, pemurah dalam berderma kepada orang miskin, mengasihi orang malang serta berpaling dari larangan dan menghindari keburukan. (Thomas Gibson “Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara”). Sinrilik Datu Museng ketika pertama kali mendapat perhatian orang Eropa pada tahun 1850-an. Ketika itu para misionaris Belanda mencatat dua versi berbeda sinrilik ini. Matthes mengumpulkan sejumlah besar naskah lokal yang tertulis dalam aksara lontara. Ia juga menyewa penulis lokal untuk mencatat beragam sastra lisan, khususnya sajak-sajak pendek, kelong, dan epik-epiknya. Sajak-sajak, kelong dan epik-epik tersebut memberikan gambaran atas tradisi di Sulawesi Selatan.

 
Muncul pertanyaan: mengapa Matthes tertarik untuk mencatat sinrilik Datu Museng? Matthes tiba di Makassar pada tanggal 20 Desember 1848. Ia adalah Sekertaris Lembaga Alkitab Belanda. Pada bulan Oktober 1847 oleh Lembaga Alkitab Belanda ia bersedia diutus ke Sulawesi Selatan untuk mempelajari dan mendalami bahasa-bahasa Sulawesi Selatan dan kemudian menyalin alkitab ke dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. (Hidup dan Kehidupan B.F. MATTHES Di Sulawesi Selatan oleh: Van Ben Bri). Berawal dari ditugaskannya Matthes, Gubernur Van Clootwijk kemudian memerintahkannya untuk melakukan penyusunan kompilasi risalah hukum setempat agar dapat  digunakan oleh para pengawai VOC yang bertugas di daerah-daerah jauh. Saking cintanya ia terhadap Sulawesi Selatan. sampai-sampai Mathes pun balik ke Sulawesi Selatan serta ingin menjabat sebagai Direktur Sekolah Pendidikan Guru di Makassar.

 
Suatu hari di bulan Agustus 2014 saya bertemu dengan teman seperjuangan ketika kuliah di Ilmus Sejarah Unhas, namanya Arianto. Ada banyak hal yang kami diskusikan, salah satunya tentang beberapa tokoh-tokoh di Sulawesi Selatan dan Datu Museng. Dalam diskusi tersebut Arianto mengatakan bahwa “Dalam perdebatan masalah historiografi Indonesia, sebagian besar sejarawan lebih cenderung melihat sebuah peristiwa sejarah dengan konsep “Indonesisentris”. Pandangan ini lebih menenkankan kepada bahwa sejarah Indonesia seakan-akan adalah produk murni, dimana orang-orang Indonesia adalah pencipta sejarahnya sendiri. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah Indonesia tidak lahir dengan sendirinya tetapi banyak pengaruh dari luar yang mendorong munculnya kesadaran nasionalisme. Yang lebih fatal lagi, tulisan-tulisan sejarah yang selalu disodorkan hari ini banyak yang hanya membahas peristiwa-peristiwa besar.  Para sejarawan lebih cenderung mengangkat realitas sejarah bukan hasil dari sebuah  perdebatan akademisi. Tetapi mereka lebih meluangkan waktunya menulis sejarah hanya semata-mata hasil dari sebuah proyek. Pada akhirnya produk-produk sejarah sama-sekali tidak menghasilkan sebuah kesadaran sangat penting, malah yang tercipta hanya karya sejarah yang sifatnya dapat dijadikan sebagai legitimasi untuk mengguatkan para penguasa.”

 
Ada kesedihan tersendiri bagi penulis ketika melihat dan membaca beberapa buku baik itu sejarah kota Makassar dan tokoh atau pejuang Sulawesi Selatan. Contoh misalnya buku Profil Raja dan Pejuang Sulawesi Selatan yang diterbitkan di tahun 2004, tak sedikitpun terdapat nama Datu Museng dalam tulisan tersebut. Terkadang banyak penulis atau sejarawan baru menulis jika terdapat sebuah proyek dari pemerintah sehingga seringkali mengakibatkan terjadinya pembodohan publik. Pada tanggal 14 Agustus 2014 saya bertanya ke salah satu daeng becak yang tengah berkumpul di depan kantor kelurahan tempat dimana Datu Museng dimakamkan. Pak dimana Makam Datu Museng? Tanya saya. Salah seorang tukang becak itu kemudian menjelaskan ada lorong kecil sebelah kanan di situ ada kuburan, itulah kuburan Datu Museng. Dari tempat saya bertanya, tidak jauh berjalan kaki saya langsung mendapatkan makam tersebut.

Makam Datu Museng dari Kejauhan

Dari arah utara jalan Somba Opu di Kota Makassar sekitar 20 meter terdapat Jalan Mochtar Lubis. Tak jauh dari jalan tersebut sekitar 5 meter, terdapat Makam Datu Museng yang terletak di jalan Datu Museng. Ketika kita bepergian ke jalan Datu Museng yang terlintas dalam pikiran adalah pusat kuliner kota Makassar atau Sop Ubi Datu Museng, atau Mie Titi Datu Museng dan lainnya. Padahal Makam Datu Museng sendiri terdapat di lingkungan jalan tersebut. Berdekatan dengan gerbang selamat datang di Pusat Kuliner Kota Makassar tak jauh dari sana, di antara warung asongan dan warung nasi kuning Losari nampak sebuah kamar kecil dengan tembok berwarna oranye yang sudah pudar, dipagari dengan pagar besi berwarna hijau, serta sebuah genteng yang berwarna hijau. Terdapat papan nama kecil pas di depan pintu yang betuliskan “Makam Datu Museng” dengan warna emas berdasar papan berwarna merah. Kondisi makam Datu Museng sangatlah menyedihkan. Ketika saya berkunjung, debu yang menempel di lantai dan dinding makam sangatlah tebal, selain itu sampah berserakan di depan pagar makam Datu Museng. Terdapat beberapa kantong plastik hitam dan sampah-sampah lainnya. Lebih parahnya lagi limbah dari rumah makan yang berdekatan dengan Makan Datu Museng mengalir di beberapa bagian pagar tersebut.

Kayu nisan dan Kondisi Makam Datu Museng dari dalam

Ketika Masuk ke dalam Makam Datu Museng saya melihat sebuah tempat dupa dan terdapat sebuah kotak amal yang berwarna hijau. Di atas Makam Datu Museng juga terdapat kelambu yang berwarna putih dan besinya berwarna hijau dengan empat tiang berdiri tegak di setiap sudut makam Datu Museng. Terdapat pula karpet plastik yang berwarna hijau. Bau khas dedaunan pandan amat menusuk hidung. Melihat kondisinya yang seperti ini, tak bisa penulis membedakan yang mana batu nisan Datu Museng dan kekasihnya, Maipa anak dari kesultanan Sumbawa. Batu Nisan Datu Museng dan Maipa hanya ditandai dengaan kayu berwarna hitam dan tak adapun tanda nama yang tertulis dalam kayu tersebut.

Nisan Datu Museng

Bahwasanya di Jalan Datu Museng tersebut terdapat makam tak terawat Datu Museng, tokoh yang menginspirasi bagi para seniman dan tetua-tetua Suku Makassar lewat alunan sinrilik sungguh amat mengiris hati. Padahal kota Makassar bisa mengangkat kisah percintaan Datu Museng dan Maipa Deapati sebagai identitas kota yang menonjolkan kebudayaan lokal, jika benar-benar jargon “Makassar Kota Dunia” ingin diwujudkan. Kisah cinta keduanya yang abadi bisa mendatangkan wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mengunjungi ke Kota Makassar. Seharusnya pemerintah Kota Makassar (dan tentunya juga masyarakat sekitar) lebih mnemperhatikan situs peninggalan sejarah termasuk makam-makam yang lainnya. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi yang harus peduli terhadap kota ini?

 

Anna Asriani de Sausa, atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini   merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung dengan para Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.