Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Mencari Referensi tentang La Galigo

Sejak berdiri pada akhir tahun 2011 lalu, Lontara Project telah banyak sekali menerima pertanyaan yang sama dari para pembaca setia maupun dari orang-orang yang sekedar penasaran dengan La Galigo. Setelah La Galigo diakui oleh UNESCO sebagai Memory of The World, dalam sekejap berbondong-bondong pemuda Indonesia bertanya-tanya akan nasib karya sastra ini. Liputan-liputan di televisi, tulisan-tulisan di koran hingga postingan-postingan di blog dan media sosial beramai-ramai membahas tentang La Galigo sebagai harta karun kesusastraan Indonesia yang hilang. Nah persoalannya kemudian: seberapa akurat kah informasi-informasi yang beredar di luar sana, utamanya yang berada di dunia maya?

 
Kesulitan untuk mendapatkan informasi yang aktual dan terpercaya mengenai La Galigo dirasakan bahkan oleh para pendiri dan anggota Lontara Project. Mengapa? Ini disebabkan oleh keterbatasan sumber ilmiah yang dapat dipakai sebagai rujukan. Ambil contoh, buku. Sebagai media keilmuan yang paling mudah dan murah untuk diakses, di toko buku-toko buku besar tanah air, kita tidak dapat menemukan buku yang membahas mengenai La Galigo. Belakangan ini di Gramedia muncul dua jilid novel berjudul I La Galigo yang sebenarnya hanya menyingkat dan mengubah epos tersebut ke bentuk dan bahasa yang ngepop. Meskipun cukup menghibur, masyarakat luas tetaplah membutuhkan sumber-sumber ilmiah sebagai rujukan utama untuk meresapi keadiluhungan serta keistimewaan epos asli Nusantara ini.

 
Pada kesempatan ini, tim kami akan membocorkan referensi berupa buku, artikel, maupun makalah ilmiah yang kami jadikan sebagai sumber informasi berharga. Sebenarnya ada banyak peneliti asing maupun dalam negeri yang mengkaji La Galigo, namun kami hanya akan membatasinya kepada beberapa orang tokoh saja yang karyanya paling sering kami gunakan selama tiga tahun belakangan.

 
Sumber Referensi Buku
Untuk buku, ada empat serangkai tulisan buah karya ibunda Profesor Nurhayati Rahman yang boleh dikatakan merupakan tempat penggalian pertama serta tempat penyocokan akhir kami tentang segala hal yang berhubungan dengan La Galigo. Gaya tulisan beliau yang mengalir dan analisa yang tajam membuat keempat buku tersebut sebagai masterpiece terbaik tentang La Galigo yang ditulis oleh seorang putri Bugis sendiri. Keempat buku tersebut ialah:

 
Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah Meong Mpaloe, terbitan La Galigo Press tahun 2009.
Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa (1812-1876) Intelektual Penggerak Zaman, terbitan La Galigo Press tahun 2008.
Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo (Episode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina: Perspektif Filologi dan Semiotik), terbitan La Galigo Press tahun 2006.
La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, terbitan Pusat Studi La Galigo Universitas Hasanuddin, 2003.

 

Khusus untuk buku yang terakhir, Profesor Nurhayati Rahman bertindak sebagai sebagai editor bersama dengan Anil Hukma dan Idwar Anwar. Buku yang menurut kami merupakan sumber tunggal terlengkap mengenai La Galigo tersebut adalah kumpulan artikel ilmiah yang ditulis oleh berbagai macam akademisi untuk seminar internasional La Galigo yang pernah diadakan di Kab. Barru, Sulawesi Selatan tahun 2003. Di dalamnya ada artikel menarik mengenai bentuk kapal serta rute pelayaran Batara Lattuq menuju negeri Tompoq Tikkaq berdasarkan naskah La Galigo oleh Horst Liebner (seorang peneliti maritim asal Jerman yang juga mengkaji kapal-kapal karam VOC di perairan Indonesia serta perahu sandeq); hubungan antara bissu dan pewarisan tradisi La Galigo oleh Halilintar Latief; identifikasi tokoh Sawerigading oleh Prof. Mattulada; keterkaitan antara Sawerigading dengan tokoh-tokoh di cerita rakyat-cerita rakyat lain oleh James Danandjaja; dan masih banyak lagi.

 

La Galigo Press yang didirikan oleh Profesor Nurhayati merupakan salah satu usaha beliau untuk membumikan kajian La Galigo bagi khalayak umum. Sayangnya, buku-buku beliau tidak beredar secara nasional. Bagi yang ingin mengoleksi buku-buku tersebut, dapat langsung menghubungi La Galigo Press di Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10 Makassar (0411-585920, 588220) atau lewat email ke: galigo_2011@yahoo.com.

 
Buku berikutnya yang tak kalah penting jika berbincang masalah La Galigo ialah karya Prof. Fachruddin Ambo Enre berjudul Ritumpanna Welenrenge Sebuah Episoda Naskah Bugis Klasik Galigo terbitan Yayasan Obor Indonesia. Buku yang terbit tahun 1999 ini adalah hasil kerjasama antara Ecole francaise d’Extreme-Orient dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebelumnya kami juga sudah pernah mereview karya tersebut di web ini. Di lengkapi oleh peta-peta yang mengilustrasikan geografi Dunia Tengah berdasarkan naskah-naskah kuno, isi buku ini cukup lengkap dan terbilang yang paling kaya dengan informasi tentang La Galigo pada masanya. Buku ini masih beredar di kalangan umum, dimana kami pernah menemukan beberapa eksemplarnya yang tersisa di toko buku Toga Mas Gejayan, Yogyakarta.
Kekuasaan Raja, Syeikh dan Ambtenaar Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-2000 karya Thomas Gibson dari University of Rochester, Inggris merupakan sebuah simbiosa yang unik antara La Galigo dan kajian antropologi. Buku ini dipublikasikan dalam versi Bahasa Indonesia oleh Penerbit Ininnawa tahun 2009. Meskipun tidak membahas La Galigo dari segi filologi seperti kedua karya penulis lainnya di atas, Thomas Gibson memfokuskan penelitiannya akan hubungan antara La Galigo dengan pusat kebudayaan maritim lainnya di Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit. Ia juga membahas filosofi mendalam akan peran perempuan dan laki-laki, hubungan antara dunia laut dan pedalaman serta tradisi lisan La Galigo di kalangan pelaut-pelaut Bira, Sulawesi Selatan.

 
Selain itu, ada dua orang penulis lagi yang tidak mungkin luput namanya jika teman-teman ingin menyelami La Galigo lebih dalam. Ia lah almarhum Drs. Muhammad Salim, seorang penerjemah lontaraq yang amat besar jasanya mengalihbahasakan dua jilid naskah La Galigo yang tersimpan di Leiden (NBG 188) ke dalam Bahasa Indonesia. I La Galigo: menurut naskah NBG 188 Jilid 1 dan 2 terbitan Djambatan adalah buku wajib bagi teman-teman yang penasaran akan isi epos besar ini. Manusia Bugis karangan Christian Pelras La Massarassa Daeng Palippu adalah karya wajib lainnya. Di sini informasi mengenai La Galigo dipapar secara rinci, mulai dari perannya sebagai sebuah karya suci masyarakat Bugis pre-Islam, sebagai sebuah karya sastra serta sebagai sumber kajian sejarah. Peneliti berkebangsaan Perancis yang baru saja meninggal dunia pekan lalu ini menganggap La Galigo sebagai sebuah karya yang amat mengesankan, baik dari segi isi maupun panjangnya. Manusia Bugis yang diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok ini diterbitkan Penerbit Nalar (bekerja sama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient) pada tahun 2006.

 
Sayangnya, baik buku terjemahan naskah NBG 188 maupun Manusia Bugis kini sudah tidak dicetak lagi sehingga amat susah untuk mendapatkannya di pasaran. Apabila teman-teman memang berniat untuk mencari, pasar buku bekas Soping di Yogyakarta adalah salah satu tempat yang layak dicoba untuk menemukan karya-karya ini. Jikapun tidak menemukannya di sana, perpustakaan wilayah Sulawesi Selatan serta perpustakaan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Hasanuddin memiliki beberapa eksemplar karya ini.

Sumber Referensi Internet
Generasi muda hari ini yang serba instan, seringkali tidak sabaran dalam mengakses informasi. Teknologi internet dalam hal ini bagaikan pedang bermata dua bagi keakuratan informasi yang mereka peroleh. Berikut adalah hasil penelusuran kami mengenai sumber-sumber online yang dapat dipertanggungjawabkan isinya. Tulisan-tulisan mengenai La Galigo ini berasal dari ilmuwan-ilmuwan dunia yang nama dan gelarnya telah malang-melintang di jagad penelitian akademis selama bertahun-tahun. Kami sajikan nama peneliti yang bersangkutan berikut link tulisan-tulisan mereka.

 
Sirtjo Koolhof: kumpulan tulisan ilmiah yang amat bagus mengenai La Galigo, mulai dari segi sastra, sejarah hingga filosofi yang terkandung di dalamnya. Sirtjo Koolhof adalah salah seorang peneliti berkebangsaan Belanda yang turut berandil besar di dalam penerjemahan dua volume NBG 188 yang tersimpan di Leiden University Library. Link
Muhammad Salim: terjemahan dari salah satu episode La Galigo berjudul Pelayaran Sawerigading ke Senrijawa. Link
A.Zainal Abidin: salah satu peneliti senior naskah-naskah lontaraq dan La Galigo, seorang Guru Besar Universitas Hasanuddin yang juga pakar di bidang hukum. Artikelnya ini diterbitkan oleh Cornell University, Amerika Serikat. Link
David Bullbeack: kajian arkeologi di daerah Luwu yang merujuk pada tradisi La Galigo oleh profesor dari Australian National University (ANU). Link

Categories
101 La Galigo Featured I UPS! La Galigo Liputan

Masih Ada Harapan Untuk Pusaka di Indonesia

Pada bulan April, Lontara Project bekerja sama dengan berbagai institusi di tiga kota di Indonesia (Jakarta, Jogjakarta dan Makassar) merayakan World Heritage Day untuk kedua kalinya. Tahun lalu, bekerja sama dengan BPPI dan alumni Heritage Camp 2013, Lontara Project merayakan World Heritage Day di lima kota di Indonesia secara serentak. Meskipun ruang lingkupnya tak seluas tahun lalu, Lontara Project berhasil mengajak berbagai macam kalangan (utamanya generasi muda) untuk angkat bicara dan terjun langsung ke upaya-upaya pelestarian budaya melalui konservasi kreatif yang selama ini digadang-gadangkan oleh komunitas kami. Berikut liputannya.

Kembali ke Tempo Doloe di Makassar

Perayaan World Heritage Day di Makassar berlangsung meriah di halaman Museum Kota Makassar pada hari Jumat tanggal 18 April 2014. Berbagai macam jajanan tradisional hingga pernak-pernik yang seakan-akan sudah lama hilang ditelan zaman mendadak muncul kembali sore itu. Agen Lontara Project di Makassar yaitu Ran, Wulan dan Anna merangkul Museum Kota Makassar untuk bersama-sama membangkitkan kembali nostalgia masa lalu sebagai tema World Heritage Day tahun ini. Berseliweran orang-orang yang mengenakan kebaya dan berjarik batik, menaiki sepeda ontel hingga topi kompeni larut dalam alunan suasana masa lalu. Acara yang berlangsung meriah ini juga sekaligus merupakan salah satu usaha untuk menarik perhatian pemuda di kota Makassar agar mencintai sejarah serta tak segan berkunjung ke museum.

Lestarikan Tari Bali bersama BEM FIB UI

Lain di Makassar, lain pula di Jakarta. Agen Fitria bersama dengan Azmah dan rekan-rekan BEM FIB UI menyelenggarakan sebuah acara bertajuk penyelamatan Tari Ayu Bulan. Acara yang mengundang Komunitas Tari Ayu Bulan sebagai narasumber ini mengangkat tema Kenali Intangible Heritage Lebih Jauh dengan mendukung kampanye 9 Tari Tradisi Bali untuk diinskripsi UNESCO dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia 2015 yang dilakukan oleh Komunitas Tari Ayu Bulan. Acara diselenggarakan pada tanggal 23 April 2014 di Auditorium Gedung 9 FIB UI. Selain diskusi, ada pula pameran, bazar dan pertunjukan Tari Legong sebagai puncaknya. Sepanjang berlangsungnya acara, hadirin diharapkan untuk mengenakan pakaian atau aksesoris tradisional dari daerahnya masing-masing.

Obrolan Pusaka Jilid #2

Apabila tahun lalu di Makassar Agen Louie (Ahlul) merayakan World Heritage Day dengan mengadakan OBRAK (Obrolan Pusaka), maka tahun ini acara tersebut tetap berlangsung namun di lokasi yang berbeda. Bersama dengan Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa MAHKAMAH dan La Galigo Music Project, perayaan World Heritage Day berlangsung di Gedung 4 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada hari Senin, 28 April 2014 pukul 19.00. Acara yang terdiri atas pemaparan atas misi kebudayaan tim La Galigo Music Project ke Belanda tahun lalu serta pemutaran film bertema kearifan lokal “Jampi Gugat” itu diramaikan oleh berbagai peserta dari beragam universitas. Puncak kegiatan OBRAK ialah ketika peserta diskusi diberikan kesempatan untuk menunjukkan benda yang mereka anggap sebagai pusaka serta berbagi kisah tentangnya. Ada yang datang sambil membawa keris kecil berbentuk Semar, sebuah atlas dari zaman Belanda, buku terjemahan Serat Centhini, hiasan rumah kakeknya, uang Indonesia lawas, hingga kisah mengenai nama belakang keluarganya.

Presentasi La Galigo Goes to The Netherlands dan OBRAK #2 oleh kawan-kawan La Galigo Music Project di Jogja

Berkaca dari kemeriahan World Heritage Day yang dirayakan oleh Lontara Project secara kecil-kecilan, kami menangkap tingginya antusiasme generasi muda untuk mengumpulkan informasi maupun peduli terhadap sejarah bangsanya. Di tengah gempuran arus globalisasi dan invasi budaya populer Barat, seharusnya kita tak perlu ciut dan takut atas identitas kita sendiri. Kami positive thinking bahwa pelestarian pusaka di Indonesia yang kini berada di tangan generasi mudanya dapat terus berlangsung. Mungkin bentuknya tidak akan sama persis sebagaimana yang dulu pernah dipraktekkan oleh leluhur-leluhur bangsa kita, namun ini merupakan sebuah konsekuensi atas dinamika zaman yang akan selalu menuntut perubahan. Dari hati yang terdalam, Lontara Project akan terus berupaya mengawal harapan pelestarian pusaka tanah air oleh generasi muda.

Categories
Featured Liputan

Sederhana Adalah Ciri Kebenaran!

Ahmad Dara Sjahruddin, pria kelahiran Sumatera Barat tanggal 16 Agustus 1920, merupakan mantan walikota Makassar di era 1952-1957 . Sosok yang sangat bijaksana, tegas, bersahaja dan intelektual begitu melekat pada diri beliau. Tentunya kita tidak akan lupa selain pernah menjabat sebagai Walikota Makassar, dalam ranah akademik pun beliau menggoreskan tinta emasnya dengan menjabat sebagai rektor di Universitas Muslim Indonesia. Hingga saat ini ketika bersilaturrahim kerumah beliau untuk yang kedua kalinya, nampak raut wajah yang begitu gembira menyambut kedatangan kami. Suasana rumah yang begitu sederhana dan tenang. Nampak dari ruang tengah terpajang foto keluarga, foto pelantikan beliau ketika menjabat sebagai Walikota Makassar, dan beberapa kenang-kenangan dari kegiatan sosial lainnya yang masih sangat awet. Amat terasa sekali suasana kekeluargaan ditempat ini ketika kami disuguhkan sirup DHT, kacang goreng asin, dan kripik balado khas padang yang oleh beliau menerangkan inilah oleh-oleh khas dari Padang.

Bapak  Ahmad Dara Sjahruddin  berdomisili di Jalan Kenari nomer 4, Kota Makassar. Berseberangan dengan Rumah Sakit Hikma, kira-kira 15 Meter dari Jalan Arif Rate. Nampak rumah yang sangat sederhana, terdapat satu mobil yang terparkir di terasnya,  becak yang sering terparkir di depan pagar rumahnya, halaman yang berisi bunga-bunga berwarna hijau, dan saluran got yang tidak tertutup. Dari depan rumah beliau terlihat papan nama kecil yang tertulis A. Dara Sjahruddin. Ketika masuk, nampak sebuah lukisan portrait yang begitu mencolok. Ketika melihatnya, seakan-akan kita tengah memandangi sepasang aktor dan aktris Asia yang sungguh rupawan dari jamannya. Setelah tiba di ruang tengah, barulah kami tersadar, yang tadi itu adalah foto Pak Ahmad Dara dan mendiang istrinya saat masih muda dulu dalam bentuk lukisan.

Di siang hari setelah menunaikan sholat dzuhur di mushollah kediaman Pak Ahmad Dara, barulah kami mulai menyampaikan maksud kedatangan kami bersilaturrahim ke rumah beliau. Kami mengawalinya dengan terlebih dahulu memberikan surat mengenai kegiatan WHD yang akan diadakan pada tanggal 18 April 2014 di Museum Kota Makassar.

Pak Ahmad Dara & Istrinya, Helga Emerintia Blaset – semasa muda

Kegembiraan pun terpancar dari wajah beliau, sebab beliau tidak menyangka dewasa ini masih ada kalangan mahasiswa yang datang untuk memintanya hadir dalam kegiatan WHD. Beliau juga sangat antusias menyembut kegiatan WHD yang pertama kalinya dilaksanakan dikota Makassar. Di usianya yang sudah ke-94, Pak Ahmad Dara hanya mengalami gangguan pendengaran, sementara ingatan dan ucapannya pun masih sangat fasih. Seringkali saat berbicara, semangatnya meletup-letup. Kami pun banyak tertawa karena selera humornya yang tinggi. Apalagi saat membahas kondisi museum yang tengah kami garap sebagai tempat pelaksanaan acara. Bahkan, ditengah-tengah pembicaraan kami beliau masih sempat berpandangan kritis terhadap pembangunan kota Makassar saat ini, antara lain mengenai pembangunan infrastruktur kota yang banyak menimbun laut, juga saluran pengairan atau parit yang banyak ditimbun sebagai dampak dari maraknya pembangunan kota, “Got itu tidak bisa di tutup dengan semen, karena bagaimana kita bisa membersihkan kalau got tersebut ditutup” tutur pak Ahmad Dara. Selain itu beliau bercerita tentang supermarket yang banyak dan pedagang-pedagang yang terlupakan. Beliau mengatakan bahwa itu tidak bisa dibiarkan, karena mengancam mata pencaharian para pedagang asongan. Beberapa sindiran dilontarkan oleh Pak Ahmad Dara terhadap pemerintahan dewasa ini. Tentang gaya hidup para pejabat yang begitu bermewah-mewahan, sementara rakyatnya ada yang kelaparan di sudut kota yang lain. Atau yang begitu sibuk menggalakkan isu Go Green namun malah tidak memperhatikan mekanisme saluran pembuangan dengan baik.

Walau pada akhirnya, dengan berat hati beliau menyampaikan permohonan maaf karena kemungkinan besar beliau tidak bisa datang pada perayaan WHD dikarenakan faktor uzur, tapi beliau sangat bahagia karena setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya lahir sebuah gerakan yang berusaha mengajak generasi muda untuk kembali menikmati peran sejarah. Dengan sebuah undangan sederhana bergaya tempo dulu, beliau membacanya dengan begitu lugas. Dan kami pun merasa malu ketika beliau mengoreksi beberapa ejaan yang keliru. Rupanya Pak Ahmad Dara ini termasuk orang yang cukup teliti.

Sebelum mengakhiri perbincangan dengan kami, beliau memberikan pesan  bahwa sebagai generasi penerus bangsa hendaknya berkeyakinan bahwa “kesederhanaan itu adalah ciri dari kebenaran” yang dilafalkan dengan bahasa Belanda yang fasih. Kami sungguh merasa terhormat bertemu dengan salah satu saksi sejarah Makassar yang sekaligus pernah menjadi orang nomor satu di kota ini.

bersama Pak Ahmad Dara dan Lontara Project

Ah, terlalu banyak pelajaran yang belum kami dapatkan dari pengalaman hidup Pak Ahmad Dara yang bersahaja. Semoga kami masih diberi kesempatan untuk bertemu beliau di lain waktu. Senantiasa sehat dan diberikan umur yang panjang, Pak!

 

 

Anna Asriani, atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung dengan para Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.