Seorang warga Panakkukang yang sedang belajar hukum dan sejarah di Universiteit Leiden, Belanda. Sedari kecil sudah sering berpindah-pindah, dari Pulau Timor hingga Athens (Ohio, Amerika Serikat). Saat ini ia juga menjadi Guest Researcher di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian & Carribean Studies (KITLV) Leiden. Punya hobi jalan-jalan, membaca buku dan karaoke.
Bagi teman-teman yang peduli dengan budaya… Yuk manfaatkan waktu liburan kalian dengan ikut pelatihan ini! Silakan check postingan berikut bagi yang berminat 🙂 Dua pendaftar pertama melalui Lontara Project bakal free-charge lho!
MADYA merupakan singkatan dari Masyarakat Advokasi Warisan Budaya, didirikan pada tanggal 9 Januari 2009 di Yogyakarta, oleh para generasi muda yang prihatin dengan perlakuan diskriminatif bangsa ini terhadap warisan budaya bangsanya sendiri. Berawal dari aktifitas pengrusakan situs Trowulan oleh oknum-oknum yang bernaung dalam Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dengan dalih penyelamatan situs dan membangun Museum Pusat Informasi Majapahit (PIM). Ditambah bahwa persoalan-persoalan pengrusakan, pencurian, penghancuran situs, termasuk Harta Karun Bawah Laut, bukanlah merupakan kasus yang pertama kali terjadi. Tetapi kejadian ini telah berlangsung sejak lama dan terjadi di berbagai penjuru tanah air Indonesia tanpa ada keseriusan dan komitmen untuk menanganinya. Bahkan, karya budaya yang nyata-nyata merupakan hasil karya dari nenek moyang, yang secara geografis hidup di bumi Indonesia ini, diklaim milik negara lain, dibiarkan begitu saja. Keprihatinan-keprihatinan inilah yang kemudian menguatkan tekad untuk dibentuk sebuah wadah sebagai wahana mengkonsolidasikan diri untuk kegiatan-kegiatan advokasi terhadap warisan budaya.
Disadari bahwa dunia advokasi dalam upaya penyelamatan dan pelestarian warisan budaya merupakan hal yang baru. Untuk itulah dibutuhkan satu langkah strategis dan nyata mewujudkan hal tersebut melalui upaya pengembangan kapasitas dimulai dengan kegiatan PELATIHAN ADVOKASI WARISAN BUDAYA.
Diharapkan, dengan adanya pelatihan ini, peserta dapat memahami advokasi dan teknik atau strategi kerjanya serta manfaatnya bagi kebijakan maupun penyadaran publik.
Adapun kegiatan akan dilangsungkan pada: Hari : Jumat – Sabtu Tanggal: 10 – 11 Februari 2012 Tempat: Wism Yakes Kaliurang – Yogyakarta TERBUKA UNTUK UMUM
Pendaftaran dapat dilakukan melalui Sekretariat MADYA: Jl. Adisucipto, Ambarrukmo RT.07 RW.03 No. 377 (Kampung di depan Ambarrukmo Plasa), Catur Tunggal, Depok, Sleman – D.I. Yogyakarta 55281
atau email: madyaindonesia@yahoo.com; advokasiwarisanbudaya@gmail.com dan di cc ke: ika.junita.kartikasari@gmail.com
Pendaftaran paling lambat tanggal 7 Februari 2012. dengan biaya sebesar: Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah)
Bagi yang tidak dapat membayar full, Panitia menyediakan Subsidi dalam 3 Kategori yaitu: 1. Membayar 75 % atau Rp 75.000,- 2. Membayar 50 % atau Rp 50.000,- 3. Membayar 30 % atau Rp 30.000,- Peluang subsidi dapat diakses dengan mengirimkan permohonan mendapatkan subsidi atau keringanan biaya termasuk besaran yang diharapkan. Keputusan diterima atau tidaknya akan disampaikan oleh panitia melalui email berdasarkan pertimbangan yang rasional.
Jadwal Acara: 1. Perkenalan dan Membangun Komitmen Bersama Peserta 2. Pengertian Advokasi 3. Langkah dan Strategi Advokasi 4. Peraturan dan Kebijakan Pelestarian Warisan Budaya 5. Studi Kasus 6. Praktek Simulasi Advokasi Warisan Budaya 7. Sharing Permasalahan 8. Evaluasi dan Penutup
PS: TERBATAS HANYA UNTUK 25 ORANG Demikian informasi yang dapat kami sampaikan. ditunggu kehadirannya. Terimakasih.
Siapa bilang anak Makassar itu kasar dan doyannya cuma jotos-jotosan? “Muda, bisnis, dan budaya” adalah kata kunci yang tepat untuk menggambarkan tiga orang pemudi asal Sulawesi Selatan ini. Mereka berhasil membuktikan bahwa Makassar nggak selamanya all about kekerasan dan tawuran. Berbekal keberanian, kreatifitas, dan sedikit modal, mereka berbisnis sambil memanfaatkan kearifan lokal. Uniknya lagi, mereka mampu untuk membungkus kebudayaan dalam bentuk yang lebih casual. Penasaran? Yuk berkenalan dengan mereka 🙂
Ayu Azhariah
Dara yang terlahir tanggal 25 Desember 1988 ini memang luabiasa. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai mahasiswi S1 Akuntansi dan Sastra Jepang Universitas Hasanuddin, Ia masih sempat untuk menjadi volunteer di lokal chapter AFS Bina Antarbudaya Makassar dan aktif di Ikatan Mahasiswa Akuntansi. Tidak hanya itu, ternyata Ia juga berbisnis pulsa elektronik! Seakan belum cukup untuk mewadahi ekspresi kewirausahaan mandirinya, belakangan ini Ia menemukan sebuah bisnis baru. Bisnis alat kosmetik tradisional ala suku Bugis-Makassar: Ba’da Lotong.
Apa sih yang membuatnya begitu getol berbisnis di bangku kuliah? Awalnya memang hanya sekedar untuk mengisi waktu luang. Ekonomi sebagai background keilmuannya seakan-akan menuntut untuk diaplikasikan secara nyata. Keterlibatannya dalam berbisnis Ba’da Lotong pun berawal dari dukungan bibi salah seorang temannya. Ia menyatakan sanggup menerima tawaran berbisnis Ba’da Lotong di tengah maraknya kosmetik-kosmetik asing. Masih menurut gadis yang biasa dipanggil Ua ini, Ba’da Lotong memiliki segmentasi pasar tersendiri karena belum ada orang yang berjualan produk sejenis berbentuk kemasan rapi. Apalagi kosmetik ini tergolong barang tradisional yang sudah langka digunakan (dahulu hanya gadis bangsawan Bugis yang memakainya), selain karena ribet kalau harus diproduksi sendiri. Ba’da Lotong yang berarti Lulur Hitam ini tidak mengandung bahan-bahan kimia karena komposisinya terdiri atas beras, air dan jeruk nipis. Apabila secara rutin dioleskan ke tubuh, Ba’da Lotong berkhasiat memutihkan dan memperhalus kulit lho!
Ua mengaku senang memasarkan Ba’da Lotong. Produk ini merupakan produk tradisional, jadi sambil berbisnis bisa sambil memperkenalkan budaya daerah kepada teman-teman. Ada kepuasan tersendiri di dalam dirinya karena berhasil mempromosikan lulur hitam ini kepada generasi muda yang dulunya hanya mendengar cerita-cerita mengenai ramuan kecantikan dari orang tua mereka. Sasaran Ua dalam memasarkan Ba’da Lotong ialah kaum Hawa, khususnya dara-dara Bugis-Makassar. Tetapi, Ia mengaku masih tersendat beberapa hal dalam memasarkan Ba’da Lotong. Pertama, karena awam dalam hal bisnis, jika ada pesanan dari luar Makassar terkadang Ia bingung bagaimana dengan sistem pembayarannya. Selain itu karena Ia juga tergolong pemakai baru produknya, Ia takut mengungkapan keunggulan-keunggulan yang belum pernah Ia rasakan sendiri. Wah, ini nih yang patut ditiru pemuda dan pebisnis zaman sekarang: jujur apa adanya dengan produk mereka sendiri 🙂
Diandra Sabrina
Menjadi seorang “doctorpreuner”, itulah yang dicita-citakan oleh alumni SMA Negeri 17 Makassar ini. Meskipun sekarang tengah berstatus sebagai mahasiswi di Fakultas Kedokteran Umum Universitas Hasanuddin, Ia lihai memanfaatkan waktu luangnya untuk merambah dunia bisnis. Tidak tanggung-tanggung, Diandra yang pernah tinggal di Wisconsin, Amerika Serikat sebagai siswi pertukaran pelajar AFS ini berhasil mengemas kain tradisional khas Sulawesi Selatan dengan apik sehingga menjadi incaran para remaja gadis pecinta sepatu.Keinginan Diandra untuk berbisnis sepatu tidak muncul dengan tiba-tiba. Awalnya Ia diajak teman untuk mengikuti lomba wirausaha di kampus.
Konsep berupa “sepatu modis berbalutkan kain Sutera Sengkang” ternyata berhasil mengusung mereka menjadi pemenang. Bisnis yang Ia jalankan bersama empat orang lainnya ini (Nadia, Niny, Putri dan Chai) kemudian mereka lanjutkan karena prospeknya bagus. Dengan ide-ide kreatif, mereka berhasil menangkap antusisame gadis-gadis muda yang tidak bisa hanya memiliki sepasang sepatu dan memadukannya dengan daya tarik keunikan sepatu handmade. Mereka juga memanfaatkan momen ini untuk sekaligus mengembangkan Sutera Sengkang sebagai kain khas Sulawesi Selatan. Alhasil, lahirlah Ewako Shoes dengan jargon mereka “put some silk on your pretty feet.”
Produk sepatu handmade memang marak belakangan ini, akan tetapi yang mengombinasikannya dengan kain Sutera Sengkang baru Ewako Shoes. Di samping itu, produksinya pun terbatas, jadi nggak pasaran. Ewako Shoes tidak memproduksi sepatu bermotif atau berbentuk sama dua kali. Diandra mengaku bahwa setelah terjun di Ewako Shoes Ia jadi tahu lebih banyak tentang ilmu bisnis dan link pun menjadi lebih luas. Namun, satu hal yang membuatnya bangga adalah Ia dapat melestarikan sekaligus mempromosikan kebudayaan khas daerah kepada remaja-remaja lainnya. Kendala-kendala yang Ia hadapi dalam berbisnis dengan kearifan lokal ini antara lain ialah jadwal kuliah yang padat, serta bisnis serupa yang semakin banyak banyak saingannya. Selain itu, bahan baku utama berupa Sutera Sengkang masih belum terlalu banyak dikenal oleh masyarakat dibandingkan batik, produksinya pun masih terbatas. Tapi jangan khawatir, all shoe lovers, Ewako Shoes telah menyiapkan rancangan sepatu unik-sepatu unik lainnya di masa mendatang. Penasaran dengan produk-produk mereka? Silakan kunjungi http://ewakoshoes.webs.com/.
Marlisa Supeno
Manessa Ethnicbags, demikian nama merek dagang usaha yang dirintis oleh Marlisa Supeno. Gadis yang pernah mewakili Indonesia dalam ajang WSDC 2001 di Afrika Selatan ini menuturkan bahwa sejak masih duduk di bangku kuliah Ia telah terbiasa mencari penghasilan sendiri. Berjualan fashion item seperti baju, tas dan sepatu, diakuinya sebagai hobi.
Produk yang Ia produksi di Manessa Ethnicbags berupa tas Tenun Sengkang. Sedikit banyak Ia terinspirasi dari keindahan corak dan warna tenun sengkang itu sendiri, selain karena semakin maraknya trend tas etnik. Kepopuleran tas batik di pasaran membuatnya tergerak agar tenun sutera sengkang juga bisa mendapat tempat yang baik di kalangan masyarakat. Menurut dara yang akrab dipanggil Ica ini, bisnis yang Ia jalankan juga merupakan salah satu perwujudan dari idealismenya untuk melestarikan kekayaan budaya Sulawesi Selatan. Wah, sambil menyelam minum air ya!
Manfaat yang Ia dapat selama berbisnis tas etnik selain keuntungan finansial, yang paling utama adalah jaringan, dan semakin dikenal luasnya Tenun Sengkang. Kendati demikian, karena Ica menjalankan bisnis ini secara part time, pengelolaannya belum bisa maksimal. Ia belum sempat bertemu dengan pihak-pihak ataupun instansi-instansi terkait di Sulawesi Selatan untuk memperkenalkan produknya. Ia berharap, seluruh segmen masyarakat dapat menjadi target konsumen Manessa Ethnicbags. Keinginan terbesarnya ialah agar masyarakat luas dapat semakin cinta terhadap produk lokal Indonesia. Tiga kata yang tepat untuk menggambarkan produk-produk rancangan Marlisa Supeno? Ethnic, stylish, and fabulous! Yuk lihat koleksi-koleksi cantiknya dihttp://www.facebook.com/manessa.ethnicbags
Kamu mahasiswa Hubungan Internasional? Atau, kamu berminat untuk belajar diplomasi? Baca dulu dong artikel menarik kami yang mengupas “hubungan internasional” melalui perspektif nusantara ini!
Indonesia sebelum dijajah oleh Belanda merupakan kumpulan kepulauan yang di dalamnya terdapat beranekaragam kerajaan dan suku bangsa. Kira-kira, kamu bisa membayangkan bentuk negara kita seperti Benua Eropa dewasa ini. Nusantara yang luasnya dari Sabang sampai Merauke setara dengan jarak dari London ke Teheran ini terpecah-pecah ke dalam berbagai macam kesatuan adat. Begitu menyeberangi suatu wilayah, maka yurisdiksi, bahasa dan kebudayaannya pun juga telah berubah. Seandainya dulu kamu adalah seorang pedagang beras dari Mataram (Jawa) dan berlayar ke Sriwijaya (Palembang), kamu sudah dapat digolongkan berpartisipasi dalam “kegiatan bisnis mancanegara” lho!
Naskah Bergambar yang Bercerita Tentang Pelayaran Sawerigading ke Tana Cina untuk Melamar I We Cudai (koleksi Andi Makkaratte). Source: La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, 2003
Banyak suku bangsa asli nusantara yang gemar berinteraksi dengan budaya asing. Di Sumatera, bangsa Melayu dan Minangkabau masyhur dengan konsep merantaunya. Falsafah yang dipegang teguh oleh Urang Minang agar dapat beradaptasi dan survive di negri rantau adalah “dimano bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang”. Ada juga orang-orang Bajo (Suku Laut) yang menghabiskan sisa hidup mereka dengan melayari perairan Indonesia dari ujung barat hingga ke ujung timur. Mereka sebisa mungkin menghindari hubungan langsung dengan daratan. Politik antarkerajaan kuno berada di luar interest mereka, mengingat semangat hidup suku ini yang menjunjung tinggi kebebasan. Tidak heran jika mereka dijuluki sebagai sea-gypsies oleh Sejarawan Laut Indonesia, almarhum Adrian B. Lapian. Di antara bangsa-bangsa petualang tersebut, Suku Bugis-Makassar memiliki konsep Hubungan Internasional (HI) yang tergolong unik.
Orang Bugis-Makassar perantauan mengenal istilah “Malekke’ Dapureng” atau Memindahkan Dapur. Disebabkan oleh mobilitas sebagai pedagang dan pelaut amat tinggi, tidak heran jika banyak pelayar Bugis-Makassar tinggal di negri rantau hingga bertahun-tahun. Pelayaran untuk kembali ke negri tempat asal mereka tentunya memakan ongkos dan waktu yang lama, satu-satunya cara agar dapat terus bertahan dalam jaringan bisnis internasional itu adalah dengan berpindah habitasi yang disimbolkan dengan “berpindah dapur”. Konsekuensinya, lahirlah perkampungan-perkampungan Bugis di tanah asing, dimana pada koloni-koloni tersebut mereka tetap hidup dengan menganut prinsip-prinsip adat mereka sendiri.
Konsep Malekke’ Dapureng amat membantu di dalam mewujudkan stabilitas imigran Bugis di negri seberang agar mereka dapat dengan nyaman mempertahankan nilai-nilai dasar kebudayaan mereka seperti di kampung halaman. Akan tetapi, para pemukim Bugis-Makassar ini tidak lantas kemudian bertingkah laku semena-mena di negara asing yang menerima mereka. Local genius alias kearifan lokal masyarakat Bugis-Makassar nampak dengan hadirnya pepatah “kegisi monro sore lopie, kositu tomallabu sengereng” (dimana perahu terdampar, di sanalah kehidupan ditegakkan). Mereka berbaur dengan bangsa lokal, mengadopsi nilai-nilai baru dan membangun kehidupan melalui proses asimilasi yang berkelanjutan. Agar dapat mempelancar persatuan antara imigran Bugis-Makassar dengan komunitas baru, kaum pendatang ini dibekali tiga buah prinsip yang dikenal dengan nama Tellu Cappaq atau Tiga Ujung oleh nenek moyang mereka. Apa saja sih ketiga ujung tersebut?
Cappa Lila atau Ujung Lidah
Kue Bugis, Sarung Bugis, Muara Angke dan Badik Makassar sering terdengar di luar Sulawesi Selatan. Mengapa makanan tradisional yang populer di Sumatera diberi nama Kue Bugis? Jika ditanya kepada anak muda sekarang pasti jarang ada yang bisa menjawabnya. Suku Bugis-Makassar menempatkan “ujung lidah” sebagai metode pertama dan utama dalam berinteraksi dengan masyarakat asli tempat dimana mereka bermukim. Para imigran ini terbukti telah mempraktekkan diplomasi meskipun tidak pernah mempelajari teorinya secara formal. Komunikasi lisan menjadi kunci mereka agar dapat berhubungan dan hidup damai dengan komunitas lokal. Walhasil, tak heran jika perkembangan budaya daerah setempat pun saling bertautan dengan kehadiran orang-orang Bugis-Makassar. Nama-nama tersebut disematkan secara kultural oleh penduduk lokal yang telah familiar dan akrab dengan budaya Bugis-Makassar. Coba perhatikan nama Pante Macassar di Timor-Timur atau Bugis Street di Singapore. Kedua-duanya dikaitkan dengan pusat atau lalu lintas bisnis yang dipelopori oleh orang Bugis-Makassar!
Cappa Laso atau Ujung (maaf) Kelamin
Ternyata ada banyak sekali keturunan dari suku Bugis-Makassar yang berada di luar daratan Sulawesi! Siapa sangka kalau ternyata tokoh seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo adalah cucu dari Karaeng Galesong? Siapa sangka jika ternyata Sultan Johor, Sultan Pahang dan Sultan Selangor di Malaysia sekarang ini adalah keturunan dari bangsawan Luwu bernama Opu Daeng Cella? Dan siapa sangka bahwa Perdana Menteri Tun Abdul Razak yang juga merupakan salah satu pelopor berdirinya ASEAN ternyata memiliki darah ningrat dari Kerajaan Gowa dan bergelar La Tatta Ambarala Daeng Manessa? Untuk menghindari perselisihan antarkomunitas yang berbeda adat-istiadatnya, membangun hubungan kekerabatan merupakan metode terbaik. Pernikahan terbukti manjur dalam melanggengkan kekuasaan maupun membangun suatu dinasti baru. Di Aceh, permaisuri pertama Sultan Iskandar Muda yang berhasil membawa kesultanannya menuju zaman keemasan bernama Sendianak Daeng Mansur. Di Kampong Serangan, Denpasar sejak tahun 1700-an banyak terdapat keturunan Bugis-Makassar yang telah berkawin-mawin dengan penduduk Bali sehingga menghasilkan kombinasi nama yang unik seperti Made Yusuf dan Wayan Abdullah.
Cappa Kawali atau Ujung Senjata
Tidak banyak disebutkan di dalam pelajaran sejarah, akan tetapi di Thailand pada masa Raja Narai (Kerajaan Siam) pernah terjadi pemberontakan berdarah yang dipimpin oleh seorang panglima dari Sulawesi Selatan bernama Pangeran Daeng. Duta Besar Prancis untuk Siam pada abad ke-17 melaporkan kejadian tersebut dan menggambarkan orang-orang Makassar yang telah dikepung oleh pasukan Siam dan Prancis atas pemberontakan mereka sebagai pasukan yang mengerikan. Mereka lebih memilih untuk mati sambil menerkam beberapa orang sekaligus daripada menyerah. Mereka digambarkan sebagai sang pemberani dari suku-suku yang ada di belahan dunia Timur karena tidak bakal memberi ampun dalam berperang. Pada tahun 1740 keganasan serupa terjadi di Selat Malaka. Berikut ini cuplikan yang digambarkan oleh sejarawan Melayu pada sebuah pantun:
“Yaitu anak raja Bugis terbilang,
Lima beradik jadi hulubalang,
Dimana masuk tiadalah malang,
Nama yang mulia tiada hilang.
Tujuh konon perahu perangnya,
Cukup dengan alat senjatanya,
Serta dengan andre’ gurunya,
Beberapa juak-juak sertanya.
Juaknya bukan sembarang orang,
Anak dayang-dayang perangainya garang,
Berani bertikam sama seorang,
Sementelahnya biasa di medan perang.
Ke sebelah barat berlayarlah baginda,
Ke negri Riau bangsawan muda,
Lima beradik kakanda adinda,
Sampai ke Riau Raja Kecil pun ada.”
Di pulau Jawa, pasukan Bugis-Makassar pun terkenal karena keahlian mereka dalam berperang. Tak heran pada beberapa kesempatan sejarah, mereka disewa oleh Belanda maupun oleh Pangeran Trunajaya untuk memperkuat pertahanan negrinya. Hingga hari ini masih dapat kita temukan resimen Serdadu Bugisan dan Dhaengan di Kraton Ngayogyakarta Hardiningrat. Kampung Bugisan dan Daengan yang terletak di kota Yogyakarta pun tidak terlepas dari fakta sejarah peranan keberanian orang-orang Bugis-Makassar ini dalam mengabdikan kemampuan bertarung mereka kepada Sultan. Wuih, serem juga ya!
Seberapa relevankah metode Hubungan Internasional yang dipraktekkan oleh suku Bugis-Makassar melalui konsep Tellu Cappaq? Meskipun belum pernah diadakan penelitian mendetail mengenai pengaplikasian prinsip ini di dalam kehidupan masyarakat Bugis atau Makassar diaspora, akan tetapi kenyataan bahwa pemukiman keturunan bangsa pelaut ini tersebar dari Sabang sampai Merauke memberikan kita sebuah gambaran kesuksesan.
Seorang tua bernama Haji Madussila konon memegang teguh prinsip-prinsip lokal tersebut. Ia yang berasal dari Kec. Maniangpajo, Kab. Wajo Sulawesi Selatan pernah merantau ke Pontianak (1933-1941), kemudian ke Batu Pahat, Johor (1941-1973), ke Tembilahar, Riau (1973-1980), hingga terakhir bermukim di Lampung. Uniknya lagi, baru-baru ini Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui akun @usembassyjkt mengungkap bahwa presentase etnis Bugis-Makassar cukup banyak di antara masyarakat Indonesia yang tengah merantau di negri Paman Sam itu. Ingin membuktikan falsafah Tellu Capaq ala Bugis-Makassar? It’s your turn! 😉
Referensi: Kesumah, Andi Ima, Migrasi & Orang Bugis, Ombak, Yogyakarta: 2004 Koro, Nasaruddin, Ayam Jantan Tanah Daeng, Ajuara, Jakarta: 2006