Categories
101 La Galigo Featured Liputan Uncategorized

Pelaut Bajo, Bugis dan Mandar di balik Terciptanya Kapal Borobudur

Sobat Lontara, pernahkah kalian berkunjung ke Candi Borobudur di Jawa Tengah? Peninggalan sejarah dari era Dinasti Sailendra pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi tersebut didapuk sebagai monumen Buddha terbesar di dunia serta sebagai UNESCO World Heritage Site pada tahun 1991. Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya terletak di balik ukurannya namun juga pada filosofi dan ajaran-ajaran kebaikan yang dituturkan lewat kisah-kisah yang terekam pada relief di dinding candi. Menurut keterangan dari Balai Konservasi Borobudur, candi ini memiliki sekitar 1.460 panel relief cerita dan 1.212 panel relief dekoratif. Di antara sekian ribu relief tersebut, ada sebuah panel relief istimewa yang menggambarkan kejayaan peradaban maritim di Nusantara pada masa itu.

Relief Kapal Nusantara pada Galeri I Candi Borobudur

Pada tahun 1982, sebuah panel di Galeri I Candi Borobudur, tepatnya pada rangkaian relief yang mengisahkan cerita Jataka-Avadana, menarik perhatian seorang veteran Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang bernama Philip Beale. Relief tersebut menampilkan sebuah kapal berukuran besar dengan rincian layar, tiang layar, tali-temali serta kemudi yang amat khas Nusantara. Rasa penasaran kemudian menghantuinya sejak hari itu. Ia bermimpi untuk menciptakan sebuah replika berukuran asli dari relief kapal tersebut yang benar-benar dapat dilayari. Atas prakarsa bersama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, Philip Beale berkolaborasi dengan Nick Burningham (arkeolog dari Australia) kemudian memulai rencana mewujudkan gambaran pada relief Candi Borobudur tersebut sebagai kapal layar di tahun 2002.

Setelah membuat rancangan desain kapal dari relief tersebut, Philip dan Nick lalu mencari pengrajin kapal di tanah air yang masih mempraktekkan metode membangun kapal dengan cara tradisional. Mereka menemukan komunitas pelaut dan pengrajin kapal yang sesuai di daerah perbatasan antara Pulau Jawa dan Madura, tepatnya di Pulau Pagerungan Kecil. Pulau Pagerungan Kecil secara administrasi masuk ke dalam Kabupaten Sumenep, Madura. Penduduknya terdiri atas suku Madura, Mandar, Bajo dan juga Bugis. Keragaman lintas budaya mempererat persatuan masyarakat di pulau tersebut. Contohnya, banyak warga yang mengaku berasal dari suku Mandar namun berbahasa Bajo serta menggunakan perahu lete-lete yang merupakan desain lokal Madura. Masyarakatnya sudah begitu bercampur-baur dan hidup saling menghormati. Pak As’ad Abdullah, seorang pengrajin perahu keturunan Bugis yang lahir dan besar di Pulau Pagerungan Kecil terpilih sebagai pemimpin proyek pembangunan kapal Borobudur. Keterampilannya di bidang pembuatan perahu tradisional sudah tersohor di kawasan tersebut. Di Pulau Pagerungan Kecil yang berpasir putih dan dipenuhi oleh nyanyian pelaut itulah kapal Borobudur kemudian “dilahirkan”.

Nah, proses pengerjaan kapal Borobudur ini ternyata tidak akan dapat berlangsung tanpa kepandaian pelaut sekaligus tukang perahu dari kalangan warga Bajo dan Mandar. Tukang-tukang perahu yang terlibat berasal dari Pulau Pagerungan Kecil dan Pagerungan Besar, yang disebut terakhir ini adalah tempat dimana perahu khas Mandar tipe Pakur masih banyak ditemukan. Di Sulawesi Barat sendiri, kampung halaman suku Mandar, sudah tidak banyak perahu Pakur yang dapat dijumpai. Kayu untuk membuat kapal Borobudur dipesan oleh Pak As’ad Abdullah dari Pulau Sepanjang yang juga banyak dihuni oleh masyarakat dari suku Mandar.

Menurut catatan Nick Burningham, para tukang perahu dari suku Mandar dan Bajo ini bekerja dengan amat sangat rapi dan profesional, mereka dengan mudah dapat menyesuaikan cara memasang papan-papan pada perahu sesuai dengan rekonstruksi arkeologi atas temuan kapal-kapal kuno di Nusantara. Secara garis besar, bentuk kapal Borobudur meniru corak perahu Soppe khas Bajo yang telah digunakan selama berabad-abad lamanya. Tidak hanya itu, Pak As’ad Abdullah juga memberikan banyak sekali masukan kepada desain Philip dan Nick sehingga membuat bentuk kapal Borobudur menjadi lebih nyata. Beliau bahkan menjelaskan filosofi tradisional dari komunitas Bugis, Bajo dan Mandar akan anatomi perahu yang mengibaratkannya sebagai tubuh manusia. Tiap perahu pasti memiliki kepala, tulang punggung, dan bahkan pusar. Seperti halnya manusia, kapal Borobudur yang mereka bangun itupun memiliki sesuatu seperti “jiwa”. Kapal tersebut diberi nama Lallai Baka Ellau yang dalam Bahasa Bajo berarti: “Berlari bersama Matahari”.

Kapal Borobudur akhirnya selesai dikerjakan dalam kurun waktu enam bulan. Kapal tersebut akan dipakai berlayar menyusuri Cinnamon Route atau Jalur Kayumanis yang dulu pernah dilayari oleh kapal-kapal asal Nusantara menuju Afrika. Rute yang telah ditetapkan adalah dari Jakarta menuju ke Port Tema di kota Accra, ibukota Ghana. Pada tanggal 15 Agustus 2003, Lallai Baka Ellau mendarat di Ancol. Presiden Megawati meresmikannya pada tanggal 17 Agustus 2003 dengan nama baru yaitu Samudera Raksa. Nama tersebut diambil dari Bahasa Sansekerta yang berarti “Pelindung Lautan”. Setelah sukses melayari Samudera Hindia dan mengitari Tanjung Harapan, Samudera Raksa akhirnya membuang sauhnya di museum bernama sama di kawasan Candi Borobudur. Ia menjadi bagian dari pameran permanen Museum Samudera Raksa.

Dari cerita kapal Samudera Raksa, kita mendapatkan banyak pelajaran. Kehadiran kapal Samudera Raksa membuktikan bahwa nenek moyang kita pada abad ke-8 Masehi mampu berlayar menyeberangi samudera beribu-ribu kilometer jauhnya. Akan tetapi, ada pesan yang jauh lebih penting lagi dari kapal ini. Kapal Samudera Raksa adalah bukti yang merekam peran pengrajin-pengrajin perahu dari beragam sukubangsa di persada Nusantara yang masih terus melestarikan tradisi pembuatan kapal tradisional hingga hari ini. Tanpa kehadiran mereka, niscaya bangsa Indonesia tidak akan pernah mengambil bagian dari era kejayaan perdagangan Jalur Rempah dunia serta berpartisipasi dalam membangun masa depan negara yang berorientasi kepada pembangunan maritim.

Jalesveva Jayamahe!

Referensi:

Balai Konservasi Borobudur, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/candi-borobudur/

Samudra Raksa Ship Museum, https://borobudurpark.com/en/activity/samudra-raksa-ship-museum/

Ridwan Alimuddin, Mandar Nol Kilometer, Penerbit Ombak, 2011.

Nick Burningham, The Borobudur Ship Nusantara Memperluas hingga Afrika dan Kesenian Tinggi dalam ARUS BALIK (Borobudur Writers and Cultural Festival 2013).

Ghozi Ahmad, As’ad Abdullah dari Pagerungan Kecil keturunan Bugis Arab si Pembuat Kapal yang telah Mendunia, https://www.bajauindonesia.com/pagerungan-kecil-dan-asad-abdullah-si-pembuat-kapal-yang-telah-mendunia/

By Louie Buana

Seorang warga Panakkukang yang sedang belajar hukum dan sejarah di Universiteit Leiden, Belanda. Pernah mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat di bawah program AFS Youth Exchange & Study (YES). Saat ini ia juga menjadi Guest Researcher di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian & Carribean Studies (KITLV) Leiden. Punya hobi jalan-jalan, membaca buku dan karaoke.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *