Categories
101 La Galigo

Pinisi (Tidak) Diakui oleh UNESCO

Pada tahun 2017 silam, warga Indonesia berbahagia karena sekali lagi UNESCO mengumumkan kepada khayalak dunia bahwa salah satu bentuk kebudayaan dari Sulawesi Selatan diakui sebagai bagian dari Intangible Cultural Heritage of Humanity (Warisan Budaya Non-Bendawi). Lewat proses pengajuan dan penelaahan yang cukup panjang dengan melibatkan berbagai kalangan baik dari dalam maupun luar negeri, seni pembuatan perahu Pinisi yang diwariskan oleh leluhur masyarakat di daerah Tana Beru, Bira dan Batu Licin dikukuhkan sebagai warisan kebudayaan bagi umat manusia. Tidak tanggung-tanggung, tradisi pembuatan perahu Pinisi ini dianggap sebagai salah satu puncak bentuk kebudayaan maritim bangsa Austronesia sejak nenek moyang kita pertama kali bermigrasi ke Kepulauan Nusantara dengan perahu-perahu rakitan mereka dahulu. Pengakuan dari UNESCO tersebut memperkuat klaim budaya bahari yang menjadi karakter khas bangsa Indonesia di mata dunia.

Gambar Perahu Pinisi pada pecahan uang kerta Rp 100,00 (1992-2016)

Di tengah euphoria yang melanda tanah air atas pengakuan dari UNESCO ini, banyak yang tidak memahami bahwa sejatinya bukanlah perahu Pinisi itu sendiri yang masuk ke dalam daftar Intangible Cultural Heritage of Humanity melainkan seni pembuatan perahunya (art of boatbuilding). Umumnya, masyarakat mengira bahwa yang dianugerahi sebagai Warisan Budaya Non-Bendawi ialah perahu berjenis Pinisi dengan karakteristik “dua tiang dan tujuh layar” yang dapat kita temukan pada lambang Provinsi Sulawesi Selatan itu yang masuk ke dalam daftar UNESCO. Padahal, UNESCO tidak mengakui Pinisi karena karakteristik bentuk layar maupun lambung perahunya. Bentuk fisik Pinisi juga sebenarnya tidak murni dari peradaban maritim Austronesia karena telah mengadopsi beberapa unsur teknologi berlayar Barat. Contohnya seperti tipe layar sekunar perahu Pinisi, layar jenis tersebut tidak dikenal dalam tradisi Nusantara serta baru diadopsi sebagai layar Pinisi pada abad ke-19. Lantas, apanya dong yang membuat perahu ini istimewa? Pinisi menjadi unik di mata dunia karena keistimewaan proses yang melatarbelakangi lahirnya perahu ini.

Kecerdasan para pembuat perahu dari Sulawesi Selatan lah yang diapresiasi setinggi-tingginya dalam proses penciptaan Pinisi. Tidak hanya sebagai keterampilan untuk matapencaharian namun juga sebagai identitas budaya dan sentra dari kegiatan hidup sehari-hari mereka. Metode pembuatan perahu Pinisi yang dipraktekkan oleh masyarakat Tana Beru, Bira dan Batu Licin diajarkan lewat tradisi tutur dari orang tua-orang tua mereka bersama dengan filosofi yang dikandungnya. Pinisi yang mengadopsi beragam unsur teknologi pelayaran dari Eropa sekaligus menandakan keluwesan serta kemampuan nenek moyang para pengrajin perahu berhadapan dengan perkembangan zaman. Bagi mereka, Pinisi tidak sekedar hadir sebagai simbol namun juga sebagai living heritage yang terus hidup seiring nafas masyarakat penciptanya. Terlepas dari adanya pengakuan dari dunia internasional maupun tidak, seni pembuatan perahu Nusantara adalah warisan leluhur yang harus selalu kita pahami, resapi dan lestarikan untuk generasi berikutnya.

Gambar Perahu Pinisi tipe ‘Palari’ pada pecahan uang kertas $10,0 Dollar Singapura (1984-1999)

Bacaan lebih lanjut:

UNESCO Intangible Cultural Heritage, https://ich.unesco.org/en/RL/pinisi-art-of-boatbuilding-in-south-sulawesi-01197

Horst Liebner, Pinisi: Terciptanya Suatu Ikon, https://www.academia.edu/35875533/Pinisi_Terciptanya_Suatu_Ikon

By Louie Buana

Seorang warga Panakkukang yang sedang belajar hukum dan sejarah di Universiteit Leiden, Belanda. Pernah mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat di bawah program AFS Youth Exchange & Study (YES). Saat ini ia juga menjadi Guest Researcher di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian & Carribean Studies (KITLV) Leiden. Punya hobi jalan-jalan, membaca buku dan karaoke.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *