Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Raya and The Last Dragon dan Epos La Galigo

Sobat Lontara, beberapa bulan yang lalu Disney merilis sebuah film animasi berjudul “Raya and The Last Dragon”. Film animasi ini amat mengundang rasa penasaran karena untuk pertama kalinya Disney mengambil kawasan Asia Tenggara sebagai inspirasi cerita petualangan mereka. Spoiler warning! Raya, sang tokoh utama dalam film tersebut adalah gadis pemberani yang berupaya untuk menyelamatkan Kumandra, negeri fantasi yang menjadi latar cerita, dari mahluk-mahluk jahat bernama Druun. Demi mengalahkan Druun dan mengembalikan warga Kumandra yang terkena kutuk menjadi batu, Raya harus membangkitkan kembali Sisudatu, satu-satunya naga dalam legenda yang masih ada dan konon dapat mematahkan sihir Drun. 

Tahu kah teman-teman bahwa ada beberapa elemen dalam film Raya and The Last Dragon yang dapat pula kita temukan pada epos La Galigo? Sebagai sebuah karya sastra kuno masyarakat di Sulawesi Selatan, La Galigo menyimpan elemen-elemen kebudayaan Asia Tenggara yang unik dan khas. Artikel kali ini akan membahas beberapa kesamaan-kesamaan yang dapat kita jumpai pada film Raya and The Last Dragon dan epos La Galigo. Yuk, mari kita simak!

Sisudatu dan Naga

“Narirumpu na raung tangkiling

Nassirakkasi wéroni lakko

Ripalariang bajéq ri mangkeq to Senrijawa

Ripapasangeng sampuq patola kéteng ri naga.”


(Diasapilah dengan dupa kemenyan

Dikerubuti kipas keemasan

Dihembusi angin buatan orang Senrijawa

Dipakaikan kain sutera bersulamkan bulan naga)

-Volume I Naskah La Galigo NBG 188 koleksi Leiden University

Di Kumandra, naga adalah mahluk gaib yang memiliki hubungan erat dengan kekuatan alam, terutama air. Naga dapat terbang dan mengubah wujudnya menjadi manusia. Sisudatu alias Sisu adalah naga yang jago berenang serta dapat terbang di angkasa. Ia merupakan satu-satunya naga yang masih tersisa di Kumandra setelah bangsa naga berhasil mengalahkan mahluk gaib jahat bernama Druun.

Nah, sosok naga juga dikenal dalam kebudayaan Bugis lho. Dalam astronomi Bugis, naga adalah hewan mistis yang tinggal di langit sekaligus lambang dari galaksi Bima Sakti (Milky Way). Pada beberapa cerita rakyat, seperti halnya buaya, naga juga dianggap sebagai perwakilan dari Dunia Bawah. Epos La Galigo menyebutkan bahwa panji pangeran Sawerigading dari Ale Luwu bergambar seekor naga dan bulan (Kéteng ri Naga) sebagai simbol Boting Langiq (Dunia Atas) dan Toddang Toja (Dunia Bawah).

Pada rumah-rumah panggung milik golongan bangsawan Bugis, hiasan anjong atau pucuk bubungan atap dibikin berbentuk seperti naga sebagai simbol kekuasaan sang empunya rumah dan juga bermakna sebagai pelindung gaib. La Galigo menyebutkan bahwa hiasan naga terdapat pula pada kain-kain yang biasanya dipakai oleh keturunan dewata yang maddara takkuq (berdarah putih). Selain itu ada juga mitos di tengah masyarakat Sulawesi Selatan yang mempercayai bahwa gerhana terjadi akibat matahari/bulan ditelan oleh naga. Konon, sang naga menelan matahari/bulan karena ia marah dan kelaparan. Jika peristiwa tersebut terjadi, manusia di bumi harus mengadakan ritual Songka Bala (tolak bala) supaya sang naga cepat-cepat melepaskan kembali matahari/bulan. Apabila ritual Songka Bala tersebut tidak dilakukan, maka sang naga tidak akan mengeluarkan matahari/bulan dari perutnya sehingga akan terjadi kondisi pattang alias alam semesta ditelan kegelapan selama-lamanya!

Kekuatan gaib naga yang mahadahsyat tersebut juga sering dimanfaatkan untuk mantra-mantra yang berhubungan dengan perdagangan dan percintaan. Naga Sikoi’ adalah jimat pengasihan dan penglaris dalam tradisi Bugis yang bergambar dua ekor naga dengan ekor yang saling membelit. Apabila sudah terkena mantra dari jimat ini, dijamin si doi bakal mabuk kepayang dan semakin sayang. Barang dagangan juga bakal selalu laris. Wah, naga dalam mitologi Bugis ternyata tidak hanya dapat menyebabkan gerhana namun juga bisa menjadi Mak Comblang!

Pedang Raya dan Gajang

“Nagiling mua Patotoqé napamoléi 

Gajang pareppaq sésumangeqna

Pakkaluri wi lé pattikaseng

Mpelluq-welluqna sebbu katinna

(Patotoqé pun menoleh sambil membuka

Ikatan keris agung taruhan jiwanya

Melilitkannya ke pinggang

langsing, anak sibiran tulangnya)

-Volume I Naskah La Galigo NBG 188 koleksi Leiden University

Senjata khas Raya dalam petualangannya di Kumandra adalah sebilah pedang dengan bentuk yang melekuk-lekuk mirip seperti keris. Selidik punya selidik, ternyata memang animator film Raya terinspirasi dari bentuk keris dalam kebudayaan di Nusantara. Keris punya kekhasan dari segi bentuk: semakin ke ujung maka bentuknya akan semakin kecil dan akhirnya meruncing.

Senjata keris di Sulawesi Selatan dikenal dengan nama “gajang” atau “tappi’”. Seperti halnya keris dalam kebudayaan Jawa yang dianggap bertuah, gajang pun dianggap memancarkan aura keistimewaan. Ornamen hiasan pada gajang juga menandakan status sosial pemiliknya. Seorang laki-laki konon tidak berpakaian dengan lengkap apabila tidak menyandang gajang. Pada masa lalu, saat bepergian tanpa ditemani oleh sanak-saudaranya, seorang perempuan biasanya akan membawa sebilah “cobbo” atau keris kecil di balik sarungnya sebagai alat untuk melindungi diri. Beberapa tokoh ratu atau penguasa perempuan dalam kebudayaan Bugis digambarkan pula menyandang keris, contohnya seperti ratu We Tenriawaru dari kerajaan Luwu.

La Galigo menyebutkan gajang sebagai senjata pertama yang diwariskan oleh Datu Patotoqé, dewa tertinggi di alam semesta, kepada Batara Guru yang akan turun ke Dunia Tengah sebagai manusia. Keris bernama La Ulabalu tersebut konon memiliki bentuk seperti ular yang meliuk-liuk. Menurut legenda yang beredar di tengah masyarakat Bone, senjata keris tercipta dari sehelai daun bambu kering yang digunakan Pangeran Sawerigading dari Ale Luwu untuk menghukum seorang pelaku kejahatan. Daun tersebut ia mantrai sehingga menjadi keras dan tajam, prototipe senjata tusuk yang dikemudian hari disebut gajang.  

Druun v. Pérésola

“Temmagangka ni allalatunna

Lé rumpu dapoq wara-waraé

Allalatunna lé pappaniniq

Puajo dengngeng Pérésolaé.”

(Tak henti-hentinya mengepul

Asap pedupaan yang gemerlapan

Asap tolak bala

Terhadap gangguan setan dan Pérésola)

-Volume I Naskah La Galigo NBG 188 koleksi Leiden University

Druun adalah mahluk gaib berbentuk seperti gumpalan awan hitam dan cahaya keunguan yang amat ditakuti di seantero Kumandra. Mahluk ini tidak jelas asal-usulnya dari mana. Ia tiba-tiba muncul dan menyebabkan kepanikan di tengah masyarakat Kumandra dengan sihirnya. Setiap mahluk yang “dilahap” oleh Druun akan berubah menjadi patung batu dalam sekejap mata. Tanpa pandang bulu, Druun bergerak cepat dan menyerang siapa pun yang ada di hadapannya.

Epos La Galigo juga memiliki mahluk dengan sifat yang mirip seperti Druun. Pérésola adalah mahluk gaib dengan kekuatan dahsyat yang menjadi pasukan dari dewata. Pérésola berbentuk seperti titik-titik cahaya yang makin lama makin membesar serta dapat “menelan” (membakar) segala macam mahluk yang ada di hadapannya, seperti halnya Druun. Habitat asli Pérésola adalah Perettiwi (Dunia Bawah) namun dari cerita-cerita di dalam La Galigo kita mengetahui bahwa ia dapat pula melakukan perjalanan melintasi luar angkasa apabila diperintahkan oleh para dewa.

Masyarakat Bugis meyakini sejenis burung yang dikenal dengan nama lokal Kulu-Kulu (Burung Tuwu, Eudynamys scolopaceus) konon dianggap sebagai pembawa sial karena kicauannya dapat memanggil kehadiran Pérésola. Nah, seperti halnya Druun yang takut oleh Dragon Gem, Pérésola juga memiliki kelemahan berupa benda pusaka dewata. Salah satu tokoh dalam epos La Galigo yang bernama Guttuq Sibali berhasil menundukkan Pérésola dengan keris yang turun dari langit. Tokoh lain bernama Aji Laide juga dapat mengendalikan Pérésola dengan pusaka saktinya dan bahkan menjadikan mahluk gaib tersebut sebagai pelayan yang membawa kotak sirihnya! Di kalangan masyarakat biasa, Pérésola dapat diusir lewat ritual appasiliq (tolak bala) dengan menggunakan medium air yang telah dimantrai dan asap kemenyan. 

Demikian lah tadi tiga elemen dalam film Raya and The Last Dragon yang dapat kita temukan padanannya di epos La Galigo. Meskipun perlu menjadi catatan bersama bahwa film animasi ini bukanlah “film Asia Tenggara” dan banyak mendapatkan kritik karena kurangnya representasi Asia Tenggara pada proses di balik layarnya, Raya and The Last Dragon membangkitkan kembali ruang-ruang diskusi kreatif oleh generasi muda dari berbagai negara ASEAN maupun diaspora untuk menggali kembali kebudayaannya. Semoga suatu saat nanti, Sobat Lontara juga dapat mengembangkan film-film animasi maupun game-game petualangan yang terinspirasi dari epos La Galigo. Terus berkarya sambil melestarikan budaya!

*Untuk artikel serupa dengan judul La Galigo, The Lord of The Rings-nya Indonesia bisa dibaca di sini.

Referensi:

I La Galigo Cerita Bugis Kuno, R. A. Kern, Gadjah Mada University Press.
La Galigo Menurut Naskah NBG 188, Nurhayati Rahman, Yayasan Obor Indonesia.

By Louie Buana

Seorang warga Panakkukang yang sedang belajar hukum dan sejarah di Universiteit Leiden, Belanda. Pernah mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat di bawah program AFS Youth Exchange & Study (YES). Saat ini ia juga menjadi Guest Researcher di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian & Carribean Studies (KITLV) Leiden. Punya hobi jalan-jalan, membaca buku dan karaoke.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *